Indonesia adalah negara
yang berpenduduk majemuk, betapa tidak, negara ini dihuni oleh suku bangsa yang
plural dengan aneka ragam agama atau kepercayaan, suku (yang tersebar di lebih
dari 17 ribu pulau) bahasa daerah yang mencapai lebih dari 500 bahasa dan
budaya. Setiap individu yang hidup di negara ini pasti berhadapan dengan keanekaragaman, kemajemukan menyusup
dan merasuk ke dalam setiap dan seluruh ruang kehidupan, tak terkecuali dalam
hal kepercayaan dan budaya. Pada sisi yang lain, kita pun merasakan bahwa
pendidikan agama yang diberikan di sekolah-sekolah kita pada umumnya tidak
menghidupkan pendidikan multikultural yang baik bahkan cenderung berlawanan.
Akibatnya, konflik sosial sering kali di perkeras oleh adanya legitimasi
keagamaan yang diajarkan dalam pendidikan agama di sekolah-sekolah daerah yang
rawan konflik. Ini membuat konflik mempunyai akar dalam keyakinan keagamaan yang fundamental
sehingga konflik sosial kekerasan
semakin sulit di atasi, karena dipahami sebagai bagian dari panggilan agamanya,
(Mumammad Yusri, FM, 2008).
Indonesia dewasa ini dihadapkan pada ragam persoalan internal dan
eksternal yang ditimbulkan oleh berbagai macam perubahan. Dewasa ini bangsa
Indonesia dilanda dan masih berada di tengah-tengah krisis yang menyeluruh.
Kita dilanda oleh krisis politik, krisis ekonomi, krisis hukum, krisis
kebudayaan dan tidak dapat disangkal juga didalam bidang pendidikan yang tidak
terlepas dari suatu bangsa. Dalam hubungannya dengan pendidikan, semua
permasalahan tersebut sudah barang tentu terakumulasi menuju suatu kebutuhan
bersama, yakni adanya paradigma baru dunia pendidikan.
Menurut Jack D.
Douglas dan Frances Chalut Waksler, yang disunting oleh Abdurrahman Assegaf,
2004, bahwa istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku yang
disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain, secara terbuka (overt)
maupun tertutup (covert), baik yang sifat menyerang (ofensive)
maupun bertahan (defensive). Dari definisi ini, dapat ditarik beberapa
indikator kekerasan. Pertama, kekerasan yang bersifat terbuka yakni
kekerasan yang dapat diamati secara langsung, seperti perkelahian, tawuran,
bentrokan massa, atau yang berkaitan dengan fisik. Kedua, kekerasan yang
bersifat tertutup, yakni kekerasan
tersembunyi atau tidak dilakukan secara langsung, seperti mengancam atau
mengintimidasi, atau simbol-simbol lain yang menyebabkan pihak-pihak tertentu
merasa takut atau tertekan. Ketiga, kekerasan yang bersifat agresif (offensive),
yakni kekerasan yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu, seperti perampasan,
pencurian, pemerkosaan atau bahkan pembunuhan. Keempat, kekerasan yang
bersifat defensif, yakni kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan
perlindungan, seperti berikade aparat untuk menahan aksi demo atau lainnya.
Melalui kasus-kasus yang ada kekerasan, diasumsikan terjadi sebagai akibat dari
situasi dan kondisi tertentu yang melatarbelakanginya.
Kekerasan secara
umum didefinisikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan suatu individu
terhadap individu lain yang mengakibatkan gangguan fisik maupun mental. Dalam
kamus Bahasa Indonesia, kekerasan dimaknai sebagai sifat kekerasan dan paksaan.
Kekerasan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sejumlah
orang yang berposisi kuat (merasa kuat) kepada seseorang atau sejumlah orang
yang berposisi lemah (dipandang lemah atau dilemahkan), yang dengan sarana
kekuatannya, baik secara fisik maupun non fisik dengan sengaja dilakukan untuk
menimbulkan penderitaan kepada obyek kekerasan.
Semua agama menolak kekerasan sebagai prinsip dalam melakukan
suatu tindakan. Pada dasarnya kekerasan adalah prinsip yang bersifat amoral
karena kekerasan selalu mengandaikan pemaksaan kehendak terhadap pihak lain
yang berarti pelanggaran terhadap asas kebebasan dalam interaksi social (Haqqul Yaqin, 2009). Berangkat dari
akumulasi beberapa fenomena tersebut yang merupakan sebuah kejadian yang tidak
bisa dibiarkan, maka harus ada tindakan yang cepat dan tepat untuk mengatasi
persoalan tersebut. Untuk itu, “Peran Pendidikan Islam Upaya
Menaggulangi Perilaku Kekerasan” muncul sebagai
sebuah alternatif dalam memberikan kontribusinya untuk pemecahan masalah.
Agama Islam merupakan agama
yang universal, pertama-tama karena Islam sebagai sikap pasrah dan
tunduk-patuh kepada Allah, sang maha pencipta, adalah pola wujud seluruh alam
semesta berlaku untuk semua tempat waktu. Agama islam hadir untuk mewujudkan
masyarakat yang damai, harmonis, toleran, santun, dengan menyelamatkan manusia dari
kemungkaran, membela, dan menghidupkan keadilan.
Manusia
dengan wujudnya berbangsa-bangsa dan bergolong-golong merupakan sumbangan yang
tak ternilai baginya dalam mempelajari dirinya sendiri, sehingga melahirkan
berbagai ilmu pengetahuan yang berfaedah, seperti; antropologi, sosiologi,
sejarah, kebudayaan, bahasa, politik, dan lain-lain. Dengan ilmu-ilmu ini akan
memudahkan bagi manusia itu sendiri dalam memelihara hubungan antar sesamanya,
baik antar golongan, dalam bermasyarakat maupun antar bangsa ditingkat
internasional. Hubungan ini dikonkritkan dengan berbagai aktifitas yang pada
hakikatnya untuk memenuhi kebutuhan masing-masing (Said Agil Husin
al-Munawir, 2004).
Agama Islam adalah agama perdamaian menolak kekerasan. Perdamaian
merupakan salah satu tuntunan agama yang terpenting, lahir, antara lain, dari
pandangan Islam tentang kesatuan alam raya. Sejak dari bagian yang terkecil
sampai dengan wujud yang paling agung merupakan satu kesatuan: benda tak
bernyawa, tumbuhan yang layu maupun yang segar, binatang melata,manusia, bahkan
malaikat-malaikat kesemuanya berada dalam kesatuan. Semuanya diatur dan
mengarah ke satu tujuan, yakni kepada hakekat tauhid. Alam dengan segala
isinya, bergerak atas dasar satu sistem yang ditetapkan oleh-Nya. Dalam
kesatuannya, seluruh makhluk harus bekerja sama. Dari sinilah perdamaian
memperoleh pijakan sehingga menjadi suatu keharusan.
Perdamaian dunia adalah dambaan Islam. Ini bermula dari kedamaian
jiwa setiap pribadi yang kemudian meningkat kepada kedamaian dalam keluarga
kecil, masyarakat, dan bangsa hingga keseluruh bangsa di dunia. Bahkan hal itu
diharapkan terus meningkat sampai terwujudnya kedamaian dengan seluruh makhluk
yang berpuncak dengan kedamaian di negeri yang kekal atas anugrah yang maha esa
(Allah SWT). Itulah yang selalu dimohonkan oleh Nabi SAW dan diajarkan kepada
umatnya setiap selesai shalat:
“Ya Allah
engkaulah yang maha damai, dari mu bersumber kedamaian, kepada-Mu kembali
kedamaian. Tuhan kami! Hidupkanlah kami dengan penuh kedamaian dan masukkanlah
kami (kelak) di surga-Mu, negri yang
penuh kedaimain. Engkau pemelihara kami, pemilik keagungan dan kemurahan”
(Muhammad Quraish Shihab, 1996).
Maka dari hal tersebut agama Islam menegaskan bahwa hidup bersama
mutlak perlu bagi manusia dalam mempertahankan hidupnya, baik secara
sendiri-sendiri, secara berkelompok maupun secara berbangsa. Sehingga antar
komunitas yang berbeda untuk saling mengenal (ta’aruf), berkompetisi (istibaq),
sehingga memperoleh karakter yang berpredikat shaleh mu’min, dan pada
akhirnya mengantarkan umat Islam kepada kehidupan yang baik (hayatun
thayyibah) jauh dari perilaku kekerasan.
Dalam Islam,
pendidikan merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap umat
Islam, karena melalui pendidikan umat Islam mampu memahami syariat Islam dengan
baik dan benar. Hal ini tidak terlepas dari tujuan hidup umat Islam itu
sendiri, yaitu untuk mewujudkan kehidupan yang selamat, damai, harmonis dan
bahagia, sejahtera di dunia maupun di akhirat kelak. Dengan demikian, kesadaran
akan tujuan hidup umat Islam akan menjadi pendukung yang positif dalam
mewujudkan cita-citanya menuju keridhaan Allah. Maka dengan adanya pendukung
yang positif tersebutlah seorang muslim akan mampu mengaflikasikannya melalui
sarana pendidikan Islam yang dapat mengantarkannya kepada keselamatan di dunia
maupun di akhirat kelak.
Pendidikan
Islam, secara sederhana dapat diartikan sebagai “proses pembimbingan,
pembelajaran dan atau pelatihan terhadap manusia (anak generasi muda) agar
nantinya menjadi orang Islam, yang berkehidupan dan berkepribadian, serta mampu
melaksanakan peranan dan tugas-tugas hidup sebagai “muslim”, yang jika
diindonesiakan menjadi orang muslim atau orang Islam” (Muhaimin, dkk 1996). Dari
pemaparan di atas bahwa manusia memiliki potensi (fitrah). Fitrah
merupakan citra asli manusia, yang berpotensi baik atau buruk dimana
aktualisasinya tergantung pada pilihannya.
Agama Islam, melalui pendidikan dan pembinaan
agar tidak melakukan perilaku yang dapat merugikan pihak lain sudah banyak
dilakukan, sebab dalam Al-Qur’an telah dijelaskan tentang perintah untuk
berbuat amar ma’ruf nahi munkar. Selain
itu, dalam agama Islam juga diberikan pengarahan bahwa sebagai umat Islam
mereka harus mempunyai akhlaqul karimah. Dari sini mempunyai arti bahwa
dalam agama Islam melalui pendidikan yang terinternalisasikan dalam materi dan
metode begitu memperhatikan umatnya dalam menjalani kehidupan yang seharusnya. Maka dalam prakteknya agar Islam menyampaikan pengetahuan tersebut
melalui Pendidikan Agama Islam (PAI). Dengan adanya Pendidikan Agama Islam ini
diharapkan dapat mengakomodir dalam rangka menginternalisasi pengetahuan
tentang pesan-pesan yang termuat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis.
Nasri
Kurnialloh
(Alumni
Kependidikan Islam 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis pendapat atau kritik dan saran Anda...
Terimakasih