Minggu, 04 Maret 2012

KERJA DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Kerja merupakan kodrat hidup manusia sekaligus cara memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Kerja juga menjadi jalan utama mendekatkan diri kepada Tuhan. Kedudukannya dalam Islam amat tinggi, yakni menempati peringkat kedua setelah iman. Kerja juga dapat menghapus dosa. Jadi jika setiap kerja yang mendapat ridha Allah, mestinya diposisikan sebagai ibadah dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kaakteristik sikap hidup mulia dan muslimah. Islam memandang amat tinggi terhadap usaha dan kerja yang halal dalam rangka memperoleh rizki atau harta yang digunakan untuk amal kebaikan. Menurut Isa Abduh, al-Fanjary dan Rauf Syalabiy, bahwa Islam betul-betul agama amal yang menetapkan para pemeluknya harus beretos kerja tinggi. Bani Sadr mengatakan bahwa hubungan Al-Khaliq (pencipta) dengan makhluk (ciptaan-nya) adalah berdasarkan atas kerja. Demikian juga dalam hubungan antara manusia dengan alam.
Manusia diperintahkan untuk merenovasi nasib dan prospeknya dengan jalan bekerja dan berusaha dan menilainya sebagai salah satu macam ibadah yang berpahala di hadirat Allah itu tidak menentukan macam kerja dan usaha yang dinyatakan lebih utama dari yang lain. Usaha dan kerja apa saja selagi halal adalah baik dan terhormat. Islam telah memberikan pedoman umum tentang kerja yang menjadi dasar moralitas mereka yang bekerja. Islam tidak melarang pengikut-pengikut untuk bekerja mencari rizki yang sebanyak-banyaknya, tetapi Islam memberikan kepada mereka suatu garis pemisah yang tidak boleh dilanggar. Garis pemisah antara yang diperbolehkan dengan yang tidak diperbolehkan dilanggar. Garis pemisah antara yang diperbolehkan dengan yang tidak diperbolehkan didasarkan atas dua prinsip, yaitu halal dan kemaslahatan umum (Muhammad Yusuf Qardhawi, hal. 196).
Berpijak pada kewajiban kerja tersebut, maka kerja menjadi sangat esensial bagi kehidupan manusia di muka bumi. Jati diri manusia sebagai khalifah fil-ardhi akan memperoleh makna, bukan sekedar legitimasi formal, apabila ia mau berkreasi, mengingat cara inilah yang dipandang terhormat dalam rangka manusia memenuhi kebutuhan hidupnya secara pribadi dan secara komunal “memanusiakan manusia”. Dengan sendirinya Islam tidak memberikan penilaian positif terhadap perilaku manusia yang enggan bekerja, malas berkreasi dan jumud, tidak inovasi, tidak trampil, termasuk manusai yang sukanya mengeksploitasi orang lain. Perilaku eksploitasi ini secara sistemik ataukah tidak cendrung pada peraktek dehumanisasi secara total, setidak-tidaknya mengalami kehilangan harga diri selaku manusia.
Dengan kata lain,menunjukkan bahwa bekerja merupakan basis nilai hidup. Kualitas dan kuantitas moral dan ibadah manusia ikut ditentukan oleh modus operandi pekerjaannya, cara dan akibat yang ditimbulkannya. Makin banyak dan diversifiktif pekerjaan yang di gelutinya, maka akan banyak muncul penilaian, penghargaan, dan dampak dilahirkannya. Dengan bekerja dan berusaha, manusia akan memperoleh nilai dalam kehidupannya. Demikaian ini berarti bahwa apa yang diaktifitaskannya sepanjang hidup merupakan manifestasi eksistensi kemanusiaannya.
Wujud penghargaan yang wajib diberikan kepada pekerja sesuai dengan tuntunan Islam adalah berupa upah dari majikan (perusahaan) setelah menjalankan aktivitas kerjanya, sedangkan perusahaan menerima upah dari majikan (perusahaan) setelah menjalankan aktifits kerjanya, sedangkan perusahaan menerima kualitas sumber daya kerjanya dari pekerja demi kelancaran dan kualitas produktivitas serta peningkatan usaha-usahanya. Pekerja hadir dalam komunitas perusahaan untuk ikut “memperkaya”, meningratkan, atau meng-elit-sosial-ekonomi-kan majikan, sedangkan majikan dituntut kompetensi dan kepeduliannya untuk memperbaiki atau menginovasi kondisi dan kelayakan (kesejahteraan) hidup pekerja.