Manusia
dengan segudang potensi hidupnya, sungguh layak menjadi pemimpin di muka bumi
karena Tuhan sudah membekali dirinya untuk memimpin, sekaligus mengatur dunia
ini dengan seperangkat sistem kehidupan yang peripurna.
Hanya
tidak semua manusia paham akan karakteristik
yang dikaruniakan Tuhan ini, baik karena kebodohannya, sikap tidak
pedulinya, maupun pembangkangannya terhadap risalah-Nya. Oleh karena itu,
selaknyan kita jangan sampai kehilangan sisi manusiawi, jati diri, hingga
hakikat diciptakannya manusia di atas muka bumi ini.
Manusia
adalah manusia yang unik, istimewa, sekaligus luar biasa. Bagaimana tidak,
dengan bentuk fisiknya yang menarik, ia masih dibekali dengan potensi kehidupan
yang sempurna. Tidaklah salah Q.S. At-Tiin mengabadikan sosok manusia dengan
sebutan ahsani takwim (sebaik-baik bentuk penciptaan). Pada ayat
lainnya, Allah SWT, memuji sosok manusia dengan sebutan khairul bariyah (sebaik-baik
fisik), Subhanallah.
Akan
tetapi, predikat ahsani takwim dan khairul bariyah tadi, bias
berubah seratus delapan puluh derajat menjadi asfala safilin (serendah-rendahnya
makhluk yang diciptakan) dan syarrul bariyah (seburuk-buruknya wajah)
ketika manusia tidak mampu untuk menyelaraskan semua potensi hidupnya itu
dengan tuntutan wahyu, bahkan berusaha untuk membangkangnya.
Manusia
dengan sejumlah potensinhidupnya itu selayaknya menjadi khalifah fil ardh (pemimpin
di dunia ini) karena Allah SWT, sudah membekali dirinya untuk memimpin
sekaligus mengatur dunia ini. Allah juga dengan sifat Rahman dan Rahim-Nya
sudah menurunkan seperangkat sistem kehidupan sebagai aturan hidup hamba yang
dipilih-Nya ini untuk mengelola bumi ini.
Hanya,
tidak semua manusia mafhum (memahami) akan tabi’ah (karakteristik)
yang dikaruniakan Allah SWT ini, baik karrena kejahilannya, sikap apatisnya,
maupun sikap pengingkarannya terhadap risalah-Nya ini. Oleh karena itu,
selayaknya kita jangan sampai kehilangan sisi manusiawi, jati diri, hingga
hakikat diciptakannya manusia di atas muka bumi ini.
Kalau
kita menelusuri rekam jejak keberadaan manusia dari dahulu hingga kini.
Sesungguhnya manusia tidaklah berubah. Ia adalah makhluk yang berakal,
mempunyai kebutuhan jasmani, dan dilengkapi dengan naluri yang bersifat
instingtif. Demikian pula dengan ragam kebutuhan hidupnya di dunia ini, sama
sekali tidak pernah berubah. Karena, yang berubah hanyalah sarana dan prasarana
semata.
Sesungguhnya,
memahami manusia (baca: diri kita sendiri) termasuk aktifitas yang sangat
vital. Diantara faedah besar yang akan kita dapatkan dari proses tersebut
adalah semakin dekatnya kita dengan kebahagiaan dan semakin jauhnya kita dari
kesengsaraan, dunia dan akhirat. Bukankah cita-cita utama seorang manusia di
dunia adalah meraih kebahagiaan? Tidak ada artinya kekayaan yang berlimpah atau
status sosial yang tinggi jika tidak mengantarkan pemiliknya pada kebahagiaan.