Ada kesan yang tidak tepat selama ini bahwa ibadah puasa menjadikan
produktivitas kerja muslim menjadi menurut drastis. Ini disebabkan karena tidak
adanya bahan makan yang diolah menjadi energy. Akibatnya, tubuh terasa lemas
dan tidak bergairah dalam bekerja. Kesan ini diperkukuh dengan adanya
keringanan yang diberikan atasan/pimpinan kepada karyawan/pegawai untuk masuk kerja
lebih lama dan pulang lebih cepat dari jadwal semula. Jika ada pegawai yang
tampak loyo tidak bersemangat, pimpinan segera memakluminya bahwa pegawai
tersebut sedang berpuasa.
Secara jujur harus
diakui kesan ini bertentangan dengan hakikat yang dikandung oleh ibadah puasa
itu sendiri. Bahkan sebaliknya, ibadah puasa itu semestinya dapat memotivasi
setiap muslim untuk lebih bersemangat dan bergairah dalam bekerja sehingga ia
akan menjadi lebih produktif dari masa-masa sebelumnya.
Para ahli
psikoanalisis selalu menggambarkan manusia senantiasa dalam proses
tarik-menarik antara unsur jasmaniah dan unsur rohaniyah. al-Qur’an menyebutnya
dalam Q.S. al-syams ayat 8 dengan kata fujur dan kata takwa. Fujur adalah
keinginan untuk selalu melanggar perintah Allah SWT dan takwa adalah keinginan
untuk selalu mematuhinya. Fujur berasal dari tanah (kecendrungan
jasmani) takwa berasal dari roh (kecendrungan rohani).
Unsur jasmaniyah
yang berasal dari tanah menjadikan manusia cendrung memenuhi kebutuhan fa’ali-nya
seperti makan, minum, kebutuhan seksual, dan materi yang sebenarnya tidak
memiliki titik henti. Sering kali dalam
memenuhi kebutuhan ini manusia tidak lagi memerhatikan ajaran-ajaran agamanya
dan cendrung untuk menghalalkan segala cara. Akhirnya, jadilah manusia itu
sebagai makhluk yang rakus dan serakah.
Sedangkan unsur
rohaniyah yang langsung bersumber dari Allah SWT,, membuat manusia cendrung
pada kebenaran, berkeinginan untuk melakukan yang baik-baik dan selalu ingin
dekat kepada asalnya yaitu Allah SWT. Inilah makna bahwa pada dasarnya manusia
itu hanif yang artinya cendrung pada kebenaran (mail ila al-haq).
Kedua potensi
inilah, yang selalu bertarung pada diri manusia yang pada akhirnya dapat
menimbulkan ketimpangan hidup (disharmonis). Dikatakan demikian sering kali
kedua kebutuhan ini tidak seimbang dalam diri manusia. Adakalanya kebutuhan
duniawinya lebih dominan dan terkadang kebutuhan rohaninya yang lebih dominan.
Situasi seperti ini menyiksan kehidupan manusia karena tidak sesuai dengan
fitrahnya sendiri.
Melalui ibadah
puasa ketidakseimbangan ini akan dipecahkan. Disatu sisi setiap orang yang
berpuasa harus mengurangi kebutuhan jasmaninya seperti makan, minum dan
kebutuhan seksual. Pada sisi lain ia juga harus menyuburkan perkembangan
batinnya dengan ibadah puasa, sahat baik fardhu ataupun sunnah, zikir dan
membaca al-Qur’an. Pada akhirinya kebutuhan jasmani yang sebelumnya dominan,
menjadi turun dan kebutuhan rohaninya yang semula rendah dapat dinaikkan
sejajar dengan kebutuhan jasmaninya, sehingga tidak ada yang dominan.
Setelah mencapai
keseimbangan baru tersebut, sebenarnya pribadi muslim tersebut telah kembali kepada
fitrah asalnya, yaitu satu bentuk kehidupan yang alami (natural). Dalam surat al-Rum
ayat 30 Allah berfirman: maka hadapkanlah wajahmu kepada agama yang
hanif (lurus) yang diciptakan Allah SWT sesuai dengan fitrah manusia.
melalui ayat ini tegaslah bahwasanya manusia itu pada hakikatnya dalam kondisi
fitrah. Satu bentuk kehidupan yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan
rohani.
MOTIVASI KERJA
Ada pepatah
Inggris yang popular dikalangan pendidik yaitu, “You can bring a horse to a
river, but you cannot force it to drink”. Maksdunya kira-kira, kita bisa menarik seekor kuda ke tepi sungai, namun apakah
ia mau minum atau tidak, itu sangat bergantung pada kuda itu apakah ia sedang
haus atau tidak, minum disini merupakan dorongan yang harus datang dari dalam.
Dorongan atau kemauan untuk minum inilah yang disebut dengan motivasi.
Di atas penulis
telah menjelasakan bahwa puasa bertujuan mengembalikan manusia pada fitrah
keseimbangan, yaitu manusia yang hanif (selalu cendrung pada kebaikan
dan kebenaran). Kebaikan dan kebenaran inilah yang menjadi motivasi pribadi
muslim dalam hidupnya terutama dalam bekerja. Ia akan selalu berusaha untuk
menghasilkan sesuatu yang terbaik dengan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai
kebenaran. Ketika ia melakukan sesuatu pekerjaan yang tidak baik atau tidak
dengan hasil yang baik maka sebenarnya ia sedang bertarung dengan fitrah
kemanusiaannya. Lebih dari itu, jika pekerjaan itu dilakukan bertentangan
dengan nilai-nilai kebenaran yang diyakininya, ia akan melawan fitrah
kemanusiaannya. Selama ia tidak keluar
dari pertarungan ini hidupnya akan selalu tersiksa yang akan selalu
membawanya kepada spilit personality (keterpecahan pribadi).
Inilah motivasi
kerja yang hakiki, sedangkan motivasi kerja yang dibangun atas
rangsangan-rangsanga duniawi (bonus atau promosi jabatan) atau dalam
bentuk-bentuk penghargaan lainnya, kendati tetap penting, namun bisaanya semu.
Apabila rangsangan itu tidak ada lagi maka motivasi kerjanya menjadi turun.
Akibat buruk lainnya ia akan bersungguh-sungguh berkerja ketika ada pengawasan
atau penilaian dan hanya untuk memperoleh kepentingan sesaat.
Berbeda dengan
orang yang motivasi kerjanya karena dorongan fitrah kemanusiaannya, ada
tidaknya penghargaan atau pengawasan. Ia tetap bekerja dengan baik karena ia
sadar bahwa apa yang dilakukannya merupakan ibadah dalam mencari ridha Allah.
Keridhaan Allah inilah yang menjadi tujuan dalam bekerja.
Pada hakikatnya kerja dalam pandangan Islam adalah mode of existence. Harga manusia
sangat ditentukan oleh amal atau kerja yang dilakukannya. Jika ia melakukan
suatu pekerjaan yang baik dengan penuh kesungguhan ia akan mendapatkan balasan
yang baik di dunia dan di akhirat. Sebaliknya, jika ia melakukan pekerjaan yang
buruk, maka ia akan memperoleh balasannya.
Berkaitan dengan
kerja yang baik dapat di lihat pada hadis Rasul yang menyatakan: “Sesungguhnya
Allah mewajibkan kepada kamu untuk berbuat baik (ihsan) terhadap sesuatu.
Karena itu jika kamu menyembelih, maka berihsanlah dalam penyembelihan itu, dan
seseorang hendaklah menajamkan pisaunya dan menenangkan binatang sembelihannya
itu”.
Ihsan dapat
dikatan optimalisasi hasil kerja dengan jalan melakukan jalan pekerjaan itu
sebaik mungkin dengan tetap mempertimbangkan efisiensi dan daya guna yang
setinggi-tingginya. Pada gilirannya amal (kerja) yang baik itulah yang akan
menghantarkan dirinya mencapai harkat yang tinggi, yaitu bertemu dengan Tuhan
penuh keridhaan seperti yang dinyatakan dalam Q.S. Al-Kahfi [18]: 110.
Dari paparan di atas, semestinya orang
hanya berpuasa akan mendapatkan suasana batin yang relative baru dimana ia akan
memperoleh kembali keseimbangan diri (hanif) yang pada gilirannya akan
memotivasi dirinya untuk lebih bersemangat dalam bekerja tidak saja pada bulan
Ramadhan namun juga pada masa-masa sesudahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis pendapat atau kritik dan saran Anda...
Terimakasih