Sabtu, 02 Desember 2017

KARAKTER KEPEMIMPIN HUMANIS RELIGIUS PADA DIRI RASULULLAH SAW



Tanggal 12 Rabiul Awal 1439 H, bertepatan pada hari Jum’at  01 Desember 2017 seluruh kaum muslim merayakan maulid Nabi Muhammad SAW, tidak lain merupakan warisan peradaban Islam yang dilakukan secara turun temurun.
Dalam konteks ini, Maulid harus diartikulasikan sebagai salah satu upaya transformasi diri atas kesalehan umat. Yakni, sebagai semangat baru untuk membangun nilai-nilai profetik agar tercipta masyarakat madani (Civil Society) yang merupakan bagian dari demokrasi seperti toleransi, transparansi, anti kekerasan, kesetaraan gender, cinta lingkungan, pluralisme, keadilan sosial, ruang bebas partisipasi, dan humanisme.
Pertama, Nabi mengedepankan akhlakul karimah dalam memimpin. Akhlakul karimah menjadi kekuatan Nabi dalam memimpin umat (QS al-Qalam [68]: 4).
Kedua, memiliki rasa empati yang tinggi. Beliau tidak pernah mencaci seseorang dan menegur karena kesalahannya, tidak mencari kesalahan orang lain, dan tidak berbicara kecuali yang bermanfaat. Membiarkan orang menyelesaikan pembicaraannya, tertawa bersama mereka yang tertawa, heran bersama orang yang heran, rajin dan sabar menghadapi orang asing yang tidak sopan, segera memberi apa yang diperlukan orang yang tertimpa kesusahan, dan tidak menerima pujian kecuali dari yang pernah dipuji olehnya (HR Tirmidzi).
Ketiga, mengedepankan keteladanan dalam memimpin. Dikisahkan dari al-Barra’ bin Adzib, ia berkata: "Kulihat beliau mengangkuti tanah galian parit, hingga banyak debu yang menempel di kulit perutnya. Sempat pula kudengar beliau bersabda, "Ya Allah, andaikan bukan karena Engkau, tentu kami tidak akan mendapat petunjuk, tidak bersedekah dan tidak shalat. Turunkanlah ketenteraman kepada kami dan kokohkanlah pendirian kami jika kami berperang. Sesungguhnya para kerabat banyak yang sewenang-wenang kepada kami. Jika mereka menghendaki cobaan, kami tidak menginginkannya."
Keempat, mengedepankan kebersamaan. Nabi SAW mengusulkan ide win-win solution dalam penyelesaian peletakan hajar aswad. Direntangkannya sebuah kain besar, kemudian hajar Aswad diletakkan di bagian tengahnya, lalu Nabi meminta kepada setiap pemimpin kabilah memegang ujung kain itu. Setelah itu, hajar Aswad disimpan ke tempat semula di Ka’bah. Cara seperti itu, tidak ada satu pun kabilah yang merasa dirugikan, bahkan mereka sepakat menggelari Nabi sebagai al-Amin (orang yang terpercaya).
Kelima, tegas dan tidak pandang bulu dalam penegakan hukum. Nabi SAW tak pernah menetapkan hukum dengan rasa belas kasihan, pilih kasih, atau tebang pilih. Ia tegas dan tidak memihak siapa pun, baik kepada pejabat pemerintahannya, sahabatnya, masyarakat kecil, maupun anggota keluarganya sendiri, termasuk anaknya.
Keenam, bijak dalam mengambil keputusan. Sebelum memutuskan suatu perkara, Nabi SAW memikirkannya secara matang dan mengacu pada kaidah Alquran. Seperti ketika beliau memutuskan sanksi rajam terhadap seorang wanita pelaku perzinaan.
Dengan demikian, jika para pengelola bangsa ini mau terus mengkaji dan meneladani kepemimpinan Nabi, akan dapat membangun Indonesia menjadi bangsa yang tangguh dan mandiri. Wallahu a'lam bishawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis pendapat atau kritik dan saran Anda...
Terimakasih