Senin, 29 Juli 2013

PUASA DAN ETOS KERJA MUSLIM



Ada kesan yang tidak tepat selama ini bahwa ibadah puasa menjadikan produktivitas kerja muslim menjadi menurut drastis. Ini disebabkan karena tidak adanya bahan makan yang diolah menjadi energy. Akibatnya, tubuh terasa lemas dan tidak bergairah dalam bekerja. Kesan ini diperkukuh dengan adanya keringanan yang diberikan atasan/pimpinan kepada karyawan/pegawai untuk masuk kerja lebih lama dan pulang lebih cepat dari jadwal semula. Jika ada pegawai yang tampak loyo tidak bersemangat, pimpinan segera memakluminya bahwa pegawai tersebut sedang berpuasa.
            Secara jujur harus diakui kesan ini bertentangan dengan hakikat yang dikandung oleh ibadah puasa itu sendiri. Bahkan sebaliknya, ibadah puasa itu semestinya dapat memotivasi setiap muslim untuk lebih bersemangat dan bergairah dalam bekerja sehingga ia akan menjadi lebih produktif dari masa-masa sebelumnya.
            Para ahli psikoanalisis selalu menggambarkan manusia senantiasa dalam proses tarik-menarik antara unsur jasmaniah dan unsur rohaniyah. al-Qur’an menyebutnya dalam Q.S. al-syams ayat 8 dengan kata fujur dan kata takwa. Fujur adalah keinginan untuk selalu melanggar perintah Allah SWT dan takwa adalah keinginan untuk selalu mematuhinya. Fujur berasal dari tanah (kecendrungan jasmani) takwa berasal dari roh (kecendrungan rohani).
            Unsur jasmaniyah yang berasal dari tanah menjadikan manusia cendrung memenuhi kebutuhan fa’ali-nya seperti makan, minum, kebutuhan seksual, dan materi yang sebenarnya tidak memiliki titik henti.  Sering kali dalam memenuhi kebutuhan ini manusia tidak lagi memerhatikan ajaran-ajaran agamanya dan cendrung untuk menghalalkan segala cara. Akhirnya, jadilah manusia itu sebagai makhluk yang rakus dan serakah.
            Sedangkan unsur rohaniyah yang langsung bersumber dari Allah SWT,, membuat manusia cendrung pada kebenaran, berkeinginan untuk melakukan yang baik-baik dan selalu ingin dekat kepada asalnya yaitu Allah SWT. Inilah makna bahwa pada dasarnya manusia itu hanif yang artinya cendrung pada kebenaran (mail ila al-haq).
            Kedua potensi inilah, yang selalu bertarung pada diri manusia yang pada akhirnya dapat menimbulkan ketimpangan hidup (disharmonis). Dikatakan demikian sering kali kedua kebutuhan ini tidak seimbang dalam diri manusia. Adakalanya kebutuhan duniawinya lebih dominan dan terkadang kebutuhan rohaninya yang lebih dominan. Situasi seperti ini menyiksan kehidupan manusia karena tidak sesuai dengan fitrahnya sendiri.
            Melalui ibadah puasa ketidakseimbangan ini akan dipecahkan. Disatu sisi setiap orang yang berpuasa harus mengurangi kebutuhan jasmaninya seperti makan, minum dan kebutuhan seksual. Pada sisi lain ia juga harus menyuburkan perkembangan batinnya dengan ibadah puasa, sahat baik fardhu ataupun sunnah, zikir dan membaca al-Qur’an. Pada akhirinya kebutuhan jasmani yang sebelumnya dominan, menjadi turun dan kebutuhan rohaninya yang semula rendah dapat dinaikkan sejajar dengan kebutuhan jasmaninya, sehingga tidak ada yang dominan.
            Setelah mencapai keseimbangan baru tersebut, sebenarnya pribadi muslim tersebut telah kembali kepada fitrah asalnya, yaitu satu bentuk kehidupan yang alami (natural). Dalam surat al-Rum ayat 30 Allah berfirman: maka hadapkanlah wajahmu kepada agama yang hanif (lurus) yang diciptakan Allah SWT sesuai dengan fitrah manusia. melalui ayat ini tegaslah bahwasanya manusia itu pada hakikatnya dalam kondisi fitrah. Satu bentuk kehidupan yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan rohani.
MOTIVASI KERJA
            Ada pepatah Inggris yang popular dikalangan pendidik yaitu, “You can bring a horse to a river, but you cannot force it to drink”. Maksdunya kira-kira, kita bisa menarik seekor kuda ke tepi sungai, namun apakah ia mau minum atau tidak, itu sangat bergantung pada kuda itu apakah ia sedang haus atau tidak, minum disini merupakan dorongan yang harus datang dari dalam. Dorongan atau kemauan untuk minum inilah yang disebut dengan motivasi.
            Di atas penulis telah menjelasakan bahwa puasa bertujuan mengembalikan manusia pada fitrah keseimbangan, yaitu manusia yang hanif (selalu cendrung pada kebaikan dan kebenaran). Kebaikan dan kebenaran inilah yang menjadi motivasi pribadi muslim dalam hidupnya terutama dalam bekerja. Ia akan selalu berusaha untuk menghasilkan sesuatu yang terbaik dengan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran. Ketika ia melakukan sesuatu pekerjaan yang tidak baik atau tidak dengan hasil yang baik maka sebenarnya ia sedang bertarung dengan fitrah kemanusiaannya. Lebih dari itu, jika pekerjaan itu dilakukan bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran yang diyakininya, ia akan melawan fitrah kemanusiaannya. Selama ia tidak keluar  dari pertarungan ini hidupnya akan selalu tersiksa yang akan selalu membawanya kepada spilit personality (keterpecahan pribadi).
            Inilah motivasi kerja yang hakiki, sedangkan motivasi kerja yang dibangun atas rangsangan-rangsanga duniawi (bonus atau promosi jabatan) atau dalam bentuk-bentuk penghargaan lainnya, kendati tetap penting, namun bisaanya semu. Apabila rangsangan itu tidak ada lagi maka motivasi kerjanya menjadi turun. Akibat buruk lainnya ia akan bersungguh-sungguh berkerja ketika ada pengawasan atau penilaian dan hanya untuk memperoleh kepentingan sesaat.
            Berbeda dengan orang yang motivasi kerjanya karena dorongan fitrah kemanusiaannya, ada tidaknya penghargaan atau pengawasan. Ia tetap bekerja dengan baik karena ia sadar bahwa apa yang dilakukannya merupakan ibadah dalam mencari ridha Allah. Keridhaan Allah inilah yang menjadi tujuan dalam bekerja.
             Pada hakikatnya kerja dalam pandangan Islam  adalah mode of existence. Harga manusia sangat ditentukan oleh amal atau kerja yang dilakukannya. Jika ia melakukan suatu pekerjaan yang baik dengan penuh kesungguhan ia akan mendapatkan balasan yang baik di dunia dan di akhirat. Sebaliknya, jika ia melakukan pekerjaan yang buruk, maka ia akan memperoleh balasannya.
            Berkaitan dengan kerja yang baik dapat di lihat pada hadis Rasul yang menyatakan: “Sesungguhnya Allah mewajibkan kepada kamu untuk berbuat baik (ihsan) terhadap sesuatu. Karena itu jika kamu menyembelih, maka berihsanlah dalam penyembelihan itu, dan seseorang hendaklah menajamkan pisaunya dan menenangkan binatang sembelihannya itu”.
            Ihsan dapat dikatan optimalisasi hasil kerja dengan jalan melakukan jalan pekerjaan itu sebaik mungkin dengan tetap mempertimbangkan efisiensi dan daya guna yang setinggi-tingginya. Pada gilirannya amal (kerja) yang baik itulah yang akan menghantarkan dirinya mencapai harkat yang tinggi, yaitu bertemu dengan Tuhan penuh keridhaan seperti yang dinyatakan dalam Q.S. Al-Kahfi [18]: 110.
Dari paparan di atas, semestinya orang hanya berpuasa akan mendapatkan suasana batin yang relative baru dimana ia akan memperoleh kembali keseimbangan diri (hanif) yang pada gilirannya akan memotivasi dirinya untuk lebih bersemangat dalam bekerja tidak saja pada bulan Ramadhan namun juga pada masa-masa sesudahnya.
           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis pendapat atau kritik dan saran Anda...
Terimakasih