Terjadi kegundahan
hebat yang pasti dirasakan masyarakat Indonesia saat ini, bagaimana tidak,
ketika masyarakat harus dihadapkan pada kondisi serba sulit akibat
kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu, disaat yang sama ia disuguhi berita
kasus suap dan korupsi yang terjadi di negeri ini begitu sambung
menyambung. Dalam kurun waktu setahun sampai terakhir artikel ini di
tulis saja tercatat ada lima kasus besar suap dan korupsi yang melibatkan
beberapa ketua Partai, Jenderal Polisi dan Ketua Mahkamah Konstitusi. Kita
tentu ingat kalimat tantangan seorang ketua Partai Demokrat saat itu yang kini
dinon aktifkan, katanya siap digantung di Monas bila terbukti korupsi
satu rupiah saja terkait kasus Hambalang. Dilanjut dengan terbongkarnya kasus
korupsi dan pencucian uang dalam proyek simulator SIM yang dilakukan Kepala
Korlantas Irjen Pol DJoko Soesilo, majelis hakim pun memvonis 10 tahun penjara
dan denda 500 Juta Rupiah. Disusul kasus yang seakan membalik logika dan
prasangka setelah Presiden Partai yang mengklaim ‘Partai Dakwah’
digelandang KPK karena dituduh menerima suap proyek penambahan kuota impor
daging sapi. Kasus terus bergulir, Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini
tiba-tiba mengisi headline berita, ia tertangkap tangan KPK menerima suap dari
Kernel Oil, dengan bukti yang telah disita KPK berupa barang bukti senilai
400ribu US$, uang 90 ribu US$ dan 127 ribu Dollar Singapore. Ibarat bola
salju yang terus menggelinding dan membesar, publik dikejutkan pula dengan
pemberitaan media yang menyebut Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar
tertangkap tangan KPK menerima Suap Rp 3 Miliar terkait sengketa Pilkada, kasus
terakhir ini benar terbukti sungguh sangat sangat.. sangat ironis dan
mengecewakan!
isi pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, yang terdiri
dari empat alenia. Alenia pertama menyebutkan
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak
segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas dunia harus
diharpuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan.”….Tentu kawan-kawan sekalian sudah tahu, bahwa itu adalah
bunyi pembukaaan UUD 1945.
Semasa sekolah dulu, setiap upacara bendera
hari senin, selalu akan terdengar dibacakan pembukaan UUD 1945 tersebut secara
lengkap. Dan pernah sekali waktu saat masih duduk di Sekolah Menengah Atas
(SMA) kelas dua, seorang guru Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaran Negara,
yang bernama bu Chandra, memberikan tugas pada kami untuk menghafalkan isi dari
UUD 1945 tersebut lengkap sampai alenia keempat. Sontak saja seisi kelas kaget,
meskipun sering mendengarnya disetiap upacara bendera hari senin, tapi bukan
berarti menghafalkan UUD 1945 itu adalah sesuatu yang mudah. Tetapi saat itu bu
Chandra memberikan imbalan nilai delapan bagi beberapa anak yang berani untuk
maju, dan membaca UUD 1945 tanpa menggunakan teks sama sekali. Akhirnya selama
satu jam pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Negara itu, hanya ada
tiga anak yang maju dan membacakan UUD 1945 itu tanpa teks, dan tiga anak itu
termasuk saya.
Alenia demi alenia dipaparkan maksud dan
artinya yang terkandung didalamnya. Seperti alenia pertama yang telah saya
sebutkan diatas. Dalam alenia pertama ini, setiap orang yang membacanya pasti
akan langsung mengerti maknanya secara nyata, yaitu bahwa penjajahan itu
tidaklah diperbolehkan dan harus dihapuskan. Mengapa? Karena penjajahan itu
sangatlah menyengsarakan negara yang terjajah dan tentu saja menyengsarakan
kehidupan rakyat Negara yang terjajah. Karena jelas dari hal ini akan terjadi
ketimpangan, adanya ketidakadilan dan adanya kesewenang-wenangan.
Jelas dari situ, bahwa Indonesia adalah salah
satu Negara yang sangat menolak kehadiran penjajahan. Karena yang telah kita
ketahui dalam pelajaran-pelajaran sejarah, bahwa Belanda menjajah Indonesia
selama kurun waktu 350 tahun lamanya. Dan dalam kurun waktu 3,5 abad itu, hanya
dua kurun waktu saja (waktu yang singkat) Indonesia berada ditangan Inggris dan
Jepang.
Belanda menjajah Indonesia dengan mengembangkan
Hindia-Belanda. Hindia –Belanda ini dikuasai oleh syarikat perdagangan yang
dikenal dengan nama VOC (Verenigde Oostindische Compagnie). Tahun 1602, VOC
diberikan hak monopoli atas perdagangan dan penjajahan diwilayah tersebut,
dengan ibu pejabatnya adalah Batavia, yang sekarang bernama Jakarta.
Tujuan dari VOC, adalah jelas untuk mempertahankan monopolinya terhadap
perdangangan rempah-rempah di Nusantara. Yang dalam pelaksanaannya, digunakan
cara-cara kekerasan terhadap penduduk, ancaman, bahkan sampai pembunuhan
terhadap penduduk yang berani menjual rempahnya kepada pihak lain, selain
Belanda.
Setelah tahun 1830, Belanda menerapkan system
tanam paksa (cultuurstelsel). Dimana para penduduk dipaksa untuk menanam hasil
perkebunan yang menjadi permintaan dunia, seperti teh dan kopi. Hasilnya jelas
diekspor keluar Negara. Dan tentu saja ini akan memberikan keuntungan serta
kekayaan yang besar pada pihak Belanda, dan orang-orang pribumi (orang
Indonesia) yang mau bekerjasama dengan Belanda. Dan tentu saja disinilah
terjadi ketimpangan-ketimpangan, ketidakadilan dan juga tiada rasa kemanusiaan.
Maka penjajahan itu tidaklah diperkenankan. Ya..itu dulu penjajahan yang
dilakukan oleh Belanda, yang tentu saja sangat menyengsarakan rakyat.
Kesejahteraan yang didapat hanya bisa dinikmati oleh orang-orang tertentu saja.
Dijaman yang telah bebas merdeka seperti
sekarang ini, Indonesia masih terbelenggu oleh penjajahan. Penjajahan yang
dilakukan oleh anak bangsa sendiri, yang bernama koruptor. Ini tentu saja
sangat memiriskan hati, anak negeri sendiri menggerogoti tanah airnya sendiri.
Hanya mencari keuntungan bagi dirinya sendiri tanpa memikirkan kemajuan bangsa
dan negaranya, termasuk didalamnya adalah rakyat. Ini jelas sangat bertentangan
dengan pengamalan penbukaan UUD 1945 alenia pertama.
Para koruptor adalah orang-orang yang tak
berhati nurani, merampas uang Negara, yang merupakan uang dari rakyat, untuk
kepentingan diri pribadi, memperkaya diri pribadi, dan untuk kepentingan
golongan tertentu. Ini jelas tidak berperikemanusiaan dan berperikeadilan, maka
disebut sebagai penjajah. Seperti yang telah disebutkan dalam alenia pertama
pembukaan UUD 1945, “…….Penjajahan diatas didunia harus dihapuskan karena tidak
sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan…..”. Tidak berperikemanusiaan
karena dengan seenaknya mengambil uang rakyat untuk dikorupsi, padahal uang itu
adalah untuk kesejahteraan saudara-saudara sebangsa setanah air, tanpa
memikirkan bahwa masih banyak saudara-saudara sebangsa setanah air yang berada
diseluruh penjuru negeri yang masih tertinggal, tanpa aliran listrik, tanpa
pendidikan yang memadai, tanpa sarana jalan yang memadai, tanpa fasilitas
kesehatan yang memadai. Tidak berperikeadilan, karena dengan seenaknya
mengambil uang rakyat, demi kepentingan pribadi, demi kekayaan diri peribadi,
dan juga demi keuntungan golongan tertentu. Inilah para penjajah negeri kita,
yaitu koruptor.
Pernah sekali waktu berbincang dengan seorang
kerabat. Saat itu masih ramai-ramainya pemilu, ya pilkada ya pemilihan
legislative. Untuk bisa masuk menjadi anggota wakil rakyat, apapun akan
dilakukan dan dipertaruhkan. Karena melihat saat itu ada seorang tetangga desa
yang benar-benar ingin menjadi wakil rakyat, dengan segala cara dilakukan,
termasuk menjual segala macam harta benda yang dimiliki, sampai benar-benar
pada titik nol. Ya..yang seperti ini jelas tidak baik. Kalau kata kerabat, “
kalau sampai menjual-jual harta benda hingga ludes, maka dapat dipastikan nanti
ketika duduk menjadi wakil rakyat hal pertama yang dilakukan adalah
mengembalikan modal”. Mengembalikan modal?? Ya…bila ternyata sukses menjadi
wakil rakyat, maka mengembalikan modal itu gampang, dan itu yang akan
dilakukan, mengembalikan harta benda dulu (yang dijual untuk modal kampanye).
Dan ini belum lagi ditambah dengan balas jasa, pada pihak-pihak yang membantu
mengantarkan menjadi jajaran anggota wakil rakyat. Maka korupsi, itulah yang
sering kita dengar.
Banyak telah kita dengar tentang korupsi di
Negara kita, Indonesia. Yang menyeret para pejabat-pejabat Negara. Sebagai
pejabat Negara ataupun menjadi wakil rakyat, seharusnya jelas sangat mengerti
tentang tujuan dirinya untuk menjadi wakil dari suara-suara rakyat, yaitu
memperjuangkan keadilan serta memperjuangakan kesejahteraan untuk rakyat.
Mereka yang duduk dikursi wakil rakyat, tentu sudah lebih paham dengan
basic law (hukum dasar tertulis). Dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 atau UUD ’45, itu adalah basic law. Sehingga seharusnya
para koruptor itu lebih paham akan makna yang terkandung didalamnya,
“……penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan”.
Hukuman
Mati adalah satu kata yang sangat menakutkan bagi koruptor. Secara umum para
koruptor berani melakukan kegiatan hina itu karena dipicu oleh nafsu duniawi
atau cinta dunia (hubuddunya). Sangat jarang atau bahkan tidak ada koruptor
besar (katakanlah diatas milyar) melakukannya karena termotivasi oleh kebutuhan
primer dan sekunder. Mereka melakukannya untuk memenuhi kebutuhan tertiernya,
untuk memenuhi gaya hidup hedonis, bermewah-mewahan. Logikanya, mati adalah
kata yang sangat menakutkan bagi para pecinta dunia, sehingga hukuman mati
efektif sekali dijadikan sebagai hukuman yang dapat menimbulkan efek jera bagi para
koruptor, dalam hal ini para pencuri uang rakyat.
Dengan
penerapan hukuman mati bagi koruptor ini, besar kemungkinan Indonesia akan maju
dan berkembang lebih cepat, tidak perlu menunggu hingga beberapa generasi
melalui cara yang lembut (dipenjara) dan melalui penerapan kurikulum pendidikan
anti korupsi, yang selama ini sudah terbukti bahwa kedua cara itu tidak efektif
dan efisien. Jika tidak, Indonesia akan begini-begini aja, relatif
jalan di tempat, atau bahkan mengalami kemunduran. Upaya pemberantaasn korupsi tak hanya dengan
memberikan hukuman mati saja, namun, seorang pemimpin juga harus dapat
memberikan contoh nyata kepada rakyatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis pendapat atau kritik dan saran Anda...
Terimakasih