Minggu, 19 Mei 2013

MANAJEMEN KONFLIK (Studi Kasus Konflik Mahasiswa Vs Kebijakan Borokrasi Kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Tahun 2011-2013)



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Konflik dalam keseharian kita kini tak terhindarkan, dalam setiap organisasi yang melibatkan banyak orang di samping ada proses kerja sama untuk mencapai tujuan organisasi, tidak jarang juga terjadi perbedaan pandangan, ketidakcocokan, dan pertentangan yang bisa mengarah pada konflik. Didalam organisasi manapun terdapat konflik, baik yang masih tersembunyi maupun yang sudah muncul terang-terangan. Pelaku konflik yang tidak hanya menyangkut orang perorangan melainkan menjadi kelompok perkelompok maupun negara ke negara lainnya.
Konflik merupakan bagian dari dunia kebudayaan yang jauh lebih luas. Bahkan terjadinya konflik diidealisasi sebagai bentuk dari pelampiasan rasa solidaritas yang kuat dan ungkapan dari definisi yang tegas tentang kawan dan lawan.
Dengan demikian, konflik merupakan kewajaran dalam suatu organisasi, termasuk dalam lembaga pendidikan Islam. Maka dari itu pentingnya kita mengenali teori dan manajemen konflik yang dapat menjadi landasan maupun pegangan kita sebagai penengah konflik.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa konsep dasar konflik dalam lembaga pendidikan Islam?
2.      Bagaimana proses tumbuh kembangnya konflik di lembaga pendidikan Islam?
3.      Bagaimana cara mengatasi dan mengelola konflik?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Konsep Dasar Konflik Dalam Lembaga Pendidikan Islam
1.      Definisi Konflik
Kata konflik dalam bahasa yunani : configere, conflictum berarti saling berbenturan. Arti kata ini menunjukkan pada semua bentuk benturan, tabrakan, ketidaksesuaian, ketidak serasian, pertentangan, perkelahian, oposisi, dan interaksi-interaksi yang antagonis bertentangan.
Dapat diartikan pula bahwa konflik merupakan relasi-relasi psikologis yang antagonis, berkaitan dengan tujuan-tujuan yang tidak bisa disesuaikan, interes-interes eksklusif yang tidak bisa dipertemuakan, sikap emosional yang bermusuhan, dan struktur-struktur nilai yang berbeda.
Konflik adalah pergesekan atau friksi yang terekspresikan di antara dua pihak atau lebih, di mana masing-masing mempersepsi adanya interferensi dari pihak lain, yang dianggap menghalangi jalan untuk mencapai sasaran. Konflik hanya terjadi bila semua pihak yang terlibat, mencium adanya ketidaksepakatan.
Berdasarkan pengertian di atas bahwa yang dimaksud dengan konflik adalah proses pertikaian yang terjadi sedangkan peristiwa yang berupa gejolak dan sejenisnya adalah salah satu manifestasinya.
2.      Beberapa Pandangan Tentang Konflik
Robbins (2003:137) sebagaimana dikutip oleh Abdul Azis Wahab, mengemukakan tiga pandangan mengenai konflik, yaitu pandangan tradisional, pandangan hubungan manusia dan pandangan intraksionis.
Pandangan tradisional menganggap semua konflik buruk. Konflik dipandang secara negatif, dan disinonimkan dengan istilah kekerasan, perusakan dan ketidakrasionalan demi memperkuat konotasi negatifnya. Konflik memiliki sifat dasar yang mrerugikan dan harus dihindarkan.
Pandangan hubungan manusia menyatakan bahwa konflik merupakan peristiwa yang wajar dalam semua kelompok dan organisasi. Konflik tidak dapat disingkirkan, dan bahkan adakalanya konflik membawa manfaat pada kinerja kelompok.
Pendekatan intraksionis mendorong konflik atas dasar bahwa kelompok yang koopoeratif, tenang, damai serasi cendrung menjadi statis, statis dan tidak tanggap terhadap kebutuhan akan perubahan dan inovasi.
B.     Proses Tumbuh Kembangnya Konflik di Lembaga Pendidikan Islam
1.      Tingkatan Konflik di Lembaga Pendidikan Islam
Orang-orang dalam bidang pekerjaan, mereka menghadapi konflik-konflik pada masing-masing di antara empat macam tingkatan berikut:
a.       Konflik intra perorangan atau konflik yang terjadi di dalam (dirinya) sang individu yang bersangkutan.
b.      Konflik antar perorangan atau konflik individu dengan individu.
c.       Konflik antar kelompok
d.      Konflik antar pegawai dengan manajemen.
e.       Konflik-konflik konstruktif dan destruktif: konflik konstruktif, konflik yang menyebabkan timbulnya manfaat positif bagi kelompok atau organisasi. Sedangkan konflik destruktif timbul apabila dua orang pegawai tidak dapat bekerjasama.
2.      Sumber dan Faktor-Faktor Konflik
a.       Sumber Konflik
Konflik dalam suatu organisasi, termasuk di dalamnya organisasi sekolah pada dasarnya bersumber dari tiga hal, yaitu: pertama, masalah komunikasi; kedua, struktur organisasi; dan ketiga,  faktor manusia itu sendiri.
Sumber pertama komunikasi, pesan, saluran dan penerimaan. Sumber kedua adalah struktur organisasi yang secara potensial dapat memunculkan konflik, karena masing-masing unit organisasi memiliki kepentingan yang saling bisa berbenturan dan bergesekan. Sumber ketiga adalah faktor manusia, yaitu karena sifat-sifat kepribadian yang beragam dan unik dapat memunculkan konflik.
b.      Faktor-Faktor Konflik
 Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi konflik antara lain: pertama, ciri umum pihak-pihak yang berkonflik; kedua, hubungan pihak-pihak yang berkonflik sebelum terjadinya konflik; ketiga, sifat masalah yang menimbulkan konflik; keempat, lingkungan sosial di mana konflik terjadi; kelima, kepentingan pihak-pihak yang berkonflik; keenam, strategi yang biasa digunakan oleh pihak-pihak yang berkonflik; dan ketujuh, konsekuansi konflik terhadap yang berkonflik dan terhadap pihak lain.
Berdasarkan hal di atas menunjukkan bahwa seorang pemimpin lembaga pendidikan Islam harus memahami faktor-faktor yang mempengaruhi konflik untuk menentukan strategi apa yang akan dipakai jika ingin mengatasi konflik. Perlu dicermati bahwa konflik tidak terjadi dengan sendirinya, akan tetapi muncul dan timbulnya suatu konflik tentu melalui proses tertentu.
C.    Mengatasi dan Mengelola Konflik
Upaya mengatasi dan mengelola konflik ada tiga tahapan yang harus dilalui yaitu: perencanaan analisis konflik, evaluasi konflik dan pemecahan konflik. Tidak dapat kita pungkiri konflik antar orang di dalam organisasi (Lembaga Pendidikan Islam) tak dapat dielakkan, tetapi dapat dimanfaatkan ke arah produktif bila dikelola secara baik. Konflik antar individu atau antar kelompok dapat menguntungkan atau merugikan bagi kelangsungan organisasi.
Sebaiknya manejer lembaga pendidikan Islam dapat menyelesaikan konflik saat baru memasuki tahapan pertama, penyelesaian konflik saat baru memasuki tahapan pertama, yakni tahap laten yang masih berupa perbedaan baik karena faktor individu, organisasi, maupun lingkungan.
Dengan begitu, konflik bisa dibendung secepatnya sehingga masih mudah diselesaikan. Penyelesaian pada tahap perbedaan ini meskipun tidak termasuk upaya preventif, tetapi merupakan penyelesaian cepat tanggap yang berpengaruh secara signifikan dalam menekan terjadinya konflik yang sesungguhnya.
Oleh sebab itu maka kepala madrasah atau seorang manejer dituntut memiliki kemampuan tentang manejemen konflik untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas suatu lembaga pendidikan Islam.
Firman Allah dalam Q.S. Al-Hujurat [49]: 9.

“…damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil”

Berdasarkan ayat di atas maka dalam upaya mengatasi dan mengelola konflik perlu adanya perencanaan analisis konflik melalui strategi manajemen konflik dan prinsip-prinsip pelaksanaan manajemen konflik yang akan penulis jelaskan sebagai berikut:
      1.      Strategi Manajemen Konflik.
 Penerapan strategi manajemen diharapkan dapat menajdikan konflik dan pemecahannya sebagai upaya pendinamisasi dan pengoptimalan pencapaian tujuan lembaga pendidikan Islam. Bagaimanapun, konflik pasti terjadi dalam organisasi, baik dalam skala besar maupun skala kecil. Dengan demikian berarti bahwa besar kecilnya konflik yang dihadapi harus dikelola dengan baik agar menjadi potensi untuk mengefektifkan program lembaga pendidikan Islam.
Ramlan Subekti, mengemukakan strategi manajemen konflik secara umum adalah: pertama, strategi menang-kalah; kedua, strategi kalah-kalah dan ketiga, strategi menang-menang.
Pertama, strategi menang-kalah, salah satu pihak menang dan salah satu pihak kalah, termasuk di dalamnya menggunakan wewenang atau kekuasaan untuk menekan salah satu pihak. Bisa jadi pihak yang kalah akan berperilaku non-produktif, kurang aktif, dan tidak mengidentifikasikan dirinya dengan tujuan organisasi.
Kedua, strategi kalah-kalah, berarti semua pihak yang berkonflik menjadi kalah. Strategi ini dapat berupa kompromi (keduanya sama-sama berkorban atas kepentingan), dan arbitrase (menggunakan pihak ke tiga).
Ketiga, strategi menang-menang yaitu konflik dipecahkan melalui metode problem solving (pemecahan masalah). Penelitian Scmuk (1976) menunjukkan bahwa: pertama, metode pemecahan masalah mempunyai hubungan positif dengan manajemen konflik dan kedua, pemecahan masalah banyak dipergunakan oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan, tetapi lebih menyukai bekerja sama.
           2.      Teknik Manajemen konflik
Teknik manajemen konflik lain yang lebih komprehensif adalah: teknik konfrontasi. Teknik konfrontasi terdiri atas negosiasi, mediasi (penengah), pihak luar, keputusan integratif. Penerapan gaya penyelesaian konflik terdiri atas: penghindaran, akomodasi, kompetisi, kompromi, dan kolaborasi.
Memperbaiki praktik organisasi dilakukan dengan cara perbaikan rumusan tujuan, menghilangkan salah arti, klarifikasi wewenang, perbaikan kebijakan, modifikasi komunikasi, rotasi personel, sistem penghargaan, dan pelatihan. Perubahan peran dan struktur organisasi meliputi: pengaturan peran bersama secara koordinatif, mengkombinasikan unit-unit, merancang kembali struktur organisasi, pemindahan dan pertukaran tempat tugas, memperlancar komunikasi antar unit yang berkonflik.
Ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian seorang pimpinan organisasi pendidikan dalam menghadapi konflik yang ada, yaitu mulailah dari sikap pasif menuju ke orientasi aktif, dan sangat bergantung pada tingkat kematangan pihak-pihak yang mengalami konflik. Pemahaman terhadap cara mengubah sikap dan perilaku orang yang dipimpin dan juga hal-hal yang berkaitan dengan kekuasaan (power) atau otoritas (autority) sangat diperlukan untuk lebih menguasai hal-hal yang berkaitan dengan manajemen konflik.
            3.      Prinsip-prinsip Pelaksanaan Manajemen Konflik.
Dalam melaksanakan manajemen konflik ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan oleh seorang manajer, organisator, atau pemimpin, antara lain:
a.       Perlakukanlah secara wajar dan alamiah
Timbulnya konflik dalam penyelenggaraan satuan pendidikan merupakan suatu hal yang wajar dan alamiah. Karena sampai saat ini konflik masih dipandang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari organisasi, dan hal ini musti dihadapi seorang pimpinan melalui manajemen konflik. Oleh sebab itu, pelaksanaan manajemen konflik harus dilakukan secara wajar dan alamiah sebagaimana pelasanaan manajemen bidang lainnya.
b.      Pandanglah sebagai dinamisator organisasi.
Konflik dapat dipandang sebagai dinamisator organisasi. Jika demikian halnya, maka organisasi tanpa konflik berarti diam, statis dan lamban dalam mencapai kemajuan yang diharapkan. Walaupun demikian, konflik yang ada harus ditata sedemikian rupa agar dinamika yang terjadi benar-benar dapat menjadi sesuatu yang positif untuk menghasilkan perubahan sekaligus mendukung perkembangan dan pencapaian tujuan pendidikan.
c.       Media Pengujian Kepemimpinan.
Kepemimpinan akan lebih teruji ketika menghadapi suatu konflik. Melalui manajemen konflik, seorang pimpinan akan memiliki kepemimpinan yang dapat diandalkan untuk membawa roda organisasi secara dinamis positif dalam mencapai tujuan organisasi di masa depan. Dengan demikian jelaslah bahwa kepemimpianan seseorang tidak hanya diuji saat membawa anggota mencapai tujuan berdasarkan rutinitas tugas formal saja, akan tetapi lebih teruji lagi ketika menjalankan manajemen konflik.
d.      Fleksibilitas Strategi
Strategi manajemen konflik yang digunakan para pimpinan organisasi mestinya sangat fleksibel, artinya pemilihan penggunaan strategi dimaksud sangat bergantung pada: pertama, jenis, materi konflik, dan sumber penyebabnya; kedua, karakteristik pihak-pihak yang berkonflik; ketiga, sumberdaya yang dimiliki dan mendukung; keempat, kultur masyarakat dan iklim organisasi; kelima, antisipasi dampak konflik; dan keenam, intensitas dan keluasan konflik.
D.    Evaluasi Konflik
Evaluasi konflik adalah suatu upaya untuk menentukan kualitas suatu konflik yang telah dirumuskan. Kualitas suatu konflik dapat ditinjau dari dua segi, yaitu intensitas dan keluasannya. Keduanya saling terkait satu sama lain. Atas dasar ini, kualitas konflik akan penulis jelaskan sebagai berikut:
           1.      Konflik ringan/ kecil (Jika intensitas rendah dan keluasaan kecil).
           2.      Konflik sedang (jika intensitas sedang dan keluasan sedang), dan
           3.      Konflik besar/ berat (jika intensitas tinggi dan keluasan besar).
Semua konflik dimaksud pada dasarnya perlu mendapat perhatian para pemimpin dan dicarikan pemecahannya secara baik sesuai dengan situasi dan dicarikan pemecahannya secara baik sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing. Namun demikian, sebagai manajer konflik perlu melakukannya berdasarkan skala prioritas.
E.     Manajemen Konflik di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
      1.      Latar Belakang Konflik di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tidak ada yang menjamin pembicaraan yang terjalin baik antara mahasiswa dan pihak kampus tidak akan melahirkan aksi massa. Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga telah membuktikannya.
Berdasarkan informasi dari informan yaitu Bpk. Dr. Ahmad Rifa’i, M.Phil, menurut beliau mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta cukup baik, terkait dengan Demo (Konflik). Demo (Konflik) itu terbagi dua. Pertama, Demo (Konflik) kecil yaitu: orangnya tidak terlalu banyak hanya lingkup mahasiswa fakultas dan aspirasi yang disampaikanpun pada aspek-aspek tertentu saja, jika fakultas tidak merespon baru datang kesini (rektorat). Kedua, Demo (Konflik) besar tuntutan di arahkan kepada semua pimpinan. Di UIN ini setiap tahun mesti ada demo (konflik) beliau melanjutkan.
2.      Indikasi Konflik
Indikasi konflik mahasiswa dengan Birokrasi UIN yaitu terkait dengan urusan uang (SPP, dsb), disamping itu juga mahasiswa sering melakukan aksi Demo (Konflik) terkait dengan keadaan sosial dan politik yang terjadi di Negara Indonesia tercinta ini, seperti Demo (Konflik) Bahan Bakar Minyak (BBM, Dsb).
Disamping penjelasan di atas indikasi konflik yang terjadi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, diantaranya sebagai berikut: Pertama, Sejarah berkata disetiap pemilihan umum mahasiswa (Pemilwa) di kampus putih ini, sejak 2005 hingga 2011 terjadi keributan-keributan (Konflik) dengan bumbu kekerasan, karena masing-masing memiliki kepentingan dan tujuan yang berbeda-beda. Maka dari hal tersebut membuat beberapa orang “mempersiapkan”, baik di bawah koordinator partai maupun hanya secara pribadi saja.
Kedua, senin pagi tanggal 22 November 2012, asap ban terbakar memenuhi fakultas syariah mehasiswa melakukan aksi Demo (Konflik) menuntut tentang keputusan jurusan Keuangan Islam KUI dan tentang gelar SH.I dan gelar S.SY.
Ketiga: Aksi Demonstrasi (Konflik) dilakukan mahasiswa dengan Aliansi Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga mereka menolak batas usia mahasiswa baru didepan gedung rektorat. Pasalnya pada bursa penerimaan mahasiswa baru tahun 2012/2013 lalu,  UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta resmi memberlakukan peraturan maksimal usia ijazah tiga tahun dan maksimal usia calon mahasiswa 25 tahun. Peraturan ini berlaku bagi jalur regular.
Keempat, aksi sabotase: Segerombolan mahasiswa yang dikomandoi oleh Presiden Dewa Mahasiswa (DEMA UIN), Fika Taufiqurrahman diamankan oleh petugas satpam. Demo (Konflik) (Konflik) ini memaksa kandidat calon Rektor untuk mendatangani kontrak politik. Peristiwa ini berujung anarkis dan mengakibatkan bubarnya acara penyampaian visi-misi dan program bakal calon. Demo (Konflik) (Konflik) ini terjadi pada hari Senin 15 Maret 2010 di Multy Purpose dan masuk dalam berita petang di setasiun televisi swasta.
Kelima, Keluarga Besar Mahasiswa UIN (KBMU), melakukan aksi Demonstrasi (Konflik) menuntut beberapa hal, diantaranya, hapus pembayaran diluar SPP dan DPP, optimalisasi dana SPP dan DPP untuk mahasiswa. Transparasi keuangan kampus UIN, fasilitas gratis buat mahasiswa, libatkan mahasiswa dalam seluruh pengambilan kebijakan. Demo (Konflik) ini berlangsung pada tanggal 10 Februari 2010.
3.      Manajemen Konflik di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Berikut gaya manajemen konflik yang dilakukan oleh Pak. Ahmad Rifa’i: Pertama: temui dan ajak bicara, bisa semua, bisa wakil. Kedua, pihaknya (PR III/ pegawai UIN Sunan Kalijaga) tidak pernah melibatkan polisi dalam menyelesaikan konflik dengan mahasiswa. Ketiga, tahap-tahap penyelesaian konflik dengan mahasiswa yaitu dengan mempelajari tuntutan mahasiswa lalu dikomunikasikan. Keempat, dalam manajemen konflik dengan mahasiswa ini yang jelas selesai.
Pemilihan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2013 akan segera tiba, untuk pemilwa 2013 harus lebih sportif lagi. Komunikasi antar gerakan atau partai harus terjalin. Jadi seperti politiknya Tan Malaka itu lho, yang delapan anjing besar.
4.      Implikasi Konflik di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Implikasi adanya konflik antara mahasiswa dengan kebijakan kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, mendorong untuk sama-sama introspeksi dan Demo (Konflik) yang dilakukan mahasiswa, selama tidak anarkis dan memiliki tuntutan yang masuk akal , tidak buruk.
BAB III
Analisis Konflik Mahasiswa Dengan Kebijakan Birokrasi UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta

Konflik merupakan bagian dari kehidupan umat manusia. Sepanjang seseorang masih hidup hampir mustahil menghilangkan konflik di muka bumi ini. Konflik antar perorangan dan antar kelompok merupakan bagian dari sejarah umat manusia.
Konflik tidak mungkin terjadi apabila pihak yang kuat bersedia berkorban bagi yang lemah (kompromi) begitu pula sebaliknya, konflik sosial akan terjadi ketika pihak-pihak yang berkonflik menggunakan kekuatan untuk membela kepentingannya. Konflik sosial yang ada akan berkembang pada keputusan-keputusan yang baik apabila adanya kompromi dan kesepakatan bersama.
Konflik mahasiswa dengan kebijakan rektorat bernilai positif untuk menghidupkan norma-norma, hak dan kewajiban yang sudah ada atau memunculkan norma-norma baru yang disepakati. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta memiliki peluang besar untuk gagasan-gagasan baru (tajdid) yang berawal dari serangkaian demo (konflik).
BAB IV
KESIMPULAN

Konflik merupakan perbedaan, pertentangan, dan ketidak sesuaian kepentingan, tujuan, dan kebutuhan dalam situasi formal, sosial, dan psikologis, sehingga menjadi antagonis, ambivalen, dan emosional diantara individu dalam suatu kelompok atau organisasi.
Konflik dalam suatu organisasi pada dasarnya bersumber dari tiga hal, yaitu: masalah komunikasi, struktur organisasi dan faktor manusia. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi konflik antara lain: Ciri umum pihak-pihak yang berkonflik, hubungan pihak-pihak yang berkonflik sebelum terjadinya konflik, sifat masalah yang menimbulkan konflik, lingkungan sosial di mana konflik terjadi, kepentingan pihak-pihak yang berkonflik, strategi yang biasa digunakan oleh pihak-pihak yang berkonflik, dan konsekuansi konflik terhadap yang berkonflik dan terhadap pihak lain.
Strategi Manajemen Konflik adalah: strategi menang-kalah; strategi kalah kalah dan strategi menang-menang. Teknik manajemen konflik lain yang lebih komprehensif adalah: teknik konfrontasi, penerapan gaya penyelesaian konflik, memperbaiki praktik organisasi, dan perubahan peranan dan struktur organisasi.
Prinsip-prinsip Pelaksanaan Manajemen Konflik: perlakukanlah secara wajar dan alamiah, pandanglah sebagai dinamisator organisasi, media Pengujian Kepemimpinan, dan fleksibilitas strategi. Keberhasilan manajemen konflik dapat diukur dari beberapa hal: kemampuan membuat perencanaan analisis konflik, kemampuan melaksanakan evaluasi konflik, kemampuan memilih strategi manajemen konflik.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azis Wahab, Anatomi Organisasi dan Kepemimpinan Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2006.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, Surabaya: Mahkota, 2002.
Hendyat Soetopo, Perilaku Organisasi, Bandung: Rosdakarya, 2010.
Maswardi Rauf, Konsensus dan Konflik Politik, Jakarta: Derektorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, 2001.
Mamduh M. Hanafi, Manajemen  Plus Kasus-kasus Manajemen, Yogyakarta: UPP STIM YKPN,  2011.
Marno dan Triyono Supriyatno, Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan Islam, Bandung: Refika Aditama, 2008.
Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, Jakarta: Erlangga, 2007.
Novri Susan, Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer, Jakarta: Prenada Media Group, 2009.
Ramlan Subekti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1992.
Sulistyorini, Manajemen Pendidikan Islam, Yogyakarta: Teras, 2009.


Selasa, 14 Mei 2013

PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM KERANGKA PENDIDIKAN NILAI

BAB I
PENDAHULUAN
Pada dasarnya pendidikan nilai merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, sekolah dan masyarakat. Akhir-akhir ini hubungan antara ketiga lingkungan pendidikan itu tidak lagi menjadi kekuatan utama dalam membangun pendidikan nilai. Kekurang harmonisan hubungan itu tidak terlepas dari pengaruh globalisasi informasi dan modernisasi. Eksistensi pendidilan nilai pada tiga lingkungan pendidikan itu mengalami stagnasi dengan ditengarai oleh munculnya berbagai permasalahan kehidupan manusia yang semakin kompleks.
Kompleksitas permasalahn di atas mengemuka dalam tatanan global yang ditandai oleh munculnya berbagai masalah dan isu-isu global seperti pelanggaran hak-hak asasi manusia, fenomena kekerasan, rusaknya lingkungan hidup, runtuhnya perdamaian dunia, penyalahgunaan narkotika dan sebagainya. Dunia pendidikan hingga saat ini masih diwarnai perilaku siswa membolos, berkelahi atau tawuran, mencuri dan menganiaya, mengkonsumsi minuman keras, narkotika, bahkan peredaran adegan porno yang diperankan para pelajar.
Permasalahan tersebut menuntut adanya pemikiran yang berkaitan dengan sistem pembelajaran pendidikan agama Islam dan pola pendidikan nilai yang cocok dilingkungan jenjang pendidikan masing-masing. Pola-pola pendidikan dan pembelajaran yang dilakukan hendaknya mengembangkan dan menyadarkan siswa terhadap nilai kebenaran, kejujuran, kebijakan, kearifan, dan kasih sayang, sebagai nilai-nilai universal yang dimiliki oleh semua agama terutama agama Islam.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Pembelajaran PAI sebagai bagian dari pendidikan agama telah diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (3) bahwa: "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang". Atas dasar amanat ini, makat, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dalam Penjelasan Umum UU Nomor 20 Tahun 2003 ini ditegaskan bahwa strategi pertama dalam melaksanakan pembaruan sistem pendidikan nasional adalah "pelaksanaan pendidikan agama dan nilai akhlak mulia".
B.     Konsep Pendidikan Nilai
      1.      Pengertian Nilai
Nilai, menurut K. Bertens, adalah sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan. Sesuatu yang bernilai bagi seseorang jika menimbulkan ‘perasaan positif’: suka, senang, simpati, gembira, tertarik, dan sesuatu yang tidak bernilai akan menimbulkan ‘perasaan negatif’: marah, tidak senang, benci, antipati, dst.
       2.      Pengertian Pendidikan Nilai
Kaswardi (1993) sebagaimana yang dikutip oleh Zaim El Mubarok menyebutkan bahwa, pendidikan nilai merupakan penanaman dan pengembangan nilai-nilai pada diri seseorang. Sedangkan Mardimadja (1986) mendefinisikan pendidikan nilai sebagai bantuan terhadap peserta didik agar menyadari dan mengalami nilai-nilai serta menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya. Kedua pakar ini sepakat bahwa konsep pendidikan nilai bukanlah kurikulum tersendiri yang diajarkan lewat beberapa mata pelajaran tetapi mencakup seluruh proses pendidikan. Pendidikan nilai adalah ruh pendidikan itu sendiri, jadi dimanapun diajarkan pendidikan nilai akan muncul dengan sendirinya.
      3.      Tujuan dan Landasan Pendidikan Nilai
Rohamat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai sebagaimana yang di kutip oleh Maksudin , tujuan pendidikan nilai dapat diklasifikasikan atas dua hal berikut. Pertama, tujuan umum, yaitu untuk membantu peserta didik agar memhami, menyadari, dan mengalami nilai-nilai serta mampu menempatkannya secara integral dalam kehidupan. Untuk mencapai tujuan itu tindakan-tindakan pendidikan hendaknya mengarah pada perilaku yang baik dan benar. Kedua, tujuan khusus, seperti yang dirumuskan  Komite APEID (Asia and the Pasific Programme of Educational Innovation For Development), bahwa pendidikan nilai bertujuan untuk: menerapkan pembentukan nilai kepada anak, menghasilkan sikap membimbing perilaku yang konsisten dengan nilai-nilai tersebut. Dengan demikian, tujuan pendidikan nilai meliputi tindakan mendidik yang berlangsung mulai dari usaha penyadaran nilai sampai pada perwujudan perilaku-perilaku yang bernilai.
Ada empat landasan yang berkaitan dengan pendidikan nilai, yakni landasan filosofis, psikologis, sosiologis, dan estetis yang akan penulis jabarkan sebagai berikut:
a.       Landasan filosofis memiliki dua kemungkinan posisi. Pertama, filsafat pendidikan nilai pada dasarnya tidak berpihak pada salah satu kebenaran tentang hakikat manusia yang dicapai oleh suatu aliran pemikiran karena nilai adalah esensi hakikat manusia yang dapat mewakili semua pandangan. Kedua, filsafat pendidikan nilai berlaku secara selektif terhadap kebenaran hakikat manusia yang dicapai oleh suatu  aliran pemikiran tertentu karena nilai selain bagian dari esensi manusia juga menyangkut substansi kebenaran yang dapat berlaku kontekstual dan situasional.
b.      Landasan psikologis berkaitan dengan aspek motivasi, perbedaan individu, dan tahapan belajar nilai dimana setiap individu tidak sama persis namun terjadi perbedaan aspek psikis yang berpengaruh pada perilaku masing-masing.
c.       Landasan sosiologis berhubungan dengan hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Proses sosial melibatkan sentimen sosial yang berkadar kebaikan terhadap orang lain dan sentimen yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan pribadi.
d.      Landasan estetik berkaitan dengan persoalan manusia sebagai makhluk yang memiliki cita rasa keindahan yang berkembang sesuai dengan potensi setiap individu dalam menilai objek yang bernilai seni atau karya seni. Keanekaragaman cita rasa keindahan yang dimiliki masing-masing individu dapat dijadikan sebagai ajang penyadaran nilai-nilai keindahan dan penyertaan timbangan rasa secara optimal.
         4.      Pendekatan Pendidikan Nilai Dalam Kerangka Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Uraian tentang pendekatan-pendekatan pendidikan nilai, yang  akan penulis jelaskan sebagai berikut:
a.       Pendekatan Penanaman Nilai: Pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial (hablumminanas) dalam diri siswa.
b.      Pendekatan perkembangan Kognitif: mendorong siswa untuk berfikir aktif tentang masalah-masalah moral (akhlak) dan dalam membuat keputusan-keputusan.
c.       Pendekatan analisis nilai (Values anlysis approach) memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan siswa untuk berfikir logis.
d.      Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach): memberi penekanan pada usaha membantu siswa dalam megkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri.
e.       Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) memberi penekanan pada usaha memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok.
C.    Keterpaduan Pendidikan Nilai dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Pendidikan agama adalah usaha-usaha secara sistematis dan pragmatis dalam membantu anak didik agar supaya mereka hidup sesuai dengan ajaran Islam. Ada juga yang berpendapat bahwa pendidikan Islam adalah proses pewarisan dan pengembangan budaya manusia yang bersumber dan berpedoman ajaran Islam sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an dan terjabar dalam Sunah Rasul.
Sementara itu masih mengenai pengertian pendidikan Islam pakar lainnya berpendapat bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut Ukuran-ukuran Islam. Muhammad Athiyah al-Abrasyi memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam (al-Tarbiyah al-Islamiyah) yaitu mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan berbahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya; sempurna budi pekertinya (akhlaknya), teratur pikirannya, halus perasaannya, mahir dalam pekerjaannya, manis tutur katanya baik dengan lisan atau tulisan.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas pendidikan Islam adalah pendidikan yang mengutaman proses pembelajaran yang di dasari pada al-qur’an dan al-hadis dengan tujuan untuk membentuk generasi muslim yang cerdas secara intelektual, sosial, emosional mampu menciptakan hubungan baik dengan Allah (hablumminallah), berhubungan baik dengan sesama manusia (hablumminanas), dab berhubungan baik dengan alam (hablumminal alam).
Pembelajaran adalah setiap perubahan perilaku yang relatif permanen, terjadi sebagai hasil dari pengalaman. Secara sederhana, istilah pembelajaran (instruction) bermakna sebagai “upaya untuk membelajarkan seseorang atau kelompok orang melalui berbagai upaya (effort) dan berbagai strategi, metode dan pendekatan ke arah pencapaian tujuan yang direncanakan”. Dengan demikian, makna pembelajaran merupakan kondisi eksternal kegiatan belajar, yang antara lain dilakukan oleh guru dalam mengkondisikan seseorang untuk belajar.
D.    Strategi Dan Metodologi Pendidikan Nilai Dalam Kerangka Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Strategi adalah pendekatan secara keseluruhan yang berkaitan dengan pelaksanaan gagasan, perencanaan, dan eksekusi sebuah aktivitas dalam kurun waktu tertentu. Pengertian metodologi, berasal dari kata metode, dari Bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau jalan yang ditempuh. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka, metode menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.
 Berdasarkan beberapa pengertian di atas, strategi suatu cara, ide untuk mencapai target yang telah ditentukan, adapun metodologi adalah suatu ilmu yang digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan, atau bagaimana cara melakukan atau membuat sesuatu.
Pembelajaran merupakan suatu proses untuk meramu sarana dan prasarana pendidikan dengan tujuan untuk mencapai kualitas sebagaimana yang dirumuskan. Tercapainya lulusan dengan kualitas yang baik sangat dipengaruhi oleh seberapa jauh guru mampu mengelola atau mengolah segala komponen pendidikan melalui proses pembelajaran. Meskipun didukung oleh sarana dan prasarana yang lengkap dan memadai, tetapi jika guru tidak mampu mengelolanya dengan baik, maka kualitas pembelajaran juga tidak akan bisa mencapai hasil maksimal.
Strategi dan metodologi Penanaman Nilai-nilai dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam sesuai dengan jenjang masing-masing pendidikan, sbb:
      1.      Pembelajaran PAI di jenjang Madrasah Ibtidaiyah (MI)
Jenjang MI merupakan pendidikan yang mendasari jenjang pendidikan berikutnya. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa keberhasilan pendidikan di MI sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pada jenjang berikutnya. Esensi pembelajaran di tingkat MI adalah berupaya untuk menanamkan semangat atau jiwa keimanan (tauhid) kepada Allah SWT. Upaya menanamkan jiwa ketauhidan bisa dilakukan dengan cara doktrin terhadap anak didik. Doktrin bisa dilakukan berdasarkan kemampuan improvisasi yang dimiliki oleh masing-masing guru. Substansi doktrinnya adalah bagaimana agar anak didik memiliki ketertarikan dan kedekatan terhadap Allah SWT. Dengan demikian, kompetensi bagi lulusan MI adalah memiliki kualitas keimanan yang baik.
Ditinjau dari peran dan tanggung jawab guru dalam mewujudkan keberhasilan pembelajaran MI, guru memiliki tanggung jawab yang sangat besar. Peran guru untuk mewujudkan keberhasilan anak didik dalam belajar berkisar 90%, sedangkan anak didik hanya 10%. Hal ini menunjukkan bahwa peran guru sangat menentukan karakterisitik dan kemampuan anak didik dalam memahami materi pelajaran. Jika guru rendah motivasi mengajarnya dan sempit wawasan pengetahuannya, maka anak didikpun akan rendah motivasi belajarnya dan sempit pula pengetahuan atau wawasannya.
      2.      Pembelajaran PAI di jenjang Madrasah Tsanawiyah (MTs)
Pembelajaran di jenjang MTs tidak lagi menggunakan doktrinasi, tetapi lebih pada proses untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman terhadap dalil atau dasar tentang segala sesuatu yang dikerjakan. Misalnya, anak didik mengerti mengapa umat Islam diwajibkan shalat lima waktu sehari semalam, anak didik mengerti alasan atau dalil mengapa umat Islam diwajibkan menjalankan ibadah puasa ramadhan dan lain sebagainya. Anak didik juga mengetahui mengapa manusia dilarang bertengkar, konflik, dan hidup bermasyarakat secara damai, rukun, dan saling membantu, manusia dilarang berbuat zina, mencuri, dan juga dilarang melakukan korupsi.
Untuk mewujudkan keberhasilan pembelajaran, guru memiliki peran 60%, sedangkan anak didik memiliki peran berkisar 40%. Artinya, semakin tinggi jenjang pendidikan, peran dan tanggung jawab guru semakin berkurang, tetapi substansi materi justru semakin meningkat. Oleh karena itu guru harus melakukan inovasi dalam pembelajaran.
      3.      Pembelajaran PAI di jenjang Madrasah Aliyah (MA)
Pembelajaran dijenjang Madrasah Aliyah (MA) lebih menekankan pada optimalisasi peran rasionalitas anak didik. Pembelajaran bersifat rasionalisasi dalil dan pembiasaan perbedaan pendapat. Dua hal ini menjadi penting disampaikan di jenjang MA dengan harapan para lulusan MA sudah memiliki kemapanan daya rasionalitasnya dan terbiasa menghadapi perbedaan atau problem kehidupannya. Guru harus mampu mendesain pembelajarannya dengan lebih menekankan aspek rasionalitas terhadap teks-teks norma ajaran agama. Konsekuensinya, guru harus mampu melakukan rasionalitasi terhadap teks-teks yang ada dalam ajaran atau norma agama Islam.
Peran atau tanggung jawab guru dan anak didik dalam mewujudkan kualitas pembelajaran sama besar. Guru memiliki peran berkisar 50%, anak didik juga memiliki peran berkisar 50%. Hal ini menunjukkan bahwa guru dan anak didik pada jenjang MA harus sama-sama memiliki semangat dan motivasi yang jelas dan tinggi. Meskipun dilengkapi dengan fasilitas yang lengkap, tetapi kalau guru dan anak didik tidak memiliki motivasi pembelajaran yang tinggi, maka pembelajaran akan gagal. Guru dan anak didik dituntut memiliki semangat untuk memanfaatkan segala sarana yang ada di sekolah untuk keberhasilan pembelajaran.
Guru harus menyadari bahwa mengajar memiliki sifat yang sangat kompleks karena melibatkan aspek pedagogis, psikologis, dan didaktis secara bersama. Aspek pedagogis menunjuk pada kenyataan bahwa mengajar di sekolah berlangsung dalam suatu lingkungan pendidikan, karena itu guru harus mendampingi pesrta didik menuju kesuksesan belajar atau kedewasaan. Aspek psikologis menunjuk pada kenyataan bahwa peserta didik yang belajar pada umumnya memiliki taraf perkembangan yang berbeda satu dengan lainnya, sehingga menuntut materi yang berbeda pula. Demikian halnya kondisi peserta didik, kompetensi, dan tujuan yang harus mereka capai juga berbeda. Selain itu, aspek psikologis menunjuk pada kenyataan bahwa proses belajar itu sendiri mengandung variasi.
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan bab VI pasal 28 ayat 3 dinyatakan  bahwa guru minimal memiliki empat kompetensi, yaitu: kompetensi pedagogis, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi sosial. Dalam peraturan Kementrian Agama kompetensi guru di bagi lima yaitu: kompetensi pedagogis, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional kompetensi sosial dan leadership.
      4.      Pembelajaran PAI di Perguruan Tinggi
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) yang berbasis nilai di era globalisasi menuntut guru atau dosen untuk mengubah paradigma atau mindset,  sebab peserta didik bukan hanya diposisikan sebagai individu, tetapi tetapi ia warga lokal dan global. Pembelajaran di jenjang Perguruan Tinggi diwujudkan dalam bentuk pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (mahasiswa)  sebagai proses aktualisasi dirinya dengan memberikan program-program untuk melayani keperluan dan kemampuan-kemampuan serta minat individu untuk lebih banyak belajar mancari dan menemukan sendiri cara membentuk pengetahuan dan dalam mencari makna atau mendorong peserta didik (mahasiswa)  agar belajar mandiri dan mengetahui tentang bagaimana cara belajar (learning how to learn).
Kegiatan pembelajaran (Perguruan Tinggi), perlu mempertimbangkan dan mengembangkan kecakapan-kecakapan hidup, terutama yang diperlukan oleh pesrta didik di era globalisasi setelah mereka lulus dan memasuki lapangan kerja atau dalam melakukan pengabdian dan berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat. Menurut hasil survai tentang apa yang harus dikuasi dan dimiliki oleh seorang lulusan adalah sebagai berikut: effective communication, problem-solving ability, analytical, skills, team work, flexibility and adaptability, can work crossculturally, leadership, second language, IT/Computing, understanding globalization era, personality.
Berbagai kecakapan hidup tersebut perlu diinternalisasikan ke dalam strategi pembelajaran ilmu-ilmu agama Islam. Pembelajaran di era globalisasi yang memposisikan peserta didik (mahasiswa) sebagai individu, warga lokal (nasional) dan global sebagaimana uraian di atas akan berimplikasi pada cara belajarnya serta model pembelajaran pendidikan agama Islam yang dikembangkan oleh guru atau dosen.
E.     Model-Model Pembelajaran Pendidikan Agama Islam dalam Interaksi Edukatif Value.
Model-model pembelajaran pendidikan agama Islam interaksi edukatif value dapat penulis bagi sebagai berikut:
1.      Model-model pembelajaran Quantum Teaching yaitu model pembelajaran yang terkandung berbagai macam metode pengajaran yang diolah menjadi satu, seperti metode ceramah, diskusi, tanya jawab, demonstrasi, penugasan, studi banding, pemecahan masalah, simulasi, eksperimen, proyek, dan lain sebagainya. Berbagai metode pengajaran ini satu dan lainnya saling berhubungan dan membentuk Quantum Teaching. model pembelajaran ini senada dengan Q.S. al-Baqarah: [2]: 29. 
Dalam kerangka pendidikan nilai berbasis pendidikan Islam peserta didik dapat terbina seluruh potensinya serta memiliki sikap percaya diri, kreatif, inovatif, kritis dan demokratis.
2.      Model Problem Based Learning (PBL) merupakan model pembelajaran yang bertumpu pada kreativitas, inisiatif, inovasi, dan motivasi para siswa. Dengan PBL, proses belajar lebih banyak bertumpu pada kegiatan para siswa secara mandiri, sementara guru bertindak sebagai desainer, perancang, fasilitator,motivator atas terjadinya kegiatan belajar mengajar tersebut. Model pembelajaran ini senada dengan QS. al-Ahzab [33]: 45-46.   
Melalui PBL, seorang siswa didesain agar memiliki keterampilan dalam memecahkan masalah serta memiliki nilai-nilai ketahanan fisik dan mental yang selanjutnya dapat ia terapkan pada saat menghadapi masalah yang sesungguhnya di masyarakat.
3   .      Model pembelajaran kooperatif dan interaktif learning. Torsten Husein (1998: 80) sebagaimana dikutif oleh abuddin nata bahwa Model pembelajaran kooperatif dan interaktif learning adalah model pembelajaran yang terjadi sebagai akibat dari adanya pendekatan pembelajaran yang bersifat kelompok. Model pembelajaran ini senada dengan Q.S. al-Maidah [5]: 2 
Internalisasi nilai dalam kerangka pembelajaran pendidikan Agam Islam memerlukan ‘dukungan perasaan positif’, semisal: minat, perhatian, dan kecintaan, agar ‘suatu nilai’ bisa menjadi sesuatu ‘yang bernilai’ bagi peserta didik. Inilah sebenarnya orientasi dari pendidikan nilai. Nilai sebagai sesuatu yang berada di balik materi pembelajaran’ karena tidak cukup hanya diterangkan, dijelaskan, dan diuraikan, perlu “pelibatan” peserta didik secara kognitif, afektif, dan psikomotorik (yang dalam konsep klarifikasi nilai meliputi: memilih, menilai, dan melakukan; berefleksi dan berafeksi). Konsekuensinya, penilaian terhadap hasil ‘pendidikan nilai’ tidak cukup dengan tes, melainkan juga dengan semisal melalui penilaian performance, portofolio, proyek, penilaian proses dan hasil belajar (bersifat menyeluruh dan kontinu).
Dengan model pembelajaran ini akan mendapatkan berbagai pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai, sikap dan pengalaman dalam memecahkan berbagai masalah yang terkait dengan kegiatan pembelajaran.

BAB III
KESIMPULAN
Setiap proses pendidikan merupakan fenomena empiris yang didalamnya serat dengan muatan nilai. Proses pendidikan merupakan sarana yang tepat untuk menanamkan nilai-nilai moral kepada peserta didik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa nilai merupakan roh pendidikan, sehingga setiap unsur di dalam proses dan hasil pendidikan sebaiknya berorientasi pada nilai.
Konsep awal pendidikan nilai adalah komponen yang menyentuh filosofis tujuan pendidikan yaitu memanusiakan manusia, membangun manusia paripurna dan membentuk insan kamil atau manusia seutuhnya dan pendidikan harus berorientasi pada kebutuhan-kebutuhan dasar yang mempunyai nilai religius dalam konteks sosioantropologis.
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam tidak saja didesain dari keragaman karakteristik siswa secara dangkal, tetapi lebih dari itu, yakni hendaknya digagas dan dikelola dengan sedapat mungkin memerhatikan faktor kecerdasan dan penanaman nilai. Proses pembelajaran merupakan interaksi edukatif antara peserta didik dengan guru, peserta didik dengan lingkungan sekolah dan peserta didik-guru dengan lingkungan sekolah.
Guru sebagai bagian dari kerangka sistem pendidikan diharapkan untuk selalu mengembangkan keterampilan mengajar yang sesuai dengan kemajuan zaman dan lingkungan lokal dimana proses pendidikan itu dilaksanakan. Posisi strategis guru dalam proses pembelajaran menuntut guru untuk selalu melakukan pengembangan dan pembaruan (berinovasi).

DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Starategi Pembelajaran, Jakarta: Prenada Media Group, 2011.
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Al Ma’arif, 1980.
Ahmad Zayadi, Abdul Majid, Tadzkirah Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berdasarkan Pendekatan Kontekstual, Jakarta: Raja Grafindo, 2005.
E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kretif dan Menyenangkan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005.
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001.
Mahmud Arif, Materi Mata Kuliah Pembelajaran PAI: Strategi dan Metodologi, konsentrasi Pendidikan Agama Islam, Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013.
Maksudin, Pendidikan Nilai Konprehensif: Teori dan Praktik, Yogykarta: UNY Press, 2009.
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2009.
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 1994.
Robbins, Stephen P. Perilaku Organisasi, Jakarta: Salemba Empat, 2007.
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003,  Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Zaim Elmubarok, Membumikan Pendidikan Nilai, Bandung: Alfabeta, 2008.
Zakiah Derajat, Metodologi Pengajaran Agama, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Zuhairini, dkk. Metodik Khusus Pendidikan Agama dilengkapi dengan sistem modul dan permainan non simulasi, Surabaya: Biro Ilmiah Fakultas Tarbiah IAIN Sunan Ampel Malang, usaha Offset Printing, 1983.
, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.