Selasa, 14 Mei 2013

PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM KERANGKA PENDIDIKAN NILAI

BAB I
PENDAHULUAN
Pada dasarnya pendidikan nilai merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, sekolah dan masyarakat. Akhir-akhir ini hubungan antara ketiga lingkungan pendidikan itu tidak lagi menjadi kekuatan utama dalam membangun pendidikan nilai. Kekurang harmonisan hubungan itu tidak terlepas dari pengaruh globalisasi informasi dan modernisasi. Eksistensi pendidilan nilai pada tiga lingkungan pendidikan itu mengalami stagnasi dengan ditengarai oleh munculnya berbagai permasalahan kehidupan manusia yang semakin kompleks.
Kompleksitas permasalahn di atas mengemuka dalam tatanan global yang ditandai oleh munculnya berbagai masalah dan isu-isu global seperti pelanggaran hak-hak asasi manusia, fenomena kekerasan, rusaknya lingkungan hidup, runtuhnya perdamaian dunia, penyalahgunaan narkotika dan sebagainya. Dunia pendidikan hingga saat ini masih diwarnai perilaku siswa membolos, berkelahi atau tawuran, mencuri dan menganiaya, mengkonsumsi minuman keras, narkotika, bahkan peredaran adegan porno yang diperankan para pelajar.
Permasalahan tersebut menuntut adanya pemikiran yang berkaitan dengan sistem pembelajaran pendidikan agama Islam dan pola pendidikan nilai yang cocok dilingkungan jenjang pendidikan masing-masing. Pola-pola pendidikan dan pembelajaran yang dilakukan hendaknya mengembangkan dan menyadarkan siswa terhadap nilai kebenaran, kejujuran, kebijakan, kearifan, dan kasih sayang, sebagai nilai-nilai universal yang dimiliki oleh semua agama terutama agama Islam.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Pembelajaran PAI sebagai bagian dari pendidikan agama telah diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (3) bahwa: "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang". Atas dasar amanat ini, makat, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dalam Penjelasan Umum UU Nomor 20 Tahun 2003 ini ditegaskan bahwa strategi pertama dalam melaksanakan pembaruan sistem pendidikan nasional adalah "pelaksanaan pendidikan agama dan nilai akhlak mulia".
B.     Konsep Pendidikan Nilai
      1.      Pengertian Nilai
Nilai, menurut K. Bertens, adalah sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan. Sesuatu yang bernilai bagi seseorang jika menimbulkan ‘perasaan positif’: suka, senang, simpati, gembira, tertarik, dan sesuatu yang tidak bernilai akan menimbulkan ‘perasaan negatif’: marah, tidak senang, benci, antipati, dst.
       2.      Pengertian Pendidikan Nilai
Kaswardi (1993) sebagaimana yang dikutip oleh Zaim El Mubarok menyebutkan bahwa, pendidikan nilai merupakan penanaman dan pengembangan nilai-nilai pada diri seseorang. Sedangkan Mardimadja (1986) mendefinisikan pendidikan nilai sebagai bantuan terhadap peserta didik agar menyadari dan mengalami nilai-nilai serta menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya. Kedua pakar ini sepakat bahwa konsep pendidikan nilai bukanlah kurikulum tersendiri yang diajarkan lewat beberapa mata pelajaran tetapi mencakup seluruh proses pendidikan. Pendidikan nilai adalah ruh pendidikan itu sendiri, jadi dimanapun diajarkan pendidikan nilai akan muncul dengan sendirinya.
      3.      Tujuan dan Landasan Pendidikan Nilai
Rohamat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai sebagaimana yang di kutip oleh Maksudin , tujuan pendidikan nilai dapat diklasifikasikan atas dua hal berikut. Pertama, tujuan umum, yaitu untuk membantu peserta didik agar memhami, menyadari, dan mengalami nilai-nilai serta mampu menempatkannya secara integral dalam kehidupan. Untuk mencapai tujuan itu tindakan-tindakan pendidikan hendaknya mengarah pada perilaku yang baik dan benar. Kedua, tujuan khusus, seperti yang dirumuskan  Komite APEID (Asia and the Pasific Programme of Educational Innovation For Development), bahwa pendidikan nilai bertujuan untuk: menerapkan pembentukan nilai kepada anak, menghasilkan sikap membimbing perilaku yang konsisten dengan nilai-nilai tersebut. Dengan demikian, tujuan pendidikan nilai meliputi tindakan mendidik yang berlangsung mulai dari usaha penyadaran nilai sampai pada perwujudan perilaku-perilaku yang bernilai.
Ada empat landasan yang berkaitan dengan pendidikan nilai, yakni landasan filosofis, psikologis, sosiologis, dan estetis yang akan penulis jabarkan sebagai berikut:
a.       Landasan filosofis memiliki dua kemungkinan posisi. Pertama, filsafat pendidikan nilai pada dasarnya tidak berpihak pada salah satu kebenaran tentang hakikat manusia yang dicapai oleh suatu aliran pemikiran karena nilai adalah esensi hakikat manusia yang dapat mewakili semua pandangan. Kedua, filsafat pendidikan nilai berlaku secara selektif terhadap kebenaran hakikat manusia yang dicapai oleh suatu  aliran pemikiran tertentu karena nilai selain bagian dari esensi manusia juga menyangkut substansi kebenaran yang dapat berlaku kontekstual dan situasional.
b.      Landasan psikologis berkaitan dengan aspek motivasi, perbedaan individu, dan tahapan belajar nilai dimana setiap individu tidak sama persis namun terjadi perbedaan aspek psikis yang berpengaruh pada perilaku masing-masing.
c.       Landasan sosiologis berhubungan dengan hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Proses sosial melibatkan sentimen sosial yang berkadar kebaikan terhadap orang lain dan sentimen yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan pribadi.
d.      Landasan estetik berkaitan dengan persoalan manusia sebagai makhluk yang memiliki cita rasa keindahan yang berkembang sesuai dengan potensi setiap individu dalam menilai objek yang bernilai seni atau karya seni. Keanekaragaman cita rasa keindahan yang dimiliki masing-masing individu dapat dijadikan sebagai ajang penyadaran nilai-nilai keindahan dan penyertaan timbangan rasa secara optimal.
         4.      Pendekatan Pendidikan Nilai Dalam Kerangka Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Uraian tentang pendekatan-pendekatan pendidikan nilai, yang  akan penulis jelaskan sebagai berikut:
a.       Pendekatan Penanaman Nilai: Pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial (hablumminanas) dalam diri siswa.
b.      Pendekatan perkembangan Kognitif: mendorong siswa untuk berfikir aktif tentang masalah-masalah moral (akhlak) dan dalam membuat keputusan-keputusan.
c.       Pendekatan analisis nilai (Values anlysis approach) memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan siswa untuk berfikir logis.
d.      Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach): memberi penekanan pada usaha membantu siswa dalam megkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri.
e.       Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) memberi penekanan pada usaha memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok.
C.    Keterpaduan Pendidikan Nilai dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Pendidikan agama adalah usaha-usaha secara sistematis dan pragmatis dalam membantu anak didik agar supaya mereka hidup sesuai dengan ajaran Islam. Ada juga yang berpendapat bahwa pendidikan Islam adalah proses pewarisan dan pengembangan budaya manusia yang bersumber dan berpedoman ajaran Islam sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an dan terjabar dalam Sunah Rasul.
Sementara itu masih mengenai pengertian pendidikan Islam pakar lainnya berpendapat bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut Ukuran-ukuran Islam. Muhammad Athiyah al-Abrasyi memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam (al-Tarbiyah al-Islamiyah) yaitu mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan berbahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya; sempurna budi pekertinya (akhlaknya), teratur pikirannya, halus perasaannya, mahir dalam pekerjaannya, manis tutur katanya baik dengan lisan atau tulisan.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas pendidikan Islam adalah pendidikan yang mengutaman proses pembelajaran yang di dasari pada al-qur’an dan al-hadis dengan tujuan untuk membentuk generasi muslim yang cerdas secara intelektual, sosial, emosional mampu menciptakan hubungan baik dengan Allah (hablumminallah), berhubungan baik dengan sesama manusia (hablumminanas), dab berhubungan baik dengan alam (hablumminal alam).
Pembelajaran adalah setiap perubahan perilaku yang relatif permanen, terjadi sebagai hasil dari pengalaman. Secara sederhana, istilah pembelajaran (instruction) bermakna sebagai “upaya untuk membelajarkan seseorang atau kelompok orang melalui berbagai upaya (effort) dan berbagai strategi, metode dan pendekatan ke arah pencapaian tujuan yang direncanakan”. Dengan demikian, makna pembelajaran merupakan kondisi eksternal kegiatan belajar, yang antara lain dilakukan oleh guru dalam mengkondisikan seseorang untuk belajar.
D.    Strategi Dan Metodologi Pendidikan Nilai Dalam Kerangka Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Strategi adalah pendekatan secara keseluruhan yang berkaitan dengan pelaksanaan gagasan, perencanaan, dan eksekusi sebuah aktivitas dalam kurun waktu tertentu. Pengertian metodologi, berasal dari kata metode, dari Bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau jalan yang ditempuh. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka, metode menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.
 Berdasarkan beberapa pengertian di atas, strategi suatu cara, ide untuk mencapai target yang telah ditentukan, adapun metodologi adalah suatu ilmu yang digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan, atau bagaimana cara melakukan atau membuat sesuatu.
Pembelajaran merupakan suatu proses untuk meramu sarana dan prasarana pendidikan dengan tujuan untuk mencapai kualitas sebagaimana yang dirumuskan. Tercapainya lulusan dengan kualitas yang baik sangat dipengaruhi oleh seberapa jauh guru mampu mengelola atau mengolah segala komponen pendidikan melalui proses pembelajaran. Meskipun didukung oleh sarana dan prasarana yang lengkap dan memadai, tetapi jika guru tidak mampu mengelolanya dengan baik, maka kualitas pembelajaran juga tidak akan bisa mencapai hasil maksimal.
Strategi dan metodologi Penanaman Nilai-nilai dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam sesuai dengan jenjang masing-masing pendidikan, sbb:
      1.      Pembelajaran PAI di jenjang Madrasah Ibtidaiyah (MI)
Jenjang MI merupakan pendidikan yang mendasari jenjang pendidikan berikutnya. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa keberhasilan pendidikan di MI sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pada jenjang berikutnya. Esensi pembelajaran di tingkat MI adalah berupaya untuk menanamkan semangat atau jiwa keimanan (tauhid) kepada Allah SWT. Upaya menanamkan jiwa ketauhidan bisa dilakukan dengan cara doktrin terhadap anak didik. Doktrin bisa dilakukan berdasarkan kemampuan improvisasi yang dimiliki oleh masing-masing guru. Substansi doktrinnya adalah bagaimana agar anak didik memiliki ketertarikan dan kedekatan terhadap Allah SWT. Dengan demikian, kompetensi bagi lulusan MI adalah memiliki kualitas keimanan yang baik.
Ditinjau dari peran dan tanggung jawab guru dalam mewujudkan keberhasilan pembelajaran MI, guru memiliki tanggung jawab yang sangat besar. Peran guru untuk mewujudkan keberhasilan anak didik dalam belajar berkisar 90%, sedangkan anak didik hanya 10%. Hal ini menunjukkan bahwa peran guru sangat menentukan karakterisitik dan kemampuan anak didik dalam memahami materi pelajaran. Jika guru rendah motivasi mengajarnya dan sempit wawasan pengetahuannya, maka anak didikpun akan rendah motivasi belajarnya dan sempit pula pengetahuan atau wawasannya.
      2.      Pembelajaran PAI di jenjang Madrasah Tsanawiyah (MTs)
Pembelajaran di jenjang MTs tidak lagi menggunakan doktrinasi, tetapi lebih pada proses untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman terhadap dalil atau dasar tentang segala sesuatu yang dikerjakan. Misalnya, anak didik mengerti mengapa umat Islam diwajibkan shalat lima waktu sehari semalam, anak didik mengerti alasan atau dalil mengapa umat Islam diwajibkan menjalankan ibadah puasa ramadhan dan lain sebagainya. Anak didik juga mengetahui mengapa manusia dilarang bertengkar, konflik, dan hidup bermasyarakat secara damai, rukun, dan saling membantu, manusia dilarang berbuat zina, mencuri, dan juga dilarang melakukan korupsi.
Untuk mewujudkan keberhasilan pembelajaran, guru memiliki peran 60%, sedangkan anak didik memiliki peran berkisar 40%. Artinya, semakin tinggi jenjang pendidikan, peran dan tanggung jawab guru semakin berkurang, tetapi substansi materi justru semakin meningkat. Oleh karena itu guru harus melakukan inovasi dalam pembelajaran.
      3.      Pembelajaran PAI di jenjang Madrasah Aliyah (MA)
Pembelajaran dijenjang Madrasah Aliyah (MA) lebih menekankan pada optimalisasi peran rasionalitas anak didik. Pembelajaran bersifat rasionalisasi dalil dan pembiasaan perbedaan pendapat. Dua hal ini menjadi penting disampaikan di jenjang MA dengan harapan para lulusan MA sudah memiliki kemapanan daya rasionalitasnya dan terbiasa menghadapi perbedaan atau problem kehidupannya. Guru harus mampu mendesain pembelajarannya dengan lebih menekankan aspek rasionalitas terhadap teks-teks norma ajaran agama. Konsekuensinya, guru harus mampu melakukan rasionalitasi terhadap teks-teks yang ada dalam ajaran atau norma agama Islam.
Peran atau tanggung jawab guru dan anak didik dalam mewujudkan kualitas pembelajaran sama besar. Guru memiliki peran berkisar 50%, anak didik juga memiliki peran berkisar 50%. Hal ini menunjukkan bahwa guru dan anak didik pada jenjang MA harus sama-sama memiliki semangat dan motivasi yang jelas dan tinggi. Meskipun dilengkapi dengan fasilitas yang lengkap, tetapi kalau guru dan anak didik tidak memiliki motivasi pembelajaran yang tinggi, maka pembelajaran akan gagal. Guru dan anak didik dituntut memiliki semangat untuk memanfaatkan segala sarana yang ada di sekolah untuk keberhasilan pembelajaran.
Guru harus menyadari bahwa mengajar memiliki sifat yang sangat kompleks karena melibatkan aspek pedagogis, psikologis, dan didaktis secara bersama. Aspek pedagogis menunjuk pada kenyataan bahwa mengajar di sekolah berlangsung dalam suatu lingkungan pendidikan, karena itu guru harus mendampingi pesrta didik menuju kesuksesan belajar atau kedewasaan. Aspek psikologis menunjuk pada kenyataan bahwa peserta didik yang belajar pada umumnya memiliki taraf perkembangan yang berbeda satu dengan lainnya, sehingga menuntut materi yang berbeda pula. Demikian halnya kondisi peserta didik, kompetensi, dan tujuan yang harus mereka capai juga berbeda. Selain itu, aspek psikologis menunjuk pada kenyataan bahwa proses belajar itu sendiri mengandung variasi.
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan bab VI pasal 28 ayat 3 dinyatakan  bahwa guru minimal memiliki empat kompetensi, yaitu: kompetensi pedagogis, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi sosial. Dalam peraturan Kementrian Agama kompetensi guru di bagi lima yaitu: kompetensi pedagogis, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional kompetensi sosial dan leadership.
      4.      Pembelajaran PAI di Perguruan Tinggi
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) yang berbasis nilai di era globalisasi menuntut guru atau dosen untuk mengubah paradigma atau mindset,  sebab peserta didik bukan hanya diposisikan sebagai individu, tetapi tetapi ia warga lokal dan global. Pembelajaran di jenjang Perguruan Tinggi diwujudkan dalam bentuk pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (mahasiswa)  sebagai proses aktualisasi dirinya dengan memberikan program-program untuk melayani keperluan dan kemampuan-kemampuan serta minat individu untuk lebih banyak belajar mancari dan menemukan sendiri cara membentuk pengetahuan dan dalam mencari makna atau mendorong peserta didik (mahasiswa)  agar belajar mandiri dan mengetahui tentang bagaimana cara belajar (learning how to learn).
Kegiatan pembelajaran (Perguruan Tinggi), perlu mempertimbangkan dan mengembangkan kecakapan-kecakapan hidup, terutama yang diperlukan oleh pesrta didik di era globalisasi setelah mereka lulus dan memasuki lapangan kerja atau dalam melakukan pengabdian dan berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat. Menurut hasil survai tentang apa yang harus dikuasi dan dimiliki oleh seorang lulusan adalah sebagai berikut: effective communication, problem-solving ability, analytical, skills, team work, flexibility and adaptability, can work crossculturally, leadership, second language, IT/Computing, understanding globalization era, personality.
Berbagai kecakapan hidup tersebut perlu diinternalisasikan ke dalam strategi pembelajaran ilmu-ilmu agama Islam. Pembelajaran di era globalisasi yang memposisikan peserta didik (mahasiswa) sebagai individu, warga lokal (nasional) dan global sebagaimana uraian di atas akan berimplikasi pada cara belajarnya serta model pembelajaran pendidikan agama Islam yang dikembangkan oleh guru atau dosen.
E.     Model-Model Pembelajaran Pendidikan Agama Islam dalam Interaksi Edukatif Value.
Model-model pembelajaran pendidikan agama Islam interaksi edukatif value dapat penulis bagi sebagai berikut:
1.      Model-model pembelajaran Quantum Teaching yaitu model pembelajaran yang terkandung berbagai macam metode pengajaran yang diolah menjadi satu, seperti metode ceramah, diskusi, tanya jawab, demonstrasi, penugasan, studi banding, pemecahan masalah, simulasi, eksperimen, proyek, dan lain sebagainya. Berbagai metode pengajaran ini satu dan lainnya saling berhubungan dan membentuk Quantum Teaching. model pembelajaran ini senada dengan Q.S. al-Baqarah: [2]: 29. 
Dalam kerangka pendidikan nilai berbasis pendidikan Islam peserta didik dapat terbina seluruh potensinya serta memiliki sikap percaya diri, kreatif, inovatif, kritis dan demokratis.
2.      Model Problem Based Learning (PBL) merupakan model pembelajaran yang bertumpu pada kreativitas, inisiatif, inovasi, dan motivasi para siswa. Dengan PBL, proses belajar lebih banyak bertumpu pada kegiatan para siswa secara mandiri, sementara guru bertindak sebagai desainer, perancang, fasilitator,motivator atas terjadinya kegiatan belajar mengajar tersebut. Model pembelajaran ini senada dengan QS. al-Ahzab [33]: 45-46.   
Melalui PBL, seorang siswa didesain agar memiliki keterampilan dalam memecahkan masalah serta memiliki nilai-nilai ketahanan fisik dan mental yang selanjutnya dapat ia terapkan pada saat menghadapi masalah yang sesungguhnya di masyarakat.
3   .      Model pembelajaran kooperatif dan interaktif learning. Torsten Husein (1998: 80) sebagaimana dikutif oleh abuddin nata bahwa Model pembelajaran kooperatif dan interaktif learning adalah model pembelajaran yang terjadi sebagai akibat dari adanya pendekatan pembelajaran yang bersifat kelompok. Model pembelajaran ini senada dengan Q.S. al-Maidah [5]: 2 
Internalisasi nilai dalam kerangka pembelajaran pendidikan Agam Islam memerlukan ‘dukungan perasaan positif’, semisal: minat, perhatian, dan kecintaan, agar ‘suatu nilai’ bisa menjadi sesuatu ‘yang bernilai’ bagi peserta didik. Inilah sebenarnya orientasi dari pendidikan nilai. Nilai sebagai sesuatu yang berada di balik materi pembelajaran’ karena tidak cukup hanya diterangkan, dijelaskan, dan diuraikan, perlu “pelibatan” peserta didik secara kognitif, afektif, dan psikomotorik (yang dalam konsep klarifikasi nilai meliputi: memilih, menilai, dan melakukan; berefleksi dan berafeksi). Konsekuensinya, penilaian terhadap hasil ‘pendidikan nilai’ tidak cukup dengan tes, melainkan juga dengan semisal melalui penilaian performance, portofolio, proyek, penilaian proses dan hasil belajar (bersifat menyeluruh dan kontinu).
Dengan model pembelajaran ini akan mendapatkan berbagai pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai, sikap dan pengalaman dalam memecahkan berbagai masalah yang terkait dengan kegiatan pembelajaran.

BAB III
KESIMPULAN
Setiap proses pendidikan merupakan fenomena empiris yang didalamnya serat dengan muatan nilai. Proses pendidikan merupakan sarana yang tepat untuk menanamkan nilai-nilai moral kepada peserta didik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa nilai merupakan roh pendidikan, sehingga setiap unsur di dalam proses dan hasil pendidikan sebaiknya berorientasi pada nilai.
Konsep awal pendidikan nilai adalah komponen yang menyentuh filosofis tujuan pendidikan yaitu memanusiakan manusia, membangun manusia paripurna dan membentuk insan kamil atau manusia seutuhnya dan pendidikan harus berorientasi pada kebutuhan-kebutuhan dasar yang mempunyai nilai religius dalam konteks sosioantropologis.
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam tidak saja didesain dari keragaman karakteristik siswa secara dangkal, tetapi lebih dari itu, yakni hendaknya digagas dan dikelola dengan sedapat mungkin memerhatikan faktor kecerdasan dan penanaman nilai. Proses pembelajaran merupakan interaksi edukatif antara peserta didik dengan guru, peserta didik dengan lingkungan sekolah dan peserta didik-guru dengan lingkungan sekolah.
Guru sebagai bagian dari kerangka sistem pendidikan diharapkan untuk selalu mengembangkan keterampilan mengajar yang sesuai dengan kemajuan zaman dan lingkungan lokal dimana proses pendidikan itu dilaksanakan. Posisi strategis guru dalam proses pembelajaran menuntut guru untuk selalu melakukan pengembangan dan pembaruan (berinovasi).

DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Starategi Pembelajaran, Jakarta: Prenada Media Group, 2011.
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Al Ma’arif, 1980.
Ahmad Zayadi, Abdul Majid, Tadzkirah Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berdasarkan Pendekatan Kontekstual, Jakarta: Raja Grafindo, 2005.
E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kretif dan Menyenangkan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005.
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001.
Mahmud Arif, Materi Mata Kuliah Pembelajaran PAI: Strategi dan Metodologi, konsentrasi Pendidikan Agama Islam, Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013.
Maksudin, Pendidikan Nilai Konprehensif: Teori dan Praktik, Yogykarta: UNY Press, 2009.
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2009.
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 1994.
Robbins, Stephen P. Perilaku Organisasi, Jakarta: Salemba Empat, 2007.
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003,  Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Zaim Elmubarok, Membumikan Pendidikan Nilai, Bandung: Alfabeta, 2008.
Zakiah Derajat, Metodologi Pengajaran Agama, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Zuhairini, dkk. Metodik Khusus Pendidikan Agama dilengkapi dengan sistem modul dan permainan non simulasi, Surabaya: Biro Ilmiah Fakultas Tarbiah IAIN Sunan Ampel Malang, usaha Offset Printing, 1983.
, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.

Jumat, 03 Mei 2013

PENDEKATAN HERMENEUTIK DALAM STUDI ISLAM

AB I
PENDAHULUAN

Kehadiran hermeneutik tidak terlepas dari pertumbuhan dan kemajuan pemikiran tentang bahasa dalam wacana filsafat dan keilmuan lainnya. Pada awalnya, hermeneutik banyak dipakai oleh mereka yang berhubungan erat dengan kitab suci injil dalam menafsirkan kehendak Tuhan kepada manusia. Ilmu ini dikenal dengan tafsir kitab suci, ia berkembang pesat dalam berbagai disiplin keilmuan yang luas. Kajian yang sama juga dilakukan pada teks-teks klasik Yunani dan Romawi. Bentuk hermeneutik dalam kajian di atas mulai berkambang pada abad 17 dan 18.
Kajian terhadap hermeneutik sebagai sebuah bidang keilmuan mulai marak pada abad 20, dimana kajian hermeneutik semakin berkembang. Ia tidak hanya mencakup bidang kajian kitab suci (teks keagamaan) dan teks-teks klasik belaka, melainkan berkambang jauh pada ilmu-ilmu lain seperti sejarah, hukum, filsafat, kesusastraan, dan lain-lain sebagainya yang tercakup dalam ilmu pengetahuan tentang kemanusiaan. Hermeneutik adalah teori tentang bekerjanya pemahaman dalam menafsirkan teks. Hermeneutik mencakup dalam dua fokus perhatian yang berbeda dan saling berinteraksi yaitu; pertama, peristiwa pemahaman terhadap teks. Kedua, persoalan yang lebih mengarah menganai pemahaman interpretasi itu.
Sebenarnya hermeneutika sebagai metode baca teks telah dikenal luas dalam pelbagai bidang keilmuan Islam tradisional, terutama dalam tradisi Fiqh dan tafsir al-qur’an. Sementara itu, hermeneutika modern dalam pemikiran Islam pada dasarnya dapat disebut lompatan besar dalam perumusan metodologi pemikiran Islam pada umumnya dan metode penafsiran al-Qur’an khususnya.  Oleh karena itu, kajian hermeneutika dalam kajian Islam juga perlu dipelajari untuk menambah khazanah keilmuan dan dapat memberikan pengetahuan baru terhadap bagaimana memahami teks serta penafsiran terhadap teks yang akan diteliti.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Hermeneutik
Akar kata hermeneutika berasal dari istilah Yunani dari kata kerja hermeneuin yang berarti menafsirkan, dari kata hermeneia yaitu interpretasi. Maka kata benda hermeneia secara harfiah dapat diartikan sebagai penafsiran yaitu interpretasi. Term ini memiliki asosiasi etimologi dengan nama dewa dalam mitologi Yunani. Hermes, yang mempunyai tugas menyampaikan dan menjelaskan pesan-pesan Tuhan kepada manusia.
Dalam hal ini Hans Georg Gademer menjelaskan bahwasanya hermeneutika adalah seni praktis, yakni techne, yang digunakan dalam hal-hal seperti berceramah, menafsirkan bahasa-bahasa lain, menerangkan dan menjelaskan teks-teks, dan sebagai dasar dari semua ini (ia merupakan) seni memahami, sebuah seni yang secara khusus dibutuhkan ketika makna sesuatu (teks) itu tidak jelas.
Hermeneutika dari segi makna terminologisnya dapat dikatakan bahwasanya hermeneutika adalah suatu proses mengubah sesuatu dari situasi dan makna yang diketahui menjadi dimengerti. Hermeneutika bisa pula digunakan dalam dua bentuk; pertama, pengetahuan tentang makna yang terkandung dalam suatu kata, kalimat, teks, dan lain-lain; kedua, menemukan instruksi-instruksi yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik. Dengan kata lain studi hermeneutik mencoba menganalisis dan menjelaskan teori penafsiran teks (nazariat ta’wil al-nusus) dengan mengajukan pendekatan-pendekatan keilmuan lain yang dengan sendirinya menguji proses pemahaman, mekanisme penafsiran dan penjelasan (teks).
B.     Pendekatan Hermeneutik Dalam Kajian Islam
             Studi Islam, yang mencakup studi teks dan sosial, tentunya harus terus dikembangkan, sehingga       memiliki    kekayaan dan varian-varian temuan yang akan bermanfaat bagi eksistensi bagi keilmuan dan memiliki manfaat pragmatis bagi masyarakat. Kajian teks dalam studi Islam merupakan salah satu bagian penting yang perlu mendapat perhatian. Pengembangan kajian ini bisa dilakukan dengan mencoba mengkaitkannya dengan bidang-bidang lain, seperti linguistik dan hermeneutika. Teori dan pendekatan hermeneutika yang dikemukakan oleh khaled M. Abou Al-Fadl yang tertulis pada: Teks (unsure teks),  Author (unsur pengarang),  Reader (unsur pembaca)
Hermeneutik dalam pemikiran Islam pertama-tama diperkenalkan oleh Hasan Hanafi dalam karyanya yang berjudul Les methods d’exeges. Essai sur la Science des Fordements de la Comprehension, ‘Ilm Ushul al-Fiqh (1965), sekalipun tradisi Hermeneutik telah dikenal luas diberbagai ilmu-ilmu Islam tradisional, terutama tradisi ushul al-fiqh dan tafsir al-Qur’an. Oleh Hasan Hanafi, penggunaan hermenutik pada mulanya hanya merupakan eksperimentasi metodologis untuk melepaskan diri dari positivisme dalam teoritis hukum Islam dan ushul fiqh. Sampai di situ, respon terhadap tawaran atas hermeneutiknya hampir-hampir tidak ada.
Satu hal yang menunjol dari Hermeneutik Hasan Hanafi dalam pemikirannya secara umum adalah muatan idiologisnya yang syarat-syarat dan maksudnya sangat praksis. Tipikal pemikiran revolusioner semacam ini, justru sangat berbeda dengan meinstream umat Islam yang masih terkungkung oleh lembaga-lembaga tradisionalisme dan ortodoksi.
Hermeneutik, sebagaimana disebut di atas, pada dasarnya merupakan suatu metode penafsiran yang berangkat dari analisis bahasa dan kemudian melangkah keanalisis konteks, untuk kemudian “menarik” makna yang didapat ke dalam ruang dan waktu saat proses pemahaman dan penafsiran tersebut dilakukan. Jika pendekatan hermeneutika ini dipertemukan dengan kajian al-Qur’an, maka persoalan dan tema pokok yang dihadapi adalah bagaiman teks al-Qur’an hadir di tengah masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan, dan didialogkan dengan dinamika realitas historisnya.
Lebih jauh merumuskan metode tersebut, Fahrudin Faiz dalam Hermeneutika al-Qur’an menyatakan, ketika asumsi-asumsi hermeneutika diaplikasikan pada Ulumul al-Qur’an, ada tiga variable yang harus diperhatikan, yaitu teks, konteks, dan kontekstualisasi. Tentang teks, sudah jelas ulumul al-Qur’an telah membahasanya secara detail, misalnya dalam sejarah pembukuan mushaf al-Qur’an dengan metode riwayat. Tentang konteks, ada kajian asbabul nuzul, nasikh mansukh, makki-madani yang katanya menunjukkan perhatian terhadap aspek “konteks” dalam penafsiran al-Qur’an. Tapi, faiz menyatakan bahwa kesadaran konteks hanya membawa ke masa lalu. Maka kata dia, harus ditambah variable kontekstualisasi, yaitu menumbuhkan kesadaran akan kekinian dan segala logika serta kondisi yang berkembang didalamnya. Variabel kontekstualisasi ini adalah perangkat metodologis agar teks yang berasal dari masa lalu dapat dipahami dan bermanfaat bagi masa sekarang.
Dalam hal ini dapat dicontohkan tentang hukum potong tangan dalam al-Qur’an. Meski secara tegas dalam al-Qur’an tertulis kewajiban hukum potong tangan bagi pencuri, namun hal tersebut dapat dipahami secara berbeda. Dalam kacamata Hermeneutik, pesan yang tidak terkatakan adalah adanya keadilan dalam pemenuhan hak dan kewajiban. Hak untuk memiliki suatu benda tidak boleh dicapai dengan cara-cara yang mengesampingkan aturan-aturan yang ada. Pada masa teks tersebut turun, keadaan sosial masyarakat Arab ketika itu memang meniscayakan adanya hukum potong tangan. Suatu konstruk budaya Arab ketika itu memang menghendaki adanya hukum potong tangan bagi pencuri. Namun, karena kondisi sosial budaya masyarakat yang tidak sama, maka substansi dari hukum potong tangan lebih dikedepankan. Di Indonesia, hukum potong tangan diganti dengan hukum penjara, suatu upaya yang secara substantiv sama dalam mencegah pengulangan kejahatan yang sama.
C.    Kontribusi Hermeneutik dalam Khazanah Pendidikan Agama Islam
Sampai detik ini, masih terdapat sebagian kalangan umat Islam yang amat anti terhadap manhaj interpretasi ini. Ia dianggap sebagai momok menakutkan yang perlu untuk dibinasakan. Bahkan, bila perlu penafsir yang menggunakan manhaj ini ikut dibinasakan sekaligus. Darahnya halal. Ia dianggap sebagai kafir dan berbagai macam stigma negatif lainnya.
Sikap semacam ini, menurut hemat penulis tidak perlu dilakukan. Jangan kemudian karena manhaj ini berasal dari barat, lantas dengan sangat mudahnya kita mengatakan bahwa manhaj ini adalah manhaj iblis. Setiap yang berasal dari barat haram untuk dimanfaatkan umat Islam. Pandangan seperti ini amatlah naif, tidak dewasa dan cenderung mempunyai sifat egois berlebih.
Alangkah indahnya jika kemudian umat Islam membuka diri pada hal-hal baru yang dirasa membawa manfaat dan kemaslahatan bagi umat Islam secara keseluruhan. Bukankah kita sering mendengar adagium “Al-Muhafadhotu alal Qadim as-Shalih wal Akhdzu bil Jadid al-Ashlah”?
Seorang guru Pendidikan Agama Islam hendaknya memiliki kemampuan pemahaman teks ayat suci dengan konteks secara professional, sehingga ayat suci al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia berlaku sepanjang zaman dan dapat menjadi rujukan utama dalam segala aspek kehidupan.
Menurut Machasin, seorang guru besar di UIN Sunan Kalijaga, ketakutan atas hermeneutik ini, disebabkan adanya paranoid berlebihan bahwa ketika metode hermeneutik ini diaplikasikan dalam interpretasi teks al-Qur’an akan menyebabkan hilangnya kesakralan kitab ini. Kekhawatiran seperti ini sebenarnya dapat dijawab dengan mengatakan bahwa hermeneutika sama sekali tidak berkaitan dengan masalah apakah al-Qur’an itu firman Tuhan atau bukan. Hermeneutika sejatinya hanya ingin mempertanyakan apakah pemahaman kita tentang al-Qur’an sudah benar atau tidak. Dengan demikian unsur sakralitas al-Qur’an masih tetap utuh.
Sebagaimana telah disinggung di atas, Hermeneutik lahir dari rahim mitologi, kemudian berlari ke bibel, lantas tumbuh menjadi salah satu konsentrasi dalam filsafat. Betapapun demikian, “membeli” teori tersebut untuk kemudian diterapkan dalam memahami pesan teks suci al-Qur’an adalah sesuatu yang layak untuk dipertimbangkan. Sebab, salah satu problem yang hendak dipecahkan dalam teori ini adalah bagaimana menafsirkan teks secara kritis, obyektif, dan kontekstual. Teori ini berusaha membaca sebuah teks keagamaan masa silam dan menghadirkannya kembali kepada masyarakat yang hidup dalam tempat dan waktu yang jauh berbeda. Untuk itulah, teori ini sangat layak untuk dikembangkan dalam seni interpretasi teks suci al-Qur’an.
BAB III
KESIMPULAN
Hermeneutika adalah salah satu seni dalam interpretasi teks. Mengingat cara kerja teori ini yang berusaha untuk memahami teks secara komprehensif, maka teori ini sangat relevan untuk penafsiran teks suci al-Qur’an supaya Subtilitas Intelegendi (ketepatan pemahaman) dan Subtilitas ecsplicandi (ketepatan penjabaran) terhadap pesan teks dapat terjaga secara utuh.
Upaya merekonstruksi terhadap corak interpretasi teks al-Qur’an yang literalis-skripturalis dan statis menjadi sebuah keharusan. Salah satu media untuk mencapainya adalah dengan melakukan gebrakan metode interpretasi yang tepat agar tercipta pemahaman keislaman yang fleksibel, kontekstual, tidak statis dan progresif. Wallahu A’lam.
 * Referensi / rujukan ada pada penulis.