Senin, 29 Maret 2010

PEMUKULAN DALAM PEMBELAJARAN

PENDAHULUAN
Sesuai dengan undang – undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak yang menjelaskan , bahwa setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh dan berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusian, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Dalam Al Qur ‘an surat At Tahrim ayat 6 Allah berfirman :

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Ayat tersebut merupakan perintah Allah kepada para orang tua supaya menjaga dan mendidik anak – anaknya, agar terhindar dari segala hal yang merusak diri nya, yang menyebabkan lemah fisik maupun mentalnya bahkan yang paling berat menjadi beban masyarakat. Ini artinya Islam sangat menekankan pendidikan, baik pendidikan formal maupun pendidikan non formal.
Saat ini memang telah banyak penyelenggaraan pendidikan dimana – mana serta merata kesemua wilayah mulai dari perkotaan sampai ke pedesaan. Tetapi tidak dapat di pungkiri, didalam dunia pendidikan terjadi kekerasan yang kekerasan tersebut merupakan bagian dari model atau metode pengajaran seperti memukul pakai rotan dan sebagainya.
Untuk lebih jelasnya tentang boleh tidak nya model atau metode pengajaran dengan kekerasan, sedikit akan diuraikan dalam makalah ini.




PEMBAHASAN
Pemukulan dalam Pembelajaran Perspektif Islam
Sebagai agama yang ajarannya mencakup semua aspek kehidupan, Islam telah mengatur pula masalah pendidikan. Ini tercermin dalam firman Allah SWT surat At Tahrim ayat 6 dan As Syu ’ara ayat 214

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka (At Tahrim : 6)
Artinya : Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat (As Syu ’ara :214)
Ayat – ayat tersebut merupakan perintah Allah kepada para orang tua supaya menjaga dan mendidik anak – anaknya, agar terhindar dari segala hal yang merusak diri nya, yang menyebabkan lemah fisik maupun mentalnya bahkan yang paling berat menjadi beban masyarakat. Ini artinya Islam sangat menekankan pendidikan, baik pendidikan formal maupun pendidikan non formal.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi teladan, apa dan bagaimana memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anak. Karenanya, adalah sebuah kemestian, seseorang yang menghendaki pendidikan anaknya membuahkan hasil terbaik untuk meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا .
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab: 21)
Bagi seorang muslim wajib hukumnya meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, termasuk dalam masalah pendidikan. Islam tidak akan menolerir model-model pendidikan yang meracuni anak didik dengan nilai-nilai kesyirikan, kekufuran, kerusakan akhlak seta kekerasan dalam mendidik.
Bagaimana model pendidikan yang diterapkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Yang utama sekali ditanamkan adalah menyangkut masalah tauhid, mengenyahkan kesyirikan. Tauhid menjadi awal dan dasar bagi pendidikan. Diungkapkan Ibnul Qayyim rahimahullahu, anak-anak yang telah mencapai kemampuan berbicara, ajarilah mereka (dengan menalqinkan) kalimat La ilaha illallah, Muhammad Rasulullah. Jadikanlah apa yang diperdengarkan kepada mereka adalah tentang pengenalan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala (ma’rifatullah) dan mentauhidkan-Nya. Didik juga anak-anak bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa bersama mereka, di mana saja mereka berada. (Tuhfatul Wadud bi Ahkamil Maulud, hal. 389).
Segaris dengan hal di atas, Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu pun menekankan pula, bahkan mewajibkan, untuk setiap muslim membekali diri dengan ilmu yang terkait dengan pengenalan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Disebutkan oleh Asy-Syaikh ‘Ubaid Al-Jabiri hafizhahullah, pengenalan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala meliputi perkara keberadaan-Nya, rububiyah-Nya, uluhiyah-Nya, dan asma wa shifat-Nya. (Ithaful ‘Uqul bi Syarhi Ats-Tsalatsatil Ushul, hal. 8)
Kenalkanlah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada anak-anak semenjak dini. Kenalkan melalui metode yang bersifat praktis dan mudah dipahami anak-anak. Satu di antara metode itu adalah dengan tanya jawab bukan dengan cara kekerasan.
Pendidikan anak lainnya yang ditekankan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah membaguskan semangat anak untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Anak dihasung untuk senantiasa melatih diri beribadah. Hingga pada masanya, anak tumbuh dewasa, dirinya telah memiliki kesadaran tinggi dalam menunaikan kewajiban ibadah. Di antara perintah yang mengharuskan anak dididik untuk menunaikan yang wajib, seperti hadits dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِيْنَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Suruhlah anak-anak kalian menunaikan shalat kala mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka (bila meninggalkan shalat) kala usia mereka sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (Sunan Abi Dawud no. 495. Asy-Syaikh Al-Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu menyatakan hadits ini hasan shahih).
Yang dimaksud menyuruh anak-anak, meliputi anak laki-laki dan perempuan. Mereka hendaknya dididik bisa menegakkan shalat dengan memahami syarat-syarat dan rukun-rukunnya. Jika hingga usia sepuluh tahun tak juga mau menegakkan shalat, maka pukullah dengan pukulan yang tidak keras dan tidak meninggalkan bekas, serta tidak diperkenankan memukul wajah. (Lihat ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, 2/114).
Dan dari hadits tersebut terlihat jelas bagaiman tahapan dan cara seorang orang tua dalam memberikan pukulan dalam hal pembelajaran sholat. Orang tua tidak serta merta langsung memukul anak melainkan menyuruh dulu pada usia 7 tahun, dan baru memukul bila usia sudah sepuluh tahun itu pun ada cara dan bagian tertentu yang di pukul tidak sewenang – wenang. Karena islam sangat menganjurkan untuk menyayangi dan mendidik anak.
Untuk mengarahkan anak tekun dalam beribadah memerlukan pola yang mendukung ke arah hal tersebut. Seperti, diperlukan keteladanan dari orangtua dan orang-orang di sekitar anak. Perilaku orangtua yang ‘berbicara’ itu lebih ampuh dari lisan yang berbicara. Anak akan melakukan proses imitasi (meniru) dari apa yang diperbuat orangtuanya.
Pendukung lainnya yang diperlukan agar anak tekun beribadah adalah mengondisikan lingkungan atau suasana ke arah hal itu. Manakala tiba waktu shalat, maka seluruh anggota keluarga menyiapkan diri untuk shalat. Tak ada satu orang pun yang masih santai dan tidak menghiraukan seruan untuk shalat. Kalau ada anggota keluarga yang tidak bisa memenuhi segera seruan tersebut atau berhalangan, maka hal itu harus dijelaskan kepada anak. Sehingga anak memahami sebagai hal yang dimaklumi secara syar’i. Pendukung lainnya, seperti pemberian hadiah manakala mau beribadah secara tekun, memberikan sanksi atau hukuman yang mendidik dan menimbulkan efek jera bagi anak yang malas beribadah, menghilangkan hal-hal yang jadi penyebab anak malas ibadah, dan lain-lain.
Orangtua atau pendidik yang baik, akan senantiasa memerhatikan masalah interaksi dan komunikasi antara orangtua dan anaknya. Mendidik bukan semata mentransfer ilmu kepada anak. Lebih dari itu, bagaimana anak tersebut mengamalkan ilmunya secara benar dan berkesinambungan. Kerja sama dan komunikasi yang baik antara orangtua, anak, dan pendidik, di suatu lembaga pendidikan mutlak diperlukan. Karena anaknya sudah di pesantren, lantas orangtua tidak mau peduli kepada anaknya. Tak pernah berkomunikasi dan berinteraksi dengan sang anak. Ini adalah sikap tidak tepat. Begitu pula lembaga pendidikan di mana sang anak menimba ilmu, bisa menjadi jembatan komunikasi antara orangtua dan anak. Ini semua sebagai upaya menyongsong pendidikan anak yang lebih baik.
Hikmah yang bisa dipetik dari perintah mendidik anak untuk shalat sejak usia tujuh tahun dan apabila sudah usia sepuluh tahun di pukul apabila meninggalkan sholat yaitu adanya penanaman ilmu tentang shalat itu sendiri, adanya proses pelatihan dan pengondisian yang terus-menerus sehingga ritual shalat menjadi proses ibadah yang melekat kokoh pada anak. Begitu pula aspek pengamalan dalam masalah birrul walidain, selain penanaman ilmu, perlu proses melatih, mengondisikan, mendekatkan, dan mengikatkan suasana emosional anak dengan orangtuanya. Kepedulian, perhatian dan kasih sayang orangtua kepada anak merupakan nutrisi bagi ‘kesehatan’ jiwa anak. Sehingga diharapkan anak mengalami tumbuh kembang jiwa ke arah yang lebih baik. Lebih stabil secara emosional. Matang dalam bersikap dan dewasa dalam menghadapi masalah. Tidak reaksioner, meletup-letup dan kekanak-kanakan sehingga memperkeruh masalah yang ada.

Pemukulan dalam Pembelajaran Perspektif HAM
Untuk mewujudkan dan memajukan kehidupan suatu bangsa dan negara maka harus di adakan suatu proses pendidikan atau proses belajar. Tapi ironisnya kita di suguhi sebuah kondisi yang menunjukan lemahnya dunia pandidikan itu sendiri. Tidak sederhana memang untuk mewujudkan pendidikan yang ideal atau lebih maju dari sekarang. Dan itu menjadi tanggung jawab semua pihak tidak terkecuali pemerintah
UUD 45 mengamanatkan kepada negara untuk menjamin pendidikan warganya bahkan secara spesifik pasal 31 ayat 1 dan 2 menyebutkan hak warga negara memperoleh pandidikan dan pembiayaan pendidikan. Di samping itu, bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan bermutu, sebagaimana diamanatkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang ini memberikan jaminan kepada setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan bermutu untuk semua.
Dan juga sesuai dengan undang – undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak yang menjelaskan , bahwa setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh dan berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusian, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu untuk semua, tidak lah mudah dan itu menjadi tanggung jawab semua pihak khususnya dunia pendidikan itu sendiri.
Tetapi dalam dunia pendidikan sedikit tercoreng oleh seseorang guru atau oknum tertentu yang tidak bertanggung jawab yang melakukan kekerasan berupa pemukulan dalam kegiatan belajar mengajar khususnya dilingkungan sekolah. Kekerasan disini yang di maksud, kekerasan yang sudah kelewat batas dan menjurus ketindakan kriminal. Tindakan tersebut tidak mencerminkan sikap kearifan seorang guru dalam memberikan sifat teladan bagi siswa dan bertentangan dengan amanat undang – undang nomor 23 tahun 2002. Memang guru juga manusia yang punya akal dan pikiran untuk berpikir serta mempunyai kesabaran dalam menghadapi suatu masalah. Dan tidak menutup pula bahwa pemukulan yang di lakukan oleh seorang guru di akibatkan oleh ulah siswa itu sendiri.
Kalau melihat fenomena model pembelajaran dengan cara pemukulan yang terjadi di lingkungan pendidikan baik formal maupun non formal ( pesantren dan sebagainya ) maka kita harus melihat dulu kebelakang tentang model dan sistem pembelajaran yang di lakukan oleh lembaga pendidikan tersebut. Memang ada suatu lembaga tertentu yang model pembelajaranya dengan pemukulan. Tetapi pemukulan disini sekedarnya saja yang bertujuan meningkatkan keaktifan siswa dalam belajar dan menghilangkan sifat kemalasan bagi siswa itu sendiri.
Misal, dalam dunia pendidikan pesantren apabila seorang santri tidak mengerjakan suatu tugas dari ustadnya maka ia di pukul pakai rotan. Pemukulanya pun sekedarnya saja dan biasanya hanya bagian tangan atau kaki yang di pukul bukan bagian wajah. Karena Islam sangat melarang memukul bagian wajah. Pemukulan pada kaki atau tangan ini boleh – boleh saja selagi tidak berakibat fatal pada fisik atau keterlaluan yang bisa menjurus ketindakan kriminal. Apabila sudah ketindakan kriminal maka tidak boleh dan harus diproses sesuai hukum yang berlaku. Karena negara melindungi akan hak asasi manusia sepenuhnya dan kita berada di negara hukum.
Tapi sebaliknya kalau melihat bentuk pemukulan dalam pembelajaran yang marak terjadi di lembaga pendidikan yang mana bentuk pemukulanya ke wajah atau bagian yang fital seperti perut yang berupa hantaman sudah bisa di kategorikan tindakan kriminal dan melanggar akan hak asasi manusia terutama anak didik untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu. Maka pelakunya harus diproses secara hukum. Disamping itu pemukulan semacam itu ( pemukulan di wajah dan perut ) bertentangan dengan amanat undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 dan undang – undang nomor 23 tahun 2002 tentang penjaminan mutu pendidikan dan perlindungan anak. Untuk menanggulangi perbuatan tersebut supaya tidak lebih keterlaluan dan meluas maka pemerintah dan DepDik Nas harus bertindak tegas pada oknum yang melakukannya.

PENUTUP
Sebagai agama yang ajarannya mencakup semua aspek kehidupan, Islam telah mengatur pula masalah pendidikan. Allah menyerukan kepada para orang tua supaya menjaga dan mendidik anak – anaknya, agar terhindar dari segala hal yang merusak diri nya. Islam sangat menekankan pendidikan.
Anak hendaknya dididik agar bisa menegakkan shalat dengan memahami syarat-syarat dan rukun-rukunnya. Jika hingga usia sepuluh tahun tak juga mau menegakkan shalat, maka pukullah dengan pukulan yang tidak keras dan tidak meninggalkan bekas, serta tidak diperkenankan memukul wajah. Orang tua tidak serta merta langsung memukul anak sewenang – wenangnya.
Hikmah yang bisa dipetik dari perintah mendidik anak untuk shalat yaitu adanya penanaman ilmu tentang shalat itu sendiri, adanya proses pelatihan dan pengondisian yang terus-menerus sehingga ritual shalat menjadi proses ibadah yang melekat kokoh pada anak.
UUD 45 mengamanatkan kepada negara untuk menjamin pendidikan warganya. Sebagaimana diamanatkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang ini memberikan jaminan kepada setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan bermutu untuk semua dan juga sesuai dengan undang – undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak .
Model pembelajaran dengan cara pemukulan yang terjadi di lingkungan pendidikan harus dilihat dulu kebelakang tentang model dan sistem pembelajaran lembaga pendidikan tersebut. Memang ada suatu lembaga tertentu yang model pembelajaranya dengan pemukulan tetapi pemukulan disini sekedarnya.
Pemukulan dalam pembelajaran yang mengenai ke wajah atau bagian yang fital seperti perut yang berupa hantaman sudah bisa di kategorikan tindakan kriminal dan melanggar akan hak asasi manusia serta bertentangan dengan amanat undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 dan undang – undang nomor 23 tahun 2002 tentang penjaminan mutu pendidikan dan perlindungan anak.

REFRENSI
Edukasi, Jurnal Penelitian Agama dan Keagamaan : Volume 5, Nomor 1, Januari-Maret 2007, Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2007
Edukasi, Jurnal Penelitian Agama dan Keagamaan : Volume 5, Nomor 2, April-Juni 2007, Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2007
Edukasi, Jurnal Penelitian Agama dan Keagamaan : Volume 5, Nomor 3, Juli-September 2007, Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2007
Prasetya, Drs., Filsafat Pendidikan, Bandung, Pustaka Setia, 1997

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis pendapat atau kritik dan saran Anda...
Terimakasih