Spirit kemanusiaan yang seharusnya
menjadi tujuan utama Islam, dalam banyak kasus tereduksi oleh ritualisme
ibadah-mahdah. Seakan-akan agama hanya media bagi individu untuk berkomunikasi
dengan Tuhannya, yang lepas dari kewajiban sosial-kemanusiaan. Keberagamaan
yang terlalu teosentris dan sangat personal itu, pada akhirnya terbukti
melahirkan berbagai problem sosial dan patologi kemanusiaan.
Idul Adha dan peristiwa kurban yang
setiap tahun dirayakan umat muslim di dunia seharusnya tak lagi dimaknai
sebatas proses ritual, tetapi juga diletakkan dalam konteks peneguhan
nilai-nilai kemanusiaan dan spirit keadilan, sebagaimana pesan tekstual utama
agama."makna kurban"Kurban dalam bahasa Arab sendiri disebut dengan
qurbah yang berarti mendekatkan diri kepada Allah. Dalam ritual Idul Adha itu
terdapat apa yang biasa disebut udlhiyah (penyembelihan hewan kurban). Pada
hari itu kita menyembelih hewan tertentu, seperti domba, sapi, atau kerbau,
guna memenuhi panggilan Tuhan.Idul Adha juga merupakan refleksi atas catatan
sejarah perjalanan kebajikan manusia masa lampau, untuk mengenang perjuangan
monoteistik dan humanistik yang ditorehkan Nabi Ibrahim. Idul Adha bermakna
keteladanan Ibrahim yang mampu mentransformasi pesan keagamaan ke aksi nyata
perjuangan kemanusiaan."berkurban"Dalam konteks ini, mimpi Ibrahim
untuk menyembelih anaknya, Ismail, merupakan sebuah ujian Tuhan, sekaligus
perjuangan maha berat seorang Nabi yang diperintah oleh Tuhannya melalui
malaikat Jibril untuk mengurbankan anaknya. Peristiwa itu harus dimaknai
sebagai pesan simbolik agama, yang menunjukkan ketakwaan, keikhlasan, dan
kepasrahan seorang Ibrahim pada titah sang pencipta.
Bagi Ali Syari’ati (1997), ritual kurban
bukan cuma bermakna bagaimana manusia mendekatkan diri kepada Tuhannya, akan
tetapi juga mendekatkan diri kepada sesama, terutama mereka yang miskin dan
terpinggirkan. Sementara bagi Jalaluddin Rakhmat (1995), ibadah kurban
mencerminkan dengan tegas pesan solidaritas sosial Islam, mendekatkan diri
kepada saudara-saudara kita yang kekurangan.
Dengan berkurban, kita mendekatkan diri
kepada mereka yang fakir. Bila Anda memiliki kenikmatan, Anda wajib berbagi
kenikmatan itu dengan orang lain. Bila Anda puasa, Anda akan merasa lapar
seperti mereka yang miskin. Ibadah kurban mengajak mereka yang mustadh’afiin
untuk merasakan kenyang seperti Anda.
Atas dasar spirit itu, peringatan Idul
Adha dan ritus kurban memiliki tiga makna penting sekaligus. Pertama, makna ketakwaan manusia atas
perintah sang Khalik. Kurban adalah simbol penyerahan diri manusia secara utuh
kepada sang pencipta, sekalipun dalam bentuk pengurbanan seorang anak yang
sangat kita kasihi."idul ahda"Kedua,
makna sosial, di mana Rasulullah melarang kaum mukmin mendekati orang-orang
yang memiliki kelebihan rezeki, akan tetapi tidak menunaikan perintah kurban.
Dalam konteks itu, Nabi bermaksud mendidik umatnya agar memiliki kepekaan dan
solidaritas tinggi terhadap sesama. Kurban adalah media ritual, selain zakat,
infak, dan sedekah yang disiapkan Islam untuk mengejewantahkan sikap kepekaaan
sosial itu. Ketiga, makna bahwa apa
yang dikurbankan merupakan simbol dari sifat tamak dan kebinatangan yang ada
dalam diri manusia seperti rakus, ambisius, suka menindas dan menyerang,
cenderung tidak menghargai hukum dan norma-norma sosial menuju hidup yang
hakiki.
Bagi Syari’ati, kisah penyembelihan
Ismail, pada hakikatnya adalah refleksi dari kelemahkan iman, yang menghalangi
kebajikan, yang membuat manusia menjadi egois sehingga manusia tuli terhadap
panggilan Tuhan dan perintah kebenaran. Ismail adalah simbolisasi dari
kelemahan manusia sebagai makhluk yang daif, gila hormat, haus pangkat, lapar
kedudukan, dan nafsu berkuasa. Semua sifat daif itu harus disembelih atau
dikorbankan.
Pengorbanan nyawa manusia dan harkat
kemanusiaannya jelas tidak dibenarkan dalam ajaran Islam dan agama mana pun.
Untuk itu, Ibrahim tampil menegakkan martabat kemanusiaan sebagai dasar bagi
agama tauhid, yang kemudian dilanjutkan oleh Nabi Muhammad dalam ajaran Islam.
Ali Syari’ati mengatakan Tuhan Ibrahim itu bukan Tuhan yang haus darah manusia,
berbeda dengan tradisi masyarakat Arab saat itu, yang siap mengorbankan manusia
sebagai “sesaji” para dewa.
Ritual kurban dalam Islam dapat dibaca
sebagai pesan untuk memutus tradisi membunuh manusia demi “sesaji” Tuhan.
Manusia, apa pun dalihnya, tidak dibenarkan dibunuh atau dikorbankan sekalipun
dengan klaim kepentingan Tuhan. Lebih dari itu, pesan Iduladha (Kurban) juga
ingin menegaskan dua hal penting yang terkandung dalam dimensi hidup manusia
(hablun minannas) yang didasari oleh semangat
ketauhidan, keesaan Tuhan yang tidak lagi mendiskriminasi ras, suku atau
keyakinan manusia satu dengan manusia lainnya. Di dalam nilai ketauhidan itu,
terkandung pesan pembebasan manusia dari penindasan manusia lainnya atas nama
apa pun. Kedua, Idul Adha juga dapat diletakkan dalam konteks penegakan
nilai-nilai kemanusiaan, seperti sikap adil, toleran, dan saling mengasihi
tanpa dilatarbelakangi kepentingan-kepentingan di luar pesan profetis agama itu
sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis pendapat atau kritik dan saran Anda...
Terimakasih