Senin, 29 Juli 2013

PUASA DAN ETOS KERJA MUSLIM



Ada kesan yang tidak tepat selama ini bahwa ibadah puasa menjadikan produktivitas kerja muslim menjadi menurut drastis. Ini disebabkan karena tidak adanya bahan makan yang diolah menjadi energy. Akibatnya, tubuh terasa lemas dan tidak bergairah dalam bekerja. Kesan ini diperkukuh dengan adanya keringanan yang diberikan atasan/pimpinan kepada karyawan/pegawai untuk masuk kerja lebih lama dan pulang lebih cepat dari jadwal semula. Jika ada pegawai yang tampak loyo tidak bersemangat, pimpinan segera memakluminya bahwa pegawai tersebut sedang berpuasa.
            Secara jujur harus diakui kesan ini bertentangan dengan hakikat yang dikandung oleh ibadah puasa itu sendiri. Bahkan sebaliknya, ibadah puasa itu semestinya dapat memotivasi setiap muslim untuk lebih bersemangat dan bergairah dalam bekerja sehingga ia akan menjadi lebih produktif dari masa-masa sebelumnya.
            Para ahli psikoanalisis selalu menggambarkan manusia senantiasa dalam proses tarik-menarik antara unsur jasmaniah dan unsur rohaniyah. al-Qur’an menyebutnya dalam Q.S. al-syams ayat 8 dengan kata fujur dan kata takwa. Fujur adalah keinginan untuk selalu melanggar perintah Allah SWT dan takwa adalah keinginan untuk selalu mematuhinya. Fujur berasal dari tanah (kecendrungan jasmani) takwa berasal dari roh (kecendrungan rohani).
            Unsur jasmaniyah yang berasal dari tanah menjadikan manusia cendrung memenuhi kebutuhan fa’ali-nya seperti makan, minum, kebutuhan seksual, dan materi yang sebenarnya tidak memiliki titik henti.  Sering kali dalam memenuhi kebutuhan ini manusia tidak lagi memerhatikan ajaran-ajaran agamanya dan cendrung untuk menghalalkan segala cara. Akhirnya, jadilah manusia itu sebagai makhluk yang rakus dan serakah.
            Sedangkan unsur rohaniyah yang langsung bersumber dari Allah SWT,, membuat manusia cendrung pada kebenaran, berkeinginan untuk melakukan yang baik-baik dan selalu ingin dekat kepada asalnya yaitu Allah SWT. Inilah makna bahwa pada dasarnya manusia itu hanif yang artinya cendrung pada kebenaran (mail ila al-haq).
            Kedua potensi inilah, yang selalu bertarung pada diri manusia yang pada akhirnya dapat menimbulkan ketimpangan hidup (disharmonis). Dikatakan demikian sering kali kedua kebutuhan ini tidak seimbang dalam diri manusia. Adakalanya kebutuhan duniawinya lebih dominan dan terkadang kebutuhan rohaninya yang lebih dominan. Situasi seperti ini menyiksan kehidupan manusia karena tidak sesuai dengan fitrahnya sendiri.
            Melalui ibadah puasa ketidakseimbangan ini akan dipecahkan. Disatu sisi setiap orang yang berpuasa harus mengurangi kebutuhan jasmaninya seperti makan, minum dan kebutuhan seksual. Pada sisi lain ia juga harus menyuburkan perkembangan batinnya dengan ibadah puasa, sahat baik fardhu ataupun sunnah, zikir dan membaca al-Qur’an. Pada akhirinya kebutuhan jasmani yang sebelumnya dominan, menjadi turun dan kebutuhan rohaninya yang semula rendah dapat dinaikkan sejajar dengan kebutuhan jasmaninya, sehingga tidak ada yang dominan.
            Setelah mencapai keseimbangan baru tersebut, sebenarnya pribadi muslim tersebut telah kembali kepada fitrah asalnya, yaitu satu bentuk kehidupan yang alami (natural). Dalam surat al-Rum ayat 30 Allah berfirman: maka hadapkanlah wajahmu kepada agama yang hanif (lurus) yang diciptakan Allah SWT sesuai dengan fitrah manusia. melalui ayat ini tegaslah bahwasanya manusia itu pada hakikatnya dalam kondisi fitrah. Satu bentuk kehidupan yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan rohani.
MOTIVASI KERJA
            Ada pepatah Inggris yang popular dikalangan pendidik yaitu, “You can bring a horse to a river, but you cannot force it to drink”. Maksdunya kira-kira, kita bisa menarik seekor kuda ke tepi sungai, namun apakah ia mau minum atau tidak, itu sangat bergantung pada kuda itu apakah ia sedang haus atau tidak, minum disini merupakan dorongan yang harus datang dari dalam. Dorongan atau kemauan untuk minum inilah yang disebut dengan motivasi.
            Di atas penulis telah menjelasakan bahwa puasa bertujuan mengembalikan manusia pada fitrah keseimbangan, yaitu manusia yang hanif (selalu cendrung pada kebaikan dan kebenaran). Kebaikan dan kebenaran inilah yang menjadi motivasi pribadi muslim dalam hidupnya terutama dalam bekerja. Ia akan selalu berusaha untuk menghasilkan sesuatu yang terbaik dengan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran. Ketika ia melakukan sesuatu pekerjaan yang tidak baik atau tidak dengan hasil yang baik maka sebenarnya ia sedang bertarung dengan fitrah kemanusiaannya. Lebih dari itu, jika pekerjaan itu dilakukan bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran yang diyakininya, ia akan melawan fitrah kemanusiaannya. Selama ia tidak keluar  dari pertarungan ini hidupnya akan selalu tersiksa yang akan selalu membawanya kepada spilit personality (keterpecahan pribadi).
            Inilah motivasi kerja yang hakiki, sedangkan motivasi kerja yang dibangun atas rangsangan-rangsanga duniawi (bonus atau promosi jabatan) atau dalam bentuk-bentuk penghargaan lainnya, kendati tetap penting, namun bisaanya semu. Apabila rangsangan itu tidak ada lagi maka motivasi kerjanya menjadi turun. Akibat buruk lainnya ia akan bersungguh-sungguh berkerja ketika ada pengawasan atau penilaian dan hanya untuk memperoleh kepentingan sesaat.
            Berbeda dengan orang yang motivasi kerjanya karena dorongan fitrah kemanusiaannya, ada tidaknya penghargaan atau pengawasan. Ia tetap bekerja dengan baik karena ia sadar bahwa apa yang dilakukannya merupakan ibadah dalam mencari ridha Allah. Keridhaan Allah inilah yang menjadi tujuan dalam bekerja.
             Pada hakikatnya kerja dalam pandangan Islam  adalah mode of existence. Harga manusia sangat ditentukan oleh amal atau kerja yang dilakukannya. Jika ia melakukan suatu pekerjaan yang baik dengan penuh kesungguhan ia akan mendapatkan balasan yang baik di dunia dan di akhirat. Sebaliknya, jika ia melakukan pekerjaan yang buruk, maka ia akan memperoleh balasannya.
            Berkaitan dengan kerja yang baik dapat di lihat pada hadis Rasul yang menyatakan: “Sesungguhnya Allah mewajibkan kepada kamu untuk berbuat baik (ihsan) terhadap sesuatu. Karena itu jika kamu menyembelih, maka berihsanlah dalam penyembelihan itu, dan seseorang hendaklah menajamkan pisaunya dan menenangkan binatang sembelihannya itu”.
            Ihsan dapat dikatan optimalisasi hasil kerja dengan jalan melakukan jalan pekerjaan itu sebaik mungkin dengan tetap mempertimbangkan efisiensi dan daya guna yang setinggi-tingginya. Pada gilirannya amal (kerja) yang baik itulah yang akan menghantarkan dirinya mencapai harkat yang tinggi, yaitu bertemu dengan Tuhan penuh keridhaan seperti yang dinyatakan dalam Q.S. Al-Kahfi [18]: 110.
Dari paparan di atas, semestinya orang hanya berpuasa akan mendapatkan suasana batin yang relative baru dimana ia akan memperoleh kembali keseimbangan diri (hanif) yang pada gilirannya akan memotivasi dirinya untuk lebih bersemangat dalam bekerja tidak saja pada bulan Ramadhan namun juga pada masa-masa sesudahnya.
           


Sabtu, 06 Juli 2013

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN (Studi Analisis Kebijakan Desentrasi Pendidikan)


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Undang-undang (UU) Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS), dinyatakan bahwa ada tiga tantangan besar dalam bidang pendidikan di Indonesia, yaitu pertama,  mempertahankan hasil-hasil pembangunan pendidikan yang telah dicapai; kedua, mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten dan mampu bersaing dalam pasar kerja global; dan ketiga, sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah sistem pendidikan nasional dituntut untuk melakukan perubahan dan penyesuaian sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis, memperhatikan keberagaman, memperhatikan kebutuhan daerah dan peserta didik, serta mendorong peningkatan partisipasi masyarakat.
Dalam upaya implementasi dan memaksimalisasi penyelenggaraan otonomi daerah sistem pendidikan tersebut, sekarang dikembangkanlah konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), yang berupaya meningkatkan peran sekolah dan masyarakat sekitar (stakeholder) dalam pengelolaan pendidikan, sehingga penyelenggaraan pendidikan menjadi lebih baik dan mutu lulusan semakin bisa ditingkatkan. MBS memberikan kebebasan dan kekuasaan yang besar pada sekolah, disertai seperangkat tanggung jawab.
Pengalihan kewenangan pengambilan keputusan ke level sekolah tersebut, maka sekolah diharapkan lebih mandiri dan mampu menentukan arah pengembangan yang sesuai dengan kondisi dan tuntutan lingkungan masyarakatnya. Atau dengan kata lain, sekolah harus mampu mengembangkan program yang relevan dengan kebutuhan masyarakat.
B.     Rumusan Masalah
1.    Bagaimana konsep implemantasi kebijakan pendidikan di Indonesia?
2.    Apa fungsi implemantasi kebijakan pendidikan di Indonesia?
3.    Bagaimana analisis arah implemantasi kebijakan pendidikan di Indonesia?




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Konsep Implemantasi Kebijakan Pendidikan
  1. Pengertian Implementasi dan Kebijakan Pendidikan
Implementasi adalah: pelaksanaaan, penerapan. Menurut Joko Wododo, implementasi merupakan suatu proses yang melibatkan sejumlah sumber yang termasuk manusia, dana, dan kemampuan organisasional yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta (individu atau kelompok). Proses tersebut dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pembuat kebijakan.
Kebijakan (policy) secara etimologi (asal kata) diturunkan dari bahasa Yunani, yaitu “Polis” yang artinya kota (city). Dalam hal ini, kebijakan berkenaan dengan gagasan pengaturan organisasi dan merupakan pola formal yang sama-sama diterima pemerintah/lembaga sehingga dengan hal itu mereka berusaha mengejar tujuannya. Abidin, menjelaskan kebijakan adalah keputusan pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat. Ali Imron dalam bukunya Analisis Kebijakan Pendidikan menjelaskan bahwa kebijakan pendidikan adalah salah satu kebijakan Negara.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat penulis analisis bahwa implementasi kebijakan adalah aturan tertulis yang merupakan keputusan formal organisasi, yang bersifat mengikat, yang mengatur prilaku dengan tujuan untuk menciptakan tata nilai baru dalam masyarakat. Kebijakan akan menjadi rujukan utama para anggota organisasi atau anggota masyarakat dalam berprilaku dan Kebijakan pada umumnya bersifat problem solving dan proaktif. Berbeda dengan Hukum (Law) dan Peraturan (Regulation), kebijakan lebih adaptif dan interpratatif, meskipun kebijakan juga mengatur “apa yang boleh, dan apa yang tidak boleh”. Kebijakan juga diharapkan dapat bersifat umum tetapi tanpa menghilangkan ciri lokal yang spesifik. Kebijakan harus memberi peluang diinterpretasikan sesuai kondisi spesifik yang ada.
2.      Ciri-ciri Kebijakan Pendidikan
Guna meningkatkan Kebijakan pendidikan memiliki karakteristik yang khusus, yakni:
a.       Memiliki tujuan pendidikan.
Kebijakan pendidikan harus memiliki tujuan tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk memberikan kontribusi pada pendidikan.
b.      Memenuhi aspek legal-formal.
Kebijakan pendidikan tentunya akan diberlakukan, maka perlu adanya pemenuhan atas pra-syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan itu diakui dan secara sah berlaku untuk sebuah wilayah. Maka, kebijakan pendidikan harus memenuhi syarat konstitusional sesuai dengan hierarki konstitusi yang berlaku di sebuah wilayah hingga ia dapat dinyatakan sah dan resmi berlaku di wilayah tersebut. Sehingga, dapat dimunculkan suatu kebijakan pendidikan yang legitimat.
c.       Memiliki konsep operasional
Kebijakan pendidikan harus mempunyai manfaat operasional agar dapat diimplementasikan dan ini adalah sebuah keharusan untuk memperjelas pencapaian tujuan pendidikan yang ingin dicapai.
d.      Dibuat oleh yang berwenang
Kebijakan pendidikan itu harus dibuat oleh para ahli di bidangnya. Para administrator pendidikan, pengelola lembaga pendidikan dan para politisi yang berkaitan langsung dengan pendidikan adalah unsur minimal pembuat kebijakan pendidikan.
e.       Dapat dievaluasi
Kebijakan pendidikan itu pun tentunya tak luput dari keadaan yang sesungguhnya untuk ditindak lanjuti. Jika baik, maka dipertahankan atau dikembangkan, sedangkan jika mengandung kesalahan, maka harus bisa diperbaiki.
f.       Memiliki sistematika
Kebijakan pendidikan tentunya merupakan sebuah sistem juga, oleh karenanya harus memiliki sistematika yang jelas menyangkut seluruh aspek yang ingin diatur olehnya. Hal ini harus diperhatikan dengan cermat agar pemberlakuannya kelak tidak menimbulkan kecacatan hukum secara internal. Kemudian, secara eksternal pun kebijakan pendidikan harus bersepadu dengan kebijakan lainnya; kebijakan politik; kebijakan moneter; bahkan kebijakan pendidikan di atasnya atau disamping dan dibawahnya, serta daya saing produk yang berbasis sumber daya lokal.
B.     Fungsi Implementasi Kebijakan Pendidikan
Fungsi implementasi kebijakan pendidikan, sebagai berikut: pertama: pedoman untuk bertindak; kedua, pembatas prilaku; dan ketiga: bantuan bagi pengambil keputusan.
Berdasarkan penegasan di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi kebijakan dibuat untuk menjadi pedoman dalam bertindak, mengarahkan kegiatan dalam organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, kebijakan merupakan garis umum untuk bertindak bagi pengambilan keputusan pada semua jenjang organisasi.
C.    Arah Kebijakan Pendidikan di Indonesia (Studi Analisi Terhadap UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003).
Kebijakan pendidikan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, diarahkan untuk mencapai hal-hal sebagai berikut:
      1.      Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti;
     2.      Meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga kependidikan;
    3.      Melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik, penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta diversifikasi jenis pendidikan secara professional;
    4.      Memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung oleh sarana dan prasarana memadai;
     5.      Melakukan pembaharuan dan pemantapan sistem pendidikan nasional berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan dan manajemen;
  6.      Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun pemerintah untuk memantapkan sistem pendidikan yang efektif dan efisien dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
    7.      Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai dengan hak  dukungan dan lindungan sesuai dengan potensinya;
    8.      Meningkatkan penguasaan, pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk teknologi bangsa sendiri dalam dunia usaha, terutama usaha kecil, menengah, dan koperasi
D.    Analisis Implementasi Kebijakan Pendidikan di Era Otonomi Daerah
Perkataan otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri, dan nomos yang berarti hukum atau aturan. Dalam konteks etimologis ini, beberapa penulis memberikan pengertian tentang otonomi. Otonomi diartikan sebagai zelfwetgeving atau “pengundangan sendiri”. “perundangan sendiri” menurut perkembangan sejarahnya di Indonesia, istilah otonomi selain mengandung arti “perundangan”, juga mengandung pengertian “pemerintahan” (bestuur). “mengatur atau memerintah sendiri”. Otonomi daerah adalah kebebasan untuk memelihara dan memajukan kepentingan khusus daerah, dengan keuangan sendiri, menentukan hukum sendiri, dan pemerintahan sendiri.
Dari beberapa konsep dan batasan di atas, otonomi daerah jelas menunjuk pada kemandirian daerah, dimana daerah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri tanpa atau mengupayakan seminimal mungkin adanya campur tangan atau intervensi pihak lain atau pemerintah pusat dan pemerintah di atasnya. Dengan adanya otonomi tersebut, daerah bebas untuk berimprovisasi, mengekspresikan dan mengapresiasikan kemampuan dan potensi yang dimiliki, mempunyai kebebasan berpikir dan bertindak, sehingga bisa berkarya sesuai dengan kebebasan yang dimilikinya.
Menurut kebijakan pemerintah yang tertuang dalam UU No. 22 Tahun 1999 mengenai Otonomi Daerah dan sejalan dengan itu UU No. 25 tahun 1999 mengenai Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan konsekuensi dari keinginan era reformasi untuk menghidupkan kehidupan demokrasi. Maka Di era otonomi daerah kebijakan strategis yang diambil Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah adalah : (1) Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (School Based Management) yang memberi kewenangan pada sekolah untuk merencanakan sendiri upaya peningkatan mutu secara keseluruhan; (2) Pendidikan yang berbasis pada partisipasi komunitas (community based education) agar terjadi interaksi yang positif antara sekolah dengan masyarakat, sekolah sebagai community learning centre; dan (3) Dengan menggunakan paradigma belajar atau learning paradigma yang akan menjadikan pelajar-pelajar atau learner menjadi manusia yang diberdayakan. (4) Pemerintah juga mencanangkan pendidikan berpendekatan Broad Base Education System (BBE) yang memberi pembekalan kepada pelajar untuk siap bekerja membangun keluarga sejahtera.
Dengan pendekatan itu setiap siswa diharapkan akan mendapatkan pembekalan life skills yang berisi pemahaman yang luas dan mendalam tentang lingkungan dan kemampuannya agar akrab dan saling memberi manfaat. Lingkungan sekitarnya dapat memperoleh masukan baru dari insan yang mencintainya, dan lingkungannya dapat memberikan topangan hidup yang mengantarkan manusia yang mencintainya menikmati kesejahteraan dunia akhirat.
Pada awal tahun 2001 digulirkan program MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Program ini diyakini akan memberdayakan masyarakat pemerhati pendidikan (stakeholders) dalam memberikan perhatian dan kepeduliannya terhadap dunia pendidikan, khususnya sekolah. Dalam menerapkan konsep MBS, mensyaratkan sekolah membentuk Komite Sekolah yang keanggotaannya bukan hanya orangtua siswa yang belajar di sekolah tersebut, namun mengikutsertakan pula guru, siswa, tokoh masyarakat dan pemerintahan di sekitar sekolah, dan bahkan pengusaha.
Sebetulnya, sejak program MBS ini digulirkan, peran komite sekolah mulai tampak, terutama dalam menghimpun sumber-sumber pendanaan pendidikan, baik sebagai dukungan terhadap penyediaan sarana dan prasarana pendidikan maupun untuk peningkatan kualitas pendidikan. Tentu saja, termasuk pula untuk peningkatan kualitas kesejahteraan guru di sekolah itu. Namun, peran komite di tingkatan pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs) yang sudah mulai bagus ini terhapus kembali oleh program berikutnya, yaitu Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Program ini sesungguhnya sangat baik, sebagai salah satu bentuk tanggungjawab pemerintah pada pendidikan, sehingga dapat membantu kepedulian masyarakat dalam membantu pembiayaan pendidikan. Namun, wacana yang dikembangkan adalah “Sekolah Gratis” sehingga mengubur kepedulian masyarakat terhadap pendidikan yang sudah mulai terbangun dalam MBS. Dari hal di atas, pada beberapa sekolah yang pemahaman anggota komite sekolah atau para pendidik masih kurang, menganggap seperti halnya BP3, maka penetapan akuntabilitas pendidikan melalui peran stakeholders pendidikan semakin menurun. Maka, tidak heran jika banyak sekolah yang rusak, lapuk, bahkan ambruk dibiarkan oleh komite sekolah, sambil berharap datang sang penyelamat, yaitu pemerintah.
Dalam hal pengelolaan mikro pendidikanpun masih terdapat beberapa masalah. Pengelolaan pendidikan pada satuan pendidikan tertentu (sekolah) menjadi kewenangan kepala sekolah. Demikian pula, penyelenggaraan pendidikan di kelas memang seluruhnya harus menjadi kewenangan guru. Berdasarkan kewenangan profesionalnya, guru bertugas merencanakan, melaksanakan, dan mengukur hasil pembelajaran.
Pada tingkat SD/MI di kabupaten/kota, ujian akhir masih menjadi kewenangan dinas pendidikan kabupaten/kota, dengan dalih “ikut-ikutan” pemerintah pusat mengendalikan mutu pendidikan di daerah. Padahal, ditinjau dari hakikat pengajaran dan sejalan dengan desentralisasi pendidikan, evaluasi merupakan bagian dari tugas pengajaran seorang guru, sehingga kewenangan itu jangan “direbut” oleh birokrasi pendidikan. Kenyataan itu menunjukkan bahwa impelementasi MBS pada tataran mikro yang masih setengah hati diserahkan.
Sehubungan dengan evaluasi kebijakan pendidikan Era Otonomi masih belum terformat secara jelas maka di lapangan masih timbul bermacam-macam metode dan cara dalam melaksanakan program peningkatan mutu pendidikan. Sampai saat ini hasil dari kebijakan tersebut belum tampak, namun berbagai improvisasi di daerah telah menunjukkan warna yang lebih baik. Misalnya, beberapa langkah program yang telah dijalankan di beberapa daerah, berkaitan dengan kebijakan pendidikan dalam rangka peningkatan mutu berbasis sekolah dan peningkatan mutu pendidikan berbasis masyarakat diimplementasikan sebagai berikut :
      1.      Telah berlakunya UAS dan UAN sebagai pengganti EBTA /EBTANAS
      2.      Telah dibentuknya Komite Sekolah sebagai pengganti BP3.
      3.      Telah diterapkan muatan lokal dan pelajaran ketrampilan di sekolah SLTP  
      4.      Dihapuskannya sistem Rayonisasi dalam penerimaan murid baru
      5.      Pemberian insentif kepada guru-guru negeri  
      6.      Bantuan dana operasional sekolah, serta bantuan peralatan praktik sekolah
    7.  Bantuan peningkatan SDM sebagai contoh pemberian beasiswa pada guru untuk mengikuti program Pascasarjana.
Implementasi kebijakan otonomi pendidikan dalam konteks otonomi daerah sebagai berikut, diantaranya: 
      1.      Secara general otonomi pendidikan menuju pada upaya meningkatkan mutu pendidikan sebagai jawaban atas “kekeliruan” kita selama lebih dari 20 tahun bergelut dengan persoalan-persoalan kuantitas.
      2.      Pada sisi otonomi daerah, otonomi pendidikan mengarah pada menipisnya kewenangan pemerintah pusat dan membengkaknya kewenangan daerah otonom, atas bidang pemerintahan berlabel pendidikan yang harus disertai dengan tumbuhnya pemberdayaan dan partisipasi masyarakat.
    3.      Terdapat potensi tarik menarik antara otonomi pendidikan dalam konteks otonomi daerah dalam menempatkan kepentingan ekonomik dan finansial sebagai kekuatan tarik menarik antara pemerintahan daerah otonom dan institusi pendidikan.
     4.      Kejelasan tempat bagi institusi-institusi pendidikan perlu diformulasikan agar otonomi pendidikan dapat berjalan pada relnya.
    5.      Pada tingkat persekolahan, otonomi pendidikan berjalan atas dasar desentralisasi dan prinsip School Based Management pada tingkat pedidikan dasar dan menengah; penataan kelembagaan pada level dan tempat yang menjadi faktor kunci keberhasilan otonomi pendidikan.
    6.      Sudah selayaknya jika otonomi pendidikan harus bergandengan dengan kebijakan akuntabiliti terutama yang berkaitan dengan mekanisme pendanaan atau pembiayaan pendidikan.  
     7.      Pada level pendidikan tinggi, kebijakan otonomi masih tetap berada dalam kerangka otonomi keilmuan.
    8.      Dalam konteks otonomi daerah, kebijakan otonomi pendidikan tinggi dapat ditempatkan bukan pada kepentingan daerah semata-semata melainkan pada kenyataan bahwa pendidikan tinggi adalah aset nasional.
    9.      Secara makro, apapun yang terkandung di dalamnya, otonomi pendidikan tinggi haruslah menonjolkan keunggulan-keunggulannya.
Menurut Fransisca Kemmerer dalam Ali Muhdi, ada empat bentuk desentralisasi pendidikan, yakni:
      1.      Dekonsentrasi, yakni pengalihan kewenangan ke pengaturan tingkat yang lebih rendah dalam jajaran   birokrasi pusat.
     2.      Pendelegasian, yaitu pengalihan kewenangan ke badan quasi pemerintah atau badan yang dikelola secara   public.
       3.      Devolusi, yakni pengalihan ke unit pemerintahan daerah
       4.      Swastanisasi, berupa pendelegasian kewenangan ke badan usaha swasta atau perorangan.
Menguatnya aspirasi otonomi dan desentralisasi khususnya di bidang pendidikan, tidak terlepas dari kenyataan adanya kelemahan konseptual dan penyelenggaraan pendidikan nasional, khususnya selama orde baru, bahwa di antara masalah dan kelemahan yang sering diangkat dalam konteks ini adalah:
1.       Implementasi Kebijakan pendidikan nasional yang sangat terpusat dan serba seragam, cendrung mengabaikan keragaman realita masyarakat Indonesia di berbagai daerah.
2.      Implementasi kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional lebih berorientasi kepada pencapaian target kurikulum, pada gilirannya mengabaikan proses pembelajaran yang efektif dan mampu menjangkau seluruh ranah dan potensi anak didik. Proses pembelajaran khususnya Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) lebih mengutamakan aspek kognitif dan cenderung mengabaikan ranah afektif dan psikomotorik.

BAB III
KESIMPULAN

Kebijakan dibuat untuk menjadi pedoman dalam bertindak, mengarahkan kegiatan dalam organisasi pendidikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Di era otonomi daerah kebijakan strategis yang diambil Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah adalah : (1) Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (School Based Management), (2) Pendidikan yang berbasis pada partisipasi komunitas (community based education), (3) Dengan menggunakan paradigma belajar atau learning paradigma, (4) Pemerintah juga mencanangkan pendidikan berpendekatan Broad Base Education System (BBE)
Proses implementasi kebijakan hanya dapat dimulai apabila tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang semula bersifat umum telah dirinci, program-program aksi telah dirancang dan sejumlah dana/biaya telah dialokasikan untuk mewujudkan tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran tersebut.
Evaluasi kebijakan pendidikan Era Otonomi masih belum terformat secara jelas maka di lapangan masih timbul bermacam-macam metode dan cara dalam melaksanakan program peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu aturan-aturan dan pedoman-pedoman yang sudah dirumuskan perlu ditinjau kembali sehingga menyebabkan peninjauan ulang terhadap pembuatan kebijakan pada segi implementasinya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi Daerah, Jakarta: Media Sarana Press, 1987.
Ali Imron,  Kebijakan Pendidikan Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
Aris Pongtuluran, Kebijakan Organisasi dan Pengambilan Keputusan Manajerial, Jakarta: LPMP, 1995.
H.A.R. Tilaar,             Kebijakan Pendidikan: Pengantar untuk memahami kebijakan pendidikan dan kebijakan pendidikan sebagai kebijakan public, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
J.Wayong,  Asas dan Tujuan Pemerintahan Daerah, Jakarta: Penerbit Djambatan, 1979.
Joko Widodo, Analisis Kebijakan Publik Konsep dan Aolikasi Analisis Proses Kebijakan Publik, Malang: Bayumedia Publishing, 2007.
Riant Nugroho, Otonomi Daerah, Desentralisasi Tanpa Revolusi, Jakarta: PT Elex Media Computindo, 2000.
Said Zainal Abidin, Kebijakan Publik, Jakarta: Suara Bebas, 2006.
Syafaruddin, Efektivitas Kebijakan Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2008.
Tim Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989.