BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Undang-undang (UU) Nomor 25 Tahun
2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS), dinyatakan bahwa ada tiga
tantangan besar dalam bidang pendidikan di Indonesia, yaitu pertama, mempertahankan hasil-hasil pembangunan
pendidikan yang telah dicapai; kedua, mempersiapkan sumber daya manusia
yang kompeten dan mampu bersaing dalam pasar kerja global; dan ketiga, sejalan
dengan diberlakukannya otonomi daerah sistem pendidikan nasional dituntut untuk
melakukan perubahan dan penyesuaian sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan
yang lebih demokratis, memperhatikan keberagaman, memperhatikan kebutuhan
daerah dan peserta didik, serta mendorong peningkatan partisipasi masyarakat.
Dalam upaya implementasi dan memaksimalisasi
penyelenggaraan otonomi daerah sistem pendidikan tersebut, sekarang
dikembangkanlah konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), yang berupaya
meningkatkan peran sekolah dan masyarakat sekitar (stakeholder) dalam
pengelolaan pendidikan, sehingga penyelenggaraan pendidikan menjadi lebih baik
dan mutu lulusan semakin bisa ditingkatkan. MBS memberikan kebebasan dan
kekuasaan yang besar pada sekolah, disertai seperangkat tanggung jawab.
Pengalihan kewenangan pengambilan
keputusan ke level sekolah tersebut, maka sekolah diharapkan lebih mandiri dan
mampu menentukan arah pengembangan yang sesuai dengan kondisi dan tuntutan
lingkungan masyarakatnya. Atau dengan kata lain, sekolah harus mampu
mengembangkan program yang relevan dengan kebutuhan masyarakat.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep implemantasi kebijakan
pendidikan di Indonesia?
2. Apa fungsi implemantasi kebijakan
pendidikan di Indonesia?
3. Bagaimana analisis
arah implemantasi kebijakan pendidikan di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep
Implemantasi Kebijakan Pendidikan
- Pengertian Implementasi dan Kebijakan Pendidikan
Implementasi adalah: pelaksanaaan,
penerapan. Menurut Joko Wododo, implementasi merupakan suatu proses yang
melibatkan sejumlah sumber yang termasuk manusia, dana, dan kemampuan organisasional
yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta (individu atau kelompok). Proses
tersebut dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh
pembuat kebijakan.
Kebijakan (policy) secara
etimologi (asal kata) diturunkan dari bahasa Yunani, yaitu “Polis” yang
artinya kota (city). Dalam hal ini, kebijakan berkenaan dengan gagasan
pengaturan organisasi dan merupakan pola formal yang sama-sama diterima
pemerintah/lembaga sehingga dengan hal itu mereka berusaha mengejar tujuannya. Abidin,
menjelaskan kebijakan adalah keputusan pemerintah yang bersifat umum dan
berlaku untuk seluruh anggota masyarakat. Ali Imron dalam bukunya Analisis
Kebijakan Pendidikan menjelaskan bahwa kebijakan pendidikan adalah salah satu
kebijakan Negara.
Berdasarkan beberapa pengertian di
atas dapat penulis analisis bahwa implementasi kebijakan adalah aturan tertulis
yang merupakan keputusan formal organisasi, yang bersifat mengikat, yang
mengatur prilaku dengan tujuan untuk menciptakan tata nilai baru dalam
masyarakat. Kebijakan akan menjadi rujukan utama para anggota organisasi atau
anggota masyarakat dalam berprilaku dan Kebijakan pada umumnya bersifat problem
solving dan proaktif. Berbeda dengan Hukum (Law) dan Peraturan (Regulation),
kebijakan lebih adaptif dan interpratatif, meskipun kebijakan juga mengatur
“apa yang boleh, dan apa yang tidak boleh”. Kebijakan juga diharapkan dapat
bersifat umum tetapi tanpa menghilangkan ciri lokal yang spesifik. Kebijakan
harus memberi peluang diinterpretasikan sesuai kondisi spesifik yang ada.
2.
Ciri-ciri
Kebijakan Pendidikan
Guna meningkatkan Kebijakan pendidikan memiliki karakteristik yang
khusus, yakni:
a.
Memiliki
tujuan pendidikan.
Kebijakan
pendidikan harus memiliki tujuan tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk
memberikan kontribusi pada pendidikan.
b.
Memenuhi
aspek legal-formal.
Kebijakan
pendidikan tentunya akan diberlakukan, maka perlu adanya pemenuhan atas
pra-syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan itu diakui dan secara
sah berlaku untuk sebuah wilayah. Maka, kebijakan pendidikan harus memenuhi
syarat konstitusional sesuai dengan hierarki konstitusi yang berlaku di sebuah
wilayah hingga ia dapat dinyatakan sah dan resmi berlaku di wilayah tersebut.
Sehingga, dapat dimunculkan suatu kebijakan pendidikan yang legitimat.
c.
Memiliki
konsep operasional
Kebijakan
pendidikan harus mempunyai manfaat operasional agar dapat diimplementasikan dan
ini adalah sebuah keharusan untuk memperjelas pencapaian tujuan pendidikan yang
ingin dicapai.
d.
Dibuat
oleh yang berwenang
Kebijakan
pendidikan itu harus dibuat oleh para ahli di bidangnya. Para administrator
pendidikan, pengelola lembaga pendidikan dan para politisi yang berkaitan
langsung dengan pendidikan adalah unsur minimal pembuat kebijakan pendidikan.
e.
Dapat
dievaluasi
Kebijakan
pendidikan itu pun tentunya tak luput dari keadaan yang sesungguhnya untuk
ditindak lanjuti. Jika baik, maka dipertahankan atau dikembangkan, sedangkan
jika mengandung kesalahan, maka harus bisa diperbaiki.
f.
Memiliki
sistematika
Kebijakan
pendidikan tentunya merupakan sebuah sistem juga, oleh karenanya harus memiliki
sistematika yang jelas menyangkut seluruh aspek yang ingin diatur olehnya. Hal
ini harus diperhatikan dengan cermat agar pemberlakuannya kelak tidak
menimbulkan kecacatan hukum secara internal. Kemudian, secara eksternal pun
kebijakan pendidikan harus bersepadu dengan kebijakan lainnya; kebijakan
politik; kebijakan moneter; bahkan kebijakan pendidikan di atasnya atau
disamping dan dibawahnya, serta daya saing produk yang berbasis sumber daya
lokal.
B.
Fungsi Implementasi Kebijakan Pendidikan
Fungsi implementasi kebijakan
pendidikan, sebagai berikut: pertama: pedoman untuk bertindak; kedua,
pembatas prilaku; dan ketiga: bantuan bagi pengambil keputusan.
Berdasarkan penegasan di atas dapat
disimpulkan bahwa fungsi kebijakan dibuat untuk menjadi pedoman dalam
bertindak, mengarahkan kegiatan dalam organisasi untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Dengan kata lain, kebijakan merupakan garis umum untuk bertindak
bagi pengambilan keputusan pada semua jenjang organisasi.
C.
Arah Kebijakan Pendidikan di Indonesia (Studi Analisi Terhadap UU
SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003).
Kebijakan pendidikan di Indonesia
berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, diarahkan untuk mencapai hal-hal sebagai berikut:
1.
Mengupayakan
perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi
bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas
tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti;
2.
Meningkatkan
kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan
tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal
terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat
mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga kependidikan;
3.
Melakukan
pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum, berupa
diversifikasi kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik, penyusunan
kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat,
serta diversifikasi jenis pendidikan secara professional;
4.
Memberdayakan
lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan
nilai, sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga dan
masyarakat yang didukung oleh sarana dan prasarana memadai;
5.
Melakukan
pembaharuan dan pemantapan sistem pendidikan nasional berdasarkan prinsip
desentralisasi, otonomi keilmuan dan manajemen;
6.
Meningkatkan
kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun
pemerintah untuk memantapkan sistem pendidikan yang efektif dan efisien dalam
menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
7.
Mengembangkan
kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu dan
menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen
bangsa agar generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai dengan
hak dukungan dan lindungan sesuai dengan potensinya;
8.
Meningkatkan
penguasaan, pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi,
termasuk teknologi bangsa sendiri dalam dunia usaha, terutama usaha kecil,
menengah, dan koperasi
D.
Analisis Implementasi Kebijakan Pendidikan di Era Otonomi Daerah
Perkataan otonomi atau autonomy
berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri, dan nomos
yang berarti hukum atau aturan. Dalam konteks etimologis ini, beberapa penulis
memberikan pengertian tentang otonomi. Otonomi diartikan sebagai zelfwetgeving
atau “pengundangan sendiri”. “perundangan sendiri” menurut perkembangan
sejarahnya di Indonesia, istilah otonomi selain mengandung arti “perundangan”,
juga mengandung pengertian “pemerintahan” (bestuur). “mengatur atau
memerintah sendiri”. Otonomi daerah adalah kebebasan untuk memelihara dan
memajukan kepentingan khusus daerah, dengan keuangan sendiri, menentukan hukum
sendiri, dan pemerintahan sendiri.
Dari beberapa konsep dan batasan di
atas, otonomi daerah jelas menunjuk pada kemandirian daerah, dimana daerah
diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri tanpa
atau mengupayakan seminimal mungkin adanya campur tangan atau intervensi pihak
lain atau pemerintah pusat dan pemerintah di atasnya. Dengan adanya otonomi
tersebut, daerah bebas untuk berimprovisasi, mengekspresikan dan
mengapresiasikan kemampuan dan potensi yang dimiliki, mempunyai kebebasan
berpikir dan bertindak, sehingga bisa berkarya sesuai dengan kebebasan yang
dimilikinya.
Menurut kebijakan pemerintah yang
tertuang dalam UU No. 22 Tahun 1999 mengenai Otonomi Daerah dan sejalan dengan
itu UU No. 25 tahun 1999 mengenai Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan
Daerah merupakan konsekuensi dari keinginan era reformasi untuk menghidupkan
kehidupan demokrasi. Maka Di era otonomi daerah kebijakan strategis yang
diambil Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah adalah : (1)
Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (School Based Management)
yang memberi kewenangan pada sekolah untuk merencanakan sendiri upaya
peningkatan mutu secara keseluruhan; (2) Pendidikan yang berbasis pada
partisipasi komunitas (community based education) agar terjadi
interaksi yang positif antara sekolah dengan masyarakat, sekolah sebagai community
learning centre; dan (3) Dengan menggunakan paradigma belajar atau learning
paradigma yang akan menjadikan pelajar-pelajar atau learner menjadi
manusia yang diberdayakan. (4) Pemerintah juga mencanangkan pendidikan
berpendekatan Broad Base Education System (BBE) yang memberi pembekalan
kepada pelajar untuk siap bekerja membangun keluarga sejahtera.
Dengan pendekatan itu setiap siswa
diharapkan akan mendapatkan pembekalan life skills yang berisi pemahaman
yang luas dan mendalam tentang lingkungan dan kemampuannya agar akrab dan
saling memberi manfaat. Lingkungan sekitarnya dapat memperoleh masukan baru
dari insan yang mencintainya, dan lingkungannya dapat memberikan topangan hidup
yang mengantarkan manusia yang mencintainya menikmati kesejahteraan dunia
akhirat.
Pada awal tahun 2001 digulirkan
program MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Program ini diyakini akan
memberdayakan masyarakat pemerhati pendidikan (stakeholders) dalam
memberikan perhatian dan kepeduliannya terhadap dunia pendidikan, khususnya
sekolah. Dalam menerapkan konsep MBS, mensyaratkan sekolah membentuk Komite
Sekolah yang keanggotaannya bukan hanya orangtua siswa yang belajar di sekolah
tersebut, namun mengikutsertakan pula guru, siswa, tokoh masyarakat dan
pemerintahan di sekitar sekolah, dan bahkan pengusaha.
Sebetulnya, sejak program MBS ini
digulirkan, peran komite sekolah mulai tampak, terutama dalam menghimpun
sumber-sumber pendanaan pendidikan, baik sebagai dukungan terhadap penyediaan
sarana dan prasarana pendidikan maupun untuk peningkatan kualitas pendidikan.
Tentu saja, termasuk pula untuk peningkatan kualitas kesejahteraan guru di
sekolah itu. Namun, peran komite di tingkatan pendidikan dasar (SD/MI dan
SMP/MTs) yang sudah mulai bagus ini terhapus kembali oleh program berikutnya,
yaitu Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Program ini sesungguhnya sangat
baik, sebagai salah satu bentuk tanggungjawab pemerintah pada pendidikan,
sehingga dapat membantu kepedulian masyarakat dalam membantu pembiayaan
pendidikan. Namun, wacana yang dikembangkan adalah “Sekolah Gratis” sehingga
mengubur kepedulian masyarakat terhadap pendidikan yang sudah mulai terbangun
dalam MBS. Dari hal di atas, pada beberapa sekolah yang pemahaman anggota
komite sekolah atau para pendidik masih kurang, menganggap seperti halnya BP3,
maka penetapan akuntabilitas pendidikan melalui peran stakeholders pendidikan
semakin menurun. Maka, tidak heran jika banyak sekolah yang rusak, lapuk,
bahkan ambruk dibiarkan oleh komite sekolah, sambil berharap datang sang
penyelamat, yaitu pemerintah.
Dalam hal pengelolaan mikro
pendidikanpun masih terdapat beberapa masalah. Pengelolaan pendidikan pada
satuan pendidikan tertentu (sekolah) menjadi kewenangan kepala sekolah.
Demikian pula, penyelenggaraan pendidikan di kelas memang seluruhnya harus
menjadi kewenangan guru. Berdasarkan kewenangan profesionalnya, guru bertugas
merencanakan, melaksanakan, dan mengukur hasil pembelajaran.
Pada tingkat SD/MI di
kabupaten/kota, ujian akhir masih menjadi kewenangan dinas pendidikan
kabupaten/kota, dengan dalih “ikut-ikutan” pemerintah pusat mengendalikan mutu
pendidikan di daerah. Padahal, ditinjau dari hakikat pengajaran dan sejalan
dengan desentralisasi pendidikan, evaluasi merupakan bagian dari tugas
pengajaran seorang guru, sehingga kewenangan itu jangan “direbut” oleh
birokrasi pendidikan. Kenyataan itu menunjukkan bahwa impelementasi MBS pada
tataran mikro yang masih setengah hati diserahkan.
Sehubungan dengan evaluasi kebijakan
pendidikan Era Otonomi masih belum terformat secara jelas maka di lapangan
masih timbul bermacam-macam metode dan cara dalam melaksanakan program
peningkatan mutu pendidikan. Sampai saat ini hasil dari kebijakan tersebut
belum tampak, namun berbagai improvisasi di daerah telah menunjukkan warna yang
lebih baik. Misalnya, beberapa langkah program yang telah dijalankan di
beberapa daerah, berkaitan dengan kebijakan pendidikan dalam rangka peningkatan
mutu berbasis sekolah dan peningkatan mutu pendidikan berbasis masyarakat
diimplementasikan sebagai berikut :
1.
Telah
berlakunya UAS dan UAN sebagai pengganti EBTA /EBTANAS
2.
Telah
dibentuknya Komite Sekolah sebagai pengganti BP3.
3.
Telah
diterapkan muatan lokal dan pelajaran ketrampilan di sekolah SLTP
4.
Dihapuskannya
sistem Rayonisasi dalam penerimaan murid baru
5.
Pemberian
insentif kepada guru-guru negeri
6.
Bantuan
dana operasional sekolah, serta bantuan peralatan praktik sekolah
7. Bantuan
peningkatan SDM sebagai contoh pemberian beasiswa pada guru untuk mengikuti
program Pascasarjana.
Implementasi kebijakan otonomi
pendidikan dalam konteks otonomi daerah sebagai berikut, diantaranya:
1.
Secara
general otonomi pendidikan menuju pada upaya meningkatkan mutu pendidikan
sebagai jawaban atas “kekeliruan” kita selama lebih dari 20 tahun bergelut
dengan persoalan-persoalan kuantitas.
2.
Pada
sisi otonomi daerah, otonomi pendidikan mengarah pada menipisnya kewenangan
pemerintah pusat dan membengkaknya kewenangan daerah otonom, atas bidang
pemerintahan berlabel pendidikan yang harus disertai dengan tumbuhnya
pemberdayaan dan partisipasi masyarakat.
3.
Terdapat
potensi tarik menarik antara otonomi pendidikan dalam konteks otonomi daerah
dalam menempatkan kepentingan ekonomik dan finansial sebagai kekuatan tarik
menarik antara pemerintahan daerah otonom dan institusi pendidikan.
4.
Kejelasan
tempat bagi institusi-institusi pendidikan perlu diformulasikan agar otonomi
pendidikan dapat berjalan pada relnya.
5.
Pada
tingkat persekolahan, otonomi pendidikan berjalan atas dasar desentralisasi dan
prinsip School Based Management pada tingkat pedidikan dasar dan
menengah; penataan kelembagaan pada level dan tempat yang menjadi faktor kunci
keberhasilan otonomi pendidikan.
6.
Sudah
selayaknya jika otonomi pendidikan harus bergandengan dengan kebijakan
akuntabiliti terutama yang berkaitan dengan mekanisme pendanaan atau pembiayaan
pendidikan.
7.
Pada
level pendidikan tinggi, kebijakan otonomi masih tetap berada dalam kerangka
otonomi keilmuan.
8.
Dalam
konteks otonomi daerah, kebijakan otonomi pendidikan tinggi dapat ditempatkan
bukan pada kepentingan daerah semata-semata melainkan pada kenyataan bahwa
pendidikan tinggi adalah aset nasional.
9.
Secara
makro, apapun yang terkandung di dalamnya, otonomi pendidikan tinggi haruslah
menonjolkan keunggulan-keunggulannya.
Menurut Fransisca Kemmerer dalam Ali
Muhdi, ada empat bentuk desentralisasi pendidikan, yakni:
1.
Dekonsentrasi,
yakni pengalihan kewenangan ke pengaturan tingkat yang lebih rendah dalam
jajaran birokrasi pusat.
2.
Pendelegasian,
yaitu pengalihan kewenangan ke badan quasi pemerintah atau badan yang dikelola secara public.
3.
Devolusi,
yakni pengalihan ke unit pemerintahan daerah
4.
Swastanisasi,
berupa pendelegasian kewenangan ke badan usaha swasta atau perorangan.
Menguatnya aspirasi otonomi dan
desentralisasi khususnya di bidang pendidikan, tidak terlepas dari kenyataan
adanya kelemahan konseptual dan penyelenggaraan pendidikan nasional, khususnya
selama orde baru, bahwa di antara masalah dan kelemahan yang sering diangkat
dalam konteks ini adalah:
1.
Implementasi
Kebijakan pendidikan nasional yang sangat terpusat dan serba seragam, cendrung mengabaikan
keragaman realita masyarakat Indonesia di berbagai daerah.
2.
Implementasi
kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional lebih berorientasi kepada
pencapaian target kurikulum, pada gilirannya mengabaikan proses pembelajaran
yang efektif dan mampu menjangkau seluruh ranah dan potensi anak didik. Proses
pembelajaran khususnya Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) lebih
mengutamakan aspek kognitif dan cenderung mengabaikan ranah afektif dan
psikomotorik.
BAB III
KESIMPULAN
Kebijakan
dibuat untuk menjadi pedoman dalam bertindak, mengarahkan kegiatan dalam
organisasi pendidikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Di era
otonomi daerah kebijakan strategis yang diambil Direktorat Jenderal Pendidikan
Dasar dan Menengah adalah : (1) Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (School
Based Management), (2) Pendidikan yang berbasis pada partisipasi komunitas
(community based education), (3) Dengan menggunakan paradigma belajar
atau learning paradigma, (4) Pemerintah juga mencanangkan pendidikan
berpendekatan Broad Base Education System (BBE)
Proses
implementasi kebijakan hanya dapat dimulai apabila tujuan-tujuan dan
sasaran-sasaran yang semula bersifat umum telah dirinci, program-program aksi
telah dirancang dan sejumlah dana/biaya telah dialokasikan untuk mewujudkan
tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran tersebut.
Evaluasi
kebijakan pendidikan Era Otonomi masih belum terformat secara jelas maka di
lapangan masih timbul bermacam-macam metode dan cara dalam melaksanakan program
peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu aturan-aturan dan pedoman-pedoman
yang sudah dirumuskan perlu ditinjau kembali sehingga menyebabkan peninjauan
ulang terhadap pembuatan kebijakan pada segi implementasinya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Beberapa
Pemikiran Tentang Otonomi Daerah, Jakarta: Media Sarana Press, 1987.
Ali Imron, Kebijakan Pendidikan Indonesia, Jakarta:
Bumi Aksara, 1995.
Aris
Pongtuluran, Kebijakan Organisasi dan Pengambilan Keputusan Manajerial, Jakarta:
LPMP, 1995.
H.A.R. Tilaar, Kebijakan Pendidikan: Pengantar
untuk memahami kebijakan pendidikan dan kebijakan pendidikan sebagai kebijakan public,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
J.Wayong, Asas dan Tujuan Pemerintahan Daerah, Jakarta:
Penerbit Djambatan, 1979.
Joko Widodo, Analisis
Kebijakan Publik Konsep dan Aolikasi Analisis Proses Kebijakan Publik, Malang:
Bayumedia Publishing, 2007.
Riant Nugroho, Otonomi
Daerah, Desentralisasi Tanpa Revolusi, Jakarta: PT Elex Media Computindo,
2000.
Said Zainal
Abidin, Kebijakan Publik, Jakarta: Suara Bebas, 2006.
Syafaruddin, Efektivitas
Kebijakan Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2008.
Tim
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1989.