Jumat, 21 September 2012

SINERGISITAS AGAMA DAN PENDIDIKAN ISLAM UPAYA MENAGGULANGI PERILAKU KEKERASAN


            Indonesia adalah negara yang berpenduduk majemuk, betapa tidak, negara ini dihuni oleh suku bangsa yang plural dengan aneka ragam agama atau kepercayaan, suku (yang tersebar di lebih dari 17 ribu pulau) bahasa daerah yang mencapai lebih dari 500 bahasa dan budaya. Setiap individu yang hidup di negara ini pasti berhadapan  dengan keanekaragaman, kemajemukan menyusup dan merasuk ke dalam setiap dan seluruh ruang kehidupan, tak terkecuali dalam hal kepercayaan dan budaya. Pada sisi yang lain, kita pun merasakan bahwa pendidikan agama yang diberikan di sekolah-sekolah kita pada umumnya tidak menghidupkan pendidikan multikultural yang baik bahkan cenderung berlawanan. Akibatnya, konflik sosial sering kali di perkeras oleh adanya legitimasi keagamaan yang diajarkan dalam pendidikan agama di sekolah-sekolah daerah yang rawan konflik. Ini membuat konflik mempunyai akar  dalam keyakinan keagamaan yang fundamental sehingga konflik  sosial kekerasan semakin sulit di atasi, karena dipahami sebagai bagian dari panggilan agamanya, (Mumammad Yusri, FM, 2008).
            Indonesia dewasa ini dihadapkan pada ragam persoalan internal dan eksternal yang ditimbulkan oleh berbagai macam perubahan. Dewasa ini bangsa Indonesia dilanda dan masih berada di tengah-tengah krisis yang menyeluruh. Kita dilanda oleh krisis politik, krisis ekonomi, krisis hukum, krisis kebudayaan dan tidak dapat disangkal juga didalam bidang pendidikan yang tidak terlepas dari suatu bangsa. Dalam hubungannya dengan pendidikan, semua permasalahan tersebut sudah barang tentu terakumulasi menuju suatu kebutuhan bersama, yakni adanya paradigma baru dunia pendidikan.
            Menurut Jack D. Douglas dan Frances Chalut Waksler, yang disunting oleh Abdurrahman Assegaf, 2004, bahwa istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain, secara terbuka (overt) maupun tertutup (covert), baik yang sifat menyerang (ofensive) maupun bertahan (defensive). Dari definisi ini, dapat ditarik beberapa indikator kekerasan. Pertama, kekerasan yang bersifat terbuka yakni kekerasan yang dapat diamati secara langsung, seperti perkelahian, tawuran, bentrokan massa, atau yang berkaitan dengan fisik. Kedua, kekerasan yang bersifat  tertutup, yakni kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan secara langsung, seperti mengancam atau mengintimidasi, atau simbol-simbol lain yang menyebabkan pihak-pihak tertentu merasa takut atau tertekan. Ketiga, kekerasan yang bersifat agresif (offensive), yakni kekerasan yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu, seperti perampasan, pencurian, pemerkosaan atau bahkan pembunuhan. Keempat, kekerasan yang bersifat defensif, yakni kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan, seperti berikade aparat untuk menahan aksi demo atau lainnya. Melalui kasus-kasus yang ada kekerasan, diasumsikan terjadi sebagai akibat dari situasi dan kondisi tertentu yang melatarbelakanginya.
            Kekerasan secara umum didefinisikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan suatu individu terhadap individu lain yang mengakibatkan gangguan fisik maupun mental. Dalam kamus Bahasa Indonesia, kekerasan dimaknai sebagai sifat kekerasan dan paksaan. Kekerasan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sejumlah orang yang berposisi kuat (merasa kuat) kepada seseorang atau sejumlah orang yang berposisi lemah (dipandang lemah atau dilemahkan), yang dengan sarana kekuatannya, baik secara fisik maupun non fisik dengan sengaja dilakukan untuk menimbulkan penderitaan kepada obyek kekerasan.
Semua agama menolak kekerasan sebagai prinsip dalam melakukan suatu tindakan. Pada dasarnya kekerasan adalah prinsip yang bersifat amoral karena kekerasan selalu mengandaikan pemaksaan kehendak terhadap pihak lain yang berarti pelanggaran terhadap asas kebebasan dalam interaksi social (Haqqul Yaqin, 2009). Berangkat dari akumulasi beberapa fenomena tersebut yang merupakan sebuah kejadian yang tidak bisa dibiarkan, maka harus ada tindakan yang cepat dan tepat untuk mengatasi persoalan tersebut. Untuk itu, “Peran Pendidikan Islam Upaya Menaggulangi Perilaku Kekerasan” muncul sebagai sebuah alternatif dalam memberikan kontribusinya untuk pemecahan masalah.
Agama Islam merupakan  agama yang universal, pertama-tama karena Islam sebagai sikap pasrah dan tunduk-patuh kepada Allah, sang maha pencipta, adalah pola wujud seluruh alam semesta berlaku untuk semua tempat waktu. Agama islam hadir untuk mewujudkan masyarakat yang damai, harmonis, toleran, santun,  dengan menyelamatkan manusia dari kemungkaran, membela, dan menghidupkan keadilan.
Manusia dengan wujudnya berbangsa-bangsa dan bergolong-golong merupakan sumbangan yang tak ternilai baginya dalam mempelajari dirinya sendiri, sehingga melahirkan berbagai ilmu pengetahuan yang berfaedah, seperti; antropologi, sosiologi, sejarah, kebudayaan, bahasa, politik, dan lain-lain. Dengan ilmu-ilmu ini akan memudahkan bagi manusia itu sendiri dalam memelihara hubungan antar sesamanya, baik antar golongan, dalam bermasyarakat maupun antar bangsa ditingkat internasional. Hubungan ini dikonkritkan dengan berbagai aktifitas yang pada hakikatnya untuk memenuhi kebutuhan masing-masing  (Said Agil Husin al-Munawir, 2004).
Agama Islam adalah agama perdamaian menolak kekerasan. Perdamaian merupakan salah satu tuntunan agama yang terpenting, lahir, antara lain, dari pandangan Islam tentang kesatuan alam raya. Sejak dari bagian yang terkecil sampai dengan wujud yang paling agung merupakan satu kesatuan: benda tak bernyawa, tumbuhan yang layu maupun yang segar, binatang melata,manusia, bahkan malaikat-malaikat kesemuanya berada dalam kesatuan. Semuanya diatur dan mengarah ke satu tujuan, yakni kepada hakekat tauhid. Alam dengan segala isinya, bergerak atas dasar satu sistem yang ditetapkan oleh-Nya. Dalam kesatuannya, seluruh makhluk harus bekerja sama. Dari sinilah perdamaian memperoleh pijakan sehingga menjadi suatu keharusan.
Perdamaian dunia adalah dambaan Islam. Ini bermula dari kedamaian jiwa setiap pribadi yang kemudian meningkat kepada kedamaian dalam keluarga kecil, masyarakat, dan bangsa hingga keseluruh bangsa di dunia. Bahkan hal itu diharapkan terus meningkat sampai terwujudnya kedamaian dengan seluruh makhluk yang berpuncak dengan kedamaian di negeri yang kekal atas anugrah yang maha esa (Allah SWT). Itulah yang selalu dimohonkan oleh Nabi SAW dan diajarkan kepada umatnya setiap selesai shalat:
“Ya Allah engkaulah yang maha damai, dari mu bersumber kedamaian, kepada-Mu kembali kedamaian. Tuhan kami! Hidupkanlah kami dengan penuh kedamaian dan masukkanlah kami (kelak) di surga-Mu, negri yang penuh kedaimain. Engkau pemelihara kami, pemilik keagungan dan kemurahan” (Muhammad  Quraish Shihab, 1996).
Maka dari hal tersebut agama Islam menegaskan bahwa hidup bersama mutlak perlu bagi manusia dalam mempertahankan hidupnya, baik secara sendiri-sendiri, secara berkelompok maupun secara berbangsa. Sehingga antar komunitas yang berbeda untuk saling mengenal (ta’aruf), berkompetisi (istibaq), sehingga memperoleh karakter yang berpredikat shaleh mu’min, dan pada akhirnya mengantarkan umat Islam kepada kehidupan yang baik (hayatun thayyibah) jauh dari perilaku kekerasan.
     Dalam Islam, pendidikan merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap umat Islam, karena melalui pendidikan umat Islam mampu memahami syariat Islam dengan baik dan benar. Hal ini tidak terlepas dari tujuan hidup umat Islam itu sendiri, yaitu untuk mewujudkan kehidupan yang selamat, damai, harmonis dan bahagia, sejahtera di dunia maupun di akhirat kelak. Dengan demikian, kesadaran akan tujuan hidup umat Islam akan menjadi pendukung yang positif dalam mewujudkan cita-citanya menuju keridhaan Allah. Maka dengan adanya pendukung yang positif tersebutlah seorang muslim akan mampu mengaflikasikannya melalui sarana pendidikan Islam yang dapat mengantarkannya kepada keselamatan di dunia maupun di akhirat kelak.
Pendidikan Islam, secara sederhana dapat diartikan sebagai “proses pembimbingan, pembelajaran dan atau pelatihan terhadap manusia (anak generasi muda) agar nantinya menjadi orang Islam, yang berkehidupan dan berkepribadian, serta mampu melaksanakan peranan dan tugas-tugas hidup sebagai “muslim”, yang jika diindonesiakan menjadi orang muslim atau orang Islam” (Muhaimin, dkk 1996). Dari pemaparan di atas bahwa manusia memiliki potensi (fitrah). Fitrah merupakan citra asli manusia, yang berpotensi baik atau buruk dimana aktualisasinya tergantung pada pilihannya.
Agama Islam, melalui pendidikan dan pembinaan agar tidak melakukan perilaku yang dapat merugikan pihak lain sudah banyak dilakukan, sebab dalam Al-Qur’an telah dijelaskan tentang perintah untuk berbuat amar ma’ruf nahi munkar. Selain itu, dalam agama Islam juga diberikan pengarahan bahwa sebagai umat Islam mereka harus mempunyai akhlaqul karimah. Dari sini mempunyai arti bahwa dalam agama Islam melalui pendidikan yang terinternalisasikan dalam materi dan metode begitu memperhatikan umatnya dalam menjalani kehidupan yang seharusnya. Maka dalam prakteknya agar Islam menyampaikan pengetahuan tersebut melalui Pendidikan Agama Islam (PAI). Dengan adanya Pendidikan Agama Islam ini diharapkan dapat mengakomodir dalam rangka menginternalisasi pengetahuan tentang pesan-pesan yang termuat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis.
                                                                                 
Nasri Kurnialloh
(Alumni Kependidikan Islam 2008)




Senin, 03 September 2012

KONTROL DIRI


            Ilmuan, filsuf, dan mistikus terkenal bernama Al-Ghazali mengutip pendapat Musa Djabar dalam salah satu bukunya yang  tekenal, menyatakan bahwa orang-orang yang berhasil melakukun kontrol diri melakukan cara yang berbeda untuk menaklukan diri. Pendapat Musa Al-Jabar menyampaikan cara mengontrol diri yang berkaitan dengan fisik. Cara ini dapat dilakukan oleh siapa saja, baik secara bertahap maupun sekaligus. Tiga cara itu adalah pertama, tidur sekedarnya, kedua, berbicara seperlunya, dan ketiga, makan secukupnya.
1.      Tidur Sekedarnya
Bagi manusia tidur memiliki dua fungsi utama: membuat tubuh menjadi rileks untuk kegiatan berikutnya dan memberi kesempatan pada otak untuk melakukan konsolidasi dalam pembentukan memori. Mengantuk dan tidur berkaitan dengan jam biologis tubuh yang disebut irama sirkadian dan melibatkan zat otak bernama melatonin yang terutama meningkat produksinya saat gelap datang.
      Tidur yang benar adalah tidur dalam waktu cukup ketika kita merasa pulas dan kemudia rileks dan segar ketika bangun. Ini bukan durasi tidur, tetapi berkaitan dengan kualitas tidur. Kita bisa tidur lebih panjang dan lama, tetapi tanpa kualitas (tidak pulas). Namun kita juga bisa tidur dalam waktu singkat dan berkualitas. Dorongan untuk tidur dipengaruhi oleh banyak faktor. Ketika kita bisa membatasi tidur, dan mengisinya dengan tidur berkualitas, sama artinya dengan kita meminimalkan kecendrungan tubuh untuk diam. Lebih banyak hal yang dapat kita lakukan saat sadar ketimbang tidur. Para penidur biasanya orang malas dan hampir selalu merupakan orang gagal mendapatkan kebaikan hidup. Mengontrol tidur sama halnya mengontrol diri.
2.      Bicara Seperlunya
Kontrol bicara menempati posisi kunci dalam upaya kontrol diri karena bicaralah yang membuat manusia menjadi manusia, dan manusia berbeda dengan makhluk lain. Ketika nenek moyang kita bisa berbahasa, dan terutama berbicara, ketika itu pula mereka membangun peradaban besar. Bicara dan bahasa adalah dua hal yang dibawa secara naluriah.  Sebuah penelitian membuktikan bahwa sekali seorang bayi mengenal kata, dan seorang anak mengenal huruf, maka secepat kilat kemampuan bahasa mereka berkembang.
Kemampuan berbahasa juga bisa menjadi sumber bencana. Konflik-konflik yang terjadi disekitar kita umumnya disebabkan karena kita tidak piaway memilih dan memilah mana kata yang boleh diutarakan, apalagi kesesuaian yang diucapkan dan dilakukan, merupakan tingkatan tertinggi dalam kontrol bicara, jika kita perhatikan orang-orang yang tidak bisa mengontrol bicara, terutama mereka yang mengucapkan sesuatu yang tidak mereka lakukan, adalah orang-orang yang tidak bisa mengontrol diri. Perilaku mereka kebanyakan perilaku buruk, sekalipun indah dari luar.
Karena itu, jika kita bisa memilih dan memilah apa yang pantas diucapkan, kita pasti bisa mengontrol diri. Dorongan kita untuk berbicara sangat kuat. Karena itu, bicara seperlunya merupakan kiat sederhana dalam mengontrol dorongan itu.

3.      Makan Secukupnya
Seperti berbicara, dorongan untuk makan merupakan dorongan yang sangat kuat. Dalam hal ini, kita bisa jadi tidak berbeda dengan binatang. Akibatnya untuk mendapatkan makanan kita kadang bisa berperilaku seperti binatang, bisa mencakar, menggigit, bahkan membunuh. Jika seseorang sudah bisa mendapatkan makanan yang standar, selalu ada kecendrungan untuk mendapatkan makanan yang lebih enak. Kita menggunakan berbagai cara untuk memuaskan naluri makan. Padahal kelezatan makanan hanya dikecap dalam waktu yang sangat singkat, yaitu ketika makanan berada dalam mulut.
      Kecendrungan manusia untuk mengenyangkan perut juga merupakan dorongan yang sangat kuat. Tanpa sadar kita semua cendrung memenuhi perut kita dengan segala jenis makanan. Pada akhirnya, makanan dan makanan enak sudah menjadi kegiatan yang otomatis, tanpa kita pikirkan lagi. Makan dan seksual merupakan dorongan terkuat manusia untuk melakukan apa saja. Bahkan melakukan yang melanggar hukum. Jika rakyat merasa lapar dan tidak aman, dapat dipastikan mendorong gerakan revolusi dan akan  terjadi revolusi serta kerusahan.
      Dari keterangan di atas maka pentingnya kontrol makan. Jika kita sanggup mengelola rasa lapar, misalnya makan sesuai dengan yang dibutuhkan tubuh saja atau berhenti menguyah makanan sebelum rasa kenyang dapat dipastikan kita dapat mengontrol diri.