Minggu, 30 Desember 2012

Amtsal al-Qur’an Dalam Dinamika Perspektif

           Secara etimologi, kata amtsal (perumpamaan) adalah bentuk jamak dari matsal, mitsl dan matsil adalah sama dengan syabah, syibh, dan syabih,baik lafadz maupun maknanya. Sedangkan pengertian amtsal secara terminologi ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama, yaitu:
1.      Pengertian mitslu menurut ulama’ ahli ilmu adab adalah:
وَالْمِثْلُ فِي الْأَدَبِ قَوْلٌ مُحْكِيٌّ سَائِرٌ يُقْصَدُ بِهِ تَشْبِيْهُ حَالِ الَّذِي حُكِىَ فِيْهِ بِحَالِ الَّذِي قِيْلَ لِأَجْلِهِ.
Mitslu dalam ilmu adab adalah ucapan yang disebutkan untuk menggambarkan ungkapan lain yang dimaksudkan untuk menyamakan atau menyerupakan keadaan sesuatu yang diceritakan dengan keadaan sesuatu yang dituju.

Maksudnya dari hal di atas adalah menyerupakan perkara yang disebutkan dengan asal ceritanya. Maka amtsal menurut definisi ini harus ada asal ceritanya. Contohnya pada ucapan orang arab رُبَّ رَمِيَّةٍ مِنْ غَيْرِ رَامٍ  (banyak panahan dengan tanpa ada orang yang memanah). Maksudnya adalah banyak musibah yang terjadi karena salah langkah. Kesamaannya adalah terjadinya sesuatu dengan tanpa ada kesengajaan.
2.      Pengertian mitslu menurut ulama’ ahli ilmu bayan adalah:
الْمَجَازُ الْمُرَكَّبُ الَّذِي تَكُوْنُ عَلَاقَتُهُ الْمُشَابِهَةُ مَتَى فَشَا إِسْتِعْمَالُهُ
Yaitu majas/kiasan yang majemuk yang mana keterkaitan antara yang disamakan dengan asalnya adalah penyerupaan.

Maka bentuk amtsal menurut definisi ini adalah bentuk isti’aarah tamtsiiliyyah, yakni kiasan yang menyerupakan. Seperti
وَمَا الْمَالُ وَالْأَهْلُوْنَ إِلِّا وَدَائِعُ ◊ وَلَا بُدَّ يَوْمًا أَنْ تُرَدَّ الْوَدَائِعُ
Tiadalah harta dan keluarga melainkan bagaikan titipan; pada suatu hari titipan itu pasti akan dikembalikan.
Dalam syair tersebut, tampak jelas penyair menyerupakan harta dan keluarga dengan benda titipan yang dititipkan oleh seseorang kepada kita, yang sama-sama bisa diambil sewaktu-waktu oleh orang yang menitipkannya.
3.      Sebagian ulama’ ada juga yang menyatakan pengertian mitslu adalah:
إِنَّهُ إِبْرَازُ الْمَعْنَى فِي صُوْرَةٍ حِسِّيَةٍ تَكْسِبُهُ رَوْعَةً وَ جَمَالًا
Mengungkapkan suatu makna yang abstrak dalam bentuk sesuatu yang konkret yang elok dan indah.

Contohnya seperti ungkapan الْعِلْمُ نُوْرٌ  (ilmu itu seperti cahaya). Dalam hal ini adalah menyamakan ilmu yang bersifat abstrak dengan cahaya yang konkret, yang bisa diindera oleh penglihatan. Amtsal menurut definisi ini tidak disyaratkan adanya asal cerita juga tidak harus adanya majaz murakkab.
Melihat dari pengertian-pengertian mitslu di atas, maka amtsal al-Qur’an setidaknya berupa penyamaaan keadaan suatu hal dengan keadaan hal yang lain. Penyerupaan tersebut baik dengan cara isti’arah (menyamakan tanpa menggunakan adat tasybih), tasybih sharih (menyamakan yang jelas dengan adanya adat tasybih), ayat-ayat yang menunjukkan makna yang indah dan singkat, atau ayat-ayat yang digunakan untuk menyamakan dengan hal lain. Karena itulah, kesimpulan akhir dalam mendefinisikan amtsal al-Qur’an adalah:
إبْرَازُ الْمَعْنَى فِي صُوْرَةٍ رَائِعَةٍ مُوْجِزَةٍ لَهَا وَقَعُهَا فِي الْنَّفْسِ سَوَاءٌ كَانَتْ تَشْبِيْهًا أَوْ قَوْلًا مُرْسَلً
Menampakkan pengertian yang abstrak dalam bentuk yang indah dan singkat yang mengena dalam jiwa baik dalam bentuk tasybih maupun majaz mursal (ungkapan bebas). Definisi inilah yang relevan dengan yang terdapat dalam al-Qur’an, karena mencakup semua macam amtsal al-Qur’an.

Dari beberapa pengertian di atas amtsal dalam Qur’an yaitu, menonjolkan makna dalam bentuk (perkataan) yang menarik dan dapat di pahami secara akal serta mempunyai pengaruh mendalam terhadap jiwa.

Sabtu, 08 Desember 2012

Titik Temu Antara Pemikiran dan Peradaban Islam dan Barat Merajut Pendidikan Islam Rahmatan Lil Alamin



Sebagaimana kita maklumi bersama, Barat dan Islam merupakan dua peradaban besar dan penting yang eksis di muka bumi saat ini, dengan memiliki karakter dan ciri khas tersendiri. Dalam perspektif sejarah, dua peradaban ini telah melakukan interaksi yang panjang dalam situasi pahit dan manis selama sekian abad. Hubungan keduanya banyak diwarnai oleh proses saling belajar, saling memberi, dan saling menerima, di samping itu antara keduanya juga pernah terjadi ketidak harmonisan, konflik, dan benturan.
Dalam konteks tersebut di atas, untuk menata masa depan dunia yang damai, adil dan makmur, maka sudah seyogianya jika Barat dan Islam belajar dari sejarah masa lalu yang panjang, mengevaluasi kondisi maupun konflik masa lalu, sehingga kita bersama mampu mengambil hikmah yang positif dalam rangka membangun masa depan untuk kemanusiaan yang lebih gemilang. Untuk itu dituntut adanya sikap saling menerima dan menghargai perbedaan masing-masing.
Barat yang kini mendominasi kepemimpinan dunia, sudah selayaknya memberikan keteladanan yang tinggi bagi peradaban-peradaban lain, dalam misi bersama mewujudkan kehidupan umat manusia yang damai, adil dan makmur. Sebaliknya, dunia Islam juga harus mampu dan mau belajar dari berbagai aspek positif peradaban Barat, tanpa meninggalkan nilai-nilai asasi dalam Islam. Malahan jika Barat secara jujur mengakui sumbangan besar dunia. Islam terhadap peradaban Barat di masa lalu, niscaya sikap saling pengertian dan saling menghargai antar-peradaban akan lebih mudah dibangun (Muhammad M. Basyuni: 2010).
Untuk mengatasi konflik tersebut, perlu adanya saling pengertian dan sikap toleransi yang harus diinternalisasikan pada masing-masing pihak. Dialog budaya antara Islam dan Barat menjadi peredam bagi benturan antarbudaya. Jika hal itu terabaikan, masa depan dunia bisa dipastikan akan semakin suram dan hanya akan mempercepat masa “kiamat”. Perdamaian harus menjadi harga mati yang tidak boleh ditawar lagi.
Dalam kitab suci Al Quran yang menjadi pedoman hidup umat Islam di seluruh dunia, Allah SWT menegaskan, sekiranya Allah menghendaki seluruh manusia bisa dijadikan satu umat saja, tetapi Allah ingin menguji manusia dengan segala pemberianNya, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan (QS Al-Maidah [5]: 48). Allah menjadikan umat manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling mengenal satu sama lain (QS Al Hujurat [49]: 12)
Di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di dunia ini, perlunya mengimplementasikan kembali bahwa kemajemukan merupakan kenyataan yang tidak dapat ditolak. Saling menghormati perbedaan baik itu diranah bangsa, agama, suku, ras, dan budaya adalah langkah kongkrit yang patut dijadikan sebuah pandangan hidup, cita-cita, dan sebagai dasar pijak dalam mengarungi bahtera kehidupan di dunia.
Manivestasi pendidikan agama Islam yang dinamis, salah satunya berpijak pada penyebaran kasih sayang. Berawal dari kasih sayang, umat Islam diharapkan lebih erat dalam merajut hubungan interaksi dan berdialog antar sesama manusia tanpa memandang perbedaan bangsa, ras, suku dan agama. Pendidikan Agama Islam sudah menjadi semestinya untuk mampu mengerakan dan digerakan oleh pemeluknya. Lebih dari itu pendidikan agama Islam, perlu memberi ruang dialog dengan tradisi dan budaya, serta mampu merespon tantangan lokal dan global. Demi menjaga bergairahnya pendidikan agama Islam ditengah-tengah umat manusia, maka pemaknaan dan penafsiran teks-teks suci keagamaan menjadi sesuatu yang mesti terus berlangsung dan tidak boleh mandeg. Terlebih, adanya fenomena klaim kebenaran yang selalu muncul dalam wilayah heterogenitas, semestinya terus terbungkus dalam satu kerangka yang sama yaitu menegakan kedamaian, kenyamanan dan keharmonisan antar sesama mahluk. Bukan pula memperuncing perbedaan. Langkah ini sangat urgen digalakan oleh semua pihak, agar tidak menimbulkan saling curiga dan mencurigai.

Minggu, 18 November 2012

Pendidikan dan Sikap Kelompok



Dalam banyak kasus, hubungan kekuasaan antar berbagai kelompok masyarakat banyak dipengaruhi oleh kesempatan belajar dan intensitas respons mereka terhadap pendidikan Barat. Ketika Indonesia baru merdeka, partai-partai politik dan lembaga-lembaga kenegaraan banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh sekuler berpendidikan Barat yang tergabung dalam organisasi-organisasi nasionalis, seperti Boedi Oetomo dan Partai Nasionalis Indonesia (PNI).
Kelompok masyarakat yang merasa tertekan dan menjadi korban imperialisme budaya cendrung menginginkan sistem pendidikan terpisah, dalam rangka melindungi identitas kelompok mereka. Inilah yang terjadi pada sistem pendidikan Islam tradisional di Indonesia, khususnya pesantren. Di bawah tekanan kelompok-kelompok bahasa dan agama minoritas, beberapa pemerintah memenuhi tuntutan mereka, sementara yang lainnya memaksakan penyeragaman sistem pendidikan, dengan harapan dapat mengeliminasi bahaya laten perpecahan sosial. Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memberi peluang keberbagai kelompok etnis dan keagamaan untuk mengembangkan pendidikan tersendiri sehingga lahirlah sekolah Arab, Sekolah Cina, Sekolah Kristen, Sekolah Islam, Sekolah Budha, dan Sekolah Hindu.
Bertahan atau tidaknya sistem pendidikan tunggal dalam masyarakat pluralis umumnya tergantung pada dua hal, yakni sistem tersebut memberi kesempatan yang sama (equality of opportunity) pada semua kelompok masyarakat, dan generasi muda mengalami bahwa belajar bersama dapat mencairkan perbedaan-perbedaan sosial mereka (Abernethy dan Coombe, 1965: 290). Di negara-negara berkembang, banyak pemimpin yang berasal dari sekolah yang sama. Meskipun mereka berbeda dalam hal asal daerah, agama, dan suku. Akbar Tanjung yang berasal dari Sibolga, misalnya, ternyata berasal dari SMP yang sama dengan Megawati yang dibesarkan di Jakarta, yaitu SMP Cikini.
Hal ini tidak mungkin terjadi jika tidak ada equality of opportunity dalam sistem pendidikan nasional. Kesempatan yang sama telah memungkinkan anak-anak negeri yang memiliki latar belakang sosial budaya berbeda-beda untuk belajar bersama dan mencairkan perbedaan-perbedaan sosial dan ekonomi di antara mereka.

Minggu, 11 November 2012

MEMANUSIAKAN MANUSIA MELALUI USER EDUCATION



Manusia diciptakan sebagai makhluk paling mulia dan terbaik di antara makhluk ciptaan Tuhan lainnya karena dibekali berbagai macam potensi yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Maka dari itulah Tuhan membekali manusia dengan segenap potensi yang ada dalam dirinya. Potensi itu meliputi: potensi jasmani (fisik), ruhani (spiritual), dan akal (mind). Ketiga potensi ini akan memberikan kemampuan kepada manusia untuk menentukan dan memilih jalan hidupnya sendiri dengan  memanfaatkan potensi yang melekat dalam dirinya.
Perubahan sosial yang berlangsung sedemikian cepat sangat berdampak terhadap masyarakat, khususnya mahasiswa baru. Mahasiswa baru adalah sosok manusia yang mempunyai impian besar tentang masa depan, dan menyerahkan sepenuhnya jalan untuk mencapai tujuan itu kepada perguruan tinggi yang menaunginya. Kondisi tersebut tentu saja memicu pengelola perguruan tinggi untuk mencari cara terbaik untuk membantu mewujudkan impian tersebut. Sebab bagaimana pun mahasiswa baru ada sosok manusia yang sedang mengalami masa transisi psikologis, intelektual, dan sosial. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang memanusiakan manusia. Sistem pendidikan yang baik adalah membuat mereka yang sedang menjalani pendidikan bisa mengembangkan diri secara bebas dan sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Sehingga pendidikan tersebut nantinya bisa menjadi sebuah tonggak pengembangan diri dan karakter dari tiap-tiap individu.
Oleh karena itu dalam rangka mendukung kegiatan pendidikan, perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta kembali membuka program  USER EDUCATION  terhitung sejak 3-31 Oktober 2012 program ini di khuskan bagi mahasiswa-mahasiswi baru angkatan tahun 2012 yang berjumlah kurang lebih 7.000 mahasiswa dan mahasiwi yang terdiri dari berbagai jurusan dan fakultas, yaitu Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Sains dan Teknologi, Tarbiyah dan Keguruan, Syariah dan Hukum, Sosial dan Humaniora, Adab dan Budaya, Dakwah dan Ushuludin. Dalam proses USER EDUCATION ini di bagi persesi dan perkelompok berdasarkan kelas dan jurusan mahasiswa atau mahasiswi yang bersangkutan dengan didampingi oleh pustakawan yang kompeten dan berpengalaman sehingga program ini dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Adapun agenda USER EDUCATION  ini diantaranya di isi dengan program bimbingan kelompok dan individu, ceramah, seminar yang diselingi dengan menyaksikan film dan video trik dan tips menggunakan fasilitas-fasilitas di perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, wisata perpustakaan dan Latihan atau Praktek sebagai afirmasi terhadap materi yang telah di sampaikan.
Perpustakaan sebagai “jantung” ilmu pengetahaun di suatu lembaga pendidikan, mempunyai tugas penyediaan, pengelolaan, dan pelayanan informasi. Perkembangan pengetahuan yang semakin cepat tersebut seiring dengan masuknya teknologi dan informasi ke perpustakaan. paka dari hal tersebut Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta telah meningkatkan ketersediaan sumber-sumber informasi elektronik dan menggunakan aplikasi perpustakaan digital terbaru yang dinamakan E-Print. Disamping itu, perpustakaan UIN Sunan Kalijaga juga telah menyediakan layanan transaksi peminjaman dan pengembalian koleksi secara mandiri berbasis teknologi glombang radio yang dikenal dengan teknologi RFID (Radio Frequency Identification). Sesuai dengan sifat terbuka dalam dunia maya, pemustaka tidak hanya terbatas pada sivitas akademika UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tetapi masyarakat umum juga dapat mengakses sumberdaya yang dimiliki Perpustakaan UIN baik tercetak maupun digital melalui internet dengan alamat http://lib.uin-suka.ac.id sehingga sumber-sumber informasi dapat di akses dimana saja dan kapan saja.
Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta juga telah menggunakan sistem klasifikasi DDC (Dewey Decimal Classification) dan koleksi Islam menggunakan sistem klasifikasi DDC  versi Islam, kode koleksi serta peta penempatan koleksi. Fasilitas perpustakaan yang dapat digunakan serta dinikmati yaitu pintu masuk dan pintu keluar elektronik (Gateway), peminjaman kunci loker dengan menggunakan sistem elektronik (Dealkey), fasilitas pengembalian koleksi mandiri yang diletakkan di luar gedung perpustakaan (Bookdrop), fasilitas untuk peminjaman dan pengembalian koleksi secara mandiri (MPS (Multi Purpose Station) dan MPK (Multi Purpose klosk)), Carrel Room, Theatrikal Room, Hotspot Area, Mushola dan Fotokopi.
Program  USER EDUCATION di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta rutin dilaksanakan bertujuan untuk membantu pemakai perpustakaan dalam meningkatkan keterampilan pemakai dan menemukan informasi yang diinginkan secara cepat dan tepat. Dengan adanya Program  USER EDUCATION perpustakaan, diharapkan akan menjadi bekal dalam memanfaatkan sarana perpustakaan. Pengetahuan dan keterampilannya ini akan menjadi pengetahuan dasar, mereka dapat dengan mudah mencari informasi yang dibutuhkan ke perpustakaan manapun.

Minggu, 04 November 2012

HUBUNGAN POLITIK DAN PENDIDIKAN

      Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik disetiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Keduanya sering dilihat sebagai bagian-bagian yang terpisah, yang satu sama lain tidak memiliki hubungan apa-apa. Padahal keduanya bahu-membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat di suatu negara. Lebih dari itu, kedunaya satu sama lain saling menunjang dan saling mengisi. Lembaga-lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik masyarakat di negara tersebut. Begitu juga sebaliknya, lembaga-lembaga dan proses politik di sautu negara membawa dampak besar pada karakteristik pendidikan, dinegara tersebut. Ada hubungan erat dan dinamis antara pendidikan dan politik di setiap negara. Hubungan tersebut adalah realitas empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan peradaban manusia dan menjadi perhatian para ilmuan.
Di dunia Islam,keterkaitan antara pendidikan dan politik terlihat jelas. Sejarah peradaban Islam banyak ditandai oleh kesungguhan para ulama dan umara dalam memperhatikan persoalan pendidikan dalam memperkuat posisi sosial politik kelompok dan pengikutnya. Dalam analisis tentang pendidikan pada masa Islam klasik, Rasyid (1994) menyimpukan bahwa dalam sejarah perkembangan Islam, institusi politik ikut mewarnai corak pendidikan yang dikembangkan. Keterlibatan para penguasa dalam kegiatan pendidikan pada waktu itu, menurut Rasyid, tidak hanya sebatas dukungan moral kepada para peserta didik, melainkan juga dalam bidang administrasi, keungan, dan kurikulum (1994: 3). Dia menulis sebagai berikut. Tidak dapat dipungkiri bahwa lembaga pendidikan merupakan salah satu konstalasi politik. Peranan yang dimainkan oleh masjid-masjid dan madrasah-madrasah dalam mengokohkan kekuasaan politik para penguasa dapat dilihat dalam sejarah. Di lain pihak, ketergantungan pada aluran tangan para penguasa secara ekonomis, membuat lembaga-lembaga tersebut harus sejalan dengan nuansa politik yang berlaku (Rasyid, 1994: 6)
Diantara pendidikan Islam yang menjadi corong pesan-pesan politik, menurut Rasyid (1994: 6), adalah madrasah Nizhamiyah di Baghdad. Dia menyimpulkan dari analisis terhadap kasus madrasah Nizhamiyah sebagai berikut. Kedudukan politik dalam Islam sama pentingnya dalam pendidikan. Tanpa otoritas politik, syariat Islam sulit bahkan mustahil untuk ditegakkan. Kekuasaan adalah sarana untuk mempertahankan syariat Islam. Pendidikan bergerak dalam usaha menyadarkan umat untuk menjalankan syariat. Umat tidak akan mengerti syariat tanpa pendidikan. Bila politik (kekuasaan) berusaha mengayomi dari atas, maka pendidikan melakukan pembenahan lewat arus bawah (Rasyid, 1994: 15)
Pendidikan Islam, secara sederhana dapat diartikan sebagai “proses pembimbingan, pembelajaran dan atau pelatihan terhadap manusia (anak generasi muda) agar nantinya menjadi orang Islam, yang berkehidupan serta mampu melaksanakan peranan dan tugas-tugas hidup sebagai “muslim”, yang jika di Indonesiakan menjadi orang muslim atau orang Islam”.
Kutipan diatas menegaskan bahwa hubungan antara politik dan pendidikan di dalam Islam tampak demikian erat. Perkembangan kegiatan pendidikan-pendidikan banyak dipengaru oleh para penguasa dan para penguasa memberikan dukungan institusi-institusi pendidikan untuk membenarkan dan mempertahankan kekuasaan mereka. Hal ini dapat dipahami, karena tujuan pemerintah Islam, menurut Abdul Gaffar Aziz (1993: 95), adalah “menegakan kebenaran dan keadilan. Tujuan itu tidak mungkin tercapai kecuali dengan melaksanakan syariat. Syariat tidak akan berjalan bila umat tidak memahami ajaran Islam”.Islam merupakan ajar an yang Rabbani, datang dari Allah SWT. Islam bukanlah ajaran produk pikiran manusia dan bukan produk lingkungan atau masa tertentu, melainkan petunjuk yang diberikan kepada manusia sebagai karunia dan rahmat (kasih sayang) dari Allah SWT. Penyebutan ketiga sumber hukum yaitu Alquran, Sunnah dan Ijtihad secara berurutan menunjukkan tingkat kedudukan dan jenjang pengaplikasiannya, yakni apabila ditemukan suatu masalah yang memerlukan pemecahan, maka pertama cari dalam Alqur’an; jika tidak ditemukan dalam Alqur’an maka cari dalam As-sunah dan terakhir jika tidak ada maka dicari dengan ijtihad, baik melalui musyawarah untuk mendapatkan ijma (kesepakatan umum) maupun melalui Qiyas (penganalogian).
Selain karena faktor religius bahwa agama Islam sangat menunjang aktivitas kependidikan, perhatian besar para pemimpin Islam terhadap masalah pendidikan didorong oleh besarnya peran lembaga pendidikan-pendidikan dalam penyampaian misi-misi politik. Pendidikan sering dijadikan media dan wadah untuk menanamkan idiologi negara atau tulang yang menopang kerangka politik. Sjalabi mencatat bahwa Khalifah al-Makmun memolitisasi majelis munazharah di istananya dalam rangka menyebarkan paham mu’tazilah yang merupakan mazhab resmi negara waktu itu. Puncak dari tindakan al-Makmum, menurut Sjalabi, adalah peristiwa inquisisi, yaitu penyelidikan atau interogasi (almihna) terhadap para ulama dan pejabat penting. Kepada mereka ditanyakan apakah Alquran itu kadim atau hadis (dikutip dalam Rasyid, 1994:16). Melalui inquisisi para ulama, pilar penopang lembaga pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan secara tidak langsung dipaksa paham Mu’tazilah, idiologi resmi penguasa.
Pendidikan Islam tidak hanya berjasa menghasilkan para pejuang yang militan dalam memperluas peta politik, tetapi juga para ulama yang berhasil membangun masyarakat yang sadar hukum. Seiring dengan perluasan peta politik dan pertambahan pemeluk Islam, juga terjadi perkembangan lembaga (institusi) pendidikan dalam jumlah maupun varietasnya. Didalam sejarah Islam tercatat bahwa pusat pendidikan Islam yang pertama kali muncul adalah rumah Arqam ib Abi Arqam, yakni ketika nabi masih berada di Makkah (Rasyid, 1994: 24). Selanjutnya pada masa Bani Umayah, lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut sudah lebih variatif dengan lahirnya Kuttab dan dijadikan rumah-rumah pembesar kerajaan sebagai tempat belajar.
Para penguasa Islam, Rasyid (1994:33) menyimpulkan, senantiasa terlibat langsung dalam persoalan pendidikan. Menurutnya ada dua alasan utama mengapa para penguasa Muslim sangat peduli dengan pendidikan. Pertama, karena Islam adalah agama totaliter jam’I, mencakup semua aspek kehidupan seseorang Muslim mulai dari makan dan minum, tata cara berumah tangga, urusan sosial kemasyarakatan, sampai kepada ibadat semuanya diatur oleh syariat. Untuk bagaimana mengetahui bagaimana hidup yang Islami, seorang Muslim mesti terlibat dengan kegiatan pendidikan. Kedua, karena motivasi politik, sebab didalam Islam antara politik dan agama sulit untuk dipisahkan. Para penguasa muslim sering menjadikan sebagai alat untuk menanamkan paham-paham keagamaan. Inilah yang dilakukan Dinasti Buwaih, Fatimiyah, dan Khalifah al-Maknun. Dengan kekuasaan mereka menanamkan idiologi negara dengan tujuan lahirnya kesamaan ide antara penguasa dan masyarakat umum sehingga memudahkan pengaturan masalah-masalah kenegaraan.
Dinegara-negara Barat, kajian hubungan antara pendidikan dan politik dimulai oleh plato dalam bukunya Republic. Walaupun utamanya membahas berbagai persoalan kenegaraan, buku tersebut juga membahas hubungan antara idiologi dan institusi negara dengan tujuan dan metode pendidikan. Berikut ini adalah kesan mendalam Allan Bloom (1987:380) tentang Republic:
For me [Republic is]the book on education, because it really enplains to me what I experience as a man and a teacher, and I have almost always used it to point out what we should not hope for, as a teaching of moderation and resignation.
Plato mendemonstrasikan dalam buku tersebut bahwa dalam budaya Helenik, sekolah adalah salah satu aspek kehidupan yang terkait dengan lembaga-lembaga politik. Ia menjelaskan bahwa setiap budaya mempertahankan kontrol atas pendidikan di tengah kelompok-kelompok elit yang secara terus menerus menguasai kekuasaan politik, ekonomi, agama, dan pendidikan. Plato menggambarkan adanya hubungan dinamis antara aktivitas kependidikan dan aktivitas politik. Keduanya seakan dua sisi dari satu koin, tidak mungkin terpisahkan. Walaupun sangat umum dan singkat, analisis Plato tersebut telah meletakkan fundamental bagi kajian hubungan politik dan pendidikan dikalangan generasi ilmuan generasi berikutnya.
Dalam ungkapan Abernethy dan Coombe (1965: 287), educational and politics are inextricably linked (pendidikan dan politik terkait tanpa bisa dipisahkan). Menurut mereka (1965:289), hubungan timbal balik antara pendidikan dan politik dapat terjadi melalui tiga aspek, yaitu sikap pembentukan sikap kelompok (group attitudes), masalah pengangguran (unemployment), dan peranan politik kaum cendekia (the political role of the intelligentsia). Kesempatan dan prestasi pendidikan pada suatu kelompok masyarakat, menurut mereka, dapat memengaruhi akses kelompok tersebut dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi. Perbedaan signifikan antarberbagai kelomp[ok masyarakat yang disebabkan oleh perbedaan pendidikan dapat dilihat pada distribusi kekuasaan politik dan ekonomi dan kesempatan kerja, khususnya pada sektor pelayanan publik. Dinegara-negara pascakolonial, kelompok masyarakat yang dapat priviles pendidikan lebih mampu melakukan konsolidasi kekuatan, lalu muncul menjadi kelompok penguasa yang menguasai partai-partai politik dan sektor pelayanan publik. Previlese atau diskriminasi pendidikan bisa terjadi karena alasan-alasan budaya atau agama.
Diskriminasi seperti ini sangat nyata dalam kebijakan pendidikan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia. Penulis mencatat beberapa karakteristik kebijakan pemerintah kolonial Belanda: kolonialistik, intelektualistik, heterogen, diskriminatif, dan self-serving, diarahkan semata-mata untuk kepentingan kolonialisme. Kebijakan tersebut berdampak pada kehidupan masyarakat pada waktu itu, yaitu (1) menimbulkan konflik keagamaan antara kelompok Muslim dan kelompok non-Muslim; (2) menciptakan divisi sosial dan kesenjangan budaya antara kelompok minoritas angkatan muda Indonesia yang berasal dari kelas menengah keatas dan kelompok angkatan muda Indonesia yang berasal dari keluarga biasa; (3) menciptakan polarisasi sosial tanpa memedulikan kemampuan kerja mereka; dan (4) menghambat perkembangan kaum pribumi (Sirozi, 1998: 17-29). Pada masa awal kemerdekaan, kaum nasionalis dapat menguasai birokrasi dan sektor-sektor strategis.