Minggu, 10 November 2013

KORUPTOR PENJAJAH BANGSA DAN NEGRI KU



Terjadi kegundahan hebat yang pasti dirasakan masyarakat Indonesia saat ini, bagaimana tidak, ketika  masyarakat harus dihadapkan pada kondisi serba sulit akibat kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu, disaat yang sama ia disuguhi berita kasus suap dan korupsi yang terjadi di negeri ini begitu sambung menyambung.  Dalam kurun waktu setahun sampai terakhir artikel ini di tulis saja tercatat ada lima kasus besar suap dan korupsi yang melibatkan beberapa ketua Partai, Jenderal Polisi dan Ketua Mahkamah Konstitusi. Kita tentu ingat kalimat tantangan seorang ketua Partai Demokrat saat itu yang kini dinon aktifkan, katanya siap digantung di Monas bila terbukti  korupsi satu rupiah saja terkait kasus Hambalang. Dilanjut dengan terbongkarnya kasus korupsi dan pencucian uang dalam proyek simulator SIM yang dilakukan Kepala Korlantas Irjen Pol DJoko Soesilo, majelis hakim pun memvonis 10 tahun penjara dan denda 500 Juta Rupiah.  Disusul kasus yang seakan membalik logika dan prasangka setelah Presiden Partai yang mengklaim  ‘Partai Dakwah’ digelandang KPK karena dituduh menerima suap proyek penambahan kuota impor daging sapi.  Kasus terus bergulir, Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini tiba-tiba mengisi headline berita, ia tertangkap tangan KPK menerima suap dari Kernel Oil, dengan bukti yang telah disita KPK berupa barang bukti senilai 400ribu US$, uang 90 ribu US$ dan 127 ribu Dollar Singapore.  Ibarat bola salju yang terus menggelinding dan membesar, publik dikejutkan pula dengan pemberitaan media yang menyebut Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar  tertangkap tangan KPK menerima Suap Rp 3 Miliar terkait sengketa Pilkada, kasus terakhir ini benar terbukti sungguh sangat sangat.. sangat ironis dan mengecewakan!
isi pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, yang terdiri dari empat alenia. Alenia pertama menyebutkan
 “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas dunia harus diharpuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”….Tentu kawan-kawan sekalian sudah tahu, bahwa itu adalah  bunyi pembukaaan UUD 1945.
Semasa sekolah dulu, setiap upacara bendera hari senin, selalu akan terdengar dibacakan pembukaan UUD 1945 tersebut secara lengkap. Dan pernah sekali waktu saat masih duduk di Sekolah Menengah Atas (SMA) kelas dua, seorang guru Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaran Negara, yang bernama bu Chandra, memberikan tugas pada kami untuk menghafalkan isi dari UUD 1945 tersebut lengkap sampai alenia keempat. Sontak saja seisi kelas kaget, meskipun sering mendengarnya disetiap upacara bendera hari senin, tapi bukan berarti menghafalkan UUD 1945 itu adalah sesuatu yang mudah. Tetapi saat itu bu Chandra memberikan imbalan nilai delapan bagi beberapa anak yang berani untuk maju, dan membaca UUD 1945 tanpa menggunakan teks sama sekali. Akhirnya selama satu jam pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Negara itu, hanya ada tiga anak yang maju dan membacakan UUD 1945 itu tanpa teks, dan tiga anak itu termasuk saya.
Alenia demi alenia dipaparkan maksud dan artinya yang terkandung didalamnya. Seperti alenia pertama yang telah saya sebutkan diatas. Dalam alenia pertama ini, setiap orang yang membacanya pasti akan langsung mengerti maknanya secara nyata, yaitu bahwa penjajahan itu tidaklah diperbolehkan dan harus dihapuskan. Mengapa? Karena penjajahan itu sangatlah menyengsarakan negara yang terjajah dan tentu saja menyengsarakan kehidupan rakyat Negara yang terjajah. Karena jelas dari hal ini akan terjadi ketimpangan, adanya ketidakadilan dan adanya kesewenang-wenangan.
Jelas dari situ, bahwa Indonesia adalah salah satu Negara yang sangat menolak kehadiran penjajahan. Karena yang telah kita ketahui dalam pelajaran-pelajaran sejarah, bahwa Belanda menjajah Indonesia selama kurun waktu 350 tahun lamanya. Dan dalam kurun waktu 3,5 abad itu, hanya dua kurun waktu saja (waktu yang singkat) Indonesia berada ditangan Inggris dan Jepang.
Belanda menjajah Indonesia dengan mengembangkan Hindia-Belanda. Hindia –Belanda ini dikuasai oleh syarikat perdagangan yang dikenal dengan nama VOC (Verenigde Oostindische Compagnie). Tahun 1602, VOC diberikan hak monopoli atas perdagangan dan penjajahan diwilayah tersebut, dengan ibu pejabatnya adalah Batavia, yang sekarang bernama Jakarta.  Tujuan dari VOC, adalah jelas untuk mempertahankan monopolinya terhadap perdangangan rempah-rempah di Nusantara. Yang dalam pelaksanaannya, digunakan cara-cara kekerasan terhadap penduduk, ancaman, bahkan sampai pembunuhan terhadap penduduk yang berani menjual rempahnya kepada pihak lain, selain Belanda.
Setelah tahun 1830, Belanda menerapkan system tanam paksa (cultuurstelsel). Dimana para penduduk dipaksa untuk menanam hasil perkebunan yang menjadi permintaan dunia, seperti teh dan kopi. Hasilnya jelas diekspor keluar Negara. Dan tentu saja ini akan memberikan keuntungan serta kekayaan yang besar pada pihak Belanda, dan orang-orang pribumi (orang Indonesia) yang mau bekerjasama dengan Belanda. Dan tentu saja disinilah terjadi ketimpangan-ketimpangan, ketidakadilan dan juga tiada rasa kemanusiaan. Maka penjajahan itu tidaklah diperkenankan. Ya..itu dulu penjajahan yang dilakukan oleh Belanda, yang tentu saja sangat menyengsarakan rakyat. Kesejahteraan yang didapat hanya bisa dinikmati oleh orang-orang tertentu saja.
Dijaman yang telah bebas merdeka seperti sekarang ini, Indonesia masih terbelenggu oleh penjajahan. Penjajahan yang dilakukan oleh anak bangsa sendiri, yang bernama koruptor. Ini tentu saja sangat memiriskan hati, anak negeri sendiri menggerogoti tanah airnya sendiri. Hanya mencari keuntungan bagi dirinya sendiri tanpa memikirkan kemajuan bangsa dan negaranya, termasuk didalamnya adalah rakyat. Ini jelas sangat bertentangan dengan pengamalan penbukaan UUD 1945 alenia pertama.
Para koruptor adalah orang-orang yang tak berhati nurani, merampas uang Negara, yang merupakan uang dari rakyat, untuk kepentingan diri pribadi, memperkaya diri pribadi, dan untuk kepentingan golongan tertentu. Ini jelas tidak berperikemanusiaan dan berperikeadilan, maka disebut sebagai penjajah. Seperti yang telah disebutkan dalam alenia pertama pembukaan UUD 1945, “…….Penjajahan diatas didunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan…..”. Tidak berperikemanusiaan karena dengan seenaknya mengambil uang rakyat untuk dikorupsi, padahal uang itu adalah untuk kesejahteraan saudara-saudara sebangsa setanah air, tanpa memikirkan bahwa masih banyak saudara-saudara sebangsa setanah air yang berada diseluruh penjuru negeri yang masih tertinggal, tanpa aliran listrik, tanpa pendidikan yang memadai, tanpa sarana jalan yang memadai, tanpa fasilitas kesehatan yang memadai. Tidak berperikeadilan, karena dengan seenaknya mengambil uang rakyat, demi kepentingan pribadi, demi kekayaan diri peribadi, dan juga demi keuntungan golongan tertentu. Inilah para penjajah negeri kita, yaitu koruptor.
Pernah sekali waktu berbincang dengan seorang kerabat. Saat itu masih ramai-ramainya pemilu, ya pilkada ya pemilihan legislative. Untuk bisa masuk menjadi anggota wakil rakyat, apapun akan dilakukan dan dipertaruhkan. Karena melihat saat itu ada seorang tetangga desa yang benar-benar ingin menjadi wakil rakyat, dengan segala cara dilakukan, termasuk menjual segala macam harta benda yang dimiliki, sampai benar-benar pada titik nol. Ya..yang seperti ini jelas tidak baik. Kalau kata kerabat, “ kalau sampai menjual-jual harta benda hingga ludes, maka dapat dipastikan nanti ketika duduk menjadi wakil rakyat hal pertama yang dilakukan adalah mengembalikan modal”. Mengembalikan modal?? Ya…bila ternyata sukses menjadi wakil rakyat, maka mengembalikan modal itu gampang, dan itu yang akan dilakukan, mengembalikan harta benda dulu (yang dijual untuk modal kampanye). Dan ini belum lagi ditambah dengan balas jasa, pada pihak-pihak yang membantu mengantarkan menjadi jajaran anggota wakil rakyat. Maka korupsi, itulah yang sering kita dengar.
Banyak telah kita dengar tentang korupsi di Negara kita, Indonesia. Yang menyeret para pejabat-pejabat Negara. Sebagai pejabat Negara ataupun menjadi wakil rakyat, seharusnya jelas sangat mengerti tentang tujuan dirinya untuk menjadi wakil dari suara-suara rakyat, yaitu memperjuangkan keadilan serta memperjuangakan kesejahteraan untuk rakyat.  Mereka yang duduk dikursi wakil rakyat, tentu sudah lebih paham dengan basic law (hukum dasar tertulis).  Dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau UUD ’45, itu adalah basic law. Sehingga seharusnya para koruptor itu lebih paham akan makna yang terkandung didalamnya, “……penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
Hukuman Mati adalah satu kata yang sangat menakutkan bagi koruptor. Secara umum para koruptor berani melakukan kegiatan hina itu karena dipicu oleh nafsu duniawi atau cinta dunia (hubuddunya). Sangat jarang atau bahkan tidak ada koruptor besar (katakanlah diatas milyar) melakukannya karena termotivasi oleh kebutuhan primer dan sekunder. Mereka melakukannya untuk memenuhi kebutuhan tertiernya, untuk memenuhi gaya hidup hedonis, bermewah-mewahan. Logikanya, mati adalah kata yang sangat menakutkan bagi para pecinta dunia, sehingga hukuman mati efektif sekali dijadikan sebagai hukuman yang dapat menimbulkan efek jera bagi para koruptor, dalam hal ini para pencuri uang rakyat.
Dengan penerapan hukuman mati bagi koruptor ini, besar kemungkinan Indonesia akan maju dan berkembang lebih cepat, tidak perlu menunggu hingga beberapa generasi melalui cara yang lembut (dipenjara) dan melalui penerapan kurikulum pendidikan anti korupsi, yang selama ini sudah terbukti bahwa kedua cara itu tidak efektif dan efisien. Jika tidak, Indonesia akan begini-begini aja, relatif jalan di tempat, atau bahkan mengalami kemunduran. Upaya pemberantaasn korupsi tak hanya dengan memberikan hukuman mati saja, namun, seorang pemimpin juga harus dapat memberikan contoh nyata kepada rakyatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis pendapat atau kritik dan saran Anda...
Terimakasih