Ada beberapa pandangan mengenai ciri-ciri ilmu
pengetahuan, diantaranya menurut The Liang Gie menyatakan bahwa ciri-ciri ilmu
pengetahuan antara lain : Pertama, empiris; pengetahuan diperoleh berdasarkan pengamatan dan
percobaan. Kedua, sistematis; data yang tersusun dan memiliki hubungan
ketergantungan dan teratur. Ketiga, objektif; benar-benar bukan dari individu atau prasangka
seseorang. Keempat, Analitis, dan Kelima,
Verifikatif.
Sementara itu, mengetengahkan sifat atau ciri-ciri ilmu
sebagai berikut : Pertama, obyektif;
ilmu berdasarkan hal-hal yang obyektif, dapat diamati dan tidak berdasarkan pada
emosional subyektif. Kedua, koheren; pernyataan/susunan ilmu tidak kontradiksi dengan
kenyataan. Ketiga, reliable;
produk dan cara-cara memperoleh ilmu dilakukan melalui alat ukur dengan tingkat
kerendahan (reabilitas) tinggi. Keempat, valid; produk dan cara-cara memperoleh ilmu
dilakukan melalui alat ukur dengan tingkat keabsahan (validitas) yang tinggi,
baik secara internal maupun eksternal. Kelima, memiliki generalisasi;
suatu kesimpulan dalam ilmu dapat berlaku umum. Keenam, akurat; penarikan kesimpulan memiliki keakuratan
(akurasi) yang tinggi, dan Ketujuh, dapat melakukan prediksi; ilmu
dapat memberikan daya prediksi atas kemungkinan-kemungkinan suatu hal.
Selanjutnya, filsafat
ilmu (pengetahuan) merupakan cabang filsafat yang menelaah baik ciri-ciri
ilmu pengetahuan ilmiah maupun cara-cara memperoleh ilmu pengetahuan ilmiah.
Sehingga ia menyimpulkan bahwa ciri-ciri
ilmu pengetahuan ilmiah adalah sebagai berikut:
- Sistematis.
Ilmu
pengetahuan ilmiah bersifat sistematis artinya ilmu pengetahuan ilmiah dalam
upaya menjelaskan setiap gejala selalu berlandaskan suatu teori. Atau dapat
dikatakan bahwa teori dipergunakan sebagai sarana untuk menjelaskan gejala dari
kehidupan sehari-hari. Tetapi teori itu sendiri bersifat abstrak dan merupakan
puncak piramida dari susunan tahap-tahap proses mulai dari persepsi
sehari-hari/ bahasa sehari-hari, observasi/konsep ilmiah, hipotesis, hukum dan
puncaknya adalah teori.
a.
Persepsi sehari-hari (bahasa sehari-hari).
Dari persepsi
sehari-hari terhadap fenomena atau fakta yang biasanya disampaikan dalam bahasa
sehari-hari diobservasi agar dihasilkan makna. Dari observasi ini akan
dihasilkan konsep ilmiah.
b.
Observasi (konsep ilmiah).
Untuk memperoleh konsep ilmiah atau menyusun konsep
ilmiah perlu ada definisi. Dalam menyusun definisi perlu diperhatikan bahwa
dalam definisi tidak boleh terdapat kata yang didefinisikan. Terdapat 2 (dua)
jenis definisi, yaitu: definisi sejati dan definisi nir-sejati.
Definisi sejati
dapat diklasifikasikan dalam:
1)
Definisi Leksikal. Definisi ini dapat ditemukan dalam kamus, yang biasanya
bersifat deskriptif.
2)
Definisi Stipulatif. Definisi ini disusun berkaitan dengan tujuan tertentu.
Dengan demikian tidak dapat dinyatakan apakah definisi tersebut benar atau
salah. Benar atau salah tidak menjadi masalah, tetapi yang penting adalah
konsisten (taat asas). Contoh adalah pernyataan dalam Akta Notaris: Dalam
Perjanjian ini si A disebut sebagai Pihak Pertama, si B disebut sebagai Pihak
Kedua.
3)
Definisi Operasional. Definisi ini biasanya berkaitan dengan pengukuran (assessment) yang banyak dipergunakan
oleh ilmu pengetahuan ilmiah. Definisi ini memiliki kekurangan karena
seringkali apa yang didefinisikan terdapat atau disebut dalam definisi,
sehingga terjadi pengulangan. Contoh: ”Yang dimaksud inteligensi dalam
penelitian ini adalah kemampuan seseorang yang dinyatakan dengan skor tes
inteligensi”.
4)
Definisi Teoritis. Definisi ini menjelaskan sesuatu fakta atau fenomena
atau istilah berdasarkan teori tertentu. Contoh: Untuk mendefinisikan Superego,
lalu menggunakan teori Psikoanalisa dari Sigmund Freud.
Definisi nir-sejati
dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:
1)
Definisi Ostensif. Definisi ini menjelaskan sesuatu dengan menunjuk
barangnya. Contoh: Ini gunting.
2)
Definisi Persuasif. Definisi yang mengandung pada anjuran (persuasif).
Dalam definisi ini terkandung anjuran agar orang melakukan atau tidak melakukan
sesuatu. Contoh: ”Membunuh adalah tindakan menghabisi nyawa secara tidak
terpuji”. Dalam definisi tersebut secara implisit terkandung anjuran agar orang
tidak membunuh, karena tidak baik (berdosa menurut Agama apapun).
c.
Hipotesis: dari konsep
ilmiah yang merupakan pernyataan-pernyataan yang mengandung informasi, dua
pernyataan digabung menjadi proposisi.
Proposisi yang perlu diuji kebenarannya disebut hipotesis.
d.
Hukum: hipotesis yang sudah diuji kebenarannya disebut
dalil atau hukum.
e.
Teori: keseluruhan dalil-dalil atau hukum-hukum yang
tidak bertentangan satu sama lain serta dapat menjelaskan fenomena disebut
teori.
2.
Dapat dipertanggungjawabkan.
Ilmu pengetahuan
ilmiah dapat dipertanggungjawabkan melalui 3 (tiga) macam sistem, yaitu:
a.
Sistem axiomatis
Sistem ini berusaha
membuktikan kebenaran suatu fenomena atau gejala sehari-hari mulai dari kaidah
atau rumus umum menuju rumus khusus atau konkret. Atau mulai teori umum menuju
fenomena/gejala konkret. Cara ini disebut deduktif-nomologis.
Umumnya yang menggunakan metode ini adalah ilmu-ilmu formal, misalnya
matematika.
b.
Sistem empiris
Sistem ini berusaha
membuktikan kebenaran suatu teori mulai dari gejala/ fenomena khusus menuju
rumus umum atau teori. Jadi bersifat induktif dan untuk menghasilkan rumus umum
digunakan alat bantu statistik. Umumnya yang menggunakan metode ini adalah ilmu
pengetahuan alam dan sosial.
c.
Sistem semantik/linguistik
Dalam sistem ini
kebenaran didapatkan dengan cara menyusun proposisi-proposisi secara ketat.
Umumnya yang menggunakan metode ini adalah ilmu bahasa (linguistik).
3.
Objektif atau intersubjektif
Ilmu pengetahuan
ilmiah itu bersifat mandiri atau milik orang banyak (intersubjektif). Ilmu
pengetahuan ilmiah itu bersifat otonom dan mandiri, bukan milik perorangan
(subjektif) tetapi merupakan konsensus antar subjek (pelaku) kegiatan ilmiah.
Dengan kata lain ilmu pengetahuan ilmiah itu harus ditopang oleh komunitas
ilmiah.
Dari pelbagai uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
ciri-ciri ilmu (pengetahuan) setidaknya memiliki unsur-unsur sebagai berikut
:
1.
Objektif.
Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang
sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya
dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya.
Dalam mengkaji objek, yang dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian antara
tahu dengan objek, sehingga disebut kebenaran objektif; bukan subjektif
berdasarkan subjek peneliti atau subjek penunjang penelitian.
2.
Metodis,
yaitu upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya
penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensinya, harus ada cara tertentu
untuk menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dari bahasa Yunani
“Metodos” yang berarti: cara, jalan. Secara umum metodis berarti metode
tertentu yang digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah.
3.
Sistematis.
Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus
terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk
suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu, dan mampu
menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. Pengetahuan yang
tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu
yang ketiga.
4.
Universal.
Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang bersifat umum
(tidak bersifat tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut 180º. Karenanya
universal merupakan syarat ilmu yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial
menyadari kadar ke-umum-an (universal) yang dikandungnya berbeda dengan
ilmu-ilmu alam mengingat objeknya adalah tindakan manusia. Karena itu untuk
mencapai tingkat universalitas dalam ilmu-ilmu sosial, harus tersedia konteks
dan tertentu pula.
*Rujukan ada pada penulis