Tanggal
12 Rabiul Awal 1439 H, bertepatan pada hari Jum’at 01 Desember 2017 seluruh kaum muslim merayakan
maulid Nabi Muhammad SAW, tidak lain merupakan warisan peradaban Islam yang
dilakukan secara turun temurun.
Dalam
konteks ini, Maulid harus diartikulasikan sebagai salah satu upaya transformasi
diri atas kesalehan umat. Yakni, sebagai semangat baru untuk membangun
nilai-nilai profetik agar tercipta masyarakat madani (Civil Society) yang
merupakan bagian dari demokrasi seperti toleransi, transparansi, anti
kekerasan, kesetaraan gender, cinta lingkungan, pluralisme, keadilan sosial,
ruang bebas partisipasi, dan humanisme.
Pertama,
Nabi mengedepankan akhlakul karimah dalam memimpin. Akhlakul karimah menjadi
kekuatan Nabi dalam memimpin umat (QS al-Qalam [68]: 4).
Kedua,
memiliki rasa empati yang tinggi. Beliau tidak pernah mencaci seseorang dan
menegur karena kesalahannya, tidak mencari kesalahan orang lain, dan tidak
berbicara kecuali yang bermanfaat. Membiarkan orang menyelesaikan
pembicaraannya, tertawa bersama mereka yang tertawa, heran bersama orang yang
heran, rajin dan sabar menghadapi orang asing yang tidak sopan, segera memberi
apa yang diperlukan orang yang tertimpa kesusahan, dan tidak menerima pujian
kecuali dari yang pernah dipuji olehnya (HR Tirmidzi).
Ketiga,
mengedepankan keteladanan dalam memimpin. Dikisahkan dari al-Barra’ bin Adzib,
ia berkata: "Kulihat beliau mengangkuti tanah galian parit, hingga banyak
debu yang menempel di kulit perutnya. Sempat pula kudengar beliau bersabda,
"Ya Allah, andaikan bukan karena Engkau, tentu kami tidak akan mendapat
petunjuk, tidak bersedekah dan tidak shalat. Turunkanlah ketenteraman kepada
kami dan kokohkanlah pendirian kami jika kami berperang. Sesungguhnya para
kerabat banyak yang sewenang-wenang kepada kami. Jika mereka menghendaki cobaan,
kami tidak menginginkannya."
Keempat,
mengedepankan kebersamaan. Nabi SAW mengusulkan ide win-win solution dalam
penyelesaian peletakan hajar aswad. Direntangkannya sebuah kain besar, kemudian
hajar Aswad diletakkan di bagian tengahnya, lalu Nabi meminta kepada setiap
pemimpin kabilah memegang ujung kain itu. Setelah itu, hajar Aswad disimpan ke
tempat semula di Ka’bah. Cara seperti itu, tidak ada satu pun kabilah yang
merasa dirugikan, bahkan mereka sepakat menggelari Nabi sebagai al-Amin (orang
yang terpercaya).
Kelima,
tegas dan tidak pandang bulu dalam penegakan hukum. Nabi SAW tak pernah
menetapkan hukum dengan rasa belas kasihan, pilih kasih, atau tebang pilih. Ia
tegas dan tidak memihak siapa pun, baik kepada pejabat pemerintahannya,
sahabatnya, masyarakat kecil, maupun anggota keluarganya sendiri, termasuk
anaknya.
Keenam,
bijak dalam mengambil keputusan. Sebelum memutuskan suatu perkara, Nabi SAW
memikirkannya secara matang dan mengacu pada kaidah Alquran. Seperti ketika
beliau memutuskan sanksi rajam terhadap seorang wanita pelaku perzinaan.
Dengan
demikian, jika para pengelola bangsa ini mau terus mengkaji dan meneladani
kepemimpinan Nabi, akan dapat membangun Indonesia menjadi bangsa yang tangguh
dan mandiri. Wallahu a'lam bishawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis pendapat atau kritik dan saran Anda...
Terimakasih