Sebagaimana
kita maklumi bersama, Barat dan Islam merupakan dua peradaban besar dan penting
yang eksis di muka bumi saat ini, dengan memiliki karakter dan ciri khas
tersendiri. Dalam perspektif sejarah, dua peradaban ini telah melakukan
interaksi yang panjang dalam situasi pahit dan manis selama sekian abad.
Hubungan keduanya banyak diwarnai oleh proses saling belajar, saling memberi,
dan saling menerima, di samping itu antara keduanya juga pernah terjadi ketidak
harmonisan, konflik, dan benturan.
Dalam
konteks tersebut di atas, untuk menata masa depan dunia yang damai, adil dan
makmur, maka sudah seyogianya jika Barat dan Islam belajar dari sejarah masa
lalu yang panjang, mengevaluasi kondisi maupun konflik masa lalu, sehingga kita
bersama mampu mengambil hikmah yang positif dalam rangka membangun masa depan
untuk kemanusiaan yang lebih gemilang. Untuk itu dituntut adanya sikap saling
menerima dan menghargai perbedaan masing-masing.
Barat yang kini mendominasi kepemimpinan dunia, sudah selayaknya
memberikan keteladanan yang tinggi bagi peradaban-peradaban lain, dalam misi
bersama mewujudkan kehidupan umat manusia yang damai, adil dan makmur.
Sebaliknya, dunia Islam juga harus mampu dan mau belajar dari berbagai aspek
positif peradaban Barat, tanpa meninggalkan nilai-nilai asasi dalam Islam.
Malahan jika Barat secara jujur mengakui sumbangan besar dunia. Islam terhadap
peradaban Barat di masa lalu, niscaya sikap saling pengertian dan saling
menghargai antar-peradaban akan lebih mudah dibangun (Muhammad M.
Basyuni: 2010).
Untuk mengatasi konflik tersebut, perlu adanya saling pengertian
dan sikap toleransi yang harus diinternalisasikan pada masing-masing pihak.
Dialog budaya antara Islam dan Barat menjadi peredam bagi benturan antarbudaya.
Jika hal itu terabaikan, masa depan dunia bisa dipastikan akan semakin suram
dan hanya akan mempercepat masa “kiamat”. Perdamaian harus menjadi harga mati
yang tidak boleh ditawar lagi.
Dalam kitab suci Al Quran yang menjadi pedoman hidup umat Islam di
seluruh dunia, Allah SWT menegaskan, sekiranya Allah menghendaki seluruh
manusia bisa dijadikan satu umat saja, tetapi Allah ingin menguji manusia
dengan segala pemberianNya, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan (QS Al-Maidah
[5]: 48). Allah menjadikan umat manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya saling mengenal satu sama lain (QS Al Hujurat [49]: 12)
Di
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di dunia ini, perlunya
mengimplementasikan kembali bahwa kemajemukan merupakan kenyataan yang tidak
dapat ditolak. Saling menghormati perbedaan baik itu diranah bangsa, agama,
suku, ras, dan budaya adalah langkah kongkrit yang patut dijadikan sebuah
pandangan hidup, cita-cita, dan sebagai dasar pijak dalam mengarungi bahtera kehidupan
di dunia.
Manivestasi
pendidikan agama Islam yang dinamis, salah satunya berpijak pada penyebaran
kasih sayang. Berawal dari kasih sayang, umat Islam diharapkan lebih erat dalam
merajut hubungan interaksi dan berdialog antar sesama manusia tanpa memandang
perbedaan bangsa, ras, suku dan agama. Pendidikan Agama Islam
sudah menjadi semestinya untuk mampu mengerakan dan digerakan oleh pemeluknya.
Lebih dari itu pendidikan agama Islam, perlu memberi ruang dialog dengan
tradisi dan budaya, serta mampu merespon tantangan lokal dan global. Demi
menjaga bergairahnya pendidikan agama Islam ditengah-tengah umat manusia, maka
pemaknaan dan penafsiran teks-teks suci keagamaan menjadi sesuatu yang mesti
terus berlangsung dan tidak boleh mandeg. Terlebih, adanya fenomena klaim
kebenaran yang selalu muncul dalam wilayah heterogenitas, semestinya terus
terbungkus dalam satu kerangka yang sama yaitu menegakan kedamaian, kenyamanan
dan keharmonisan antar sesama mahluk. Bukan pula memperuncing perbedaan.
Langkah ini sangat urgen digalakan oleh semua pihak, agar tidak menimbulkan
saling curiga dan mencurigai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis pendapat atau kritik dan saran Anda...
Terimakasih