Minggu, 31 Maret 2013

MANFAAT KOMUNIKASI PENDIDIKAN DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

PENDAHULUAN
Teknologi pembelajaran telah berkembang, sebagai teori dan praktik dimana proses, sumber, dan sistem belajar pada manusia baik perseorangan maupun dalam suatu ikatan organisasi dapat dirancang, dikembangkan, dimanfaatkan, dikelola, dan dievaluasi. Dan melalui penerapan teknologi pembelajaran dengan mendayagunakan sumber-sumber belajar untuk tujuan pembelajaran. Salah satu bentuk sumber belajar yang potensial adalah yang dikembangkan berdasarkan teori komunikasi dan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai bentuk dan jenis teknologi komunikasi.
Artinya, media komunikasi massa mempunyai potensi besar untuk digunakan dan dimanfaatkan sebagai sumber belajar dan pembelajaran. Pada hakikatnya teknologi pembelajaran adalah suatu disiplin yang berkepentingan dengan pemecahan masalah belajar dengan berlandaskan pada serangkaian prinsip dan menggunakan berbagai macam pendekatan atau teori komunikasi dan teknologi komunikasi. Setiap teknologi dibangun atas dasar suatu teori tertentu. Demikian pula pada teknologi pembelajaran, dibangun atas dasar prinsip-prinsip yang ditarik dari teori komunikasi terutama hasil-hasil penelitian dalam pemanfaatan media, khususnya media komunikasi. Dan dalam makalah kami akan membahas tentang.Teknologi Komunikasi dalam pembelajaran pendidikan agama Islam (PAI). 
A.      Pengertian Teknologi Komunikasi (TEKKOM) dalam Pembelajaran PAI
Pengertian teknologi komunikasi pendidikan (pembelajran)  dapat dijelaskan melalui dua pendekatan yang pertama adalah dari sudut komunikasi yang berarti eknologi komunikasi yang dipakai dalam bidang pendidikan. Pendekatan yang kedua dari sudut pendidikan yaitu yang mengartikannya sebagai teknologi pendidikan yang memanpaatkan media komunikasi.
Sedangkan pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran.
Pembelajaran dalam kamus besar bahasa Indonesia mengandung arti proses, cara menjadikan orang atau makhluk hidup belajar. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam adalah suatu upaya membuat peserta didik dapat belajar, butuh belajar, terdorong belajar, mau belajar dan tertarik untuk terus menerus mempelajari agama Islam, baik untuk kepentingan mengetahui bagaimana cara beragama yang benar maupun mempelajari Islam sebagai pengetahuan.
Pembelajaran pada hakekatnya adalah proses komunikasi yang berkaitan dalam usaha mencapai tujuan pembelajaran (kompetensi) yang ditetapkan. Media sebagai alat, metode berfikir yang digunakan dalam rangka mengefektifkan komunikasi dan interaksi antara guru dan siswa dalam proses pembelajaran agar dapat membantu mempercepat merangsang pikiran, perasaan, dan kemauan siswa sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar pada dirinya. Penggunaan teknologi komunikasi ini secara kreatif akan memungkinkan siswa untuk belajar lebih baik dan meningkatkan performan mereka sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Media pembelajaran Pendidikan Agama Islam menurut Martin dan Briggs mencakup segala sumber kebutuhan dalam berkomunikasi dengan peserta didik. Media dapat berupa perangkat keras (hardware) seperti komputer, televisi, proyektor, orang, alat dan bahan cetak lainnya. Selain itu perangkat lunak (software) juga dapat digunakan pada perangkat keras tersebut.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa teknologi komunikasi dalam pembelajaran pendidikan agama Islam (PAI) adalah teknologi pendidikan yang memanfaatkan media komunikasi dalam pembelajaran PAI.
NB. Data Rujukan Ada Pada Penulis.

Minggu, 17 Maret 2013

PERKEMBANGAN POLITIK PENDIDIKAN DI INDONESIA



 Di Indonesia, kepedulian terhadap hubungan pendidikan dan politik sudah mulai berkembang dalam wacana publik, walaupun belum menjadi satu bidang kajian akademik. Publikasi yang menggunakan tema pendidikan dan politik belum tampak ke permukaan. Kalau pun ada, fokus bahasannya belum begitu menyentuh aspek-aspek subtantif hubungan politik dan pendidikan. Namun, masih diseputar aspek-aspek ideologis politik kependidikan. Namun demikian, keyakinan akan adanya hubungan yang erat antara pendidikan dan politik tampaknya sudah mulai tumbuh.
“Politics inseparable from education”. Demikianlah judul berita yang dimuat pada harian The Jakarta Post edisi 16 Maret 2001, halaman 1. Paragraph pertama pada berita tersebut adalah sebagai berikut : “politics is inseparable from education, unless the country plans to generate ‘illiterate politicians’ who could not be expected to lead the republic out of the current crises” (politik tidak terpisahkan dari pendidikan kecuali jika negeri ini ingin memiliki generasi yang buta politik, yang tidak bisa diharapkan mengeluarkan negeri ini dari krisis). Kalimat tersebut dikutip dari Muchtar Buchori, salah seorang pembicara dalam seminar tentang Education and the Nation’s crisis. Paragraph tersebut juga mengutip penegasan Buchori; “you cannot escap politics or separate it from education” (anda tidak dapat lari dari politik atau memisahkan dari politik). Empat hari kemudian, 20 Maret 2001, The Jakarta Post kembali memuat rangkuman hasil seminar tersebut dengan judul politics, education inseparable.
Buchori menambahkan dalam presentasinya bahwa “politics is the way to manage the board environment, and not merely a strunggle for power. Therefoe it is the duty of schools to help students differentiate between good politics and bad politics” (politik adalah cara untuk mengelola lingkungan yang luas, bukan hanya perebutan kekuasaan. Maka, adalah tugas sekolah untuk membantu para pelajar untuk dapat membedakan antara politik baik dan politik tidak baik) berbicara dalam konteks Indonesia, Buchori percaya bahwa “poor education is one source of the country’s crisis” (pendidikan tidak bermutu adalah salah satu sumber krisis di negeri ini).  Dia menjelaskan lebih jauh bahwa “the crisis now facing the nation (Indonesia) stems from an accumulation of inappropriate or wrong political dicisions generated in the past” (krisis yang saat ini melanda bangsa Indonesia bersumber dari akumulasi keputusan-keputusan politik yang tidak tepat yang terjadi pada masa lalu). Dia menambahkan; “Pada masa lalu kita mempunyai generasi pemimpin politik yang membawa bangsa ini kepada kemerdekaan. Akan tetapi, akhirnya kita melihat suatu generasi yang membuat keputusan-keputusan politik yang menyesatkan.”
Ketika ditanya apakah politik harus memasuki wilayah pendidikan atau sebaliknya, Buchori mengatakan bahwa para mahasiswa harus belajar tentang tanggung jawab warga negara (civic responsibility). Dia menegaskan “Inilah yang saya maksud dengan tidak keterpisahan antara politik dan pendidikan”. Para mahasiswa, lanjutnya, tidak boleh acuh tak acuh terhadap segala sesuatu yang berlansung diluar lingkungan perguruan tinggi. Buchori manambahkan “pemisahan antara politik dan pendidikan diberlakukan pada masa 30 tahun kekuasaan Soeharto yang otoriter”. Pada masa tersebut, tandasnya, politik digambarkan sebagai sesuatu yang kotor dan gambaran tersebut masih berkembang saat ini”. Ia menyimpulkan “kita tidak akan pernah bisa lari dari politik. Politik adalah realitas kehidupan. Mari berpolitik secara bijak. Persoalannya adalah bagaimana menangani para politisi yang buta politik”. Sejalan dengan Buchori, Direktur Eksekutif Asia Foundation, Remage, yang menjadi salah seorang pembicara dalam seminar tersebut mengatakan “putting politics in the classroom was common” (memasukan hal politik ke dalam kelas adalah hal biasa). Ia menambahkan bahwa sistem pendidikan yang memandang politik sebagai sesuatu yang kotor membuat banyak orang tidak mau menjadi politisi. Jika hal ini terus berlanjut, kata Remage, Indonesia akan dipimpin oleh para pengamat politik.
Dari beberapa pemikiran yang berkembang dalam seminar tersebut dapat ditarik beberapa pemahaman. Pertama,  adanya kesadaran tentang hubungan erat antara pendidikan dan politik. Kedua, adanya kesadaran akan peran penting pendidikan dalam menentukan corak dan arah kehidupan politik. Ketiga, adanya kesadaran akan pentingya pemahaman tentang hubungan antara pendidikan dan politik. Keempat, diperlukan pemahaman yang lebih luas tentang politik. Kelima, pentingya pendidikan kewargaan (civic education). Ungkapan-ungkapan Muchtar Buchori khususnya menggambarkan suatu keyakinan terhadap hubungan erat antara pendidikan dan politik. Ia juga yakin bahwa hubungan tersebut tidak mungkin diputus begitu saja karena membawa pengaruh subtantif terhadap keduanya. Dalam proses pendidikan, Buchori tampaknya sangat yakin bahwa, pendidikan dan politik perlu diintegrasikan untuk dapat melahirkan para pemimpin politik yang berkualitas.
Walaupun hanya mempresentasikan opini segelintir sarjana di negeri ini, wacana hubungan antara politik dan pendidikan dan pokok-pokok pikiran yang berkembang dalam seminar tersebut mengindikasikan adanya kecenderungan positif dalam melihat hubungan antara politik dan pendidikan pada umumnya dan politik pendidikan khususnya. Namun demikian, harus diakui bahwa hingga saat ini kajian politik pendidikan masih merupakan barang langka di negeri ini. Kajian politik pendidikan masih jarang terdengar di pusat-pusat studi kependidikan di negeri ini, seperti Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dan pusat-pusat studi pendidikan lainnya, seperti di fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) yang ada di beberapa perguruan tinggi umum dan fakultas Tarbiyah yang ada pada Universitas Islam Negeri Jakarta (UINJ), Institut Agama Islam Negeri (IAIN), dan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI), baik negeri maupun swasta yang tersebar di seluruh Indonesia. Disiplin ilmu politik dan ilmu pendidikan masih cenderung dilihat sebagai dua bidang kajian yang tidak memiliki hubungan apa-apa. Sejauh ini penulis bisa mencatat bahwa mata kuliah politik pendidikan hanya terdapat pada kurikulum program studi Pendidikan  di program Pasca Sarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta dan program serupa di IAIN Raden Fatah di Palembang. Di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, program studi pendidikan demokrasi sedamg dipersiapkan.
Namun demikian, tidak dapat dikatakan bahwa kesadaran akan keterkaitan antara pendidikan dan politik tidak ada sama sekali. Beberapa seminar dan konggres kependidikan nasional maupun internasional yang pernah penulis hadiri dibeberapa kota besar di negeri ini memperlihatkan perhatian yang besar dari para peserta dan pembicara terhadap hubungan antara pendidikan dan politik. Diskusi tentang berbagai isu fundamental tentang pendidikan sering kali mengungkapkan aspek-aspek dan hambatan-hambatan yang bersifat politik dalam perkembangan sistem pendidikan di negeri ini. Misalnya, kecilnya alokasi dana untuk pendidikan dan rendahnya mutu pendidikan di negeri ini sering kali diyakini sebagai implikasi dari rendahnya komitmen politik (political will) pemerintah.
Pada Konferensi Nasional Manajemen Pendidikan yang diselenggarakan atas kerjasama Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dengan Himpunan Sarjana Administrasi Pendidikan Indonesia (HISAPIN) di Jakarta tanggal 8 sampai dengan 10 agustus 2002 muncul beberapa topik yang secara subtantif cukup relevan dengan kajian politik pendidikan. Topik–topik tersebut, antara lain, Akuntabilitas LPTK sebagai Penghasil Guru di Indonesia oleh Professor Dr Sutjipto; Kebijakan Pemerintah tentang Partisipasi Masyarakat dalam Manajemen Pendidikan di Era Otonomu Daerah oleh Dr. dr. Fazli Djalal; Tanggung Jawab LSM dalam Meningkatkan Mutu Manajeman Pendidikan di Era Otonomi Daerah oleh Ir. Eri Sudewo; Pengawasan Pendidikan di Era Otonomi Daerah oleh Profesor Dr. Mulyani A.Nurhadi, M.Ed; Masalah dan Kebijakan Penelitian Islam  di Era Otonomi Daerah oleh Professor Dr. Azyumardi Azra,M.A.; Strategi Pemerintah Daerah dalam Memacu Kualitas Sekolah melalui Manajemen Pendidikan (satu contoh Kasus Pemberdayaan Masyarakat di Kabupaten Kebumen) oleh Dra. Rustriningsih, M.Si.; Dampak Otonomi Daerah terhadap Manajemen Pendidikan di Provinsi Sulawesi Tengah oleh Professor Dr. Djamaludin Kantao, M.Pd.; Partisipasi Masyarakat, Potret tahun Kedua di Era Otonomi Daerah oleh Dr. Basuki Wibowo.; Kesiapan Masyarakat dalam Mendukung Implementasi School Based Management oleh Profesor Santoso S. Hamidjoyo; dan Implikasi Manajemen Pendidikan nasional dalam Konteks Otonomi Daerah oleh Profesor Dr. Winarno Surakhmad, M.Ed.
Beberapa buku yang membahas aspek-aspek politik pendidikan juga mulai bermunculan dari para penulis dalam negeri. Misalnya, ada buku Tinjauan Politik Mengenai Sitem Pendidikan Nasional: Beberapa Kritik dan Sugesti yang ditulis oleh Kartini Kartono (1997) yang diterbitkan oleh PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Selain itu, telah bermunculan buku-buku tentang pendidikan kewargaan yang secara langsung maupun tidak langsung juga membahas isu-isu diseputar politik pendidikan. Salah satu yang terbaru adalah buku Civic Education (Pendidikan Kewarganegaraan): Demokrasi Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani yang ditulis oleh Dede Rosyada (2000) dan terbitkan Oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Beberapa informasi diatas kiranya sudah cukup untuk membuktikan bahwa pemahaman tentang hubungan antara politik dan pendidikan sudah cukup berkembang. Tentu saja masih diperlukan upaya-upaya strategis dan sistematis agar pemahaman tersebut dapat terus berkembang dan menumbuhkan curiosity tentang hubungan politik dan pendidikan, baik dikalangan ilmuwan pendidikan maupun dikalangan ilmuwan politik. Pada saatnya nanti kajian politik pendidikan diharapkan terus diminati dan berkembang di pusat-pusat studi kependidikan di negeri ini sehingga wacana kependidikan di tanah air tidak hanya terbatas pada isu-isu metode dan materi pembelajaran, tetapi juga menyentuh konteks sosio-politis dari isu-isu tersebut.
Dalam dua decade terakhir, memasuki abad ke 21 dan pembelajaran otonomi daerah, lingkungan pendidikan di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan penting. Perubahan tersebut ditandai oleh paling tidak tiga kecenderungan utama. Pertama, terjadinya perubahan peranan pemerintah pusat dan daerah dalam kebijakan pendidikan. Proses kebijakan pendidikan yang sebelumnya didominasi oleh pemerintah pusat, saat ini sudah mulai didistribusikan ke aderah. Kedua, semakin terfragmentasinya pendidikan, baik secara politik maupun dalam bentuk program. Ketiga, muncul kembalinya kepentingan-kepentingan non kependidikan, terutama dari dunia bisnis, dalam wilayah pendidikan. Berbeda dengan 1970-an ketika politik pendidikan adalah wilayah kepentingan kelompok kepentingan pendidikan berbasis luas (broad-based education interest groups), seperti departemen pendidikan, kepala sekolah administrator dan guru, mulai tahun 1980-an dunia pendidikan didominasi oleh tokoh-tokoh bisnis dan pegawai publik yang terpilih.
Dalam tiga kecerendungan tersebut, yang cukup unik dalam politik pendidikan di Indonesia hingga saat ini bahwa kurang berartinya peranan kelompok kepentingan pendidikan (education interest groups) dalam formula kebijakan-kebijakan pendidikan. Jika dibandingkan dengan bidang-bidang lainnya perkembangan interest group dalam bidang pendidikan sangat lamban. Saat ini, berbagai perkembangan dan gejala tersebut perlu dikaji dalam rangka memahami kompleksitas dan dinamika hubungan antara pendidikan dan politik, baik dalam konteks global maupun dalam konteks lokal, khususnya dalam konteks pemberlakuan otonomi daerah.
Hingga saat ini dapat dikatakan, meskipun ada kecenderungan yang kuat pada sebagian masyarakat untuk memandang bahwa pendidikan dan politik terpisah dan tidak berkaitan, realitas membuktikan bahwa disemua masyarakat keduanya berhubungan erat dan terkait. Proses dan lembaga–lembaga pendidikan mempunyai banyak dimensi dan aspek politik. Lembaga-lembaga tersebut menjalankan fungsi-fungsi yang memiliki konsekuwensi penting dalam sistem politik dan terhadap perilaku politik dalam bentuk yang berbeda-beda.

Sabtu, 09 Maret 2013

SEJARAH PIAGAM MADINAH



Piagam Madinah lahir dari kondisi yang ada sebelum Rasulullah hijrah. Dimana di Yatsrib pada saat itu dicekam oleh konflik berkepanjangan antar suku. Dua suku terbesar, ‘Auz dan Khazraj terlibat perseteruan yang berdarah-darah.
Suku yang lebih kecil memperkeruh keadaan dengan terbelah menjadi pendukung kedua suku besar yang berkonflik. Sementara kondisi permusuhan dan perpecahan sedemikian kuat, bangsa Yahudi sebagai pendatang terus menghembuskan suasana permusuhan. Mereka memang mengatur untuk mendapat keuntungan materil dari konflik yang terus dihangatkan itu.
Penduduk Yatsrib kemudian meminta Rasulullah untuk menciptakan perdamaian dan ketentraman. Dimulai dari kesadaran masyarakat Yatsrib untuk keluar dari suasana mencekam konflik yang tiada berujung, semakin rumit dan melelahkan.
Kesadaran ini pula yang menjadi pondasi lahirnya ruh kedamaian dalam piagam Madinah. Sebuah konsep yang sempurna dan kesiapan merealisasikan dari masyarakatnya. Islam sejatinya telah siap dengan konsep yang pertengahan dan mendamaikan bila difahami secara benar dan menyeluruh.
Sementara itu psikologis masyarakat Yatsrib yang berada diujung kekecewaan memang selalu dipastikan akan memunculkan harapan. Bagaikan di ujung musim gugur yang mendatangkan musim semi. Anis Matta menyebutkan itu semua sebagai pertanda sejarah akan lewat di sini.
Rasulullah kemudian didatangkan ke Yatsrib dan mempresentasikan konsep sempurna untuk menciptakan dunia sebagai tempat yang lebih baik. Sementara itu masyarakat sudah berada tingkat kebutuhan akan solusi yang memuncak. Kohesi itupun terbentuk melahirkan tata kehidupan baru yang egaliter, terbuka, produktif dan kokoh untuk menghadapi tantangan zamannya.

Minggu, 03 Maret 2013

METODE TAKHRIJ HADIS (Teori dan Praktek Cara Konvensional)


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ketika orang dibingungkan oleh kehadiran hadis yang diragukan keorsinilannya, upaya-upaya antisipatif pun mulai dilakukan. Para pakar hadis melakukan perjalanan panjang. Observasi, penemuan metode, dan kaidah takhrij hadis mulai dirumuskan.
Hadis merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an. Keberadaannya dalam kerangka ajaran Islam merupakan penjelasan terhadap apa yang ada di dalam al-Qur’an. Disamping itu, peranannya semakin penting jika didalam ayat-ayat al-Qur’an tidak ditemukan suatu ketetapan, maka hadis dapat dijadikan dasar hukum dalam dalil-dalil keagamaan. Dengan demikian kitab-kitab hadis menduduki posisi penting dalam khazanah keilmuan Islam. Dengan dibukukan hadis-hadis Nabi kedalam bentuk kitab, keberadaan hadis tidak sekedar terpelihara, tetapi umat Islam juga semakin terbantu dalam mempelajari dan menelusurinya.
Makalah ini menjelaskan tentang Takhrij al-Hadis secara Teoritis yang meliputi konsep, urgensi, metode-metode, kelebihan/kekurangan masing-masing metode beserta contohnya dengan cara konvensional.
Dengan mempelajari makalah ini, diharapkan kita semakin memiliki wawasan yang luas tentang beragam ulum al-hadis sebagai khazanah Islam.
B.     Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep takhrij al-Hadis?
2. Apa  urgensi mentakhrij Hadis?
3. Bagaimana cara atau metode mentakhrij Hadis dengan cara konvensional?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Konsep Takhrijul Hadis
Takhrij menurut arti bahasa adalah:
اِجْتِمَاعُ اَمْرَيْنِ مُتَضَادَيْنِ فِى شَىْءٍ وَاحِدٍ
Artinya: “kumpulan dua perkara yang saling berlawanan dalam satu masalah”
Kata takhrij adalah bentuk imbuhan dari kata khuruj. Kata yang terakhir ini adalah bentuk derivatif dari kata kerja kharaja yang berarti keluar (kharaja min makanih). Dari kata kharaja dapat dibentuk kata akhraja, kharraja dan istakhraja. Kata akhraja berarti mengeluarkan (abraza), kata kharraja mempunyai makna mendidik, melatih member warna dengan dua warna atau lebih dan lain-lain, dan juga kata istakhraja diartikan mengeluarkan. Takhrij menurut istilah adalah,
اَلتَّخْرِيْجُ هُوَاَالدِّلاَ لَةُعَلَى مَوْضِعِ الْحَدِيْثِ فِى مَصَادِرِهِ الأَصْلِيَّةِالَّتِيْ أَخْرَجَتْهُ سَنَدُهُ بِبَيَانِ مَرَتَبَتِهِ عِنْدَالْحَاجَةِ
Takhrij adalah penunjukan terhadap tempat hadis di dalam sumber aslinya yang dijelaskan sanad dan martabatnya sesuai dengan keperluan.

Para muhaddisin mengartikan takhrij hadis sebagai berikut:
1.      Mengemukakan hadis pada orang banyak dengan menyebutkan para perawinya dalam sanad yang telah menyampaikan hadis itu dengan metode periwayatan yang mereka tempuh
2.      Ulama mengemukakan berbagai hadis yang telah dikemukakan oleh para guru hadis, atau kitab lain yang susunannya dikemukakan berdasarkan riwayat sendiri, atau para gurunya, siapa periwayatnya dari para penyusun kitab atau karya tulis yang dijadikan sumber pengambilan.
3.      ‘mengeluarkan’, yaitu mengeluarkan hadis dari dalam skitab dan meriwayatkannya. Al-Sakhawy mengatakan dalam kitab Fathul Mughits sebagai berikut, “Takhrij adalah seorang muhadis mengeluarkan hadis-hadis dari dalam ajza’, al-masikhat, atau kitab-kitab lainnya. Kemudian, hadis tersebut disusun gurunya atau teman-temannya dan sebagainya, dan dibicarakan kemudian disandarkan kepada pengarang atau penyusun kitab itu. ”
4.      Dalalah, yaitu menunjukkan pada sumber hadis asli dan menyandarkan hadis tersebut pada kitab sumber asli dengan menyebutkan perawi penyusunnya.
5.      Menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadis pada sumbernya yang asli, yakni kitab yang didalamnya dikemukakan secara lengkap dengan sanadnya masing-masing, lalu untuk kepentingan penelitian, dijelaskan kualitas sanad hadis tersebut.
Dari sekian banyak pengertian takhrij di atas, yang dimaksud takhrij dalam hubungannya dengan kegiatan penelitian hadits lebih lanjut, maka takhrij berarti “penelusuran atau pencarian hadits pada berbagai kitab-kitab koleksi hadits sebagai sumber asli dari hadits yang bersangkutan, yang di dalam sumber tersebut dikemukakan secara lengkap matan dan mata rantai sanad yang bersangkutan.
B.     Urgensi Takhrijul Hadis 
Ilmu takhrij merupakan bagian dari ilmu agama yang harus mendapat perhatian serius karena didalamnya dibicarakan berbagai kaidah untuk mengetahui sumber hadis itu berasal. Disamping itu, didalamnya banya ditemukan kegunaan dan hasil yang diperoleh, khusunya dalam menentukan kualitas sanad hadis.
Urgensi takhrijul hadis adalah untuk mengetahui sumber asal hadis yang di takhrij. Tujuan lainnya adalah mengetahui di tolak atau diterimanya hadis-hadis tersebut. Dengan cara ini, kita akan mengetahui hadis-hadis yang pengutipannya memerhatikan kaidah-kaidah ulumul hadis yang berlaku sehingga hadis tersebut menjadi jelas, baik asal-usul maupun kualitasnya.
Adapun urgensi takhrij hadis ini antara lain:
1.      Dapat diketahui banyak sedikitnya jalur periwayatan suatu hadis yang menjadi topik kajian.
2.      Dapat diketahui kuat tidaknya periwayatan akan menambah kekuatan riwayat. Sebaliknya, tanpa dukungan periwayatan lain, kekuatan riwayat tidak bertambah.
3.      Dapat ditemukan status hadis Shahih li dzatih atau shahih li ghairih, hasan li dzatih, atau hasan li ghairih. Demikian akan dapat diketahui istilah hadis mutawatir, masyhur, aziz, dan gharib-nya.
4.      Memberikan kemudahan bagi orang yang hendak mengamalkan setelah mengetahui bahwa hadis tersebut adalah makbul (dapat diterima). Sebaliknya, orang tidak akan mengamalkannya apabila mengetahui hadis tersebut mardud (ditolak).
5.      Menguatkan keyakinan bahwa suatu hadis adalah benar-benar berasal dari Rasulullah SAW yang harus diikuti karena ada bukti-bukti yang kuat tentang kebenaran hadis tersebut, baik dari segi sanad maupun matan.
C.    Metode-Metode Takhrijul Hadis Cara Konvensional
Secara garis besar ada dua cara dalam melakukan takhrij al-hadis, yaitu pertama, takhrij al-hadis dengan cara konvensional. Maksudnya adalah melakukan takhrij al-hadis dengan menggunakan kitab-kitab hadis. Kedua, takhrij al-hadis  dengan menggunakan perangkat komputer melalui bantuan CD-ROM dengan program aplikasi takhrij hadis.  Dalam makalah ini penulis akan mencoba menjelaskan cara melakukan takhrij al-hadis beserta contoh-contohnya dengan cara konvensional.
Setidaknya ada lima metode yang dapat dipergunakan dalam kegiatan takhrij al-hadis secara konvensional. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya tersendiri, meski tujuan akhir takhrij dengan metode-metode itu tetap sama, yaitu menentukan letak suatu hadis dan menentukan kualitas hadis tersebut. Kelima metode itu adalah:
1.      Melalui pengetahuan tentang nama sahabat yang meriwayatkan.
Metode takhrij al-Hadis melalui pengetahuan tentang nama sahabat perawi hadis. Diantara kitab-kitab hadis sumber, banyak yang ditulis dengan mengikuti system pengelompokan hadis atas dasar nama sahabat yang meriwayatkannya. Mentakhrij hadis dengan kitab-kitab semacam ini mutlak diperlukan pengetahuan tentang nama sahabat perawi hadis itu. Ada tiga macam referensi yang dapat digunakan dalam menggunakan metode ini, yaitu:
a.       Kitab-kitab al-musnad
Kitab musnad adalah kitab yang disusun pengarangnya berdasar nama-nama sahabat atau kitab yang menghimpun hadis-hadis sahabat. Kitab musnad merupakan kitab-kitab hadis yang disusun berdasar urutan nama-nama rawi pertama dengan mengumpulkan hadis-hadis yang diriwayatkan satu kelompok. Kitab hadis yang menganut sitematika penyusunan diantaranya yang mendasarkan pada urutan al-fabetis, tetapi ada pula yang mendasarkan pada keutamaan, senioritas, kabilah, atau wilayah. Diantara kitab-kitab musnad adalah:
1)      Musnad Abi Bakr Abd Allah Ibn al-Zubair al-Humaidy (w. 219 H).
2)      Musnad Ahmad ibn HAnbal (w. 241 H)
3)      Musnad Abi Ishaq Ibrahim Ibn Nashr.
4)      Musnad Abi Dawud Sulaiman ibn Dawud at-Thayalisiy (w. 204 H).
5)      Musnad Asad ibn Musa al-Umawy.
6)      Musnad Abi Khaitsamah Zubair ibn Harb, dsb.

b.      Kitab-kitab al-mu’jam
 Kitab mujam adalah kitab hadis yang disusun berdasarkan nama-nama (musnad) sahabat, guru-gurunya, negaranya atau yang lainnya berdasarkan urutan alfabetis. Diantara kitab mujam yang disusun berdasarkan nama sahabat ialah:
1)      Al-Mujam al-Kabir karya Abu al-Qasim Sulaiman ibn Ahmad al-Tabarani (w. 360 H).
2)      Al-Mujam al-Ausat karya Abu al-Qasim Sulaiman ibn Ahmad al-Tabarani (w. 360 H).
3)      Al-Mujam al-Sagir karya Abu al-Qasim Sulaiman ibn Ahmad al-Tabarani (w. 360 H).
4)      Mujam al-Sahabah karya Ahmad ibn Ali ibn Lafie al-Hamdani (w. 398 H).
5)      Mujam al-Sahabah karya Abu Yala Ahmad ibn Ali al-Mausili (w. 308 H).
c.       Kitab-kitab al-athraf/ Atraf
Kata Atraf adalah bentuk jamak dari kata: Tarf. Kata Tarful hadis berarti bagian dari matan hadis yang dapat menunjukkan keseluruhannya.
Diantara kitab-kitab al-Athraf yang penting adalah:
1)      Athraf as-Shahihain karangan Abu Mas’ud Ibrahim ibn Muhammad al-Dimasyqiy (w. 401 H).
2)      Al-Asyraf ‘ala Ma’rifati al-Asyraf karangan al-h’afidh Abu Qasim ‘All ibn Hasan yang dikenal dengan Ibn ‘Asakir al-Dimasyqy (w. 671 H).
3)      Tuhfat al-Asyraf bi Ma’rifati al-Asyraf atau Athraf al-Kittub as Sittah karangan Abu al-Hajjaj Yususf Abd al-Rahman al-Mizsy (w. 742 H).

Kelebihan-kelebihan metode ini:
1)      Dapat diketahui dengan cepat semua hadis yang diriwayatkan oleh sahabat tertentu dengan sanad dan matannya secara lengkap.
2)      Diketemukan banyak jalan untuk matan yang sama.
3)      Memudahkan untuk menghapal dan mengingat hadis tertentu yang diriwayatkan oleh sahabat tertentu
Kekurangan-kekurangan metode ini:
1)      Untuk menemukan hadis tertentu yang diriwayatkan oleh sahabat tertentu membutuhkan waktu yang relatif lama, sebab pada umumnya sahabat tidak hanya meriwayatkan satu dua hadis saja.
2)      Metode ini tidak bisa digunakan jika nama sahabat yang meriwayatkannya tidak diketahui.
2.      Mengetahui tentang lafal pertama hadis.
Metode takhrij melalui pengetahuan tentang lafal pertama hadis. Teknik ini dipakai apabila permulaan lafal hadis dapat diketahui dengan cepat. Tanpa mengetahui lafal pertama hadis yang dimaksud teknik ini sama sekali  tidak dapat digunakan. Jenis-jenis kitab yang dapat digunakan dengan metode ini dapat diklasifikasikan menjadi:
a.       Kitab-kitab hadis yang popular di masyarakat, seperti kitab at-Tazkirah fi al-Ahaditz al-Musytahirah karangan Badruddin Muhammad ibn Abd Allah as-Zarkasyi. Kitab jenis ini tentu saja terbatas hadis-hadisnya karena dikhususkan pada hadis-hadis yang populer dimasyarakat.
b.      Kitab-kitab hadis yang hadis-hadisnya disusun secara alfabetis. Kitab jenis ini yang paling banyak beredar adalah karangan Suyuthy (w. 911 H), yang berjudul al-Jami’ash-Shagir min Ahadis al-Basyir an-Nazir.
c.       Kunci-kunci dan indeks yang dibuat untuk kitab-kitab tertentu. Beberapa ulama telah membuat kunci-kunci daftar atau indeks bagi kitab-kitab hadis tertentu dengan tujuan mempermudah mencari hadis tertentu dalam kitab tersebut.
 Kunci-kunci daftar atau indeks (kamus) yang disusun pengarangnya untuk kitab tertentu, diantaranya:
a.       Untuk Shahih al-Bakhari, yaitu Hady al-Bari ila Tartib Ahadis al-Bukhari.
b.      Untuk Sahih Muslim, yaitu mujam al-Alfaz wa la Siyyama al-Garib minha.
c.       Untuk al-Muwatta’, yaitu Miftah al-Muwatta.
d.      Untuk Sunan Ibn Majah, yaitu Miftah Sunan Ibn Majah, dsb.
Kelebihan dan kekurangan metode ini adalah dengan metode ini kemungkinan besar kita dengan cepat menemukan hadis-hadis yang dimaksud, sebab dengan mengetahui satu lafal saja kita dapat menelusuri hadis pada sumber aslinya, tetapi jika terjadi perbedaan lafal pertama meski hanya sedikit saja, akan berakibat sulit menemukan hadis.
3.      Mengetahui tentang salah satu lafal hadis (dalam tulisan ini akan dibahas lebih rinci).
Dengan mengetahui sebagian lafal hadis, baik di awal, tengah maupun akhir matannya, kitab-kitab yang diperlukan atau referensi yang paling representative untuk metode ini yaitu kitab karya Arnold John Wensinck dengan judul al-Mu jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadis al-Nawawi, dengan penerjemah Muhammad Fuad Abd al-Baqi. Kitab ini merupakan kitab kamus dari 9 kitab hadis, yakni sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan al-Tirmizi, Sunan al-Nasai,Sunan Ibn Majah, Sunan al-Darimi, al-Muwatta Imam Malik, dan Musnad Ahmad ibn Hambal.
Untuk Musnad Ahmad (حم) hanya disebutkan juz serta halamannya; Sahih Muslim (م) dan al-Muwatta (ط) nama bab dan nomor urut hadis, sedangkan Sahih al-Bukhari (خ), Sunan Abi Dawud (د), Sunan al-Tirmizi (ت), Sunan al-Nasai (ن) serta Sunan Ibn Majah (جه), Sunan al-Darimi (دى) disebutkan nama bab serta nomor urut babnya.
Kelebihan metode ini:
a.       Memungkinkan pencarian hadis melalui kata apa saja yang terdapat dalam matan hadis.
b.      Mempercepat pencarian hadis, karena kitab takhrij ini menunjuk kepada kitab-kitab induk dengan menunjukkan kitab, nomor bab, atau nomor hadis, nomor juz, dan bahkan nomor halaman.
Kekurangan metode ini:
a.       Adanya keharusan memiliki kemampuan bahasa arab dan perangkat ilmu yang memadai, sebab metode ini menuntut untuk mengembalikan setiap kata kuncinya kepada kata dasarnya.
b.      Hanya merujuk kepada Sembilan kitab tertentu, sehingga bila lafaz hadis yang diketahui tidak diambil dari kitab-kitab tersebut maka hadis tersebut tidak ditemukan.
c.       Metode ini tidak menyebutkan perawi dari kalangan sahabat. Untuk mengetahui perawi yang menerima hadis dari Nabi kita harus kembali kepada kitab aslinya.
4.      Mengetahui tentang tema hadis.
Takhrij melalui pengetahuan tentang tema hadis. Teknik ini akan mudah digunakan oleh orang sudah bisaa dan ahli dalam hadis karena yang dituntut dalam teknik ini  adalah kemampuan menentukan tema atau salah satu tema dari suatu hadis. Dalam mentakhrij dengan metode ini diperlukan kitab-kitab hadis yang tersusun berdasar pada bab-bab dan topik-topik. Kitab ini banyak sekali dan dapat dibagi tiga kelompok:
a.       Kitab-kitab yang berisi seluruh tema agama, yaitu kitab-kitab al-Jawawi’ berikut dengan mustakhraj dan mustadraknya, al-majani’,al-zawaid, dan secara khusus kitab Miftah Kunuz as-Sunah.
b.      Kitab-kitab yang berisi sebagian banyak tema-tema agama, yaitu kitab-kitab sunan, mushannaf, muwathta’, dan mustakhraj atas sunan.
c.       Kitab-kitab yang berisi satu aspek saja dari tema agama, yaitu kitab-kitab yang khusus tentang hukum saja, tentang mengangkat tangan saja, dan lain-lain. Kitab-kitab ini bisaanya merupakan kitab-kitab juzu’, targhib dan tarhib, ahkam, zuhud, fadha’il, adab, dan akhlaq dan tema-tema khusus lainnya.
Kelebihan metode ini:
a.       Dapat ditemukan banyak hadis dalam satu tema tertentu terkumpul pada satu tempat.
b.      Metode ini mendidik ketajaman pemahaman hadis kepada peneliti. Dengan menggunakan metode ini beberapa kali seorang peneliti akan memiliki tambahan pengetahuan tentang fiqh al-hadis.
c.       Metode ini tidak memerlukan pengetahuan di luar hadis, seperti keabsahan lafal pertama, pengetahuan bahasa arab dan perubahan-perubahannya, dan pengenal perawi pertama.
Kekurangan-kekurangannya:
a.       Terkadang hadis sulit disimpulkan oleh peneliti sehingga tidak dapat menentukan temannya. Akibatnya ia tidak mungkin memfungsikan metode ini.
b.      Terkadang pemahaman peneliti tidak sama dengan pemahaman penyusun kitab. Akibatnya ialah penyusun kitab meletakan hadis pada posisi yang tidak diduga oleh peneliti tersebut.
5.      Melalui pengetahuan tentang sifat khusus (karakteristik) sanad atau matan hadis.
Metode kelima dalam menelusuri hadis ialah dengan mengamati secara mendalam sanad dan matan hadis, yaitu dengan melihat petunjuk dari sanad, matan atau sanad dan matn-nya secara bersamaan. Petunjuk dari matn, misalnya ada kerusakan makna hadis, menyelisihi al-Qur’an ataupun petunjuk bahwa hadis itu palus ataupun yang lainnya. Adapun kitab-kitab yang bisa menjadi rujukan adalah:
a.       Al-Maudu at al-Sugra, karya Ali al-Qari (w. 1014 H).
b.      Tanzih al-Syariah al-Marfuah an al-Ahadis al-Syaniah al-Mauduah, karya al-Kinani (w.963 H)
Petunjuk yang lain dari matn yaitu bila diketahui matn hadis tersebut merupakan hadis qudsi. Kitab yang bisa dijadikan rujukan dalam hal ini adalah:
a.       Misykah al-Anwar, karya Muhy al-Din Muhammad ibn Ali ibn Arabi al-Khatimi (w. 638 H).
b.      Al-Ittihafat al-Saniyyah bi al-Ahadis al-Qudsiyyah, karya Abd al-Rauf al-Munawi (w. 1031 H).
Petunjuk dari sanad, misalnya sanad yang rawinya meriwayatkan hadis dari anaknya. Kitab yang menjadi rujukan misalnya Riwayah al-Aba ‘an al-Aba karya Abu Bakr Ahmad ibn Ali al-Bagdadi. Keadaan sanad hadis yang musalsal dengan kitab rujukan al-Musalsalah al-Kubra karya al-Suyuti, ataupun keadaan sanadnya yang mursal dengan kitab rujukan al-Marasil karya Abu Dawud al-Sijistani dan karya al-Razi.
Petunjuk dari sanad dan matan secara bersamaan. Kitab yang bisa dijadikan rujukan adalah:
a.       Ilal al-Hadis karya Ibn Abi Hatim al-Razi.
b.      Al-Asma al-Mubhamah fi al-Anba al-Muhkamah, karya al-Khatib al-Baghdadi.
c.       Al-Mustafad min Mubhamat al-Matn wa al-Isnad, karya Abu Zurah Ahmad ibn Abd al-Rahim al-Iraqi.
Kelebihan dari metode ini adalah pada umumnya kitab-kitab hadis yang dapat dijadikan rujukan dengan metode ini memuat penjelasan-penjelasan tambahan dari penyusunnya. Adapun bahwa kekurangan dari metode ini memerlukan pengetahuan yang mendalam tentang keadaan sanad dan matan hadis yang di takhrij, disamping itu kitab-kitab rujukan metode ini pada umumnya memuat hadis yang jumlahnya sangat terbatas.
D.    Contoh Takhrijul Hadis
Contoh I: hadis tentang “syafaat nabi saw bagi orang yang berdosa besar”, bunyi teks hadisnya adalah:
قاَلَ رَسُوْ لُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَفَاعَتِي لِأَهْلِ الْكَبَائِرِمِنْ أُمَّتِي
“Rasulullah bersabda: syafaatku bagi orang-orang yang berdosa besar dari umatku”.

Setelah dilakukan kegiatan takhrij al-hadi, hadis di atas bersumber dari:
1.      Al-Tirmizi, kitab Sifah al-Qiyamah wa al-Raqaiq wa al-Wara an Rasulillah, no hadis. 2360 dan 2359:
حَدَّثَنَا الْعَبَّاسُ الْعَنْبَرِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَفَاعَتِي لِأَهْلِ الْكَبَائِرِ مِنْ أُمَّتِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ وَفِي الْبَاب عَنْ جَابِ

Telah menceritakan kepada kami Al-Abbas Al-Ambari telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq dari Ma’mar dari Tsabit dari Anas berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Syafaatku untuk pemilik dosa-dosa besar dari ummatku”. Berkata Abu Isa, hadis ini hasan shahih gharib melalui sanad ini dan dalam hal ini ada hadis serupa dari Jabir.
(HR. Al-Tarmizi: No. 2360).

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ ثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَفَاعَتِي لِأَهْلِ الْكَبَائِرِ مِنْ أُمَّتِي
قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ فَقَالَ لِي جَابِرٌ يَا مُحَمَّدُ مَنْ لَمْ يَكُنْ مِنْ أَهْلِ الْكَبَائِرِ فَمَا لَهُ وَلِلشَّفَاعَةِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ يُسْتَغْرَبُ مِنْ حَدِيثِ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Abu Daud Ath Thayalisi dari Muhammad bin Tsabit Al-Bunani dari Ja’far bin Muhammad dari Bapaknya dari Jabir bin Abdullah berkata: Rasulullah SAW bersabda: “syafaatku untuk ummat ku yang berbuat dosa-dosa besar”. Muhammad bin Ali berkata: kemudian Jabir berkata kepadaku: wahai Muhammad yang tidak melakukan dosa besar tidak lagi membutuhkan syafaat Abu Isa Berkata, hadis ini hasan gahrib dari jalur sanad ini dan dianggap gharib dari hadis Ja’far bin Muhammad. (HR. Al-Tarmizi: No. 2359).
2.      Ibn Majah, kitab al-Zuhd, no. hadis 3112
حدثنا عبد الرحمن بن إبراهيم الدمشقي . ثنا الوليد بن مسلم . ثنا زهير بن محمد عن جعفر بن محمد عن أبيه عن جابر قال سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول ( إن شفاعتي يوءم القيامة لأهل الكبائر من أمتي ) . قال الشيخ الألباني : صح

Abdul Rahman bin Ibrahim Damaskus. Sunan Walid bin Muslim. Tna Zuhair bin Mohammed Jaafar bin Muhammad dari ayahnya dari Jabir berkata: mendengar Rasulullah dan saw mengatakan: sesungguhnya syafa’atku pada hari kiamat adalah untuk para pelaku dosa besar dari ummat ku. Syaikh al-Albani mengatakan: Hadis ini Shahih
3.      Abu Dawud, kitab al-Sunnah, no. hadis 4739.
حدثنا سليمان بن حرب ثنا بسطام بن حريث عن أشعث الحداني عن أنس بن مالك : عن النبي صلى الله عليه و سلم قال " شفاعتي لأهل الكبائر من أمتي " .قال الشيخ الألباني : صحيح
Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb berkata, telah menceritakan kepada kami Bastham bin Huraits dari Asy’ats Al Huddani dari Anas bin Malik dari Nabi SAW, beliau bersabda: “syafaatku berlaku” untuk pelaku dosa besar dari ummat ku. Berkata Syaikh Al-Bani, hadis ini shahih.
4.      Ahmad ibn hanbal, bab Baqi Musnad al-Muksiri, no. hadis 13245.
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا سليمان بن حرب ثنا بسطام بن حريث عن أشعث الحراني عن أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : شفاعتي لأهل الكبائر من أمتي تعليق شعيب الأرنؤوط : إسناده صحيحTelah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb, telah menceritakan kepada kami Bistham bin Huraits, dari Asy'asy Al-Harrani, dari Anas bin Malik berkata, Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda, "Syafaatku adalah untuk pelaku dosa besar dari umatku". Syaikh Arna’oot mengatakan hadis ini sanadnya Shahih.
 
Contoh II: Hadis tentang menuntut ilmu.
عن أنس بن مالك قال: قال رسول الله ص س. طلب العلم فريضة على كل مسلم وواضع العلم عند غير أهله كمقلد الخنازير الجوهر واللؤلؤ والذهب (رواه ابن ماجه)
Setelah dilakukan kegiatan takhrij al-hadi, hadis di atas bersumber dari:
1.      Kitab Ibnu Majah, Juz 1, halaman. 260
2.      Kitab At-Thobari, Juz 1 halaman 12, Juz 5 halaman 41, Juz 64 halaman 5, Juz 13 halaman 6.
3.      Kitab Abu Hanifah, Juz 3, halaman. 454
4.      Shahih Tarhib wa Tarhib, Juz. 1, halaman. 13.

BAB III
KESIMPULAN

Penggunaan istilah takhrij dalam bidang ilmu hadis mengalami perkembangan dengan pengertian yang berbeda-beda. Pengertian takhrij yang menjadi bahasan tulisan ini adalah menunjukkan letak suatu hadis dalam sumber-sumber asli.
Ada lima metode takhrij: pertama, melalui pengetahuan tentang nama sahabat yang meriwayatkan. Kedua, mengetahui tentang lafal pertama hadis. Ketiga, melalui pengetahuan tentang salah satu lafal hadis. Keempat, mengetahui tentang tema hadis. Kelima, melalui pengetahuan tentang sifat khusus (karakteristik) sanad atau matan hadis.
Dengan demikian melalui kegiatan takhrij al-hadis peneliti atau guru pendidikan agama Islam dapat mengumpulkan berbagai sanad dari sebuah hadis dan juga dapat mengumpulkan berbagai redaksi dari sebuah matn hadis sebagai media pembelajaran dalam proses kegiatan belajar mengajar di ruang kelas.

Catatan: Referensi ada pada penulis.