Jumat, 03 Mei 2013

PENDEKATAN HERMENEUTIK DALAM STUDI ISLAM

AB I
PENDAHULUAN

Kehadiran hermeneutik tidak terlepas dari pertumbuhan dan kemajuan pemikiran tentang bahasa dalam wacana filsafat dan keilmuan lainnya. Pada awalnya, hermeneutik banyak dipakai oleh mereka yang berhubungan erat dengan kitab suci injil dalam menafsirkan kehendak Tuhan kepada manusia. Ilmu ini dikenal dengan tafsir kitab suci, ia berkembang pesat dalam berbagai disiplin keilmuan yang luas. Kajian yang sama juga dilakukan pada teks-teks klasik Yunani dan Romawi. Bentuk hermeneutik dalam kajian di atas mulai berkambang pada abad 17 dan 18.
Kajian terhadap hermeneutik sebagai sebuah bidang keilmuan mulai marak pada abad 20, dimana kajian hermeneutik semakin berkembang. Ia tidak hanya mencakup bidang kajian kitab suci (teks keagamaan) dan teks-teks klasik belaka, melainkan berkambang jauh pada ilmu-ilmu lain seperti sejarah, hukum, filsafat, kesusastraan, dan lain-lain sebagainya yang tercakup dalam ilmu pengetahuan tentang kemanusiaan. Hermeneutik adalah teori tentang bekerjanya pemahaman dalam menafsirkan teks. Hermeneutik mencakup dalam dua fokus perhatian yang berbeda dan saling berinteraksi yaitu; pertama, peristiwa pemahaman terhadap teks. Kedua, persoalan yang lebih mengarah menganai pemahaman interpretasi itu.
Sebenarnya hermeneutika sebagai metode baca teks telah dikenal luas dalam pelbagai bidang keilmuan Islam tradisional, terutama dalam tradisi Fiqh dan tafsir al-qur’an. Sementara itu, hermeneutika modern dalam pemikiran Islam pada dasarnya dapat disebut lompatan besar dalam perumusan metodologi pemikiran Islam pada umumnya dan metode penafsiran al-Qur’an khususnya.  Oleh karena itu, kajian hermeneutika dalam kajian Islam juga perlu dipelajari untuk menambah khazanah keilmuan dan dapat memberikan pengetahuan baru terhadap bagaimana memahami teks serta penafsiran terhadap teks yang akan diteliti.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Hermeneutik
Akar kata hermeneutika berasal dari istilah Yunani dari kata kerja hermeneuin yang berarti menafsirkan, dari kata hermeneia yaitu interpretasi. Maka kata benda hermeneia secara harfiah dapat diartikan sebagai penafsiran yaitu interpretasi. Term ini memiliki asosiasi etimologi dengan nama dewa dalam mitologi Yunani. Hermes, yang mempunyai tugas menyampaikan dan menjelaskan pesan-pesan Tuhan kepada manusia.
Dalam hal ini Hans Georg Gademer menjelaskan bahwasanya hermeneutika adalah seni praktis, yakni techne, yang digunakan dalam hal-hal seperti berceramah, menafsirkan bahasa-bahasa lain, menerangkan dan menjelaskan teks-teks, dan sebagai dasar dari semua ini (ia merupakan) seni memahami, sebuah seni yang secara khusus dibutuhkan ketika makna sesuatu (teks) itu tidak jelas.
Hermeneutika dari segi makna terminologisnya dapat dikatakan bahwasanya hermeneutika adalah suatu proses mengubah sesuatu dari situasi dan makna yang diketahui menjadi dimengerti. Hermeneutika bisa pula digunakan dalam dua bentuk; pertama, pengetahuan tentang makna yang terkandung dalam suatu kata, kalimat, teks, dan lain-lain; kedua, menemukan instruksi-instruksi yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik. Dengan kata lain studi hermeneutik mencoba menganalisis dan menjelaskan teori penafsiran teks (nazariat ta’wil al-nusus) dengan mengajukan pendekatan-pendekatan keilmuan lain yang dengan sendirinya menguji proses pemahaman, mekanisme penafsiran dan penjelasan (teks).
B.     Pendekatan Hermeneutik Dalam Kajian Islam
             Studi Islam, yang mencakup studi teks dan sosial, tentunya harus terus dikembangkan, sehingga       memiliki    kekayaan dan varian-varian temuan yang akan bermanfaat bagi eksistensi bagi keilmuan dan memiliki manfaat pragmatis bagi masyarakat. Kajian teks dalam studi Islam merupakan salah satu bagian penting yang perlu mendapat perhatian. Pengembangan kajian ini bisa dilakukan dengan mencoba mengkaitkannya dengan bidang-bidang lain, seperti linguistik dan hermeneutika. Teori dan pendekatan hermeneutika yang dikemukakan oleh khaled M. Abou Al-Fadl yang tertulis pada: Teks (unsure teks),  Author (unsur pengarang),  Reader (unsur pembaca)
Hermeneutik dalam pemikiran Islam pertama-tama diperkenalkan oleh Hasan Hanafi dalam karyanya yang berjudul Les methods d’exeges. Essai sur la Science des Fordements de la Comprehension, ‘Ilm Ushul al-Fiqh (1965), sekalipun tradisi Hermeneutik telah dikenal luas diberbagai ilmu-ilmu Islam tradisional, terutama tradisi ushul al-fiqh dan tafsir al-Qur’an. Oleh Hasan Hanafi, penggunaan hermenutik pada mulanya hanya merupakan eksperimentasi metodologis untuk melepaskan diri dari positivisme dalam teoritis hukum Islam dan ushul fiqh. Sampai di situ, respon terhadap tawaran atas hermeneutiknya hampir-hampir tidak ada.
Satu hal yang menunjol dari Hermeneutik Hasan Hanafi dalam pemikirannya secara umum adalah muatan idiologisnya yang syarat-syarat dan maksudnya sangat praksis. Tipikal pemikiran revolusioner semacam ini, justru sangat berbeda dengan meinstream umat Islam yang masih terkungkung oleh lembaga-lembaga tradisionalisme dan ortodoksi.
Hermeneutik, sebagaimana disebut di atas, pada dasarnya merupakan suatu metode penafsiran yang berangkat dari analisis bahasa dan kemudian melangkah keanalisis konteks, untuk kemudian “menarik” makna yang didapat ke dalam ruang dan waktu saat proses pemahaman dan penafsiran tersebut dilakukan. Jika pendekatan hermeneutika ini dipertemukan dengan kajian al-Qur’an, maka persoalan dan tema pokok yang dihadapi adalah bagaiman teks al-Qur’an hadir di tengah masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan, dan didialogkan dengan dinamika realitas historisnya.
Lebih jauh merumuskan metode tersebut, Fahrudin Faiz dalam Hermeneutika al-Qur’an menyatakan, ketika asumsi-asumsi hermeneutika diaplikasikan pada Ulumul al-Qur’an, ada tiga variable yang harus diperhatikan, yaitu teks, konteks, dan kontekstualisasi. Tentang teks, sudah jelas ulumul al-Qur’an telah membahasanya secara detail, misalnya dalam sejarah pembukuan mushaf al-Qur’an dengan metode riwayat. Tentang konteks, ada kajian asbabul nuzul, nasikh mansukh, makki-madani yang katanya menunjukkan perhatian terhadap aspek “konteks” dalam penafsiran al-Qur’an. Tapi, faiz menyatakan bahwa kesadaran konteks hanya membawa ke masa lalu. Maka kata dia, harus ditambah variable kontekstualisasi, yaitu menumbuhkan kesadaran akan kekinian dan segala logika serta kondisi yang berkembang didalamnya. Variabel kontekstualisasi ini adalah perangkat metodologis agar teks yang berasal dari masa lalu dapat dipahami dan bermanfaat bagi masa sekarang.
Dalam hal ini dapat dicontohkan tentang hukum potong tangan dalam al-Qur’an. Meski secara tegas dalam al-Qur’an tertulis kewajiban hukum potong tangan bagi pencuri, namun hal tersebut dapat dipahami secara berbeda. Dalam kacamata Hermeneutik, pesan yang tidak terkatakan adalah adanya keadilan dalam pemenuhan hak dan kewajiban. Hak untuk memiliki suatu benda tidak boleh dicapai dengan cara-cara yang mengesampingkan aturan-aturan yang ada. Pada masa teks tersebut turun, keadaan sosial masyarakat Arab ketika itu memang meniscayakan adanya hukum potong tangan. Suatu konstruk budaya Arab ketika itu memang menghendaki adanya hukum potong tangan bagi pencuri. Namun, karena kondisi sosial budaya masyarakat yang tidak sama, maka substansi dari hukum potong tangan lebih dikedepankan. Di Indonesia, hukum potong tangan diganti dengan hukum penjara, suatu upaya yang secara substantiv sama dalam mencegah pengulangan kejahatan yang sama.
C.    Kontribusi Hermeneutik dalam Khazanah Pendidikan Agama Islam
Sampai detik ini, masih terdapat sebagian kalangan umat Islam yang amat anti terhadap manhaj interpretasi ini. Ia dianggap sebagai momok menakutkan yang perlu untuk dibinasakan. Bahkan, bila perlu penafsir yang menggunakan manhaj ini ikut dibinasakan sekaligus. Darahnya halal. Ia dianggap sebagai kafir dan berbagai macam stigma negatif lainnya.
Sikap semacam ini, menurut hemat penulis tidak perlu dilakukan. Jangan kemudian karena manhaj ini berasal dari barat, lantas dengan sangat mudahnya kita mengatakan bahwa manhaj ini adalah manhaj iblis. Setiap yang berasal dari barat haram untuk dimanfaatkan umat Islam. Pandangan seperti ini amatlah naif, tidak dewasa dan cenderung mempunyai sifat egois berlebih.
Alangkah indahnya jika kemudian umat Islam membuka diri pada hal-hal baru yang dirasa membawa manfaat dan kemaslahatan bagi umat Islam secara keseluruhan. Bukankah kita sering mendengar adagium “Al-Muhafadhotu alal Qadim as-Shalih wal Akhdzu bil Jadid al-Ashlah”?
Seorang guru Pendidikan Agama Islam hendaknya memiliki kemampuan pemahaman teks ayat suci dengan konteks secara professional, sehingga ayat suci al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia berlaku sepanjang zaman dan dapat menjadi rujukan utama dalam segala aspek kehidupan.
Menurut Machasin, seorang guru besar di UIN Sunan Kalijaga, ketakutan atas hermeneutik ini, disebabkan adanya paranoid berlebihan bahwa ketika metode hermeneutik ini diaplikasikan dalam interpretasi teks al-Qur’an akan menyebabkan hilangnya kesakralan kitab ini. Kekhawatiran seperti ini sebenarnya dapat dijawab dengan mengatakan bahwa hermeneutika sama sekali tidak berkaitan dengan masalah apakah al-Qur’an itu firman Tuhan atau bukan. Hermeneutika sejatinya hanya ingin mempertanyakan apakah pemahaman kita tentang al-Qur’an sudah benar atau tidak. Dengan demikian unsur sakralitas al-Qur’an masih tetap utuh.
Sebagaimana telah disinggung di atas, Hermeneutik lahir dari rahim mitologi, kemudian berlari ke bibel, lantas tumbuh menjadi salah satu konsentrasi dalam filsafat. Betapapun demikian, “membeli” teori tersebut untuk kemudian diterapkan dalam memahami pesan teks suci al-Qur’an adalah sesuatu yang layak untuk dipertimbangkan. Sebab, salah satu problem yang hendak dipecahkan dalam teori ini adalah bagaimana menafsirkan teks secara kritis, obyektif, dan kontekstual. Teori ini berusaha membaca sebuah teks keagamaan masa silam dan menghadirkannya kembali kepada masyarakat yang hidup dalam tempat dan waktu yang jauh berbeda. Untuk itulah, teori ini sangat layak untuk dikembangkan dalam seni interpretasi teks suci al-Qur’an.
BAB III
KESIMPULAN
Hermeneutika adalah salah satu seni dalam interpretasi teks. Mengingat cara kerja teori ini yang berusaha untuk memahami teks secara komprehensif, maka teori ini sangat relevan untuk penafsiran teks suci al-Qur’an supaya Subtilitas Intelegendi (ketepatan pemahaman) dan Subtilitas ecsplicandi (ketepatan penjabaran) terhadap pesan teks dapat terjaga secara utuh.
Upaya merekonstruksi terhadap corak interpretasi teks al-Qur’an yang literalis-skripturalis dan statis menjadi sebuah keharusan. Salah satu media untuk mencapainya adalah dengan melakukan gebrakan metode interpretasi yang tepat agar tercipta pemahaman keislaman yang fleksibel, kontekstual, tidak statis dan progresif. Wallahu A’lam.
 * Referensi / rujukan ada pada penulis.

Sabtu, 20 April 2013

AMTSA AL-QUR'AN



BAB I
PENDAHULUAN

Salah satu aspek keindahan retorika al-Qur’an adalah amtsal (perumpamaan-perumpamaan)-Nya. Al-Qur’an merupakan kitab suci yang sempurna yang mengandung semua hal dalam kehidupan manusia, baik kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat. Sebuah kata yang indah akan tampak lebih indah jika penggunaan kata tersebut menggunakan permitsalan, karena dengan permitsalan seseorang dapat mudah untuk memahami arti makna kalimat tersebut.
Dalam Al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang menceritakan hal-hal yang samar dan abstrak. Manusia tidak mampu mencernanya jika hanya mengandalkan akalnya saja. Sehingga sering kali ayat-ayat tersebut diperumpamakan dengan hal-hal yang konkret agar manusia mampu memahaminya. Untuk memahami itu semua, maka perlu adanya ilmu yang menjelaskan tentang perumpamaan dalam Al-Qur’an agar manusia mampu mengambil pelajaran dengan perumpamaan-perumpamaan tersebut.
Rasulullah Saw. pun pernah bersabda tentang kedudukan amtsal dalam Al-Qur’an, Rasulullah Saw. bersabda dalam hadits riwayat Abu Hurairah:
إنَّ الْقُرْأَنَ نَزَلَ عَلَى خَمْسَةِ أَوْجُهٍ حَلَالٍ وَ حَرَامٍ وَ مُحْكَمٍ وَ مُتَشَابِهٍ وَ أَمْثَالٍ فَاعْلَمُوْا بِالْحَلَالِ وَاجْتَنِبُوْا الْحَرَامَ وَاتَّبِعُوْا الْمُحْكَمَ وَأَمِنُوْا بِالْمُتَشَابِهِ وَاعْتَبِرُوْا بِالْأَمْثَالِ
Sesungguhnya Al-Qur’an turun dengan menggunakan lima sisi: halal, haram, muhkam, mutasyabih dan amtsal. Kerjakanlah kehalalannya; tinggalkanlah keharamannya; ikutilah muhkamnya; imanilah mutasyabihnya; dan ambillah pelajaran dari amtsalnya.
Oleh karena itu pada kesempatan kali ini saya akan mencoba membahas tentang amtsal al-Qur’an pada makalah ini yang meliputi pengertian, unsur-unsur, macam-macam dan manfaat atau tujuan amtsal al-Qur’an.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Amtsal al-Qur’an
Secara etimologi, kata amtsal (perumpamaan) adalah bentuk jamak dari matsal, mitsl dan matsil adalah sama dengan syabah, syibh, dan syabih,baik lafadz maupun maknanya. Sedangkan pengertian amtsal secara terminologi ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama, yaitu:
1.      Pengertian mitslu menurut ulama’ ahli ilmu adab adalah:
وَالْمِثْلُ فِي الْأَدَبِ قَوْلٌ مُحْكِيٌّ سَائِرٌ يُقْصَدُ بِهِ تَشْبِيْهُ حَالِ الَّذِي حُكِىَ فِيْهِ بِحَالِ الَّذِي قِيْلَ لِأَجْلِهِ.
Mitslu dalam ilmu adab adalah ucapan yang disebutkan untuk menggambarkan ungkapan lain yang dimaksudkan untuk menyamakan atau menyerupakan keadaan sesuatu yang diceritakan dengan keadaan sesuatu yang dituju.

Maksudnya dari hal di atas adalah menyerupakan perkara yang disebutkan dengan asal ceritanya. Maka amtsal menurut definisi ini harus ada asal ceritanya. Contohnya pada ucapan orang arab رُبَّ رَمِيَّةٍ مِنْ غَيْرِ رَامٍ  (banyak panahan dengan tanpa ada orang yang memanah). Maksudnya adalah banyak musibah yang terjadi karena salah langkah. Kesamaannya adalah terjadinya sesuatu dengan tanpa ada kesengajaan.
2.      Pengertian mitslu menurut ulama’ ahli ilmu bayan adalah:
الْمَجَازُ الْمُرَكَّبُ الَّذِي تَكُوْنُ عَلَاقَتُهُ الْمُشَابِهَةُ مَتَى فَشَا إِسْتِعْمَالُهُ
Yaitu majas/kiasan yang majemuk yang mana keterkaitan antara yang disamakan dengan asalnya adalah penyerupaan.

Maka bentuk amtsal menurut definisi ini adalah bentuk isti’aarah tamtsiiliyyah, yakni kiasan yang menyerupakan. Seperti
وَمَا الْمَالُ وَالْأَهْلُوْنَ إِلِّا وَدَائِعُ ◊ وَلَا بُدَّ يَوْمًا أَنْ تُرَدَّ الْوَدَائِعُ
Tiadalah harta dan keluarga melainkan bagaikan titipan; pada suatu hari titipan itu pasti akan dikembalikan.
Dalam syair tersebut, tampak jelas penyair menyerupakan harta dan keluarga dengan benda titipan yang dititipkan oleh seseorang kepada kita, yang sama-sama bisa diambil sewaktu-waktu oleh orang yang menitipkannya.
3.      Sebagian ulama’ ada juga yang menyatakan pengertian mitslu adalah:
إِنَّهُ إِبْرَازُ الْمَعْنَى فِي صُوْرَةٍ حِسِّيَةٍ تَكْسِبُهُ رَوْعَةً وَ جَمَالًا
Mengungkapkan suatu makna yang abstrak dalam bentuk sesuatu yang konkret yang elok dan indah.

Contohnya seperti ungkapan الْعِلْمُ نُوْرٌ  (ilmu itu seperti cahaya). Dalam hal ini adalah menyamakan ilmu yang bersifat abstrak dengan cahaya yang konkret, yang bisa diindera oleh penglihatan. Amtsal menurut definisi ini tidak disyaratkan adanya asal cerita juga tidak harus adanya majaz murakkab.
Melihat dari pengertian-pengertian mitslu di atas, maka amtsal al-Qur’an setidaknya berupa penyamaaan keadaan suatu hal dengan keadaan hal yang lain. Penyerupaan tersebut baik dengan cara isti’arah (menyamakan tanpa menggunakan adat tasybih), tasybih sharih (menyamakan yang jelas dengan adanya adat tasybih), ayat-ayat yang menunjukkan makna yang indah dan singkat, atau ayat-ayat yang digunakan untuk menyamakan dengan hal lain. Karena itulah, kesimpulan akhir dalam mendefinisikan amtsal al-Qur’an adalah:
إبْرَازُ الْمَعْنَى فِي صُوْرَةٍ رَائِعَةٍ مُوْجِزَةٍ لَهَا وَقَعُهَا فِي الْنَّفْسِ سَوَاءٌ كَانَتْ تَشْبِيْهًا أَوْ قَوْلًا مُرْسَلً
Menampakkan pengertian yang abstrak dalam bentuk yang indah dan singkat yang mengena dalam jiwa baik dalam bentuk tasybih maupun majaz mursal (ungkapan bebas). 
Definisi di atas relevan dengan yang terdapat dalam al-Qur’an, karena mencakup semua macam amtsal al-Qur’an.

Perumpamaan yang dihadirkan al-Qur’an adalah mengilustrasikan fenomena alam, karakter manusia, tingkah laku, status, amalan, siksa, pahala idiologi umat manusia selama hidup di dunia. Oleh karena itu al-Qur’an memuat segala macam perumpamaan dari berbagai visi. Semua ini adalah untuk kepentingan umat manusia agar mereka menyadari kalau kebenaran yang hakiki hanyalah datang dari sisi-Nya dan oleh karena itu pengertian amtsal dalam Qur’an di atas yaitu, menonjolkan makna dalam bentuk (perkataan) yang menarik dan dapat di pahami secara akal serta mempunyai pengaruh mendalam terhadap jiwa.
B.     Unsur-unsur Amtsal al-Qur’an
Sebagian ulama mengatakan bahwa amtsal memiliki empat unsur yaitu:
1.      وجه الشبه (Wajhu Syabah/ segi perumpamaan).
2.      اداة التشبيه (Adatu Tasybih/ alat yang dipergunakan untuk tasybih).
3.      مشبه (Musyabbah/ yang diserumpamakan).
4.      مشبه به (Musyabbah bih/ Sesuatu yang dijadikan perumpamaan).
Sebagai contoh, pada firman Allah Swt. sebagai berikut: 
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui (QS. Al-baqarah [2]: 261).
Wajhu Syabah yang terdapat pada ayat ini adalah “pertumbuhan yang berlipat-lipat”. Adatu Tasybihnya adalah kata matsal. Musyabbahnya adalah infaq atau shadaqah di jalan Allah. Sedangkan musyabbah bihnya adalah benih.

C.    Macam-macam amtsal al-Qur’an
1.      الأمثال المصرحة (Al-Amtsal Al-Musharrahah) ialah yang didalamnya dijelaskan dengan lafaz matsal atau sesuatu yang menunjukkan perumpamaan (tasybih). Diantaranya perumpamaan yang Allah berikan terhadap orang-orang munafik. Firman Allah SWT QS. Al-Baqarah [2]: 17 dan 19. 
Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat Melihat. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 17)

Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, Karena (mendengar suara) petir,sebab takut akan mati dan Allah meliputi orang-orang yang kafir. (Q.S. Al-Baqarah [`2]: 19).
Berdasarkan ayat di atas, orang-orang munafik berharap cahaya iman, tetapi setelah mengetahui petunjuk dari Allah, hati mereka dikuasai sikap ragu-ragu dan ketidaktegasan. Mereka berada diantara pilihan tetap dari agama yang diwarisi nenek moyang atau memilih agama yang benar dan penuh petunjuk Tuhan bersama segala konsekuensinya. Akhirnya mereka berhasil dikalahkan oleh setan dan kembali kepada agama taklid yang dibawa nenek moyangnya dan kembali kedalam kegelapan. Cahaya yang sebelumnya menerangi hati mereka kemudian lenyap tidak kembali lagi. Sebab berdasarkan sunnatullah yang berlaku pada hamba-hamba-Nya, orang yang telah melihat dan mengetahui petunjuk (alhuda) dengan jelas, namun tetap tidak mau mengikutinya, maka kepada orang tersebut telah diharamkan untuk mendapatkan pengarahan (taufiq) menuju petunjuk Allah.
Di dalam ayat-ayat tersebut Allah membuat dua perumpamaan (matsal) bagi orang munafik; matsal yang berkenaan dengan api (nari) dalam firman-Nya, “adalah seperti orang yang menyelakan api”, karena di dalam api terdapat unsur cahaya; dan matsal yang berkenaan dengan air (ma’i), “atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit”, karena di dalam air terdapat materi kehidupan dan wahyu yang turun dari langitpun bermaksud untuk memerangi hati dan menghidupkannya. Allah menyebutkan juga kedudukan dan fasilitas orang munafik dalam dua keadaan, di satu sisi mereka bagaikan orang yang menyalakan api untuk penerangan dan kemanfaatan mengingat mereka memperoleh kemanfaatan materi dengan sebab masuk Islam. Namun di sisi lain Islam tidak memberikan pengaruh “nur”-Nya terhadap hati mereka karena Allah menghilangkan cahaya (nur) yang ada di dalam api itu “Allah menghilangkan cahaya (yang menyinari) mereka”, dan membiarkan unsur “membakar” yang ada padanya. Inilah perumpamaan mereka yang berkenaan dengan api.
Mengenai matsal mereka yang berkenaan dengan air (ma’i), Allah menyerupakan mereka dengan keadaan orang yang ditimpa hujan lebat yang disertai gelap gulita, guruh dan kilat, sehingga terkoyaklah kekuatan orang itu dan ia meletakkan jari jemari untuk menyumbat telinga serta memejamkan mata karena takut petir menimpanya. Ini mengingat bahwa Qur’an dengan segala peringatan, perintah, larangan dan khitabnya bagi mereka tidak ubahnya dengan petir yang turun sambar-menyambar.
2.      المثال الكامنة (Al-Amtsal Al-Kaminah), yaitu matsal yang didalamnya tidak disebutkan dengan jelas lafaz tamtsil (permisalan), tetapi ia menunjukkan makna-makna yang indah, menarik, dalam kepadatan redaksinya dan mempunyai pengaruh tersendiri bila dipindahkan kepada yang serupa dengannya. Misalnya firman Allah  dalam QS. al-Ra’d [13]: 35.
Perumpamaan syurga yang dijanjikan kepada orang-orang yang takwa ialah (seperti taman); mengalir sungai-sungai di dalamnya; buahnya tak henti-henti sedang naungannya (demikian pula). Itulah tempat kesudahan bagi orang-orang yang bertakwa, sedang tempat kesudahan bagi orang-orang kafir ialah neraka (QS. al-Ra’d [13]: 35).

Allah memperumpamakan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa seperti taman yang mengalir sungai-sungai didalamnya dan dari segala jurusannya, yang dinikmati dan dimanfaatkan oleh para penghuninya sesuai dengan kehendak mereka. Dalam taman itu terdapat pelbagai macam buah-buahan, makan dan minuman yang lezat-lezat, tidak ada putusnya dan tidak akan habis selama-lamanya. Ayat ini juga menunjukkan, bahwa Allah membukakan pintu surga-Nya lebar-lebar bagi orang-orang yang bertakwa, dan menutupnya rapat-rapat bagi orang-orang kafir. Berdasarkan makna surat di atas, amtsal dalam QS. al-Ra’d [13]: 35 tersebut tidak menyebutkan dengan jelas kata-kata yang menunjukkan perumpamaan tetapi kalimat itu mengandung pengertian mempesona, sebagaimana yang terkandung di dalam ungkapan-ungkapan singkat (ijaz).
3.      الأمثال المرسلة (Al-Amtsal Al-Mursalah), yaitu sejumlah risalah tanpa menjelaskan dengan lafaz perumpamaan (tasybih), yaitu ayat yang dikemukakan di tempat jalannya amtsal. Contohnya seperti firman Allah surat al-Hajj [22]: 73.
“… Sesungguhnya segala yang kamu (orang-orang musyrik) seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah” (Q.S. al-Hajj [22]: 73).
Melalui ayat ini Allah menegaskan bahwa orang-orang musyrik meyakini Tuhan-tuhan palsu yang mereka ciptakan itu dapat memberikan manfaat kepada mereka. Padahal sebenarnya hanya Tuhan-tuhan palsu yang sangat lemah. Sebab meskipun semua Tuhan-tuhan palsu itu bersatu, mereka tidak mampu walaupun hanya menciptakan makhluk yang lemah, yaitu seekor lalat, karena jika seekor lalat mengambil sesuatu dari diri tuhan-tuhan palsu itu, mereka tidak mampu merampas kembali yang diambil lalat tersebut.
Orang-orang musyrik tersebut mengalami penipuan dan kelemahan yang ditanggungkan, selain itu pula mereka masih mengalami penderitaan yang lain, yaitu kesetiaannya harus dibagi-bagi kepada beberapa Tuhan. Mereka tak ubahnya seperti seorang budak yang menjadi milik beberapa Tuan; ia tidak akan tenang jika hanya menunjukkan kesetiaan kepada satu tuan. Kalimat-kalimat al-Qur'an yang disebutkan di atas, tanpa ditegaskan redaksi penyerupaan, tetapi dapat digunakan untuk penyerupaan dan kalimat-kalimat di atas juga tidak menggunakan lafaz tasybih secara jelas, tetapi kalimat-kalimat tersebut berlaku sebagai perumpamaan (tasybih).
D.    Manfaat atau tujuan amtsal al-Qur’an
 Ada beberapa tujuan amtsal dalam al-Qur’an diantaranya:
1.      Memberi pelajaran kepada manusia, sebagaimana diungkapkan dalam Q.S. az-Zumar [39]: 27 dan Q.S. al-An’kabut [29]: 43.
Sesungguhnya Telah kami buatkan bagi manusia dalam Al Quran Ini setiap macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran (Q.S. az-Zumar [39]: 27). 
Dan perumpamaan-perumpamaan Ini kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu (Q.S. al-An’kabut [29]: 43).
2.      Menyerupakan hal yang ghaib dengan yang nyata.
3.      Mengungkap hakikat-hakikat yang jauh dari pikiran dengan ungkapan-ungkapan yang dekat dengan pikiran.
4.      Mengumpulkan makna yang indah dalam suatu ibarat yang pendek ‘padat’.
Amtsal al-Qur’an dapat dekembangkan atau diaflikasikan dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam dengan maksud dan tujuan untuk menarik perhatian peserta didik (siswa). Dengan demikian, seolah-olah perumpamaan itu dibuat untuk menyentuh hati pendengarnya (siswa) sehingga betul-betul terkesan dalam sanubarinya. Amtsal juga bisa mempengaruhi pendengarnya untuk mengambil pesan-pesan kebenaran dalam kisah tersebut. Artinya sebuah kisah memiliki pengaruh psikologis karena dapat menjelaskan makna universal dan menyentuhkannya ke dalam jiwa pendengarnya. Di samping sebagai metode mendidik yang ideal dan merinci suatu pesan global, perumpamaan juga merupakan salah satu sisi bukti kehebatan Al qur’an di tinjau dari segi balaghah (retorika)nya.
BAB III
KESIMPULAN

Seperti yang telah diuraikan di bab sebelumnya, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat tentang perumpamaan atau yang dalam ulumul Qur’an disebut dengan Amsal al-Qur’an. terdapat perbedaan pendapat mengenai hal tersebut mulai dari ulama ahli adab, ahli bayan dan ahli tafsir serta ulama ulumul Qur’an, namun yang menurut penulis lebih cocok dengan pengertian tersebut adalah menurut ulama ulumul Qur’an, yaitu bahwa amsal adalah menonjolkan makna dalam bentuk (perkataan) yang menarik dan padat serta mempunyai pengaruh mandalam terhadap jiwa, baik berupa tasybih ataupun perkataan bebas (lepas, bukan tasybih).
Amsal juga mempunyai rukun-rukun atau unsur-unsur, antara lain Wajhu Syabah/ segi perumpamaan, Adaatu Tasybih/ alat yang dipergunakan untuk tasybih, Mussyabbah/ yang diserumpamakan, dan Musyabbah Bih/ sesuatu yang dijadikan perumpamaannya. Adapun macam-macam amsal terdiri dari tiga bagian yaitu, amsal musarrahah, amsal kaaminah, dan amsal mursalah yang masing-masing mempunyai perbedaan diri sendiri.
Al-Qur’an diturunkan untuk direnungi dan difikirkan secara mendalam serta diamalkan dalam pendidikan agama Islam dan tentunya dapat diamalkan dalam kehidupan keseharian umat Islam. Didalam al-Qur’an, konteks amtsal ada beberapa macam yaitu: pujian,kecaman, penghormatan, penghinaan, perintah, larangan dsb.
Catatan: Rujukan Ada Pada penulis.