Selasa, 10 Januari 2012

MANUSIA DAN CINTA KASIH II

“Hidup tanpa cinta itu kosong”. Cinta amat penting dalam kehidupan manusia. Belumlah sempurna hidup seseorang itu jika di dalam hidupnya tidak pernah di hampiri atau di hinggapi perasaan cinta. Karena hidup manusia di dunia ini tidak hanya seorang diri, melainkan selalu melibatkan pihak lain, maka dengan istilah cinta tersebut haruslah di artikan baik “mencintai” maupun “dicintai” pihak lain yang dimaksud di sini bukan hanya orang lain, melainkan juga benda-benda atau makhluk lain.
Karena Cinta itulah kehidupan ini ada. Bukanlah manusia itu berbuat atau melakukan sesuatu karena dorongan perasaan cinta tersebut? Bukan hanya manusia, bahkan binatang-binatang pun sesungguhnya berbuat sesuatu karena dorongan perasaan cinta. Hanya bedanya, manusia berbuat karena kesadaran, sedangkan binatang berbua karena nalurinya. Pada hakikatnya cintalah yang terdapat pada asal mula dari hidup, sekurang-kurangnya rasa cinta akan diri sendiri; demikinalkah yang pernah dikatakan oleh Prof. Dr. Louis Leahy SJ (Louis Leahy: 1984).
Dalam diri setiap manusia terdapat dua sumber kekuatan yang menggerakkan manusia untuk berbuat atau bertingkah laku; termasuk untuk mencintai dan di cintai, tentunya. Dua sumber kekuatan yang di maksudkan tadi adalah akal dan budi di satu pihak dan pihak lain adalah nafsu. Jadi perasaan cinta pun dapat di pengaruhi dua sumber. Yaitu perasaan cinta yang di gerakkan oleh akal budi, dan perasaan cinta yang digerakkan oleh nafsu. Yang pertama cinta tanpa pamrih atau cinta sejati. Dan kedua disebut cinta nafsu atau cinta pamrih. Oleh Prof. Dr. Louis Leahy SJ, cinta tanpa pamrih di sebut: cinta kebaikan hati; sedangkan cinta nafsu atau cintai berpamrih di sebut cinta utilitaris atau yang bermanfaat, artinya yang mengindahkan kepentingan diri sendiri. Biasa di sebut orang dengan istilah cinta karena ada udang di balik batu.
Sesuai dengan tugas manusia sebagai pengemban nilai moral, seharusnya manusia harus selalu berusaha agar perasaan cinta yang tumbuh dalam hati tidak jatuh kelembah cinta yang tidak sesuai dengan kemanusiaan. Jangan sampai cinta yang seharusnya tanpa pamrih jatuh kelembah cinta nafsu, apalagi sampai tak bermoral dan cinta nafsu sampai kelewat batas, jelas harus kita hindari. Perasaan antar sesama, hendaknya perasaan cinta yang berangkat dari dasar rasa “tepa selira”. Dengan cara menempatkan diri kita pada diri orang lain. Dengan demikian kita akan merasa satu dengan orang yang kita cintai. Namun kesatuan yang terjadi bukanlah kesatuan yang “simbolik”. Bukan kesatuan yang saling bergantung dan saling menggantungkan. Juga bukan kesatuan yang bersifat “kepatuhan” kesatuan dalam cinta yang kita tumbuhkan haruslah yang tetap menjamin kepribadian dan individualitas masing-masing.
Dalam cinta kasih atau cinta sejati tidak ada kehindak untuk memiliki, apalagi menguasai. Yang ada hanyalah rasa solidaritas, rasa senasib dan sepenanggungan dengan yang kita cintai dan tumbuh secara wajar serta bersifat sukarela. Cinta kisah sejati sedikitpun tidak ada hubungannya dengan kenikmatan atua keinginan (Mry Lutyens, 1969). Menurut Moh. Said cinta kasih atau cinta asejati tidak menimbulkan kewajiban, melainkan tanggung jawab. (Moh. Said Reksohadiprodjo, 1976)
Cinta kasih atau cinta sejati adalah rasa cinta yang tulus dan tidak memerlukan atau menuntut balas. Ia lebih banyak memberi dari pada menerima. Hal ini sesuai dengan nyanyian seperti:
Kasih Ibu kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi
Tak harap kembali
Bagai sang surya menyinari dunia.
Atau seperti yang dikatakan oleh penyair Khalil Gibran
Cinta tak memberikan apa-apa, kecuali
Keseluruhan dirinya, utuh penuh
Pun tak mengambil apa-apa kecuali
Dari dirinya sendiri
Cinta tak memiliki ataupun dimiliki
Karena cinta telah cukup untuk cinta
Demikinlah wujud cinta terhadap sesama manusia yang harus kita tumbuhkan dalam hati nurani. Cinta kasih atau cinta sejati adalah cinta kemanusiaan; yang tumbuh dan berkembang dalam lubuk sanubari setiap manusia bukan karena dorongan sesuatu kepentingan; melainkan atas dasar kesadaran bahwa pada hakikatnya kemanusiaan itu satu.
Maka cinta kasih itu akan meliputi seluruh dunia, tanpa melihat suku bangsa, warna kulit, agama dsb. Dan tidak mengenal batas waktu. Cinta kasih bersifat abadi, karena ia tidak bergantung kepada sesuatu yang ada dan melekat pada sesuatu yang dicintai. Cinta kasih “keberadaannya” bukan di sebabkan oleh unsur-unsur yang bersifat eksternal, yang ada di luar diri kita, me;lainkan justru oleh unsur-unsur yang bersifat internal, yang bersemayam dan berkembang di dalam diri kita masing-masing.
Cinta kasih tidak mengenal iri, cemburu, persaingan dan sebangsanya. Yang ada hayalah perasaan yang sama dengan persaan yang ada pada orang yang di cintai, mengapa? Karena dirinya adalah diri kita. Dukanya adalah duka kita, gembiranya adalah gembira kita. Bagi cinta kasih pengorbanan adalah suatu kebahagiaan. Sebaliknya ketidak mampuan membahagiakan atau paling tidak meringankan beban yang di cintai atau di kasihi adalah suatu pederitaan.