Minggu, 05 Juni 2016

HARUSKAH KAUM BURUH TETAP WAJIB MELAKSANAKAN IBADAH PUASA RAMADHAN



Buruh, pekerja, worker, laborer, tenaga kerja atau karyawan pada dasarnya adalah manusia yang menggunakan tenaga dan kemampuannya untuk mendapatkan balasan berupa pendapatan baik berupa uang maupun bentuk lainya kepada Pemberi Kerja atau pengusaha atau majikan.( Oxford Dictionaries. Retrieved 8 May 2014)
Pada dasarnya, buruh, Pekerja, Tenaga Kerja maupun karyawan adalah sama. namun dalam kultur Indonesia, "Buruh" berkonotasi sebagai pekerja rendahan, hina, kasaran dan sebagainya. sedangkan pekerja, Tenaga kerja dan Karyawan adalah sebutan untuk buruh yang lebih tinggi, dan diberikan cenderung kepada buruh yang tidak memakai otot tapi otak dalam melakukan kerja. akan tetapi pada intinya sebenarnya keempat kata ini sama mempunyai arti satu yaitu Pekerja. hal ini terutama merujuk pada Undang-undang Ketenagakerjaan, yang berlaku umum untuk seluruh pekerja maupun pengusaha di Indonesia.
Buruh dibagi atas 2 klasifikasi besar:
  • Buruh profesional - biasa disebut buruh kerah putih, menggunakan tenaga otak dalam bekerja
  • Buruh kasar - biasa disebut buruh kerah biru, menggunakan tenaga otot dalam bekerja
Hukum Menjalankan Ibadah Puasa Bagi Buruh
Sebelum kami membahas lebih dalam mengenai Hukum Bepuasa Bagi Pekerja Berat, kami ingin sedikit menjelaskan mengenai syarat dan rukun puasa terlebih dahulu. Adapun syarat dan rukun puasa, anda bisa melihatnya dibawah ini.
  1. Beragama Islam
  2. Sudah Baligh
  3. Mempunyai akal yang sehat
  4. Bagi perempuan suci dari haid dan nifas
Beberapa penjelasan yang diatas merupakan syarat wajib puasa yang harus dipenuhi, dan apabila seorang muslim sudah memenuhi syarat wajib puasa diatas, berarti orang tersebut sudah wajib mengerjakan puasa dan apabila tidak melakukannya akan mendapatkan dosa.Dan adapun orang yang dibolehkan untuk tidak menjalankan puasa diantaranya
  1. Orang yang sakit
  2. Orang yang dalam perjalanan jauh
  3. Orang yang sudah lanjut usia
  4. Orang yang sedang berperang di jalan Allah SWT
  5. Pekerja Berat
  6. Wanita yang sedang menyusui atau hamil
Dan mengenai penjelasan Hukum Puasa Bagi Pekerja Berat di jelaskan oleh salah satu ulama besar yaitu Imam Abu Bakar Al-Ajiri menjelaskan bahwa apabila ia mengkhawatirkan tentang kondisi tubuhnya karena melakukan pekerjaan berat, maka pekerja tersebut boleh tidak berpuasa namun tetap wajib untuk mengqadha’nya. Akan tetapi kebanyakan ulama sependat bahwa pekerja tersebut tetap harus atau wajib berpuasa dan apabila pada pertengahan hari dia merasa sudah tidak mampu untuk melanjutkan puasa, barulah pekerja tersebut boleh membalatkannya dan harus menggantinya.Adapun dalil yang menjadi acuan para ulama yaitu Surat An-Nisa’ Ayat 29 yang berbunyi
Surat AnNisa Ayat 29
Demikian penjelasan mengenai Hukum Puasa Bagi Pekerja Berat  (buruh) yang bisa kami ulas untuk anda semua. Kami berharap dengan adanya ulasan artikel ini bisa menambah wawasan serta ilmu anda, khususnya bagi semoga artikel ini bisa menjadi ilmu yang bermanfaat.

Rabu, 25 Mei 2016

SINKRONISASI QAWAID FIQH DALAM KEHIDUPAN



Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad warson menambahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara).
Sedangkan  dalam  tinjauan   terminologi kaidah  punya  beberapa  arti, menurut Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami,  mengatakan bahwa kaidah itu adalah :
اَلْقَضَايَااْلكُلِّيَةُ الَّتِىيَنْدَرِجُ تَحْتَ كُلِّ وَاحِدَةٍمِنْهَاحُكْمُ جُزْ ىِٔيَّاتٍ كَثِيْرَةٍ
”Kaum yang bersifat universal (kulli) yangh diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak”.
Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan :
حُكْمُ كُلِّىٌّ يَنْطَبِقُ عَلٰى جَمِيْعِ جُزْىِٔيَّاتِهِ
”Hukum   yang   biasa   berlaku    yang   bersesuaian   dengan   sebagian   besar bagiannya”.
Sedangkan arti fiqh ssecara etimologi lebih dekat dengan ilmu, sebagaimana yang banyak dipahami, yaitu :
لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ
Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama”
(Q.S. At-Taubat : 122)
Dan juga Sabda Nabi SAW, yaitu :
مَنْ يُرِدِاللهُ بِهِ خَيْرًايُفَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ
Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan kepadanya kepahaman dalam agama. (روه البخارى ومسلم)
Sedangkan menurut istilah, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci)
Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah adalah :
”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu”.
Keberadaan Qawa’id fiqhiyyah menjadi sesuatu yang amat penting, termasuk dalam kehidupan berekonomi. Baik di mata para ahli usul (usuliyyun) maupun fuqaha, pemahaman terhadap qawa’id fiqhiyyah adalah mutlak diperlukan untuk melakukan suatu “ijtihad” atau pembaharuan pemikiran dalam masalah muamalat atau lebih khas lagi ekonomi. Manfaat keberadaan qawa’id fiqhiyyah adalah untuk menyediakan panduan yang lebih praktis yang diturunkan dari nash asalnya yaitu al-qur’an dan al-Hadits kepada masyarakat. Maqasidusy syariah diturunkan kepada manusia untuk memberi kemudahan dalam pencapaian kebutuhan ekonomi, yang dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu:
1)    Menjaga dan memelihara kepentingan primer atau Dharuriyyat (basic necessities) yang biasa didefinisikan oleh para ulama dengan 5 (lima) elemen cakupan yaitu: agama, kehidupan (jiwa) akal, keturunan dan kekayaan
2)    Memenuhi kebutuhan sekunder atau Hajjiyyat yaitu kebutuhan-kebutuhan seperti kendaraan dan sebagainya sebagai fasilitas hidup manusia; serta
3)    Mencapai kebutuhan tersier atau Tahsiniyyat (kemewahan) untuk melengkapi kebutuhan manusia dalam hal memperindah kehidupan dengan sedikit kemewahan secara tidak berlebihan,
            Keterangan di atas menegaskan bahwa Qawa’id fiqhiyyah merupakan landasan umum dalam pemikiran dan perilaku sosial memberikan panduan bagi masyarakat untuk melakukan interaksi dengan sesamanya. Panduan yang diberikan menyangkuit beberapa aspek kehidupan seperti hukum, ekonomi, sosial, politik dan kenegaraan, budaya, dan sebagainya sampai pada masalah pernikahan.