Minggu, 30 Desember 2012

Amtsal al-Qur’an Dalam Dinamika Perspektif

           Secara etimologi, kata amtsal (perumpamaan) adalah bentuk jamak dari matsal, mitsl dan matsil adalah sama dengan syabah, syibh, dan syabih,baik lafadz maupun maknanya. Sedangkan pengertian amtsal secara terminologi ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama, yaitu:
1.      Pengertian mitslu menurut ulama’ ahli ilmu adab adalah:
وَالْمِثْلُ فِي الْأَدَبِ قَوْلٌ مُحْكِيٌّ سَائِرٌ يُقْصَدُ بِهِ تَشْبِيْهُ حَالِ الَّذِي حُكِىَ فِيْهِ بِحَالِ الَّذِي قِيْلَ لِأَجْلِهِ.
Mitslu dalam ilmu adab adalah ucapan yang disebutkan untuk menggambarkan ungkapan lain yang dimaksudkan untuk menyamakan atau menyerupakan keadaan sesuatu yang diceritakan dengan keadaan sesuatu yang dituju.

Maksudnya dari hal di atas adalah menyerupakan perkara yang disebutkan dengan asal ceritanya. Maka amtsal menurut definisi ini harus ada asal ceritanya. Contohnya pada ucapan orang arab رُبَّ رَمِيَّةٍ مِنْ غَيْرِ رَامٍ  (banyak panahan dengan tanpa ada orang yang memanah). Maksudnya adalah banyak musibah yang terjadi karena salah langkah. Kesamaannya adalah terjadinya sesuatu dengan tanpa ada kesengajaan.
2.      Pengertian mitslu menurut ulama’ ahli ilmu bayan adalah:
الْمَجَازُ الْمُرَكَّبُ الَّذِي تَكُوْنُ عَلَاقَتُهُ الْمُشَابِهَةُ مَتَى فَشَا إِسْتِعْمَالُهُ
Yaitu majas/kiasan yang majemuk yang mana keterkaitan antara yang disamakan dengan asalnya adalah penyerupaan.

Maka bentuk amtsal menurut definisi ini adalah bentuk isti’aarah tamtsiiliyyah, yakni kiasan yang menyerupakan. Seperti
وَمَا الْمَالُ وَالْأَهْلُوْنَ إِلِّا وَدَائِعُ ◊ وَلَا بُدَّ يَوْمًا أَنْ تُرَدَّ الْوَدَائِعُ
Tiadalah harta dan keluarga melainkan bagaikan titipan; pada suatu hari titipan itu pasti akan dikembalikan.
Dalam syair tersebut, tampak jelas penyair menyerupakan harta dan keluarga dengan benda titipan yang dititipkan oleh seseorang kepada kita, yang sama-sama bisa diambil sewaktu-waktu oleh orang yang menitipkannya.
3.      Sebagian ulama’ ada juga yang menyatakan pengertian mitslu adalah:
إِنَّهُ إِبْرَازُ الْمَعْنَى فِي صُوْرَةٍ حِسِّيَةٍ تَكْسِبُهُ رَوْعَةً وَ جَمَالًا
Mengungkapkan suatu makna yang abstrak dalam bentuk sesuatu yang konkret yang elok dan indah.

Contohnya seperti ungkapan الْعِلْمُ نُوْرٌ  (ilmu itu seperti cahaya). Dalam hal ini adalah menyamakan ilmu yang bersifat abstrak dengan cahaya yang konkret, yang bisa diindera oleh penglihatan. Amtsal menurut definisi ini tidak disyaratkan adanya asal cerita juga tidak harus adanya majaz murakkab.
Melihat dari pengertian-pengertian mitslu di atas, maka amtsal al-Qur’an setidaknya berupa penyamaaan keadaan suatu hal dengan keadaan hal yang lain. Penyerupaan tersebut baik dengan cara isti’arah (menyamakan tanpa menggunakan adat tasybih), tasybih sharih (menyamakan yang jelas dengan adanya adat tasybih), ayat-ayat yang menunjukkan makna yang indah dan singkat, atau ayat-ayat yang digunakan untuk menyamakan dengan hal lain. Karena itulah, kesimpulan akhir dalam mendefinisikan amtsal al-Qur’an adalah:
إبْرَازُ الْمَعْنَى فِي صُوْرَةٍ رَائِعَةٍ مُوْجِزَةٍ لَهَا وَقَعُهَا فِي الْنَّفْسِ سَوَاءٌ كَانَتْ تَشْبِيْهًا أَوْ قَوْلًا مُرْسَلً
Menampakkan pengertian yang abstrak dalam bentuk yang indah dan singkat yang mengena dalam jiwa baik dalam bentuk tasybih maupun majaz mursal (ungkapan bebas). Definisi inilah yang relevan dengan yang terdapat dalam al-Qur’an, karena mencakup semua macam amtsal al-Qur’an.

Dari beberapa pengertian di atas amtsal dalam Qur’an yaitu, menonjolkan makna dalam bentuk (perkataan) yang menarik dan dapat di pahami secara akal serta mempunyai pengaruh mendalam terhadap jiwa.

Sabtu, 08 Desember 2012

Titik Temu Antara Pemikiran dan Peradaban Islam dan Barat Merajut Pendidikan Islam Rahmatan Lil Alamin



Sebagaimana kita maklumi bersama, Barat dan Islam merupakan dua peradaban besar dan penting yang eksis di muka bumi saat ini, dengan memiliki karakter dan ciri khas tersendiri. Dalam perspektif sejarah, dua peradaban ini telah melakukan interaksi yang panjang dalam situasi pahit dan manis selama sekian abad. Hubungan keduanya banyak diwarnai oleh proses saling belajar, saling memberi, dan saling menerima, di samping itu antara keduanya juga pernah terjadi ketidak harmonisan, konflik, dan benturan.
Dalam konteks tersebut di atas, untuk menata masa depan dunia yang damai, adil dan makmur, maka sudah seyogianya jika Barat dan Islam belajar dari sejarah masa lalu yang panjang, mengevaluasi kondisi maupun konflik masa lalu, sehingga kita bersama mampu mengambil hikmah yang positif dalam rangka membangun masa depan untuk kemanusiaan yang lebih gemilang. Untuk itu dituntut adanya sikap saling menerima dan menghargai perbedaan masing-masing.
Barat yang kini mendominasi kepemimpinan dunia, sudah selayaknya memberikan keteladanan yang tinggi bagi peradaban-peradaban lain, dalam misi bersama mewujudkan kehidupan umat manusia yang damai, adil dan makmur. Sebaliknya, dunia Islam juga harus mampu dan mau belajar dari berbagai aspek positif peradaban Barat, tanpa meninggalkan nilai-nilai asasi dalam Islam. Malahan jika Barat secara jujur mengakui sumbangan besar dunia. Islam terhadap peradaban Barat di masa lalu, niscaya sikap saling pengertian dan saling menghargai antar-peradaban akan lebih mudah dibangun (Muhammad M. Basyuni: 2010).
Untuk mengatasi konflik tersebut, perlu adanya saling pengertian dan sikap toleransi yang harus diinternalisasikan pada masing-masing pihak. Dialog budaya antara Islam dan Barat menjadi peredam bagi benturan antarbudaya. Jika hal itu terabaikan, masa depan dunia bisa dipastikan akan semakin suram dan hanya akan mempercepat masa “kiamat”. Perdamaian harus menjadi harga mati yang tidak boleh ditawar lagi.
Dalam kitab suci Al Quran yang menjadi pedoman hidup umat Islam di seluruh dunia, Allah SWT menegaskan, sekiranya Allah menghendaki seluruh manusia bisa dijadikan satu umat saja, tetapi Allah ingin menguji manusia dengan segala pemberianNya, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan (QS Al-Maidah [5]: 48). Allah menjadikan umat manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling mengenal satu sama lain (QS Al Hujurat [49]: 12)
Di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di dunia ini, perlunya mengimplementasikan kembali bahwa kemajemukan merupakan kenyataan yang tidak dapat ditolak. Saling menghormati perbedaan baik itu diranah bangsa, agama, suku, ras, dan budaya adalah langkah kongkrit yang patut dijadikan sebuah pandangan hidup, cita-cita, dan sebagai dasar pijak dalam mengarungi bahtera kehidupan di dunia.
Manivestasi pendidikan agama Islam yang dinamis, salah satunya berpijak pada penyebaran kasih sayang. Berawal dari kasih sayang, umat Islam diharapkan lebih erat dalam merajut hubungan interaksi dan berdialog antar sesama manusia tanpa memandang perbedaan bangsa, ras, suku dan agama. Pendidikan Agama Islam sudah menjadi semestinya untuk mampu mengerakan dan digerakan oleh pemeluknya. Lebih dari itu pendidikan agama Islam, perlu memberi ruang dialog dengan tradisi dan budaya, serta mampu merespon tantangan lokal dan global. Demi menjaga bergairahnya pendidikan agama Islam ditengah-tengah umat manusia, maka pemaknaan dan penafsiran teks-teks suci keagamaan menjadi sesuatu yang mesti terus berlangsung dan tidak boleh mandeg. Terlebih, adanya fenomena klaim kebenaran yang selalu muncul dalam wilayah heterogenitas, semestinya terus terbungkus dalam satu kerangka yang sama yaitu menegakan kedamaian, kenyamanan dan keharmonisan antar sesama mahluk. Bukan pula memperuncing perbedaan. Langkah ini sangat urgen digalakan oleh semua pihak, agar tidak menimbulkan saling curiga dan mencurigai.