Ada pernyataan yang mengungkapkan bahwa “manusia
baru dapat dikatakan sebagi manusia yang sebenarnya, bila ia ada dalam
masyarakat”. Telah menjadi penghayatan kita bersama bahwa bayi sejak lahir
sampai usia tertentu merupakan individu yang tidak berdaya. Tanpa bantuan orang
disekitarnya ia tidak dapat berbuat apa-apa. Segala kebutuhan hidup bayi sangat
bergantung kepada pihak lain. Terutama kepada orang tuanya, lebih khusus lagi
kepada ibunya. Bagi si bayi keluarga merupakan segi tiga abadi (ayah, ibu,
anak) menjadi kelompok sosial pertama dan terutama yang dikenalnya.
Pada perjalanan hidup selanjutnya
dari masa balita, anak sekolah, remaja, sampai dewasa, keluarga tetap menjadi
“kelompok pertama” (primery group) tempat meletakkan dasar kepribadian.
Dalam keluarga, terjadi proses sosialisasi yaitu proses pengintegrasian
individu kedalam kelompok sebagai anggota kelompok yang memberikan landasan
sebagai makhluk sosial. Didalam keluarga itu terjadi proses pendidikan dalam
arti proses “pendewasaan” dari individu yang tidak berdaya kepada calon pribadi
yang mengenal pengetahuan dasar, norma sosial, nilai-nilai, dan etika
pergaulan. Oleh karena itu, keluarga ini juga merupakan “Lembaga Perpustakaan”
bagi individu yang membantunya kedalam suasana yang makin mandiri. Keluarga
sebagai kelompok inti dalam masyarakat,
sangat besar maknanya bagi tiap individu untuk menjadi makhluk sosial yang
integrative sadar sosial (Sumaatmadja, 2000: 31).
Adanya dimensi kesosialan pada diri manusia tampak lebih jelas pada
dorongan untuk bergaul. Dengan adanya dorongan untuk bergaul, setiap orang
ingin bertemu dengan sesamanya. Immanuel Kant seorang filosof tersohor bangsa
Jerman manyatakan: Manusia hanya menjadi manusia jika berada di antara manusia.
Orang hanya dapat mengembangkan individualitasnya di dalam pergaulan sosial.
Seseorang dapat mengembangkan kegemarannya, sikapnya, cita-citanya didalam
interaksi dengan sesamanya. Seseorang berkesempatan untuk belajar dari orang
lain, mengidentifikasi sifat-sifat yang dikagumi dari orang lain untuk
dimilikinya, serta menolak sifat-sifat yang tidak dicocokinya.
Dalam masyarakat terdapat berbagai jenis kelompok, baik berdasarkan
mata pencaharian, letak geografis, warna kulit atau asal keturunan, dan
lain-lain. Namun perbedaan-perbedaan tersebut bukan penghalang untuk mengenal
orang dari kelompok sosial lain. Perbedaan sosial bukanlah sesuatu yang penting
dalam agama Islam. Manusia harus bersikap adil. Allah hanya melihat derajat
manusia dari ketakwaannya. Sebagai makhluk sosial, manusia harus berinteraksi
dengan berbagai pihak.
Interaksi sosial akan menjadi lebih harmonis jika manusia saling
mengenal karakteristik pihak lain. Dengan pemahaman ini manusia dapat meramalkan bagaimana orang lain berfikir,
merasakan dan berperilaku. Kemampuan untuk memahami karakteristik sosial ini
dikenal dengan kognisi sosial, yang mencakup cara berfikir sesorang tentang
diri sendiri dan orang lain. Hanya di dalam berinteraksi dengan sesamanya,
dalam saling menerima dan memberi, seseorang memberi dan menghayati
kemanusiaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis pendapat atau kritik dan saran Anda...
Terimakasih