Jumat, 03 Mei 2013

PENDEKATAN HERMENEUTIK DALAM STUDI ISLAM

AB I
PENDAHULUAN

Kehadiran hermeneutik tidak terlepas dari pertumbuhan dan kemajuan pemikiran tentang bahasa dalam wacana filsafat dan keilmuan lainnya. Pada awalnya, hermeneutik banyak dipakai oleh mereka yang berhubungan erat dengan kitab suci injil dalam menafsirkan kehendak Tuhan kepada manusia. Ilmu ini dikenal dengan tafsir kitab suci, ia berkembang pesat dalam berbagai disiplin keilmuan yang luas. Kajian yang sama juga dilakukan pada teks-teks klasik Yunani dan Romawi. Bentuk hermeneutik dalam kajian di atas mulai berkambang pada abad 17 dan 18.
Kajian terhadap hermeneutik sebagai sebuah bidang keilmuan mulai marak pada abad 20, dimana kajian hermeneutik semakin berkembang. Ia tidak hanya mencakup bidang kajian kitab suci (teks keagamaan) dan teks-teks klasik belaka, melainkan berkambang jauh pada ilmu-ilmu lain seperti sejarah, hukum, filsafat, kesusastraan, dan lain-lain sebagainya yang tercakup dalam ilmu pengetahuan tentang kemanusiaan. Hermeneutik adalah teori tentang bekerjanya pemahaman dalam menafsirkan teks. Hermeneutik mencakup dalam dua fokus perhatian yang berbeda dan saling berinteraksi yaitu; pertama, peristiwa pemahaman terhadap teks. Kedua, persoalan yang lebih mengarah menganai pemahaman interpretasi itu.
Sebenarnya hermeneutika sebagai metode baca teks telah dikenal luas dalam pelbagai bidang keilmuan Islam tradisional, terutama dalam tradisi Fiqh dan tafsir al-qur’an. Sementara itu, hermeneutika modern dalam pemikiran Islam pada dasarnya dapat disebut lompatan besar dalam perumusan metodologi pemikiran Islam pada umumnya dan metode penafsiran al-Qur’an khususnya.  Oleh karena itu, kajian hermeneutika dalam kajian Islam juga perlu dipelajari untuk menambah khazanah keilmuan dan dapat memberikan pengetahuan baru terhadap bagaimana memahami teks serta penafsiran terhadap teks yang akan diteliti.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Hermeneutik
Akar kata hermeneutika berasal dari istilah Yunani dari kata kerja hermeneuin yang berarti menafsirkan, dari kata hermeneia yaitu interpretasi. Maka kata benda hermeneia secara harfiah dapat diartikan sebagai penafsiran yaitu interpretasi. Term ini memiliki asosiasi etimologi dengan nama dewa dalam mitologi Yunani. Hermes, yang mempunyai tugas menyampaikan dan menjelaskan pesan-pesan Tuhan kepada manusia.
Dalam hal ini Hans Georg Gademer menjelaskan bahwasanya hermeneutika adalah seni praktis, yakni techne, yang digunakan dalam hal-hal seperti berceramah, menafsirkan bahasa-bahasa lain, menerangkan dan menjelaskan teks-teks, dan sebagai dasar dari semua ini (ia merupakan) seni memahami, sebuah seni yang secara khusus dibutuhkan ketika makna sesuatu (teks) itu tidak jelas.
Hermeneutika dari segi makna terminologisnya dapat dikatakan bahwasanya hermeneutika adalah suatu proses mengubah sesuatu dari situasi dan makna yang diketahui menjadi dimengerti. Hermeneutika bisa pula digunakan dalam dua bentuk; pertama, pengetahuan tentang makna yang terkandung dalam suatu kata, kalimat, teks, dan lain-lain; kedua, menemukan instruksi-instruksi yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik. Dengan kata lain studi hermeneutik mencoba menganalisis dan menjelaskan teori penafsiran teks (nazariat ta’wil al-nusus) dengan mengajukan pendekatan-pendekatan keilmuan lain yang dengan sendirinya menguji proses pemahaman, mekanisme penafsiran dan penjelasan (teks).
B.     Pendekatan Hermeneutik Dalam Kajian Islam
             Studi Islam, yang mencakup studi teks dan sosial, tentunya harus terus dikembangkan, sehingga       memiliki    kekayaan dan varian-varian temuan yang akan bermanfaat bagi eksistensi bagi keilmuan dan memiliki manfaat pragmatis bagi masyarakat. Kajian teks dalam studi Islam merupakan salah satu bagian penting yang perlu mendapat perhatian. Pengembangan kajian ini bisa dilakukan dengan mencoba mengkaitkannya dengan bidang-bidang lain, seperti linguistik dan hermeneutika. Teori dan pendekatan hermeneutika yang dikemukakan oleh khaled M. Abou Al-Fadl yang tertulis pada: Teks (unsure teks),  Author (unsur pengarang),  Reader (unsur pembaca)
Hermeneutik dalam pemikiran Islam pertama-tama diperkenalkan oleh Hasan Hanafi dalam karyanya yang berjudul Les methods d’exeges. Essai sur la Science des Fordements de la Comprehension, ‘Ilm Ushul al-Fiqh (1965), sekalipun tradisi Hermeneutik telah dikenal luas diberbagai ilmu-ilmu Islam tradisional, terutama tradisi ushul al-fiqh dan tafsir al-Qur’an. Oleh Hasan Hanafi, penggunaan hermenutik pada mulanya hanya merupakan eksperimentasi metodologis untuk melepaskan diri dari positivisme dalam teoritis hukum Islam dan ushul fiqh. Sampai di situ, respon terhadap tawaran atas hermeneutiknya hampir-hampir tidak ada.
Satu hal yang menunjol dari Hermeneutik Hasan Hanafi dalam pemikirannya secara umum adalah muatan idiologisnya yang syarat-syarat dan maksudnya sangat praksis. Tipikal pemikiran revolusioner semacam ini, justru sangat berbeda dengan meinstream umat Islam yang masih terkungkung oleh lembaga-lembaga tradisionalisme dan ortodoksi.
Hermeneutik, sebagaimana disebut di atas, pada dasarnya merupakan suatu metode penafsiran yang berangkat dari analisis bahasa dan kemudian melangkah keanalisis konteks, untuk kemudian “menarik” makna yang didapat ke dalam ruang dan waktu saat proses pemahaman dan penafsiran tersebut dilakukan. Jika pendekatan hermeneutika ini dipertemukan dengan kajian al-Qur’an, maka persoalan dan tema pokok yang dihadapi adalah bagaiman teks al-Qur’an hadir di tengah masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan, dan didialogkan dengan dinamika realitas historisnya.
Lebih jauh merumuskan metode tersebut, Fahrudin Faiz dalam Hermeneutika al-Qur’an menyatakan, ketika asumsi-asumsi hermeneutika diaplikasikan pada Ulumul al-Qur’an, ada tiga variable yang harus diperhatikan, yaitu teks, konteks, dan kontekstualisasi. Tentang teks, sudah jelas ulumul al-Qur’an telah membahasanya secara detail, misalnya dalam sejarah pembukuan mushaf al-Qur’an dengan metode riwayat. Tentang konteks, ada kajian asbabul nuzul, nasikh mansukh, makki-madani yang katanya menunjukkan perhatian terhadap aspek “konteks” dalam penafsiran al-Qur’an. Tapi, faiz menyatakan bahwa kesadaran konteks hanya membawa ke masa lalu. Maka kata dia, harus ditambah variable kontekstualisasi, yaitu menumbuhkan kesadaran akan kekinian dan segala logika serta kondisi yang berkembang didalamnya. Variabel kontekstualisasi ini adalah perangkat metodologis agar teks yang berasal dari masa lalu dapat dipahami dan bermanfaat bagi masa sekarang.
Dalam hal ini dapat dicontohkan tentang hukum potong tangan dalam al-Qur’an. Meski secara tegas dalam al-Qur’an tertulis kewajiban hukum potong tangan bagi pencuri, namun hal tersebut dapat dipahami secara berbeda. Dalam kacamata Hermeneutik, pesan yang tidak terkatakan adalah adanya keadilan dalam pemenuhan hak dan kewajiban. Hak untuk memiliki suatu benda tidak boleh dicapai dengan cara-cara yang mengesampingkan aturan-aturan yang ada. Pada masa teks tersebut turun, keadaan sosial masyarakat Arab ketika itu memang meniscayakan adanya hukum potong tangan. Suatu konstruk budaya Arab ketika itu memang menghendaki adanya hukum potong tangan bagi pencuri. Namun, karena kondisi sosial budaya masyarakat yang tidak sama, maka substansi dari hukum potong tangan lebih dikedepankan. Di Indonesia, hukum potong tangan diganti dengan hukum penjara, suatu upaya yang secara substantiv sama dalam mencegah pengulangan kejahatan yang sama.
C.    Kontribusi Hermeneutik dalam Khazanah Pendidikan Agama Islam
Sampai detik ini, masih terdapat sebagian kalangan umat Islam yang amat anti terhadap manhaj interpretasi ini. Ia dianggap sebagai momok menakutkan yang perlu untuk dibinasakan. Bahkan, bila perlu penafsir yang menggunakan manhaj ini ikut dibinasakan sekaligus. Darahnya halal. Ia dianggap sebagai kafir dan berbagai macam stigma negatif lainnya.
Sikap semacam ini, menurut hemat penulis tidak perlu dilakukan. Jangan kemudian karena manhaj ini berasal dari barat, lantas dengan sangat mudahnya kita mengatakan bahwa manhaj ini adalah manhaj iblis. Setiap yang berasal dari barat haram untuk dimanfaatkan umat Islam. Pandangan seperti ini amatlah naif, tidak dewasa dan cenderung mempunyai sifat egois berlebih.
Alangkah indahnya jika kemudian umat Islam membuka diri pada hal-hal baru yang dirasa membawa manfaat dan kemaslahatan bagi umat Islam secara keseluruhan. Bukankah kita sering mendengar adagium “Al-Muhafadhotu alal Qadim as-Shalih wal Akhdzu bil Jadid al-Ashlah”?
Seorang guru Pendidikan Agama Islam hendaknya memiliki kemampuan pemahaman teks ayat suci dengan konteks secara professional, sehingga ayat suci al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia berlaku sepanjang zaman dan dapat menjadi rujukan utama dalam segala aspek kehidupan.
Menurut Machasin, seorang guru besar di UIN Sunan Kalijaga, ketakutan atas hermeneutik ini, disebabkan adanya paranoid berlebihan bahwa ketika metode hermeneutik ini diaplikasikan dalam interpretasi teks al-Qur’an akan menyebabkan hilangnya kesakralan kitab ini. Kekhawatiran seperti ini sebenarnya dapat dijawab dengan mengatakan bahwa hermeneutika sama sekali tidak berkaitan dengan masalah apakah al-Qur’an itu firman Tuhan atau bukan. Hermeneutika sejatinya hanya ingin mempertanyakan apakah pemahaman kita tentang al-Qur’an sudah benar atau tidak. Dengan demikian unsur sakralitas al-Qur’an masih tetap utuh.
Sebagaimana telah disinggung di atas, Hermeneutik lahir dari rahim mitologi, kemudian berlari ke bibel, lantas tumbuh menjadi salah satu konsentrasi dalam filsafat. Betapapun demikian, “membeli” teori tersebut untuk kemudian diterapkan dalam memahami pesan teks suci al-Qur’an adalah sesuatu yang layak untuk dipertimbangkan. Sebab, salah satu problem yang hendak dipecahkan dalam teori ini adalah bagaimana menafsirkan teks secara kritis, obyektif, dan kontekstual. Teori ini berusaha membaca sebuah teks keagamaan masa silam dan menghadirkannya kembali kepada masyarakat yang hidup dalam tempat dan waktu yang jauh berbeda. Untuk itulah, teori ini sangat layak untuk dikembangkan dalam seni interpretasi teks suci al-Qur’an.
BAB III
KESIMPULAN
Hermeneutika adalah salah satu seni dalam interpretasi teks. Mengingat cara kerja teori ini yang berusaha untuk memahami teks secara komprehensif, maka teori ini sangat relevan untuk penafsiran teks suci al-Qur’an supaya Subtilitas Intelegendi (ketepatan pemahaman) dan Subtilitas ecsplicandi (ketepatan penjabaran) terhadap pesan teks dapat terjaga secara utuh.
Upaya merekonstruksi terhadap corak interpretasi teks al-Qur’an yang literalis-skripturalis dan statis menjadi sebuah keharusan. Salah satu media untuk mencapainya adalah dengan melakukan gebrakan metode interpretasi yang tepat agar tercipta pemahaman keislaman yang fleksibel, kontekstual, tidak statis dan progresif. Wallahu A’lam.
 * Referensi / rujukan ada pada penulis.

2 komentar:

Silahkan tulis pendapat atau kritik dan saran Anda...
Terimakasih