Kamis, 31 Maret 2011

KECERDASAN INTELEKTUAL DAN EMOSIONAL

BAB I
PENDAHULUAN
1. Pengertian Kecerdasan Intelektual (Intelegensi)
Perkataan intelektual (intelegensi) berasal dari kata lain ialah “intelligere” yang berarti menghubungkan atau menyatukan satu sama lain. Dengan kata lain intelektual (intelegensi) adalah kemampuan mental individu yang dapat dipergunakan untuk menyesuaikan diri didalam lingkungan yang baru, serta dapat memecahkan diri didalam lingkungan yang baru, serta dapat memecahkan problem-problem yang dihadapi dengan cepat dan tepat. Berbicara mengenai intelegensi biasanya dikaitkan dengan kemampuan untuk pemecahan masalah, kemampuan untuk belajar, maupun kemampuan untuk berfikir abstrak. Pendapat Stern yang dimaksud dengan inteklegensi adalah daya menyesuaikan diri dengan keadaan baru dengan menggunakan alat-alat berpikir menurut tujuannya.
2. Pengertian Kecerdasan Emosional (Perasaan)
Emosi disifatkan sebagai suatu keadaan kejiwaan pada organism atau individu sebagai akiat adanya peristiwa atau persepsi yang dialami oleh organism. Menurut Chaplin (1972) emosi merupakan reaksi yang mengandung aktivitas dengan derajat yang tinggi dan adanya perubahan dalam kejasmanian berkaitan dengan perasaan yang kuat.
Kecerdasan emosi adalah kemampuan merasakan, memahami dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energy, informasi, koneksi dan pengaruh manusia. Emosi bahan bakar yang tidak tergantikan bagi otak agar mampu melakukan penalaran tinggi. Emosi menyulut kreatifitas, kolaborasi, inisiatif dan transformasi, sedangkan penalaran logis berfungsi mengatasi dorongan-dorongan yang keliru yang menyelaraskan dengan proses dan teknologi dengan sentuhan manusiawi. Emosi merupakan salah satu kekuatan penggerak.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Kecerdasan Intelektual (Intelegensi)
Kecerdasan ini ditemukan pada sekitar tahun 1912 oleh William Stern. Digunakan sebagai pengukur kualitas seseorang pada masanya saat itu, dan ternyata masih juga di Indonesia saat ini. Bahkan untuk masuk ke militer pada saat itu, IQ lah yang menentukan tingkat keberhasilan dalam penerimaan masuk ke militer. Kecerdasan ini terletak di otak bagian Cortex (kulit otak). Kecerdasan ini adalah sebuah kecerdasan yang memberikan kita kemampuan untuk berhitung, bernalogi, berimajinasi, dan memiliki daya kreasi serta inovasi. Atau lebih tepatnya diungkapkan oleh para pakar psikologis dengan ³What I Think. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Imran [3]: 191
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”
Akal yang berpusat diotak (al-demagh) adalah komponen yang ada dalam diri manusia yang memiliki kemampuan memperoleh pengetahuan secara nalar. Setelah memperoleh maupun menyimpan ini berbeda-beda antara satu orang dengan yang lain, bergantung kepada wadah kognitif yang dimilki seseorang. Digambarkan secara sinpel oleh ahli psikologi Seto Mulyadi bahwa ada manusia yang berwadah kognitif sebesar gelas kecil ada yang besar gelas besar, ada pula yang sampai sebesar danau. Semakin besar wadah kognitif, semakin banyak pengetahuan yang dapat diserap dan disimpan dalam kognitif orang tersebut.
Otak manusia tidak bekerja seperti media audio atau video tape recorder, yang mampu merekam seluruh informasi secara utuh. Ketika menerima informasi otak tidak langsung merekam, tapi mempertanyakan lebih dulu, ia akan memproses dan mengolahnya. Untuk memperoleh dan mengolah informasi secara efektif, otak perlumelaksanakan refleksi baik secara internal maupun secara eksternal.
Cara berfikir otak kanan dan otak kiri masing-masing belahan bertanggung jawab terhadap cara berfikir dan mempunyai spesialsiasi dalam kemampuan-kemampuan tertentu, walaupun ada beberapa persilangan dan interaksi antar keduanya. Proses berfikir otak kiri bersifat logis, sekuensial, linear dan rasional (membaca, menulis, simbolisme dsb). Cara berfikir otak kanan bersifat acak tidak teratur, intuitif dan holistik (perasaan, emosi, perasaan, pengenalan bentuk dan pola, visualisasi dsb)
Jika menurut bentuknya kecerdasan dapat dibagi menjadi dua macam yaitu :
a. Intelektual (intelegensi) praktis, yakni intelegensi untuk dapat mengatasi suatu situasi yang sulit yang berlangsung secara cepat dan tepat
b. Intelektual (intelegensi) teoritis, yakni intelektual (intelegensi) dalam rangka mendapatkan pemikiran-pemikiran penyelesaian masalah dengan cepat dan tepat.
Kecerdasan intelektual dapat dilihat dari kemampuan seseorang memandang masalah secara ilmiah, logis dan menyususun rumusan problem solving berdasarkan teori. Hanya saja orang yang cerdas secara intelektual terkadang terkesan kepada logika yang tidak relevan dengan problem solving itu sendiri. Ia puas dengan analisa yang masuk akal dan bangga dengan kereterianya kepada kaidah keilmuan. Langkah-langkah berpikir tersebut dapat diikhtisarkan sebagai berikut: Pertama, kesadaran akan adanya problem. Kedua, penghimpunan data mengenai problem yang dihadapi. Ketiga, penyusuan hipotesa. Keempat, penilaian terhadap hipotesa. Kelima, pengujian
kebenaran hipotesa. Inilah lankah-langkah berpikir yang biasanya diikuti dalam memecahkan suatu problem.
2. Kecerdasan Emosional (Perasaan)
Pertama kali digagas oleh Danar Zohar dan Ian Marshall, masing-masing dari Harvard University dan Oxford University. Dikatakan bahwa kecerdasan spiritual adalah sebagai kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya Kecerdasan ini terletak dalam suatu titik yang disebut dengan God Spot. Mulai populer pada awal abad 21. Melalui kepopulerannya yang diangkat oleh Danar Zohar dalam bukunya Spiritual Capital dan berbagai tulisan seperti The Binding Problem karya Wolf Singer.
Gejala perasaan tergantung pada: Keadaan jasmani, Pembawaan, Keadaan yang dapat mempengaruhi perkembangannya (Keluarga, Lingkungan social,pendidikan jasmani, dsb). Perasaan dapat dibagi dua kelompok yaitu:
a. Perasaan jasmani atau biologis (penglihatan, pengecapan, pendengaran dsb).
b. Perasaan rohani (perasaan ketuhanan, kesusilaan, harga diri dsb)
Kecerdasan Emosional (Perasaan) ‘kalbu’ menjadi pusat kesadaran moral. Ia memilki kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk serta mendorong manusia memilih hal yang baik dan meninggalkan yang buruk. Kecerdasan emosi ini menekankan tentang bagaimana seseorang mampu menjalin hubungan baik dengan orang lain, menanamkan rasa empati, juga bagaimana cara mengalahkan emosi dengan cara memotiasi diri.
“Dan orang-orang beriman mendapat petunjuk dari Allah melalui hatinya” (QS. At-Taghabun [64]: 11)
Didalam Islam hal-hal yang berhubungan kecakapan emosi dan spiritual konsistensi (istiqamah), kerendahan hati (tawadlu), berusaha dan berserah diri (tawakal), ketulusan (keikhlasan), totalitas (kaffah), keseimbangan (tawazun), integritas dan penyempurnaan (ihsan) semua itu dinamakan akhlakul karimah. Dalam kecerdasan emosi, itulah yang dijadikan sebagai tolak ikur kecerdasan emosi (EQ) hal ini telah diajarkan oleh Rasulullah SAW emapat ratus tahun yang lalu.
Setidaknya ada 5 unsur yang membangun kecerdasan emosi, yaitu:
1. Memahami emosi-emosi sendiri
2. Mampu mengelola emosi-emosi sendiri
3. Memotivasi diri sendiri
4. Memahami emosi-emosi orang lain
5. Mampu membina hubungan sosial
Kalbu “Kecerdasan Emosional (Perasaan)” berkemampuan memberikan jawaban kebajikan ketika seseorang harus memutuskan sesuatu yang sangat penting. Setiap menyuruh seseorang berbuat kebajikan seperti menyuruh untuk bersabar, dermawan,bersyukur, yang diseur ialah kalbunya dan perilaku. Bila seseorang memilki kalbu yang baik maka ia akan cendrung berbuat positif lebih besar. Kalbu juga mempunyai untuk berlapang dada. Manusia memilki tingkat kelapangan dada yang berbeda-beda. Semaikin tinggi tingkat kelapangan dada seseorang, semaikin mampu ia menerima realitas yang beragam, termasuk yang tidak menyenangkan. Tugas manusia adalah melakukan upaya agar kelapangan dada yang ada dalam jiwanya erus bertambah. Cara-cara berlapang dada adalah keimanan yang secara konkrit dapat ditingkatkan dengan banyak berdzikir.


3. Implementasi Dalam Pengembangan Pendidikan Islam
Pendidikan sebagai upaya pengembangaan potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi. Manusia mempunyai berbagai bakat dan kemampuan yang kalau pandai mempergunakannya dapat berubah menjadi emas dan intan, dpat menjadi kekayaan yang berlimpah ruah. Sistem pendidikan Islam adalah system pendidikan yang berusaha menumbuh kembangkan serta membina seluruh potensi diri manusia, tanpa ada yang tertinggal dan terabaikan. Pemahaman demikian itu, diperoleh dari analisis terhadap tujuan akhir pendididkan Islam yang dirumuskan dari penelaahan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an.
Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Qur'an dan yang mengajarkannya (HR bukhari )
Eksistensi manusia dibumi ini dalam ajaran Islam adalah sebagai khalifah Allah. Khalifah adalah kedudukan tertinggi yang berfungsi sebagai wakil Allah untuk membangun dan memakmurkan bumi. Khalifah dapat berarti sebagai penguasa dan memelihara alam diperlukan pengetahuan tentang alam itu. Pengetahuan tentang alam diperoleh melalui pembacaan terhadap alam yaitu dengan cara eksperimen dan observasi. Kegitan eksperimen dan observasi ini adalah kegiatan daklam penelitian ilmiah yang selanjutnya menghasilkan ilmu pengetahuan. Kecerdasan Emosional (Perasaan) ‘kalbu’ akan mencapai puncak pengetahuan apabila manusia telah menyucikan dirinya yang ditandai oleh adanya ilham (bisikan suci dari Allah). Dengan qalbu yang berfungsi optimal dimungkinkan bagi seseorang untuk mendapatkan pengetahuan langsung dari Allah. Dalam kehidupan sehari-hari, bila seseorang telah berusaha memcahkan, maka upaya penyucian diri Allah.
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui (QS. Al-Baqarah[2]: 30)
Tugas manusia dibumi ini sebagaimana telah diuraikan diatas memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai khalifah dan pengabdi Allah. Untuk mewujudkan fungsi sebagai khalifah manusia harus memilki kemampuan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Al-qur’an menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk yang diberi ilmu pengetahuan dan sarana untuk memperolehnya, memilki kapasitas pengembangan ilmu dan daya nalar, mampu mengembangkan pemikiran, pengamatan, analisi. Hal tersebut memberikan isyarat bahwa manusia memilki seperangkat kemampuan (potensi dasar) yang akan dikembangkan melalui pendidikan. Pengembangan dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan adalah pengembangan akal (intelektual). Sedangkan pengembangan kalbu (emosional) merupakan pengembangan dalam bidang ibadah. Sehingga manusia yang akan dibentuk dalam islam adalah manusia yang berkembang akal dan kalbunya.

BAB III
KESIMPULAN
Kecerdasan intelektual dapat dilihat dari kemampuan seseorang memandang masalah secara ilmiah, logis dan menyususun rumusan problem solving berdasarkan teori. Hanya saja orang yang cerdas secara intelektual terkadang terkesan kepada logika yang tidak relevan dengan problem solving itu sendiri. Ia puas dengan analisa yang masuk akal dan bangga dengan kereterianya kepada kaidah keilmuan Kecerdasan Emosional (Perasaan) ‘kalbu’ menjadi pusat kesadaran moral. Ia memilki kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk serta mendorong manusia memilih hal yang baik dan meninggalkan yang buruk. Kecerdasan emosi ini menekankan tentang bagaimana seseorang mampu menjalin hubungan baik dengan orang lain, menanamkan rasa empati, juga bagaimana cara mengalahkan emosi dengan cara memotiasi diri.
Pendidikan sebagai upaya pengembangaan potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi. Manusia mempunyai berbagai bakat dan kemampuan yang kalau pandai mempergunakannya dapat berubah menjadi emas dan intan, dpat menjadi kekayaan yang berlimpah ruah. Sistem pendidikan Islam adalah system pendidikan yang berusaha menumbuh kembangkan serta membina seluruh potensi diri manusia, tanpa ada yang tertinggal dan terabaikan. Pemahaman demikian itu, diperoleh dari analisis terhadap tujuan akhir pendididkan Islam yang dirumuskan dari penelaahan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an
Bila Akal (Kecerdasan Intelektual) Kedua belahan otak penting artinya. Orang yang memanfaatkan kedua belahan otak ini juga cendrung seimbang dalam setiap kehidupan mereka dan Qalbu (Kecerdasan Emosional) bekerja secara optimal, maka produk yang keluar dari orang yang bersangkutan adalah produk yang optimal.

DAFTAR PUSTAKA
Ary Ginanjar, 2001. Rahasia Sukses membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual. Jakarta: Penerbit Arga
Akyas Azhari. 2004. Psikologi Umum dan Perkembangan. Jakarta: Penerbit Mizan Publika
Bahrudin. 2005. Aktualisasi Psikologi Islam. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar
Bimo Wagito. 2004. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Penerbit Andi offiset
Departemen Agama. 2002. Al-Qur’an dan Terjemah,
Fuad Nashori. 2003. Potensi-Potensi Manusia. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar
Hamruni. 2009. Edutainment Dalam Pendidikan Islam Dan Teori-eori Pembelajaran Quantum. Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah UIN Yogyakarta
Hamruni. 2009. Strategi dan Model-Model Pembelajaran Aktif Menyenangkan. Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah UIN Yogyakarta
Kangncep@gmail.com Kumpulan Hadist-Hadist Shahih
Rany Yunita.blogspot.com
Sutrisna Surya Dilaga. 2007. The Balance Ways. Jakarta: Penerbit Mizan Publika
Utsman Najati. 2004. Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa. Bandung: Penerbit Pustaka
www.google.com
www.wikivedia.org

Sabtu, 19 Maret 2011

IDIOLOGI DAN POLITIK PENDIDIKAN DIINDONESIA

PENDAHULUAN
Pendidikan sebagai upaya humanisasi seringkali terbentur dengan system pendidikan nasional yang diatur oleh Negara. Negara dengan kekuatan idiologi maupun militer, memaksakan setiap perundang-undangan dan system yang para pengelola kekuasaan. Para praktisi pendidikan banyak yang tidak sadar bahwa ia telah terlibat dalam pergumulan politik dan idiologi melalui arena pendiidkan. Sistem pendidikan nasional dalam kenyataan tidak bisa dilepaskan dari kepentingan-kepentingan politik.
Politik pendidikan nasional bangsa Indonesia telah berlangsung sejak kemerdekaan diproklamasikan. Sejak itu pula regidisasi birokrasi pendidikan nasional, pada dasarnya merupakan pengalaman baru bagi bangsa Indonesia. Sebelumnya, pendidikan menjadi uruasan pribadi masing-masing warga. Pengalaman baru tersebut cikal bakal bagi hegemoni birokrasi dibidang pendidiakan. Setiap periode perkembangan pendidikan adalah faktor politik dan kekuasaan politik karena pada hakikatnya pendidikan adalah cerminan aspirasi, kepentingan dan tatanan kekuasaan kekuatan-kekuatan politik yang sedang berkuasa. Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia telah mengalami beberapa periode ditandai oleh adanya infiltralisasi politk terhadap sisitem penyelenggaraan pendidikan dan implikasi sistem pendidikan terhadap dinamika politik.
PEMBAHASAN
A. Idiologi Pendidikan Di Indonesia
Idiologi merupakan ide-ide yang teratur yang teratur menangani macam-macam masalah politik, ekonomi dan social, asas haluan,pandangan hidup dunia. Ideologi adalah konsep yang tersistem yang di jadikan asas pendapat yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup, implikasi penggunaan istilah ideologi dalam pendidikan adalah keharusan adanya konsep cita-cita dan nilai-nilai yang secara eksplisit di rumuskan, di percayai dan di perjuangkan. Istilah ideology paling sering di hubungkan dengan dua pemikir besar yaitu: Karl Marx dan Karl Mannheim. Bagi Marx, ideologi-ideologi politik pun tak pelak lagi sebagian besar merupakan pembenaran bagi materi yang ada atau organisasi masyarakat. sementara konsep Mannhein tentang sebuah ideologi total (sebagai lawan dari konsepnya tentang sebuah ideologi tertentu) pada intinya sama dengan Marx, dan dalam bukunya ideology dan utopia (ideology dan khayal) ia minta perhatian terhadap kenyataan bahwa ideologi paling bisa di pahami dalam proses kesejarahan yang terbuka.
Secara fungsional, ideologi diartikan sebagai pemikiran yang digunakan untuk kebaikan bersama (common good). Dalam hal ini ideologi bisa muncul karena kekecewaan pada saat ini dan mempunyai niatan untuk memperbaiki di zaman akan datang. Proses antara sekarang dengan zaman akan datang (tengah-tengahnya) itulah letak pemikiran ideologi yang digunakan sebagai dasar kerangka bangunan berfikir untuk meraih hal yang dianggapnya baik pada zaman yang akan datang. Dalam dunia pergerakan, Tan Malaka saat berjuang memperjuangkan kaum buruh- juga tergetarkan hatinya saat melihat kaum buruh yang pada zaman kolonial selalu diperas tenaganya namun tidak ada ibalan yang sepadan yang diberikan oleh pemerintah kolonial.
Sedangkan ideologi struktural, diartikan sebagai alat pembenar bagi kebijakan dan tindakan kaum penguasa. Mungkin pada zaman orde baru kita masih teringat dengan namanya penataran P4. itu adalah alat yang digunakan pembenar bagi tidakan-tindakan negara kepada masyarakatnya. Seolah-olah perbuatan pemerintah itu semua benar dan wajib di ikuti. Sehingga yang tidak cocok dengan kebijakan serta tidak mau melaksanakannya akan di anggap pembangkang.
Bukan hanya dalam dunia ke-negaraan saja ideologi ini diterapkan, dalam dunia agama-pun ideologi seperti ini diterapkan. Seperti pembentukan wadah-wadah organisasi keturunan Nabi yang disebut Habib atau organisasi Islam puritan lainnya. Seoalah-olah apa yang di kehendakinya itu selalu benar karena sudah berlandaskan dengan teks-teks Al-Qur’an.
Mereka ingin memaksakan ajaranya kepada semua umat dan menyatukan ajaran yang akan berpusat pada dunia Arab, tanpa melihat faktor sosiologi dan geografi masyarakat sekitar. Coba bayangkan masyarakat Indonesia akan disamakan dengan masyarakat Arab, tentu tidak akan cocok karena sangat berbeda.
Arab menjadi dominan karena para Nabi kebetulan di lahirkan di ranah Arab, coba bayangkan, seumpama Islam diturunkan di Indonesia pasti pakaian yang digunakan kebanyakan orang adalah Kemben bagi yang putri dan yang putra pakainya seperti dipakai oleh para pejabat kerajaan dulu. Itu disebakan suasana di Indonesia di pengaruhi oleh iklim tropis sedangkan di Arab sangat wajar jika menggunakan jubah karena suasanannya sangat panas jadi sangat wajar.
Dalam dua atau tiga dekade terakhir ini ideologi-ideologi klasik seperti kapitalisme, sosialisme, dan nasionalisme mulai kehilangan momentumnya, di susul dan diganti dengan dengan ideologi kontemporer seperti: feminisme, pluralisme, dan postmodernisme. Khusus di bidang pendidikan juga di ramaikan dengan ideologi-ideologi baru yang menawarkan doktrin-doktrin pendidikan sebagai terapi atas krisis yang melanda dunia pendidikan. Di satu sisi hadirnya ideologi-ideologi tersebut memperkaya khasanah pemikiran pendidikan, tetapi di sisi lain dapat membingungkan para perencana dan praktisi pendidikan.
Berdasarkan Wiliam Oneil ada dua aliran ideologi besar yang cukup berpengaruh dengan varian masing-masing yaitu:
1. Ideologi konservatif
Di satu sisi aliran ini memandang bahwa konsep yang selama ini di gunakan masih tetap actual dan relevan sehingga tidak perlu perubahan. Secara teologis aliran ini merujuk pada teologi jabariyah atau determinisme, bahwa masyarakat pada dasarnya tidak dapat mempengaruhi perubahan sosial, semuanya tuhan yang menentukan.
Mereka yang miskin, buta huruf dan menderita merupakan kodrat ilahi dan kesalahan mereka sendiri karena tidak bisa merubah dirinya sendiri. Orang miskin harus bersabar dan belajar menunggu nasib sampai giliran mereka datang, karena pada akhirnya semua oang akan menacapai kebebasan dan kebahagian. Sehingga dalam kaum konservatif selalu menjunjung tinggi harmoni serta menghindari konflik. Dan ideologi pendidikan konservatif juga mempunyai tiga tradisi pokok, yaitu fundamentalisme pendidikan, intlektualisme pendidikan dan konservasme pendidikan.
Fundamentalisme pendidikan pada dasarnya anti pada intelektualisme, atau bisa dikatakan sebuah gerakan yang tidak mementingkan dasar-dasar filosofis atau menggunakan filsafati namun sedikit dan cenderung menerima diri tanpa melakukan aksi kritik pada sistem yang sudah mapan. Dalam pendidikan dewasa ini, fundamentalis religius barang kali paling terlihat gagasan pendidikan tertentu dalam kelompok-kelompok Kristen yang berpusat pada alkitab, misalnya kelompok amish, yang menanpilkan kepatuhan yang ketat terhadap sabda tuhan yang di tulis dalam alkitab. Dan juga gerakan ini seperti gerakan puritan yang melakukan pembenaran terhadap teks-teks yang di wahyukan pada tuhannya. Sedangkan manusia hanya menjadi saksi bisu, padahal bisa saja orang yang mengartikan Al-Qur’an itu adalah orang yang mempunyai kepentingan untuk dirinya sendiri, seperti kampanye dalam politik pragtis.
Sedangkan Intelektualisme pendidikan dilandaskan dari konservatisme politik yang melegitimasi pemikiran filosofis atau relegius otoritarian. Idelogi ini ingin merubah praktek-praktek politik dan pendidikan demi menyesuaikan secara lebih sempurna dengan cita-cita intelektual atau rohaniah yang sudah mapan dan tidak bervariasi, dalam pendidikan kontemporer konservatisme filosofis mengungkapkan diri terutama sebagai intelektualisme pendidikan di mana ada dua variasi mendasar yang pada intinya bersifat secular dan dapat di amati dalam pemikiran beberapa orang teoritisi pendidikan kontemporer.
Dan Konservatisme pendidikan berbeda dengan kedua ideologi diatas karena cenderung mendudukung ketaatan terhadap lembaga-lembaga dan proses-proses budaya yang sudah teruji oleh waktu. Konservatisme menaruh hormat terhadapa hukum dan tatanan sebagai landasan perubahan sosial yang kontruktif.
2. Ideologi liberalisme
Ideologi-ideologi pendidikan liberal seperti yang konservatif terdiri dari tiga tradisi yaitu liberalism, liberasionisme dan anarkisme pendidikan. Ideologi-ideologi tersebut terntang dari ungkapan yang paling liberal yakni liberalism pendidikan (liberalisme metodis) hingga ke posisi yang paling radikal (anarkisme utopis).
Akar dari pandangan liberalisme ini adalah pandangan yang menekankan pengembangan kemampuan, melindungi dan menjunjung tinggi hak kebebasan individu. Konsep pendidikannya bertolak dari paradigm barat tentang rasionalisme dan individualisme, yang sejarah pengembangannya tak dapat di pisahkan dari perkembangan kapitalisme di barat. Segi positif rasonalisme, individualisme dan kebebasan yang berkembang di baratmendorong tumbuhnya kreatifitas, semanangat inovatif, optimalisasi kualitas individu yang sanggup bersaing dan bertanggung jawab dalam iklim kapitalisme. Itulah sebabnya pendidikan lebih di arahkan untuk mengejar kualitas (akademis maupun profesional) walaupun dengan resiko biaya tinggi.
Dalam pendidikan ini berkeyakinan bahwa dalam masyarakat terjadi banyak masalah termasuk urusan masalah pendidikan. Namun mereka beranggapan masalah pendidikan tidak akan ada sangkut paut dengan persoalan politik dan ekonomi masarakat. Tetapi pendidikanlah yang bisa menyesuaikan dengan perubahan arah politik dan perkembangan dunia perekonomian.
Cara menyesuaikannya melalui reformasi diri secara ”kosmetik”. Dengan cara melengkapai sarana-prasarana seperti perlengkapan alat tulis, ruang kelas maupun perpustakaan. Pengadaan itu semua bertujuan untuk menyeimbangkan rasio antara murid dengan guru. Tetapi kenyataannya walaupun lembaga pendidikan mempunyai sarana dan prasarana yang komplik belum tentu menghasilkan manusia yang cerdas yang bisa membangun bangsa tetapi hanya melaihrkan nilai-nilai angka yang tinggi terhadap para siswanya dan bisa dipastikan hanya akan menjadi buruh kapitalis.
Walaupun konsep ideologi konservatif dan liberal berbeda dalam menafsirkan pendidikan, namun sesungguhnya mepunyai tujuan yang sama yaitu memandang bahwa dunia pendidikan itu harus bersifat apolitik. Pendidikan tidak boleh terbawa arus politik yang berkembang namun sebagai sarana untuk menstabilkan nilai dan norma masayarakat.
Ideologi liberal ini memang lahir dari cita-cita individualisme barat, bangsa barat menggambarkan manusia ideal itu adalah rasionalis liberal. Pada dasarnya manusia mempunyai potensi tingkatan yang sama dalam intelektual, baik dalam tatanan alam maupun tatanan sosial yang dapat ditangkap dengan akal. Kelemahan ideologi liberalisme terletak pada pengaruh faham positivistik yang sangat kuat, karena adanya pemisahan antar fakta dengan nilai menuju pemahaman obyektif.
Bagi seorang liberal, tujuan jangka panjang pendidikan adalah untuk melestarikan dan memperbaiki tatanan sosialyang ada dengan cara mengajar setiap siswa bagaiman caranya menghadapi persoalan-persoalan dalam kehidupannya secara efektif, liberalisme pendidikan ini berbeda-beda dalam hal intensitasnya dari yang relatif lunak, yakni liberlisme metodis yang di ajukan oleh teoritisi oleh Maria Montessory ke liberalisme direktif (liberalism yang bersifat mengarahkan) yang barangkali paling sarat dengan muatan filosofi John Deweyhingga ke liberalism yang non direktif atau liberalisme laissez faire (liberalism tanpa pengarahan) yang merupakan sudut pandang A,S. Neil atau Carl Rogers.
Liberasionisme adalah sebuah sudut pandang yang menganggap bahwa kita musti segera melakukan perombakan berlingkup besar terhadap tatanan yang ada sekarang, sebagai cara untuk memajukan kebebasan-kebebasan individu dan mempromosikan perujudan potensi-potensi diri semaksimal mungkin.bagi seorang pendidik liberasionis, sekolah haruslah bersifat obyektif namun tidak sentral, sekolah memiliki fungsi ideologis, ia ada bukan hanya untuk mengajarkan kepada siswa bagaimanakah caranya berfikir efektif dan juga untuk membantu siswa mengenai kebijaksanaan tertinggi yang ada di dalam pemecahan-pemecahan masalah secara intelek yang paing meyakinkan yang tesdia sehubungan dengan problem manusia yang terpenting.
Kapitalisme sebagai idiologi dominan saat ini punya pengruh yang besar dalam setiap denyut nadi kehidupan manusia. Dominasi kapitalisme tidak hanya dalam wilayah ekonomi, tapi telah merambah kewilayah yang lain, termasuk didalamnya dunia pendidikan. Dalam wilayah pendidikan, dampak yang paling nyata dari kapitalisme adalah pada salah satu produk yang dihasilkannya, yaitu culture of positifisme (Giroux, 1983). Pengaruh kapitalisme dan budaya positivism terhadap pendidikan sangat jelas, ilmu yang didiseminasikan kepada peserta didik adalah ilmu yang mengorientasikan mereka untuk beradaftasi dengan dunia masyarakat industry, dengan mengorbankan aspek article subjectivity yaitu kemampuan untuk melihat dunia secara keritis.
Dalam persfektif kritis, urusan pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap the dominat ideology kearah transformasi social. Tugas utama pemndidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap system dan struktur terhadap ketidak adilan, serta melakukan dekonstruksi serta advokasi terhadap system social yang lebih adil. Pendidikan tidak mungkin dan tidak bias bersikap netral, bersikap objektif maupun berjarak dengan masyarakat. Visi pendidikan adalah melakukan keritik terhadap system dominan sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk menciptakan system social baru dan lebih adail. Pendidikan harus mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis untuk transformasi social. Dengan kata lain tugas utama pendidikan adalah memanusiakan kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena system dan struktur yang tidak adil. Freire (1970) kesadaran kritis melihat aspek system dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktur menghindari blaming the victinis’ dan lebih menganalisis untuk secara kritis menyadari struktur dan system social, politik, ekonomi dan budaya dan akibatnya pada pada kesadaran masyarakat. Paradigma kritis dalam pendidikan, melatih murid untuk mampu mengidentifikasi ‘ketidakadilan’ dalam system dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis bagaimana system dan struktur itu bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya. Tugas pendidikan dalam paradigm kritis adalah menciptakan ruang dan kesempatan agar peserta pendidikan terlibat dalam suatu proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik.
B. Politik Pendidikan Di Indonesia
Menurut Mohammad Daud Ali dalam bukunya Pendidikan Agama Islam (2000) disebutkan: Politik itu berasal dari Bahasa Latin Politicus atau Bahasa Yunani proloticus yang artinya adalah sesuatu yang berhubungan dengan warga Negara atau dengan warga kota. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian Politik adalah:
1. Pengetahuan tentang ketatanegaraan atau kenegaraaan, yaitu mengenai sisitem pemerintah, dasar-dasar pemerintahan dsb.
2. Segala urusan dan tindakan, kebijaksanaan, siasat dan sebagainya, tentang pemerintahan ataupun terhadap Negara lain.
3. Kebijakan cara bertindak didalam menghadapi suatu masalah tertentu
Secara singkat dapat dikatakan, politik adalah suatu cara atau metode mempengaruhi orang atau pihak lain untuk mencapai tujuan kelompok. Politik adalah ilmu kenegaraan atau tata Negara sebagai kata kolektif yang menunjukkan pemikiran yang bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan. Kata politik merupakan istilah yang sudah tidak asing lagi bagi sebagain besar anggota masyarakat. Semua anggota masyarakat dalam semua tingkatannya termasuk mereka yang tergolong sebagai lapisan atas maupun lapisan paling bawah sekali pun sebenarnya telah mengenal istilah politik, diantara mereka meraka mereka beranggapan bahwa politik adalah usaha menggerakkan anggota masyarakat untuk tujuan kebaikan: politik merupakan upaya mencari pengaruh; atau politik adalah sebagai memperjuangkan kepentingan Dll. Diantara para ahli ilmu politik terdapat pengertian terhadap istilah politic ini. Pertama, politik adalah usaha-usaha yang ditempuh warga Negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua, politik adalah segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan Negara dan pemerintahan. Ketiga, politik merupakan suatu kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Keempat, politik merupakan kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima, politk adalah konflik dalam rangka mencari dan mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting.
Politik Indonesia tahun 1990-an merupakan rejuvensi Aliran yang mana agama harus dilihat dari dua dimensi. Pertama, Agama sebagai sebuah keyakinan yang dianut oleh sekelompok orang baik secara individual maupun kelompok. Kedua, agama sebagai sebuah fenomena sosial. Seringkali orang tidak dapat membedakan kedua fenomena tersebut, bahkan tidak jarang mencampuradukkan satu sama lain. Agama sebuah keyakinan, akidah, kemudian diredusir sebagai sebuah gejala sosial. Basis pembentukan organisasi sosial dan politik pada masa pasca-kemerdekaan adalah orientasi dan perilaku keagamaan. Hal itu seperti yang digambarkan oleh Clifford Geertz dari hasil penelitiannya di Mojokerto, Jawa Timur, awal tahun 1950-an yang kemudian dikenal sebagai model Santri, Abangan dan Priyayi. Orang-orang abangan memilki orientasi politik ekonomi yang berbeda dengan orang-orang santri. Orang-orang abangan cendrung memilih untuk berpuihak kepada partai politik yang tradisional, sekuler dan nasionalistik. Smentara, orang-orang santri cendrung memilih untuk berpihak kepada partai-partai Islam. Partai-partai politik pada masa pasca-kemerdekaan memilki basis masa yang dimobilisasi lewat pembentukkan organisasi-organisasi pendukung yang meliputi semua sector: umur, profesi atau lapangan pekerjaan. Partai Nahdlatul Ulama (NU) memiliki organisasi seperti Pemuda Anshor, Muslimat NU, Fathayat, PMII, IPPNU, Pertanu, Lesbumi Dll. Terakhir tentu saja kita tidak dapat membicarakan Masyumi tanpa organisasi pendukungnnya, seperti: GPII, HMI, PII, Gasbiindo Dll.
Budaya politik Indonesia yang dapat dijadikan titik tolak untuk sebuah budaya yang dominan, yaitu kelompok etnis jawa. Etnis ini sangat mewarnai sikap, perilaku dan orientasi politik kalangan elit politik Indonesia. Bagi masyarakat jawa, kekuasaan itu pada dasarnya besrsifat konkret, besarannya constant, sumbernya homogeny dan tidak terkait dengan persoalan legitimasi. Karena kekuasann itu berasal dari sumber yang satu, maka sifatnya constant. Dan selim sumber kekuasaan itu tetap memberikan kekuasaan, maka kekuasaan seorang penguasa akan tetap legitimate dan tidak perlu dipersoalkan. Salah satu budaya politik yang menonjol diindonesia adalah kecendrungan pembentukkan pola-pola hubungan patronage, baik dikalangan penguasa maupun masyarakat, yang didasarkan atas patronage. Kecendrungan patronage ini dapat ditemukan secara meluas, baik dalam lingkungan birokrasi maupun dalam kalangan masyarakat. Presiden bisa menjadi patron bagi beberapa menteri. Menteri-menteri tersebut kemudian memfungsikan dirinya sebagai brooker atau middleman terhadap sejumlah menteri yang lain. Dan mentri-mentri inilah yang kemudian menjadi client yang sesungguhnya. Kemudian, para menteri itu juga menjadi middleman atau brooker dan membentuk client sendiri dengan para direktur Jendral, Sekretaris Jendral. Inspektorat Jendral dan demikian seterusnya, sampai ketingkat birokrasi dengan eselon yang lebih rendah.
Secara historis, memang perjalanan sistem pendidikan di Indonesia sudah cukup panjang. Sejak memasuki periode sejarahnya, masyarakat Nusantara telah mengenal sistem pendidikan keagamaan. Setelah kehadiran kaum kolonial, khususnya Belanda, pondok pesantren ikut dilibatkna dalam kancah politik. Dalam pandangan pemerintah kolonial Belanda, pondok pesantren merupakan “sarang pemberontakan”. Atas penilaian ini pula maka, sekitar tahun 1926, pondok pesantren sudah tidak lagi termuat dalam statistik pemerintah Hindia Belanda. Upaya untuk menutup peluang pengembangan institusi dan syitem pendidikan Islam di Nusantara, tampaknya terkait dengan kebijakan politik kolonial. Hal ini terbukti dari dikeluarkannya Undang-undang Sekolah Liar (Wilden Scholen Ordinantie), masing-masing tahun 1925 dan 1930. Institusi pendidikan yang memenuhi ketentuan undang-undang tersebut memperoleh subsidi dari pemerintah dan dianggap legal. Sedang yang tidak memenuhi ketentuan dimaksud dinilai sebagai sekolah liar, harus Dibubarkan
Untuk mengantisipasi kebijakan politik pendidikan pemerintah Hindia Belanda ini, maka sejumlah oraganisasi sosial keagamaan mulai “mengadopsi” sistem pendidkan Barat. Organisasi sosial keagamaan yang didirikan oleh golongan pedagang keturunan Arab bernama Jamiatul Khairiyyah, memelopori berdirinya sistem pendidikan Islam yang modern, yakni madrasah. Kemudian langkah ini diikuti oleh organisasi Islam lainnya seperti Muhammadiyah, Persis, Perserikatan Ulama, Al-Washliyah, Nahdlatul Ulama Dll. Sementara itu, diluar pengawasan pemerintah, sistem pendidikan pondok terus berlanjut. Eksistensi pondok pesantren terus dipertahankan sebagai pendidikan masyarakat, terutama dipedesaan. Hal ini antara lain disebabkan pendiri pondok pesantren umumnya adalah sosok pemimpin kharismatis yang disebut kiyai. Sketsa penyelengaraan pendidikan dinegara ini dapat dibagi menjadi enam periode perkembangan.
Periode pertama adalah periode awal atau periode prasejarah yang yang berlangsung hingga pertengahan tahun 1800-an. Pada periode ini penyelenggaran pendidikan ditanah air mengarah pada sosialisasi nilai-nilai agama dan pengembangan keterampilan hidup. Penyelenggaran pendidikan pada periode ini mengarah pada sosialisasi nilai-nilai agama dan pengembangan keterampilan hidup. Penyelenggaran pendidikan pada periode ini dikelola dan dikontrol oleh tokoh-tokoh agama. Mereka memilki otoritas penuh untuk meentukan apa yang harus dipelajari, siapa yang berhak mengajarkan, bagaimana dan dimana pembelajaran dilakukan dan siapa yang berhak dan tidak berhak atas program pendidikan tertentu. Kegiatan pendidikan menjadi bagian integral dari kegiatan keagamaan. Nilai-nilai agama menjadi acuan dasar penyelengaraan pendidikan dan kegiatan kependidikan menjadi sarana utama untuk memahami, mengamalkan dan menyebarluaskan nilai-nilai agama.
Periode kedua adalah periode kolonial Belanda yang berlangsung dari tahun 1800-an hingga tahun 1945. Pada periode ini penyelenggaran pendidikan ditanah air diwarnai oleh proses mederenisasi dan pergumulan antara aktivitas pendidikan kaum pribumi. Disatu pihak, pemerintah kolonial berusaha menempuh segala cara untuk memastikan bahwa berbagai kegiatan pendidikan tidak bertentangan dengan kepentingan kolonialisme. Kegiatan pendidikan diarahkan pada upaya mendeminasi nilai-nilai moderenisasi dan sekulerisasi dikalangan pribumi dan mencetak para pekerja yang dapat dieksploitasi untuk mendukung misi sosial, politik dan ekonomi pemerintah kolonial. Dipihak lain, para aktivis gerakan kemerdekaan, baik dari kalangan agama maupun dari kalangan sekuler, berusaha sekuat tenaga mendesain dan mengembangkan kegiatan pendidikan yang dapat membuka mata hati dan pikiran kaum pribumi terhadap berbagai bentuk penindasan dan diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial terhadap mereka sehingga memilki kesadaran dan keberanian untuk bangkit melawan penjajah dan menjadi bangsa yang merdeka serta berdaulat.
Periode ketiga adalah periode pendudukan Jepang yang berlangsung dari tahun 1942 hingga tahun 1945. Pada periode ini gerakan kemerdekaan sudah menyebar kesuluruh pelosok negeri dan telah menjadi kekuatan politik yang cukup kuat kehidupan masyarakat, termasuk bidang pendidikan. Berbagai kegiatan pendidikan pada periode ini diarahkan pada upaya mendiseminasi nilai-nilai dan semangat nasionalisme serta mengobarkan semangat kemerdekaan keseluruh lapisan masyarakat. Salah satu aspek penting perkembangan dunia pendidikan pada periode ini adalah dimulainya penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam lingkungan pendidikan formal. Kuatnya nilai-nilai Nasionalisme dalam berbagai aspek penyelengaraan pendidikan berhasil melahirkan aktivis-aktivis kemerdekaan dari kalangan pribumi dan membantu gerakan-gerakan sosial politik menjadi lebih terbuka. Pemerintah kolonial saat itu tidak berkeberatan dengan deklarasi Bahasa Indonesia. Pertama, kemerdekaan berbahasa Indonesia tidak mengancam stabilitas politik colonial saat itu. Dalam konteks kebangsaan Indonesia sekarang ini, kebebasan warga Negara untuk membina bahasa daerah tidak mengancam stabilitas bangsa. Pembinaan bahasa daerah mencakup anatara lain pemilihan bahasa daerah sebagai muatan lokal dalam kurukulum sekolah, pemakaian bahasa daerah sebagai medium pers. Kemerdekaan berbahasa, juga berarti kemerdekaan untuk mempelajari bahasa asing. Kedua, para pelopor pergerakan nasional kita sangat arif sewaktu menyepakati bahasa Indonesia/ melayu sebagai bahasa persatuan. Bahasalah yang paling fleksibel untuk berperan menyatukan suku, kelompok, etnik, dan berbagai aliran di Nusantara ini.
Periode keempat adalah periode Orde Lama yang berlangsung dari 1945 hingga tahun 1966. Pada periode ini kegiatan pendidikan ditanah air lebih mengarah pada pemantapan nilai-nilai nasionalisme, identitas bangsa dan pembangunan fondasi idiologis kehidupan berbangsa dan bernegara. Tujuan utama pendidikan pada periode ini adalah nation and character building dan kendali utama penyelenggaraan pendidikan nasional dipegang oleh tokoh-tokoh nasionalis. Mereka menguasai berbagai posisi penting diinstitusi pemerintah dan secara aktif dan sistematis menjadikan pendidikan sebagai bagian integral dari proses sosialisasi idiologi Negara dan penataan corak kehidupan berbangsa dan bernegara.
Periode kelima adalah periode orde baru yang berlangsung dari tahun 1967 hingga tahun 1998. Pada periode ini pendidikan menjadi instrument pelaksanaan program pembangunan diberbagai bidang, khusunya bidang pedagogi, kurikulum, organisasi dan evaluasi pendidikan diarahkan pada akselerasi pelaksanaan pembangunan. Karena sekularisasi menjadi salah satu strategi pembangunan nasional pada waktu itu, maka kegiatan pendidikan pada era ini banyak diwarnai oleh kebijakan-kebijakan yang mengarah pada sekularisasi pendidikan. Karena fokus utama pembangunan nasional pada era Orde Baru adalah pada bidang ekonomi, maka pelaksanaan kegiatan kependidikan pada era ini difungsikan sebagai instrument pembangunan ekonomi nasional. Strategi, fokus dan pendekatan pendidikan tersebut dijalankan dengan paradigma sentralisasi. Pada periode ini Mendiknas adalah penguasa tunggal dalam sistem pendidikan nasional. Pendidikan pada era ini ditandai oleh birokrasi yang ketat dan berbelit-belit serta penyeragaman sehingga menghasilkan “superficial”.
Periode keenam adalah periode reformasi yang dimulai pada tahun 1998, seiring dengan tumbagnnya pemerintahan Orde Baru. Pada periode ini semangat desentralisasi, demokratisasi dan globalisasi yang dibawa oleh gerakan reformasi menjalar kesemua sektor pembangunan, termasuk sektor pendidikan sehingga menjadi menu utama penataan sistem pendidikan nasional.
Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik disetiap Negara, baik Negara maju maupun Negara berkembang. Keduanya sering dilihat sebagai bagian-bagian yang terpisah, yang satu sama lain tidak memilki hubungan apa-apa. Padahal, keduanya bahu membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat disuatu Negara. Lebih dari itu, keduanya satu sama lain saling menunjang dan saling mengisi. Lembaga-lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politk masyarakat dinegara tersebut. Begitu juga sebaliknya, lembaga-lembaga dan proses politik disuatu Negara membawa dampak besar pada karakteristik pendidikan dinegara tersebut. Ada hubungan erat dan dinamis antara pendidikan dan politik disetiap Negara. Hubungan tersebut adalah realitas empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan peradaban manusia dan menjadi perhatian para ilmuan.
Proses politik mencakup banyak segi, salah satu diantaranya adalah proses perumusan dan pelaksanaan keputusan politik. Setiap kegiatan politik selalu berkaitan dengan bagaimana proses perumusan dan pelaksanaan keputusan politik. Kata lain dari keputusan politik adalah kebijakan politik sebagai wujud dari tindakan politik. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Nevil Johnson dan United Nations yang mengartikan kebijakan politik sebagai perwujudan dari tindakan politik.
Bila dalam konteks Negara, kegiatan politik didalamnya berkaitan dengan proses pembuatan atau perumusan serta implementasi keputusan politik yang bersifat publik. Keputusa politik suatu Negara merupakan suatu kebijakan publik dari Negara adalah peraturan pemerintah, keputusan menteri, keputusan presiden, undang-undang dll. Dalam proses pembuatan kebijakan publik, proses-proses politik sangat kental mewarnainya. Mulai dari permunculan issu, kemudian berkembang menjadi debat publik melalui media massa serta forum-forum terbatas, lalu ditangkap aspirasinya oleh partai politik untuk diartikulasikan dan dibahas dalam lembaga legislative, sehingga menjadi kebijakan publik. Bahkan terkadang, proses tersebut bila berlangsung lebih singkat. Misalnya diawali dari munculnya issu-issu, kemudian berkembang menjadi debat publik, lalu ditangkap aspirasinya oleh pemerintah yang dituangkan dalam sebuah peraturan pemerintah. Kesemua hal itu menandakan bahwa kebijakan-kebijakan publik terlahir melalui proses-proses politik antara beragam kepentingan yang tidak bias dipertemukan. Biasanya konflik-konflik tersebut akan reda dengan sendirinya manakala berbagai kepentingan yang ada telah terjadi titik temu.
Pada dasarnya Politik pendidikan Nasional merupakan suatu pendekatan, metode atau strategi untuk mempengaruhi pihak-pihak yang berkait langsung dan tidak langsung dengan pengambilan kebijakan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan Nasional. Dengan demikian dalam politik pendidikan nasional terdapat dua ranah yang besar; masing-masing adalah tujuan pendidikan nasional itu sendiri serta pendekatan, metode atau setrategi apa yang harus dimplementasi untuk mencapainya. Tujuan pendidikan nasional Indonesia adalah mengembangkan kecerdasan, kepribadian dan kemandirian anak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 UU Sisdiknas sbb: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Sabtu, 12 Maret 2011

SEJARAH PERINSIP FUNGSI DAN TUJUAN BIMBINGAN KONSELING

PENDAHULUAN
Fenomena perkembangan masyarakat, khususnya para remaja saat ini semaikin kompleks, akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat. Banyak remaja dan pemuda yang menunjukkan prestasi yang luar biasa, disamping banyak pula kasus kenakalan emaja, obat-obatan terlarang dan kasus penyimpangan yang mudah pula bagi mereka untuk terperosok.
Bimbingan dan Konseling (BK) merupakan unit yang seharusnya ada disetiap lembaga pendidikan. Sebab upaya menghantarkan peserta didik menjadi manusia seutuhnya membutuhkan peran dari berbagai pihak, guru saja tiak cukup. Dalam hal ini konselor sangat diperlukan untuk itu. Oleh karena itu ilmu pengetahuan dan keterampilan mengenai bimbingan konseling semakin dibutuhkan oleh setiap guru dan konselor. Melalui layanan bimbingan dan konseling, peserta didik memilki kesempatan lebih besar untuk mencapai kehidupan yang sukses dan bahagia.

PEMBAHASAN

1. Sejarah Bimbingan Konseling
Bimbingan konseling merupakan ilmu yang tergolong baru. Latar belakang yang mendorong lahirnya bimbingan dan konseling adalah perkembangan dan perubahan masyarakat yang terjadi secara evolutif, diikuti dengan perkembangan berbagai lembaga. Perkembangan dan perubahan tersebut antara lain meliputi:
1. Lembaga Keluarga: dari keadaan dan kebutuhan yang sederhana menjadi semakin kompleks
2. Lembaga pendidikan: seseorang menjadi pandai, maju dan beragam sehingga tuntutannya pun semakin beragam.
3. Lembaga pekeerjaan: dari kehidupan agraris berkembang ke industri yang ditandai dengan spesialisasi.
4. Lembaga laiin: pelayanan konsultasi, rekreasi, keagamaan dsb yang semakin berkembang dan beragam.
Gerakan bimbingan lahir pada tanggal 13 Januari 1908 di Amerika, ketika Frank Persons menganjurkan dan mulai mengelola biro jabatan. Pada tahun 1909 setiap sekolah menengah i Boston dimasukkan seorang petugas bimbingan jabatan. Kemudia tahun 1910 sekitar 35 kota melaksanakan dan menganjurkan program formal bimbingan sekolah. Pada tahun 1911 Eli Weaper mendirikan lembaga bimbingan yang diberi nama The New York City Vocational Guidence Survey. Selanjutnya tahun 1912 melalui lembaga tersebut diselenggarkan konfrensi yang kedua bimbingan jabatan di New York. Sedangkan konfrensi yang ketiga diselenggarakan pada tahun 1913. Sejak tahun 1914 proses bimbingan mulai mengarah kepada bimbingan pendidikan dan terus berkembang hingga kini.
Perkembangan tanggal 20 Mei 1908 lahirlah gerakan Budi Utomo yang berusaha memperjuangkan kemajuan bangsa dalam segala lapangan kebudayaan. Sejak saat itu muncul berbagai gerakan yang mulai terorganisir dengan baik. Tahun 1922 lahir Perguruan Nasional Taman Siswa dengan asas
1. Kemerdekaan tiap orang untuk mengatur diri sendiri
2. Membiasakan anak untuk mencari pengetahuan dengan pikirannya sendiri.
3. Berusaha dengan kekuatannya sendiri tanpa tergantung paa bantuan orang lain.
Prinsip didaktik yang dipegang oleh Perguruan Nasional Taman Siswa ini antara lain: kemerdekaan belajar, bekerja dan menggunakan pendekatan konvergensi. Dari pola pendidikan Taman Siswa tersebut telah nampak perhatian dan penghargaan terhadap potensi seseorang dan kemerdakaan untuk mengembangkan potensi. Hal ini merupakan benih dari gerakan bimbingan konseling.
Tahun 1978 diselenggarakan program PGSLP dan PGSLA Bimbingan dan Penyuluhan di IKIP (setingkat D2 atau D3) untuk mengisi jabatan Guru Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah yang sampai saat itu belum ada jatah pengangkatan guru BP dari tamatan S1 Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan. Pengangkatan Guru Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah mulai diadakan sejak adanya PGSLP dan PGSLA Bimbingan dan Penyuluhan. Keberadaan Bimbingan dan Penyuluhan secara legal formal diakui tahun 1989 dengan lahirnya SK Menpan No 026/Menp an/1989 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Di dalam Kepmen tersebut ditetapkan secara resmi adanya kegiatan pelayanan bimbingan dan penyuluhan di sekolah. Akan tetapi pelaksanaan di sekolah masih belum jelas seperti pemikiran awal untuk mendukung misi sekolah dan membantu peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan mereka.Sampai tahun 1993 pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah tidak jelas, parahnya lagi pengguna terutama orang tua murid berpandangan kurang bersahabat dengan BP. Muncul anggapan bahwa anak yang ke BP identik dengan anak yang bermasalah, kalau orang tua murid diundang ke sekolah oleh guru BP dibenak orang tua terpikir bahwa anaknya di sekolah mesti bermasalah atau ada masalah. Hingga lahirnya SK Menpan No. 83/1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya yang di dalamnya termuat aturan tentang Bimbingan dan Konseling di sekolah. Ketentuan pokok dalam SK Menpan itu dijabarkan lebih lanjut melalui SK Mendikbud No 025/1995 sebagai petunjuk pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Di Dalam SK Mendikbud ini istilah Bimbingan dan Penyuluhan diganti menjadi Bimbingan dan Konseling di sekolah dan dilaksanakan oleh Guru Pembimbing. Di sinilah pola pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di sekolah mulai jelas. SK Mendikbud No. 025/1995 sebagai petunjuk pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya terdapat hal-hal yang substansial, khususnya yang menyangkut bimbingan dan konseling adalah : 1. Istilah bimbingan dan penyuluhan secara resmi diganti menjadi bimbingan dan konseling. 2. Pelaksana bimbingan dan konseling di sekolah adalah guru pembimbing, yaitu guru yang secara khusus ditugasi untuk itu. Dengan demikian bimbingan dan konseling tidak dilaksanakan oleh semua guru atau sembarang guru. 3. Guru yang diangkat atau ditugasi untuk melaksanakan kegiatan bimbingan dan konseling adalah mereka yang berkemampuan melaksanakan kegiatan tersebut; minimum mengikuti penataran bimbingan dan konseling selama 180 jam. 4. Kegiatan bimbingan dan konseling dilaksanakan dengan pola yang jelas : a. Pengertian, tujuan, fungsi, prinsip dan asas-asasnya. b. Bidang bimbingan : bimbingan pribadi, sosial, belajar dan karir c. Jenis layanan : layanan orientasi, informasi, penempatan/penyaluran, pembelajaran, konseling perorangan, bimbingan kelompok dan konseling kelompok.d. Kegiatan pendukung : instrumentasi, himpunan data, konferensi kasus, kunjungan rumah dan alih tangan kasus. Unsur-unsur di atas (nomor 4) membentuk apa yang kemudian disebut BK Pola-17 5. Setiap kegiatan bimbingan dan konseling dilaksanakan melalui tahap :a. Perencanaan kegiatanb. Pelaksanaan kegiatanc. Penilaian hasil kegiatand. Analisis hasil penilaiane. Tindak lanjut6. Kegiatan bimbingan dan konseling dilaksanakan di dalam dan di luar jam kerja sekolah. Hal-hal yang substansial di atas diharapkan dapat mengubah kondisi tidak jelas yang sudah lama berlangsung sebelumnya. Langkah konkrit diupayakan seperti :1. Pengangkatan guru pembimbing yang berlatar belakang pendidikan bimbingan dan konseling.2. Penataran guru-guru pembimbing tingkat nasional, regional dan lokal mulai dilaksanakan.3. Penyususnan pedoman kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah, seperti :a. Buku teks bimbingan dan konselingb. Buku panduan pelaksanaan menyeluruh bimbingan dan konseling di sekolahc. Panduan penyusunan program bimbingan dan konselingd. Panduan penilaian hasil layanan bimbingan dan konselinge. Panduan pengelolaan bimbingan dan konseling di sekolah4. Pengembangan instrumen bimbingan dan konseling5. Penyusunan pedoman Musyawarah Guru Pembimbing (MGP) Dengan SK Mendikbud No 025/1995 khususnya yang menyangkut bimbingan dan konseling sekarang menjadi jelas : istilah yang digunakan bimbingan dan konseling, pelaksananya guru pembimbing atau guru yang sudah mengikuti penataran bimbingan dan konseling selama 180 jam, kegiatannya dengan BK Pola-17, pelaksanaan kegiatan melalui tahap perencanaan, pelaksanaan, penilaian, analisis penilaian dan tindak lanjut. Pelaksanaan kegiatan bisa di dalam dan luar jam kerja. Peningkatan profesionalisme guru pembimbing melalui Musyawarah Guru Pembimbing, dan guru pembimbing juga bisa mendapatkan buku teks dan buku panduan.
Pola umum Bimbingan dan Konseling di Sekolah pola 17 yakni Seluruh kegiatan bimbingan dan konseling yang didasari satu pemahaman yang menyeluruh dan terpadu tentang wawasan Dasar Bimbingan dan Konseling yang meliputi pengertian, tujuan, fungsi, prinsip, dan asas-asas BK.
1. Kegiatan Bimbingan dan Konseling secara menyeluruh meliputi empat bidang bimbingan, yaitu bimbingan pribadi, bimbingan belajar, bimbingan sosial dan bimbingan karir.
2. Kegiatan Bimbingan dan Konseling diselenggarakan melalui tujuh jenis layanan, yaitu layanan orientasi, informasi, penempatan/penyaluran, pembelajaran, konseling perorangan, bimbingan kelompok dan konseling kelompok.
3. Untuk mendukung ketujuh jenis layanan itu diselenggarakan lima jenis kegiatan pendukung, Pertama, instrumentasi bimbingan dan konseling, Kedua himpunan data, Ketiga konferensi kasus, Keempat kunjungan rumah, dan Kelima alih tangan kasus.
2. Asas-Asas Bimbingan dan Konseling
Dalam menyelenggarakan layanan Bimbingan dan Konseling di sekolah hendaknya selalu mengacu ada asas-asas Bimbingan dan Konseling dan diterapkan sesuai dengan asas-asas Bimbingan dan Konseling sebagai berikut :
a. Asas Kerahasiaan
Masih banyak orang yang beranggapan bahwa mengalami masalah merupakan suatu aib yang harus ditutup-tutupi sehingga tidak seorang pun (selain diri sendiri) boleh tahu akan adanya masalah itu. Jika bimbingan ini di sekolah dimanfaatkan secara penuh, masyarakat sekolah perlu mengetahui bahwa layanan bimbingan harus menerapkan asas-asa kerahasiaan secara penuh masalah yang dihadapi tidak akan diberitahukan kepada orang lain yang tidak berkepentingan.
b. Asas Kesukarelaan
Para penyelenggara bimbingan hendaknya mampu menghilangkan rasa bahwa tugas ke-BK-annya itu merupakan suatu yang memaksa diri mereka. Lebih disukai lagi apabila para petugas itu merasa terpanggil untuk melaksanakan layanan Bimbingan dan Konseling.
c. Asas Keterbukaan
Klien diharapkan dapat berbicara sejujur mungkin dan terbuka tentang dirinya sendiri. Dengan keterbukaan ini pemecahan masalah serta pengkajian berbagai kekuatan dan kelemahan klien menjadi mungkin. Keterbukaan hanya akan terjadi bila klien tidak lagi mempersoalkan asas kerahasiaan yang semestinya diterapkan oleh konselor.
d. Asas Kekinian
Masalah klien yang langsung ditanggulangi melalui upaya Bimbingan dan Konseling ialah masalah-masalah yang sedang dirasakan kini (sekarang), sehingga masalah yang dihadapi itu teratasi.
e. Asas Kemandirian
Kemandirian merupakan tujuan dan usaha layanan Bimbingan dan Konseling. Para petugas selalu berusaha menghidupkan kemandirian pada diri orang yang dibimbing, jangan hendaknya orang yang dibimbing menjadi bergantung pada orang lain, khususnya para pembimbing.
f. Asas Kegiatan
Para pemberi layanan Bimbingan dan Konseling hendaknya menimbulkan suasana individu yang dibimbing itu mampu menyelenggarakan kegiatan.
g. Asas Keterpaduan
Layanan Bimbingan dan Konseling memadukan berbagai aspek individu yang dibimbing, sebagaimana diketahui individu yang dibimbing itu memiliki berbagai segi, kalau keadaannya tidak saling serasi dan terpadu akan justru menimbulkan masalah dengan memperhatikan keterpaduan isi dan proses layanan yang diberikan, jangan bertentangan dengan aspek layanan yang lain.
h. Asas Kedinamisan
Upaya layanan Bimbingan dan Konseling menghendaki perubahan yang suatu menuju ke suatu pembaruan, sesuatu yang lebih maju.
i. Asas Kenormatifan
Sesuai dengan norma-norma yang berlaku.
j. Asas Keahlian
Usaha layanan Bimbingan dan Konseling secara teratur, sistematik, dan dengan mempergunakan teknik serta alat yang memadai. Keberhasilan usaha Bimbingan dan Konseling akan menaikkan kepercayaan masyarakat pada Bimbingan dan Konseling.
k. Asas Alih Tangan
Apabila petugas Bimbingan dan Konseling sudah mengerahkan segenap kemampuannya untuk membantu klien belum dapat terbantu sebagaimana yang diharapkan, maka petugas itu mengalihtangankan klien tersebut, kepada petugas atau badan lain yang lebih ahli. Di samping itu, asas ini juga menasihatkan petugas Bimbingan dan Konseling hanya menangani masalah-masalah klien sesuai dengan kewenangan petugas yang bersangkutan.
l. Asas Tut Wuri Handayani
Asas ini makin dirasakan manfaatnya, dan bahkan perlu dilengkapi dengan “ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa”. Asas ini menuntut agar layanan Bimbingan dan Konseling tidak hanya dirasakan adanya pada waktu siswa mengalami masalah dan menghadap pembimbing saja, namun diluar hubungan kerja kepembimbingan dan Konseling pun hendaknya dirasakan adanya dan manfaatnya.
3. Fungsi Bimbingan dan Konseling
a. Fungsi Pemahaman
Membantu konseling agar memiliki pemahaman terhadap dirinya (potensinya) dan lingkungannya (pendidikan, pekerjaan, dan norma agama). Berdasarkan pemahaman ini, konseling diharapkan mampu mengembangkan potensi dirinya secara optimal, dan menyesuaikan dirinya dengan lingkungan secara dinamis dan konstruktif.
b. Fungsi Preventif
Konselor memberikan bimbingan kepada konseling tentang cara menghindarkan diri dari perbuatan atau kegiatan yang membahayakan dirinya. Adapun teknik yang dapat digunakan adalah pelayanan orientasi, informasi, dan bimbingan kelompok. Beberapa masalah yang perlu diinformasikan kepada para konseling dalam rangka mencegah terjadinya tingkah laku yang tidak diharapkan, diantaranya : bahayanya minuman keras, merokok, penyalahgunaan obat-obatan, drop out, dan pergaulan bebas (free sex).
c. Fungsi Pengembangan
Konselor senantiasa berupaya untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, yang memfasilitasi perkembangan konseli. Konselor dan personel Sekolah/Madrasah lainnya bekerjasama merencanakan dan melaksanakan program bimbingan secara sistematis dan berkesinambungan. Teknik bimbingan yang dapat digunakan disini adalah pelayanan informasi, tutorial, diskusi kelompok atau curah pendapat (brain storming), home room, dan karyawisata.
d. Fungsi Penyembuhan
Fungsi ini berkaitan erat dengan upaya pemberian bantuan kepada konseling yang telah mengalami masalah, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karir. Teknik yang dapat digunakan adalah konseling, dan remedial teaching.
e. Fungsi Penyaluran
Yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu konseli memilih kegiatan ekstrakurikuler, jurusan atau program studi, dan memantapkan penguasaan karir atau jabatan yang sesuai dengan minat, bakat, keahlian dan ciri-ciri kepribadian lainnya.
f. Fungsi Adaptasi
Kepala Sekolah/Madrasah dan staf, konselor, dan guru untuk menyesuaikan program pendidikan terhadap latar belakang pendidikan, minat, kemampuan, dan kebutuhan konseli. Dengan menggunakan informasi yang memadai mengenai konseli, pembimbing/konselor dapat membantu para guru dalam memperlakukan konseli secara tepat, baik dalam memilih dan menyusun materi Sekolah/Madrasah, memilih metode dan proses pembelajaran, maupun menyusun bahan pelajaran sesuai dengan kemampuan dan kecepatan konseli.
g. Fungsi Penyesuaian
Yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu konseli agar dapat menyesuaikan diri dengan diri dan lingkungannya secara dinamis dan konstruktif.
h. Fungsi Perbaikan
Membantu konseli sehingga dapat memperbaiki kekeliruan dalam berfikir, berperasaan dan bertindak (berkehendak). Konselor melakukan intervensi (memberikan perlakuan) terhadap konseli supaya memiliki pola berfikir yang sehat, rasional dan memiliki perasaan yang tepat sehingga dapat mengantarkan mereka kepada tindakan atau kehendak yang produktif dan normatif.
i. Fungsi Fasilitasi
Memberikan kemudahan kepada konseli dalam mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal, serasi, selaras dan seimbang seluruh aspek dalam diri konseli.
j. Fungsi Pemeliharaan
Fungsi ini memfasilitasi konseli agar terhindar dari kondisi-kondisi yang akan menyebabkan penurunan produktivitas diri. Pelaksanaan fungsi ini diwujudkan melalui program-program yang menarik, rekreatif dan fakultatif (pilihan) sesuai dengan minat konseling.
4. Tujuan Bimbingan dan Konseling
a. Tujuan Umum
Tujuan umum dari layanan Bimbingan dan Konseling adalah sesuai dengan tujuan pendidikan sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Tahun 1989 (UU No. 2/1989), yaitu terwujudnya manusia Indonesia seutuhnya yang cerdas, yang beriman, dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (Depdikbud, 1994 : 5).
b. Tujuan Khusus
Secara khusus layanan Bimbingan dan Konseling bertujuan untuk membantu siswa agar dapat mencapai tujuan-tujuan perkembangan meliputi aspek pribadi, sosial, belajar dan karier.
1. Dalam aspek tugas perkembangan pribadi – sosial layanan Bimbingan dan Konseling membantu siswa agar :
a) Memiliki kesadaran diri, yaitu menggambarkan penampilan dan mengenal kekhususan yang ada pada dirinya.
b) Dapat mengembangkan sikap positif, seperti menggambarkan orang-orang yang mereka senangi.
c) Membuat pilihan secara sehat
d) Mampu menghargai orang lain
e) Memiliki rasa tanggung jawab
f) Mengembangkan ketrampilan hubungan antar pribadi
g) Dapat menyelesaikan konflik
h) Dapat membuat keputusan secara efektif
2. Layanan Bimbingan dan Konseling membantu siswa agar :
a) Dapat melaksanakan ketrampilan atau belajar secara efektif
b) Dapat menetapkan tujuan dan perencanaan pendidikan
c) Mampu belajar secara efektif
d) Memiliki ketrampilan dan kemampuan dalam menghadapi evaluasi/ujian
3. Dalam perkembangan karier, layanan Bimbingan dan Konseling membantu siswa agar :
a) Mampu membentuk identitas karier, mengenali ciri-ciri pekerjaan di dalam lingkungan kerja
b) Mampu merencanakan masa depan
c) Dapat membentuk pola-pola karier, yaitu kecenderungan arah karier
d) Mengenal ketrampilan, kemampuan dan minat diri sendiri.