BAB I
PENDAHULUAN
Pada
dasarnya pendidikan nilai merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga,
sekolah dan masyarakat. Akhir-akhir ini hubungan antara ketiga lingkungan
pendidikan itu tidak lagi menjadi kekuatan utama dalam membangun pendidikan
nilai. Kekurang harmonisan hubungan itu tidak terlepas dari pengaruh
globalisasi informasi dan modernisasi. Eksistensi pendidilan nilai pada tiga
lingkungan pendidikan itu mengalami stagnasi dengan ditengarai oleh munculnya
berbagai permasalahan kehidupan manusia yang semakin kompleks.
Kompleksitas
permasalahn di atas mengemuka dalam tatanan global yang ditandai oleh munculnya
berbagai masalah dan isu-isu global seperti pelanggaran hak-hak asasi manusia,
fenomena kekerasan, rusaknya lingkungan hidup, runtuhnya perdamaian dunia,
penyalahgunaan narkotika dan sebagainya. Dunia pendidikan hingga saat ini masih
diwarnai perilaku siswa membolos, berkelahi atau tawuran, mencuri dan
menganiaya, mengkonsumsi minuman keras, narkotika, bahkan peredaran adegan
porno yang diperankan para pelajar.
Permasalahan
tersebut menuntut adanya pemikiran yang berkaitan dengan sistem pembelajaran
pendidikan agama Islam dan pola pendidikan nilai yang cocok dilingkungan
jenjang pendidikan masing-masing. Pola-pola pendidikan dan pembelajaran yang
dilakukan hendaknya mengembangkan dan menyadarkan siswa terhadap nilai
kebenaran, kejujuran, kebijakan, kearifan, dan kasih sayang, sebagai
nilai-nilai universal yang dimiliki oleh semua agama terutama agama Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Pembelajaran
PAI sebagai bagian dari pendidikan agama telah diamanatkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (3) bahwa: "Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang". Atas
dasar amanat ini, makat, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pada Pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Dalam
Penjelasan Umum UU Nomor 20 Tahun 2003 ini ditegaskan bahwa strategi pertama
dalam melaksanakan pembaruan sistem pendidikan nasional adalah
"pelaksanaan pendidikan agama dan nilai akhlak mulia".
B.
Konsep Pendidikan Nilai
1.
Pengertian Nilai
Nilai, menurut K. Bertens, adalah sesuatu yang menarik bagi kita,
sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan
diinginkan. Sesuatu yang bernilai bagi seseorang jika menimbulkan ‘perasaan
positif’: suka, senang, simpati, gembira, tertarik, dan sesuatu yang tidak
bernilai akan menimbulkan ‘perasaan negatif’: marah, tidak senang, benci,
antipati, dst.
2.
Pengertian Pendidikan Nilai
Kaswardi (1993) sebagaimana yang dikutip oleh Zaim El Mubarok
menyebutkan bahwa, pendidikan nilai merupakan penanaman dan pengembangan
nilai-nilai pada diri seseorang. Sedangkan Mardimadja (1986) mendefinisikan
pendidikan nilai sebagai bantuan terhadap peserta didik agar menyadari dan
mengalami nilai-nilai serta menempatkannya secara integral dalam keseluruhan
hidupnya. Kedua pakar ini sepakat bahwa konsep pendidikan nilai bukanlah
kurikulum tersendiri yang diajarkan lewat beberapa mata pelajaran tetapi
mencakup seluruh proses pendidikan. Pendidikan nilai adalah ruh pendidikan itu
sendiri, jadi dimanapun diajarkan pendidikan nilai akan muncul dengan
sendirinya.
3.
Tujuan dan Landasan Pendidikan Nilai
Rohamat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai sebagaimana
yang di kutip oleh Maksudin , tujuan pendidikan nilai dapat diklasifikasikan
atas dua hal berikut. Pertama, tujuan umum, yaitu untuk membantu peserta
didik agar memhami, menyadari, dan mengalami nilai-nilai serta mampu
menempatkannya secara integral dalam kehidupan. Untuk mencapai tujuan itu
tindakan-tindakan pendidikan hendaknya mengarah pada perilaku yang baik dan
benar. Kedua, tujuan khusus, seperti yang dirumuskan Komite APEID (Asia and the Pasific Programme
of Educational Innovation For Development), bahwa pendidikan nilai
bertujuan untuk: menerapkan pembentukan nilai kepada anak, menghasilkan sikap
membimbing perilaku yang konsisten dengan nilai-nilai tersebut. Dengan
demikian, tujuan pendidikan nilai meliputi tindakan mendidik yang berlangsung
mulai dari usaha penyadaran nilai sampai pada perwujudan perilaku-perilaku yang
bernilai.
Ada empat landasan yang berkaitan dengan pendidikan nilai, yakni
landasan filosofis, psikologis, sosiologis, dan estetis yang akan penulis
jabarkan sebagai berikut:
a.
Landasan
filosofis memiliki dua kemungkinan posisi. Pertama, filsafat pendidikan
nilai pada dasarnya tidak berpihak pada salah satu kebenaran tentang hakikat
manusia yang dicapai oleh suatu aliran pemikiran karena nilai adalah esensi
hakikat manusia yang dapat mewakili semua pandangan. Kedua, filsafat
pendidikan nilai berlaku secara selektif terhadap kebenaran hakikat manusia yang
dicapai oleh suatu aliran pemikiran
tertentu karena nilai selain bagian dari esensi manusia juga menyangkut
substansi kebenaran yang dapat berlaku kontekstual dan situasional.
b.
Landasan
psikologis berkaitan dengan aspek motivasi, perbedaan individu, dan tahapan
belajar nilai dimana setiap individu tidak sama persis namun terjadi perbedaan
aspek psikis yang berpengaruh pada perilaku masing-masing.
c.
Landasan
sosiologis berhubungan dengan hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Proses
sosial melibatkan sentimen sosial yang berkadar kebaikan terhadap orang lain
dan sentimen yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan pribadi.
d.
Landasan
estetik berkaitan dengan persoalan manusia sebagai makhluk yang memiliki cita
rasa keindahan yang berkembang sesuai dengan potensi setiap individu dalam
menilai objek yang bernilai seni atau karya seni. Keanekaragaman cita rasa keindahan
yang dimiliki masing-masing individu dapat dijadikan sebagai ajang penyadaran
nilai-nilai keindahan dan penyertaan timbangan rasa secara optimal.
4.
Pendekatan Pendidikan Nilai Dalam Kerangka Pembelajaran Pendidikan
Agama Islam
Uraian tentang pendekatan-pendekatan pendidikan nilai, yang akan penulis jelaskan sebagai berikut:
a. Pendekatan Penanaman Nilai: Pendekatan yang memberi penekanan pada
penanaman nilai-nilai sosial (hablumminanas) dalam diri siswa.
b. Pendekatan perkembangan Kognitif: mendorong siswa untuk berfikir aktif
tentang masalah-masalah moral (akhlak) dan dalam membuat keputusan-keputusan.
c.
Pendekatan
analisis nilai (Values anlysis approach) memberikan penekanan pada perkembangan
kemampuan siswa untuk berfikir logis.
d.
Pendekatan
klarifikasi nilai (values clarification approach): memberi penekanan
pada usaha membantu siswa dalam megkaji perasaan dan perbuatannya sendiri,
untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri.
e.
Pendekatan
pembelajaran berbuat (action learning approach) memberi penekanan pada
usaha memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan
moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu
kelompok.
C.
Keterpaduan Pendidikan Nilai dalam Pembelajaran Pendidikan Agama
Islam
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Pendidikan agama adalah usaha-usaha secara sistematis dan pragmatis
dalam membantu anak didik agar supaya mereka hidup sesuai dengan ajaran Islam.
Ada juga yang berpendapat bahwa pendidikan Islam adalah proses pewarisan dan
pengembangan budaya manusia yang bersumber dan berpedoman ajaran Islam sebagaimana
termaktub dalam Al-Qur’an dan terjabar dalam Sunah Rasul.
Sementara itu masih mengenai pengertian pendidikan Islam pakar
lainnya berpendapat bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani
berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian
utama menurut Ukuran-ukuran Islam. Muhammad Athiyah al-Abrasyi memberikan
pengertian bahwa pendidikan Islam (al-Tarbiyah al-Islamiyah) yaitu
mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan berbahagia, mencintai
tanah air, tegap jasmaninya; sempurna budi pekertinya (akhlaknya),
teratur pikirannya, halus perasaannya, mahir dalam pekerjaannya, manis tutur
katanya baik dengan lisan atau tulisan.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas pendidikan Islam adalah
pendidikan yang mengutaman proses pembelajaran yang di dasari pada al-qur’an
dan al-hadis dengan tujuan untuk membentuk generasi muslim yang
cerdas secara intelektual, sosial, emosional mampu menciptakan hubungan baik
dengan Allah (hablumminallah), berhubungan baik dengan sesama manusia (hablumminanas),
dab berhubungan baik dengan alam (hablumminal alam).
Pembelajaran adalah setiap perubahan perilaku yang relatif permanen, terjadi
sebagai hasil dari pengalaman. Secara
sederhana, istilah pembelajaran (instruction) bermakna sebagai “upaya
untuk membelajarkan seseorang atau kelompok orang melalui berbagai upaya (effort)
dan berbagai strategi, metode dan pendekatan ke arah pencapaian tujuan yang
direncanakan”. Dengan demikian, makna pembelajaran merupakan kondisi eksternal
kegiatan belajar, yang antara lain dilakukan oleh guru dalam mengkondisikan
seseorang untuk belajar.
D.
Strategi Dan Metodologi Pendidikan Nilai Dalam Kerangka Pembelajaran
Pendidikan Agama Islam
Strategi
adalah pendekatan secara keseluruhan yang berkaitan dengan pelaksanaan gagasan, perencanaan, dan eksekusi sebuah
aktivitas dalam kurun waktu
tertentu. Pengertian metodologi, berasal dari kata metode, dari Bahasa Yunani
methodos yang berarti cara atau jalan yang ditempuh. Sehubungan dengan
upaya ilmiah, maka, metode menyangkut masalah
cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu
yang bersangkutan.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas,
strategi suatu cara, ide untuk mencapai target yang telah ditentukan, adapun
metodologi adalah suatu ilmu yang digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan,
atau bagaimana cara melakukan atau membuat sesuatu.
Pembelajaran
merupakan suatu proses untuk meramu sarana dan prasarana pendidikan dengan
tujuan untuk mencapai kualitas sebagaimana yang dirumuskan. Tercapainya lulusan
dengan kualitas yang baik sangat dipengaruhi oleh seberapa jauh guru mampu
mengelola atau mengolah segala komponen pendidikan melalui proses pembelajaran.
Meskipun didukung oleh sarana dan prasarana yang lengkap dan memadai, tetapi
jika guru tidak mampu mengelolanya dengan baik, maka kualitas pembelajaran juga
tidak akan bisa mencapai hasil maksimal.
Strategi
dan metodologi Penanaman Nilai-nilai dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
sesuai dengan jenjang masing-masing pendidikan, sbb:
1.
Pembelajaran PAI di jenjang Madrasah Ibtidaiyah (MI)
Jenjang MI merupakan pendidikan yang mendasari jenjang pendidikan
berikutnya. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa keberhasilan pendidikan di MI
sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pada jenjang berikutnya. Esensi
pembelajaran di tingkat MI adalah berupaya untuk menanamkan semangat atau jiwa
keimanan (tauhid) kepada Allah SWT. Upaya menanamkan jiwa ketauhidan
bisa dilakukan dengan cara doktrin terhadap anak didik. Doktrin bisa dilakukan
berdasarkan kemampuan improvisasi yang dimiliki oleh masing-masing guru.
Substansi doktrinnya adalah bagaimana agar anak didik memiliki ketertarikan dan
kedekatan terhadap Allah SWT. Dengan demikian, kompetensi bagi lulusan MI
adalah memiliki kualitas keimanan yang baik.
Ditinjau dari peran dan tanggung jawab guru dalam mewujudkan
keberhasilan pembelajaran MI, guru memiliki tanggung jawab yang sangat besar.
Peran guru untuk mewujudkan keberhasilan anak didik dalam belajar berkisar 90%,
sedangkan anak didik hanya 10%. Hal ini menunjukkan bahwa peran guru sangat
menentukan karakterisitik dan kemampuan anak didik dalam memahami materi
pelajaran. Jika guru rendah motivasi mengajarnya dan sempit wawasan
pengetahuannya, maka anak didikpun akan rendah motivasi belajarnya dan sempit
pula pengetahuan atau wawasannya.
2.
Pembelajaran PAI di jenjang Madrasah Tsanawiyah (MTs)
Pembelajaran di jenjang MTs tidak lagi menggunakan doktrinasi,
tetapi lebih pada proses untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman terhadap
dalil atau dasar tentang segala sesuatu yang dikerjakan. Misalnya, anak didik
mengerti mengapa umat Islam diwajibkan shalat lima waktu sehari semalam, anak
didik mengerti alasan atau dalil mengapa umat Islam diwajibkan menjalankan
ibadah puasa ramadhan dan lain sebagainya. Anak didik juga mengetahui mengapa
manusia dilarang bertengkar, konflik, dan hidup bermasyarakat secara damai,
rukun, dan saling membantu, manusia dilarang berbuat zina, mencuri, dan juga
dilarang melakukan korupsi.
Untuk mewujudkan keberhasilan pembelajaran, guru memiliki peran
60%, sedangkan anak didik memiliki peran berkisar 40%. Artinya, semakin tinggi
jenjang pendidikan, peran dan tanggung jawab guru semakin berkurang, tetapi
substansi materi justru semakin meningkat. Oleh karena itu guru harus melakukan
inovasi dalam pembelajaran.
3.
Pembelajaran PAI di jenjang Madrasah Aliyah (MA)
Pembelajaran dijenjang Madrasah Aliyah (MA) lebih menekankan pada
optimalisasi peran rasionalitas anak didik. Pembelajaran bersifat rasionalisasi
dalil dan pembiasaan perbedaan pendapat. Dua hal ini menjadi penting
disampaikan di jenjang MA dengan harapan para lulusan MA sudah memiliki kemapanan
daya rasionalitasnya dan terbiasa menghadapi perbedaan atau problem
kehidupannya. Guru harus mampu mendesain pembelajarannya dengan lebih
menekankan aspek rasionalitas terhadap teks-teks norma ajaran agama.
Konsekuensinya, guru harus mampu melakukan rasionalitasi terhadap teks-teks
yang ada dalam ajaran atau norma agama Islam.
Peran atau tanggung jawab guru dan anak didik dalam mewujudkan
kualitas pembelajaran sama besar. Guru memiliki peran berkisar 50%, anak didik
juga memiliki peran berkisar 50%. Hal ini menunjukkan bahwa guru dan anak didik
pada jenjang MA harus sama-sama memiliki semangat dan motivasi yang jelas dan
tinggi. Meskipun dilengkapi dengan fasilitas yang lengkap, tetapi kalau guru
dan anak didik tidak memiliki motivasi pembelajaran yang tinggi, maka
pembelajaran akan gagal. Guru dan anak didik dituntut memiliki semangat untuk
memanfaatkan segala sarana yang ada di sekolah untuk keberhasilan pembelajaran.
Guru harus menyadari bahwa mengajar memiliki sifat yang sangat
kompleks karena melibatkan aspek pedagogis, psikologis, dan didaktis secara
bersama. Aspek pedagogis menunjuk pada kenyataan bahwa mengajar di sekolah
berlangsung dalam suatu lingkungan pendidikan, karena itu guru harus
mendampingi pesrta didik menuju kesuksesan belajar atau kedewasaan. Aspek
psikologis menunjuk pada kenyataan bahwa peserta didik yang belajar pada
umumnya memiliki taraf perkembangan yang berbeda satu dengan lainnya, sehingga
menuntut materi yang berbeda pula. Demikian halnya kondisi peserta didik,
kompetensi, dan tujuan yang harus mereka capai juga berbeda. Selain itu, aspek
psikologis menunjuk pada kenyataan bahwa proses belajar itu sendiri mengandung
variasi.
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan bab VI pasal 28 ayat 3 dinyatakan bahwa guru minimal memiliki empat kompetensi,
yaitu: kompetensi pedagogis, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan
kompetensi sosial. Dalam peraturan Kementrian Agama kompetensi guru di bagi
lima yaitu: kompetensi pedagogis, kompetensi kepribadian, kompetensi
profesional kompetensi sosial dan leadership.
4.
Pembelajaran PAI di Perguruan Tinggi
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) yang berbasis nilai di
era globalisasi menuntut guru atau dosen untuk mengubah paradigma atau mindset,
sebab peserta didik bukan hanya
diposisikan sebagai individu, tetapi tetapi ia warga lokal dan global.
Pembelajaran di jenjang Perguruan Tinggi diwujudkan dalam bentuk pembelajaran
yang berpusat pada peserta didik (mahasiswa)
sebagai proses aktualisasi dirinya dengan memberikan program-program
untuk melayani keperluan dan kemampuan-kemampuan serta minat individu untuk
lebih banyak belajar mancari dan menemukan sendiri cara membentuk pengetahuan
dan dalam mencari makna atau mendorong peserta didik (mahasiswa) agar belajar mandiri dan mengetahui tentang
bagaimana cara belajar (learning how to learn).
Kegiatan pembelajaran (Perguruan Tinggi), perlu mempertimbangkan
dan mengembangkan kecakapan-kecakapan hidup, terutama yang diperlukan oleh
pesrta didik di era globalisasi setelah mereka lulus dan memasuki lapangan
kerja atau dalam melakukan pengabdian dan berpartisipasi dalam pembangunan
masyarakat. Menurut hasil survai tentang apa yang harus dikuasi dan dimiliki
oleh seorang lulusan adalah sebagai berikut: effective communication,
problem-solving ability, analytical, skills, team work, flexibility and
adaptability, can work crossculturally, leadership, second language,
IT/Computing, understanding globalization era, personality.
Berbagai
kecakapan hidup tersebut perlu diinternalisasikan ke dalam strategi
pembelajaran ilmu-ilmu agama Islam. Pembelajaran di era globalisasi yang
memposisikan peserta didik (mahasiswa) sebagai individu, warga lokal (nasional)
dan global sebagaimana uraian di atas akan berimplikasi pada cara belajarnya
serta model pembelajaran pendidikan agama Islam yang dikembangkan oleh guru
atau dosen.
E.
Model-Model Pembelajaran Pendidikan Agama Islam dalam Interaksi Edukatif Value.
Model-model
pembelajaran pendidikan agama Islam interaksi edukatif value dapat penulis bagi
sebagai berikut:
1.
Model-model
pembelajaran Quantum Teaching yaitu model pembelajaran yang terkandung
berbagai macam metode pengajaran yang diolah menjadi satu, seperti metode
ceramah, diskusi, tanya jawab, demonstrasi, penugasan, studi banding, pemecahan
masalah, simulasi, eksperimen, proyek, dan lain sebagainya. Berbagai metode
pengajaran ini satu dan lainnya saling berhubungan dan membentuk Quantum
Teaching. model pembelajaran ini senada dengan Q.S. al-Baqarah: [2]: 29.
Dalam kerangka pendidikan nilai berbasis pendidikan Islam peserta
didik dapat terbina seluruh potensinya serta memiliki sikap percaya diri,
kreatif, inovatif, kritis dan demokratis.
2.
Model
Problem Based Learning (PBL) merupakan model pembelajaran yang bertumpu
pada kreativitas, inisiatif, inovasi, dan motivasi para siswa. Dengan PBL,
proses belajar lebih banyak bertumpu pada kegiatan para siswa secara mandiri,
sementara guru bertindak sebagai desainer, perancang, fasilitator,motivator
atas terjadinya kegiatan belajar mengajar tersebut. Model pembelajaran ini
senada dengan QS. al-Ahzab [33]: 45-46.
Melalui PBL, seorang siswa didesain agar memiliki keterampilan
dalam memecahkan masalah serta memiliki nilai-nilai ketahanan fisik dan mental
yang selanjutnya dapat ia terapkan pada saat menghadapi masalah yang
sesungguhnya di masyarakat.
3 .
Model
pembelajaran kooperatif dan interaktif learning. Torsten Husein (1998:
80) sebagaimana dikutif oleh abuddin nata bahwa Model pembelajaran kooperatif
dan interaktif learning adalah model pembelajaran yang terjadi sebagai akibat
dari adanya pendekatan pembelajaran yang bersifat kelompok. Model pembelajaran
ini senada dengan Q.S. al-Maidah [5]: 2
Internalisasi nilai dalam kerangka
pembelajaran pendidikan Agam Islam memerlukan ‘dukungan perasaan positif’,
semisal: minat, perhatian, dan kecintaan, agar ‘suatu nilai’ bisa menjadi
sesuatu ‘yang bernilai’ bagi peserta didik. Inilah sebenarnya orientasi dari
pendidikan nilai. Nilai sebagai sesuatu yang berada di balik materi
pembelajaran’ karena tidak cukup hanya diterangkan, dijelaskan, dan diuraikan,
perlu “pelibatan” peserta didik secara kognitif, afektif, dan psikomotorik (yang
dalam konsep klarifikasi nilai meliputi: memilih, menilai, dan melakukan;
berefleksi dan berafeksi). Konsekuensinya, penilaian terhadap hasil ‘pendidikan
nilai’ tidak cukup dengan tes, melainkan juga dengan semisal melalui penilaian performance,
portofolio, proyek, penilaian proses dan hasil belajar (bersifat menyeluruh dan
kontinu).
Dengan
model pembelajaran ini akan mendapatkan berbagai pengetahuan, keterampilan,
nilai-nilai, sikap dan pengalaman dalam memecahkan berbagai masalah yang
terkait dengan kegiatan pembelajaran.
BAB III
KESIMPULAN
Setiap
proses pendidikan merupakan fenomena empiris yang didalamnya serat dengan
muatan nilai. Proses pendidikan merupakan sarana yang tepat untuk menanamkan
nilai-nilai moral kepada peserta didik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
nilai merupakan roh pendidikan, sehingga setiap unsur di dalam proses dan hasil
pendidikan sebaiknya berorientasi pada nilai.
Konsep
awal pendidikan nilai adalah komponen yang menyentuh filosofis tujuan
pendidikan yaitu memanusiakan manusia, membangun manusia paripurna dan
membentuk insan kamil atau manusia seutuhnya dan pendidikan harus berorientasi
pada kebutuhan-kebutuhan dasar yang mempunyai nilai religius dalam konteks
sosioantropologis.
Pembelajaran
Pendidikan Agama Islam tidak saja didesain dari keragaman karakteristik siswa
secara dangkal, tetapi lebih dari itu, yakni hendaknya digagas dan dikelola
dengan sedapat mungkin memerhatikan faktor kecerdasan dan penanaman nilai.
Proses pembelajaran merupakan interaksi edukatif antara peserta didik dengan
guru, peserta didik dengan lingkungan sekolah dan peserta didik-guru dengan
lingkungan sekolah.
Guru
sebagai bagian dari kerangka sistem pendidikan diharapkan untuk selalu
mengembangkan keterampilan mengajar yang sesuai dengan kemajuan zaman dan
lingkungan lokal dimana proses pendidikan itu dilaksanakan. Posisi strategis
guru dalam proses pembelajaran menuntut guru untuk selalu melakukan
pengembangan dan pembaruan (berinovasi).
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Perspektif
Islam Tentang Starategi Pembelajaran, Jakarta: Prenada Media Group, 2011.
Ahmad D.
Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Al Ma’arif, 1980.
Ahmad
Zayadi, Abdul Majid, Tadzkirah Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Berdasarkan Pendekatan Kontekstual, Jakarta: Raja Grafindo, 2005.
E.
Mulyasa, Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kretif dan
Menyenangkan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005.
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2001.
Mahmud
Arif, Materi Mata Kuliah Pembelajaran PAI: Strategi dan Metodologi, konsentrasi
Pendidikan Agama Islam, Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2013.
Maksudin,
Pendidikan Nilai Konprehensif: Teori dan Praktik, Yogykarta: UNY Press,
2009.
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan
Islam, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2009.
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam,
Jakarta: Kalam Mulia, 1994.
Robbins,
Stephen P. Perilaku Organisasi, Jakarta: Salemba Empat, 2007.
Undang-undang
Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Zaim Elmubarok, Membumikan
Pendidikan Nilai, Bandung: Alfabeta, 2008.
Zakiah Derajat, Metodologi
Pengajaran Agama, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Zuhairini, dkk.
Metodik Khusus Pendidikan Agama dilengkapi dengan sistem modul dan permainan
non simulasi, Surabaya: Biro Ilmiah Fakultas Tarbiah IAIN Sunan Ampel
Malang, usaha Offset Printing, 1983.
,
dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.