Minggu, 04 November 2012

HUBUNGAN POLITIK DAN PENDIDIKAN

      Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik disetiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Keduanya sering dilihat sebagai bagian-bagian yang terpisah, yang satu sama lain tidak memiliki hubungan apa-apa. Padahal keduanya bahu-membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat di suatu negara. Lebih dari itu, kedunaya satu sama lain saling menunjang dan saling mengisi. Lembaga-lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik masyarakat di negara tersebut. Begitu juga sebaliknya, lembaga-lembaga dan proses politik di sautu negara membawa dampak besar pada karakteristik pendidikan, dinegara tersebut. Ada hubungan erat dan dinamis antara pendidikan dan politik di setiap negara. Hubungan tersebut adalah realitas empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan peradaban manusia dan menjadi perhatian para ilmuan.
Di dunia Islam,keterkaitan antara pendidikan dan politik terlihat jelas. Sejarah peradaban Islam banyak ditandai oleh kesungguhan para ulama dan umara dalam memperhatikan persoalan pendidikan dalam memperkuat posisi sosial politik kelompok dan pengikutnya. Dalam analisis tentang pendidikan pada masa Islam klasik, Rasyid (1994) menyimpukan bahwa dalam sejarah perkembangan Islam, institusi politik ikut mewarnai corak pendidikan yang dikembangkan. Keterlibatan para penguasa dalam kegiatan pendidikan pada waktu itu, menurut Rasyid, tidak hanya sebatas dukungan moral kepada para peserta didik, melainkan juga dalam bidang administrasi, keungan, dan kurikulum (1994: 3). Dia menulis sebagai berikut. Tidak dapat dipungkiri bahwa lembaga pendidikan merupakan salah satu konstalasi politik. Peranan yang dimainkan oleh masjid-masjid dan madrasah-madrasah dalam mengokohkan kekuasaan politik para penguasa dapat dilihat dalam sejarah. Di lain pihak, ketergantungan pada aluran tangan para penguasa secara ekonomis, membuat lembaga-lembaga tersebut harus sejalan dengan nuansa politik yang berlaku (Rasyid, 1994: 6)
Diantara pendidikan Islam yang menjadi corong pesan-pesan politik, menurut Rasyid (1994: 6), adalah madrasah Nizhamiyah di Baghdad. Dia menyimpulkan dari analisis terhadap kasus madrasah Nizhamiyah sebagai berikut. Kedudukan politik dalam Islam sama pentingnya dalam pendidikan. Tanpa otoritas politik, syariat Islam sulit bahkan mustahil untuk ditegakkan. Kekuasaan adalah sarana untuk mempertahankan syariat Islam. Pendidikan bergerak dalam usaha menyadarkan umat untuk menjalankan syariat. Umat tidak akan mengerti syariat tanpa pendidikan. Bila politik (kekuasaan) berusaha mengayomi dari atas, maka pendidikan melakukan pembenahan lewat arus bawah (Rasyid, 1994: 15)
Pendidikan Islam, secara sederhana dapat diartikan sebagai “proses pembimbingan, pembelajaran dan atau pelatihan terhadap manusia (anak generasi muda) agar nantinya menjadi orang Islam, yang berkehidupan serta mampu melaksanakan peranan dan tugas-tugas hidup sebagai “muslim”, yang jika di Indonesiakan menjadi orang muslim atau orang Islam”.
Kutipan diatas menegaskan bahwa hubungan antara politik dan pendidikan di dalam Islam tampak demikian erat. Perkembangan kegiatan pendidikan-pendidikan banyak dipengaru oleh para penguasa dan para penguasa memberikan dukungan institusi-institusi pendidikan untuk membenarkan dan mempertahankan kekuasaan mereka. Hal ini dapat dipahami, karena tujuan pemerintah Islam, menurut Abdul Gaffar Aziz (1993: 95), adalah “menegakan kebenaran dan keadilan. Tujuan itu tidak mungkin tercapai kecuali dengan melaksanakan syariat. Syariat tidak akan berjalan bila umat tidak memahami ajaran Islam”.Islam merupakan ajar an yang Rabbani, datang dari Allah SWT. Islam bukanlah ajaran produk pikiran manusia dan bukan produk lingkungan atau masa tertentu, melainkan petunjuk yang diberikan kepada manusia sebagai karunia dan rahmat (kasih sayang) dari Allah SWT. Penyebutan ketiga sumber hukum yaitu Alquran, Sunnah dan Ijtihad secara berurutan menunjukkan tingkat kedudukan dan jenjang pengaplikasiannya, yakni apabila ditemukan suatu masalah yang memerlukan pemecahan, maka pertama cari dalam Alqur’an; jika tidak ditemukan dalam Alqur’an maka cari dalam As-sunah dan terakhir jika tidak ada maka dicari dengan ijtihad, baik melalui musyawarah untuk mendapatkan ijma (kesepakatan umum) maupun melalui Qiyas (penganalogian).
Selain karena faktor religius bahwa agama Islam sangat menunjang aktivitas kependidikan, perhatian besar para pemimpin Islam terhadap masalah pendidikan didorong oleh besarnya peran lembaga pendidikan-pendidikan dalam penyampaian misi-misi politik. Pendidikan sering dijadikan media dan wadah untuk menanamkan idiologi negara atau tulang yang menopang kerangka politik. Sjalabi mencatat bahwa Khalifah al-Makmun memolitisasi majelis munazharah di istananya dalam rangka menyebarkan paham mu’tazilah yang merupakan mazhab resmi negara waktu itu. Puncak dari tindakan al-Makmum, menurut Sjalabi, adalah peristiwa inquisisi, yaitu penyelidikan atau interogasi (almihna) terhadap para ulama dan pejabat penting. Kepada mereka ditanyakan apakah Alquran itu kadim atau hadis (dikutip dalam Rasyid, 1994:16). Melalui inquisisi para ulama, pilar penopang lembaga pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan secara tidak langsung dipaksa paham Mu’tazilah, idiologi resmi penguasa.
Pendidikan Islam tidak hanya berjasa menghasilkan para pejuang yang militan dalam memperluas peta politik, tetapi juga para ulama yang berhasil membangun masyarakat yang sadar hukum. Seiring dengan perluasan peta politik dan pertambahan pemeluk Islam, juga terjadi perkembangan lembaga (institusi) pendidikan dalam jumlah maupun varietasnya. Didalam sejarah Islam tercatat bahwa pusat pendidikan Islam yang pertama kali muncul adalah rumah Arqam ib Abi Arqam, yakni ketika nabi masih berada di Makkah (Rasyid, 1994: 24). Selanjutnya pada masa Bani Umayah, lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut sudah lebih variatif dengan lahirnya Kuttab dan dijadikan rumah-rumah pembesar kerajaan sebagai tempat belajar.
Para penguasa Islam, Rasyid (1994:33) menyimpulkan, senantiasa terlibat langsung dalam persoalan pendidikan. Menurutnya ada dua alasan utama mengapa para penguasa Muslim sangat peduli dengan pendidikan. Pertama, karena Islam adalah agama totaliter jam’I, mencakup semua aspek kehidupan seseorang Muslim mulai dari makan dan minum, tata cara berumah tangga, urusan sosial kemasyarakatan, sampai kepada ibadat semuanya diatur oleh syariat. Untuk bagaimana mengetahui bagaimana hidup yang Islami, seorang Muslim mesti terlibat dengan kegiatan pendidikan. Kedua, karena motivasi politik, sebab didalam Islam antara politik dan agama sulit untuk dipisahkan. Para penguasa muslim sering menjadikan sebagai alat untuk menanamkan paham-paham keagamaan. Inilah yang dilakukan Dinasti Buwaih, Fatimiyah, dan Khalifah al-Maknun. Dengan kekuasaan mereka menanamkan idiologi negara dengan tujuan lahirnya kesamaan ide antara penguasa dan masyarakat umum sehingga memudahkan pengaturan masalah-masalah kenegaraan.
Dinegara-negara Barat, kajian hubungan antara pendidikan dan politik dimulai oleh plato dalam bukunya Republic. Walaupun utamanya membahas berbagai persoalan kenegaraan, buku tersebut juga membahas hubungan antara idiologi dan institusi negara dengan tujuan dan metode pendidikan. Berikut ini adalah kesan mendalam Allan Bloom (1987:380) tentang Republic:
For me [Republic is]the book on education, because it really enplains to me what I experience as a man and a teacher, and I have almost always used it to point out what we should not hope for, as a teaching of moderation and resignation.
Plato mendemonstrasikan dalam buku tersebut bahwa dalam budaya Helenik, sekolah adalah salah satu aspek kehidupan yang terkait dengan lembaga-lembaga politik. Ia menjelaskan bahwa setiap budaya mempertahankan kontrol atas pendidikan di tengah kelompok-kelompok elit yang secara terus menerus menguasai kekuasaan politik, ekonomi, agama, dan pendidikan. Plato menggambarkan adanya hubungan dinamis antara aktivitas kependidikan dan aktivitas politik. Keduanya seakan dua sisi dari satu koin, tidak mungkin terpisahkan. Walaupun sangat umum dan singkat, analisis Plato tersebut telah meletakkan fundamental bagi kajian hubungan politik dan pendidikan dikalangan generasi ilmuan generasi berikutnya.
Dalam ungkapan Abernethy dan Coombe (1965: 287), educational and politics are inextricably linked (pendidikan dan politik terkait tanpa bisa dipisahkan). Menurut mereka (1965:289), hubungan timbal balik antara pendidikan dan politik dapat terjadi melalui tiga aspek, yaitu sikap pembentukan sikap kelompok (group attitudes), masalah pengangguran (unemployment), dan peranan politik kaum cendekia (the political role of the intelligentsia). Kesempatan dan prestasi pendidikan pada suatu kelompok masyarakat, menurut mereka, dapat memengaruhi akses kelompok tersebut dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi. Perbedaan signifikan antarberbagai kelomp[ok masyarakat yang disebabkan oleh perbedaan pendidikan dapat dilihat pada distribusi kekuasaan politik dan ekonomi dan kesempatan kerja, khususnya pada sektor pelayanan publik. Dinegara-negara pascakolonial, kelompok masyarakat yang dapat priviles pendidikan lebih mampu melakukan konsolidasi kekuatan, lalu muncul menjadi kelompok penguasa yang menguasai partai-partai politik dan sektor pelayanan publik. Previlese atau diskriminasi pendidikan bisa terjadi karena alasan-alasan budaya atau agama.
Diskriminasi seperti ini sangat nyata dalam kebijakan pendidikan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia. Penulis mencatat beberapa karakteristik kebijakan pemerintah kolonial Belanda: kolonialistik, intelektualistik, heterogen, diskriminatif, dan self-serving, diarahkan semata-mata untuk kepentingan kolonialisme. Kebijakan tersebut berdampak pada kehidupan masyarakat pada waktu itu, yaitu (1) menimbulkan konflik keagamaan antara kelompok Muslim dan kelompok non-Muslim; (2) menciptakan divisi sosial dan kesenjangan budaya antara kelompok minoritas angkatan muda Indonesia yang berasal dari kelas menengah keatas dan kelompok angkatan muda Indonesia yang berasal dari keluarga biasa; (3) menciptakan polarisasi sosial tanpa memedulikan kemampuan kerja mereka; dan (4) menghambat perkembangan kaum pribumi (Sirozi, 1998: 17-29). Pada masa awal kemerdekaan, kaum nasionalis dapat menguasai birokrasi dan sektor-sektor strategis.

Sabtu, 20 Oktober 2012

MEMBANGUN SUMBER DAYA MANUSIA SMART



            Khoruddin Nasution (Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), mengungkapkan bahwa sumber daya manusia smart adalah sumber daya manusia yang mempunyai sejumlah kemampuan (kompetensi/competen). Minimal ada tiga kompetensi yang harus dikuasi seorang sumber daya manusia smart, yaitu: pertama, kompetensi pedagogik (knewledge, skilled, keahlian, dan sejenisnya), kedua, kompetensi kepribadian, ketiga, kompetensi sosial.
A.    Kompetensi pedagogik,
Kompetensi pedagogik berkaitan dengan ilmu mendidik. Terkait dengan hal tersebut Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta membuka program user education guna memberikan pemahaman dan keahlian kepada para civitas academic sehingga memiliki keahlian dalam penggunaan fasilitas perpustakaan yang  telah tersedia. Program ini juga bertujuan untuk meminimalisir kesalahan civitas akademik dalam pemanfaatan fasilitas perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang sudah berbasiskan sistemteknologi Informasi dan komunikasi mutakhir, bahkan di tahun yang akan datang  perpustakaan UIN Sunan Kalijaga akan melakukan peningkatan dan pengembangan sistemTeknologi dan Informasi (TI), sebagai mana yang disampaikan oleh Kepala Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, Solihin Arianto, S.Ag, M.lis pada acara stadium general pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang dilaksanakan pada hari kamis 13 September 2012 yang bertempat di Gedung Convention Hall.
B.     Kompetensi kepribadian
Kompetensi kepribadian dapat dipahami dengan memahami lebih dulu pengertian kepribadian. Kepribadian adalah totalitas psikhophisis yang kompleks dari individu, sehingga tampak di dalam tingkah laku yang unik, yang membedakannya dari individu lain. Psikologi kepribadian mempelajari ketidaksamaan antara satu individu dengan individu lain, sebab yang benar-benar identik tidak pernah ada sejak adanya manusia. Berikut kepribadian/ karakteristik pemakai perpus yang penulis dapatkan saat di bangku kuliah semester VI:
Mengenal karakteristik Pemakai Perpust dan kemampuan diri dalam menghadapinya:
Ø  Pendiam : sambut dengan ramah, tarik perhatiannya.
Ø  Tidak sabaran : atasi dengan cara bahwa kita akan bantu semaksimal & sesegera mungkin.
Ø  Banyak bicara : ucapkan salam, tawarkan apa kebutuhannya, jelaskan.
Ø  Banyak permintaan : dengarkan permintaan, segera penuhi, minta maaf dan tawarkan alternatif lain, tahan jengkel.
Ø  Senang membantah : tenang, tidak reaksioner, gunakan argumen.
Ø  Sombong : tenang, puji kedatangannya, jangan terlalu serius.
Ø  Lugu : terima apa adanya, luanghkan waktu untuk bantu, tanyakan keperluannya, layani dan jangan bohongi.  
C.  Kompetensi Sosial
      Kompetensi sosial yaitu kemampuan seseorang membangun relasi dengan orang lain. Karena itu potensi sosial mempunyai hubungan erat dengan penyesuaian sosial dan kualitas interaksi antar pribadi. Singkatnya, kompetensi sosial ialah kemampuan seseorang dengan menggunakan keterampilan dan pengetahuannya untuk melakukan relasi positif dengan orang lain.
Kompetensi sosial ini jika dikaitkan kedalam konteks perpustakaan, berikut beberapa tips menjalin hubungan baik dengan pemakai: manusia adalah makhluk sosial, selalu berinteraksi dengan orang lain. Karena itu citra diri kita perlu dibentuk dengan komunikasi yang positif, dengan tujuh kebiasaan efektif:
1.      Jadilah proaktif
2.      Memulai dengan mengakhiri dalam pikiran
3.      Dahulukan yang harus didahulukan
4.      Berpikir win-win
5.      Berusaha mengerti lebih dahulu, baru dimengerti
6.      Wujudkan sinergi
7.      Asah gergaji, experience is the best teacher. 
Dalam membangun komunikasi sosial diperlukan kemampuan komunikasi yang baik. Untuk itu perlu dikemukakan lima hukum komunikasi yang efektif, yakni:
1.      Respect: menghargai lawan bicara.
2.      Empathy: berusaha mendengarkan (mengerti lebih dahulu).
3.      Audible: ketika menyampaikan dapat di dengarkan/dimengerti dengan baik.
4.      Clarity: jelas, terbuka, dan transparan, dan
5.      Humble: rendah hati.

Jumat, 21 September 2012

SINERGISITAS AGAMA DAN PENDIDIKAN ISLAM UPAYA MENAGGULANGI PERILAKU KEKERASAN


            Indonesia adalah negara yang berpenduduk majemuk, betapa tidak, negara ini dihuni oleh suku bangsa yang plural dengan aneka ragam agama atau kepercayaan, suku (yang tersebar di lebih dari 17 ribu pulau) bahasa daerah yang mencapai lebih dari 500 bahasa dan budaya. Setiap individu yang hidup di negara ini pasti berhadapan  dengan keanekaragaman, kemajemukan menyusup dan merasuk ke dalam setiap dan seluruh ruang kehidupan, tak terkecuali dalam hal kepercayaan dan budaya. Pada sisi yang lain, kita pun merasakan bahwa pendidikan agama yang diberikan di sekolah-sekolah kita pada umumnya tidak menghidupkan pendidikan multikultural yang baik bahkan cenderung berlawanan. Akibatnya, konflik sosial sering kali di perkeras oleh adanya legitimasi keagamaan yang diajarkan dalam pendidikan agama di sekolah-sekolah daerah yang rawan konflik. Ini membuat konflik mempunyai akar  dalam keyakinan keagamaan yang fundamental sehingga konflik  sosial kekerasan semakin sulit di atasi, karena dipahami sebagai bagian dari panggilan agamanya, (Mumammad Yusri, FM, 2008).
            Indonesia dewasa ini dihadapkan pada ragam persoalan internal dan eksternal yang ditimbulkan oleh berbagai macam perubahan. Dewasa ini bangsa Indonesia dilanda dan masih berada di tengah-tengah krisis yang menyeluruh. Kita dilanda oleh krisis politik, krisis ekonomi, krisis hukum, krisis kebudayaan dan tidak dapat disangkal juga didalam bidang pendidikan yang tidak terlepas dari suatu bangsa. Dalam hubungannya dengan pendidikan, semua permasalahan tersebut sudah barang tentu terakumulasi menuju suatu kebutuhan bersama, yakni adanya paradigma baru dunia pendidikan.
            Menurut Jack D. Douglas dan Frances Chalut Waksler, yang disunting oleh Abdurrahman Assegaf, 2004, bahwa istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain, secara terbuka (overt) maupun tertutup (covert), baik yang sifat menyerang (ofensive) maupun bertahan (defensive). Dari definisi ini, dapat ditarik beberapa indikator kekerasan. Pertama, kekerasan yang bersifat terbuka yakni kekerasan yang dapat diamati secara langsung, seperti perkelahian, tawuran, bentrokan massa, atau yang berkaitan dengan fisik. Kedua, kekerasan yang bersifat  tertutup, yakni kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan secara langsung, seperti mengancam atau mengintimidasi, atau simbol-simbol lain yang menyebabkan pihak-pihak tertentu merasa takut atau tertekan. Ketiga, kekerasan yang bersifat agresif (offensive), yakni kekerasan yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu, seperti perampasan, pencurian, pemerkosaan atau bahkan pembunuhan. Keempat, kekerasan yang bersifat defensif, yakni kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan, seperti berikade aparat untuk menahan aksi demo atau lainnya. Melalui kasus-kasus yang ada kekerasan, diasumsikan terjadi sebagai akibat dari situasi dan kondisi tertentu yang melatarbelakanginya.
            Kekerasan secara umum didefinisikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan suatu individu terhadap individu lain yang mengakibatkan gangguan fisik maupun mental. Dalam kamus Bahasa Indonesia, kekerasan dimaknai sebagai sifat kekerasan dan paksaan. Kekerasan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sejumlah orang yang berposisi kuat (merasa kuat) kepada seseorang atau sejumlah orang yang berposisi lemah (dipandang lemah atau dilemahkan), yang dengan sarana kekuatannya, baik secara fisik maupun non fisik dengan sengaja dilakukan untuk menimbulkan penderitaan kepada obyek kekerasan.
Semua agama menolak kekerasan sebagai prinsip dalam melakukan suatu tindakan. Pada dasarnya kekerasan adalah prinsip yang bersifat amoral karena kekerasan selalu mengandaikan pemaksaan kehendak terhadap pihak lain yang berarti pelanggaran terhadap asas kebebasan dalam interaksi social (Haqqul Yaqin, 2009). Berangkat dari akumulasi beberapa fenomena tersebut yang merupakan sebuah kejadian yang tidak bisa dibiarkan, maka harus ada tindakan yang cepat dan tepat untuk mengatasi persoalan tersebut. Untuk itu, “Peran Pendidikan Islam Upaya Menaggulangi Perilaku Kekerasan” muncul sebagai sebuah alternatif dalam memberikan kontribusinya untuk pemecahan masalah.
Agama Islam merupakan  agama yang universal, pertama-tama karena Islam sebagai sikap pasrah dan tunduk-patuh kepada Allah, sang maha pencipta, adalah pola wujud seluruh alam semesta berlaku untuk semua tempat waktu. Agama islam hadir untuk mewujudkan masyarakat yang damai, harmonis, toleran, santun,  dengan menyelamatkan manusia dari kemungkaran, membela, dan menghidupkan keadilan.
Manusia dengan wujudnya berbangsa-bangsa dan bergolong-golong merupakan sumbangan yang tak ternilai baginya dalam mempelajari dirinya sendiri, sehingga melahirkan berbagai ilmu pengetahuan yang berfaedah, seperti; antropologi, sosiologi, sejarah, kebudayaan, bahasa, politik, dan lain-lain. Dengan ilmu-ilmu ini akan memudahkan bagi manusia itu sendiri dalam memelihara hubungan antar sesamanya, baik antar golongan, dalam bermasyarakat maupun antar bangsa ditingkat internasional. Hubungan ini dikonkritkan dengan berbagai aktifitas yang pada hakikatnya untuk memenuhi kebutuhan masing-masing  (Said Agil Husin al-Munawir, 2004).
Agama Islam adalah agama perdamaian menolak kekerasan. Perdamaian merupakan salah satu tuntunan agama yang terpenting, lahir, antara lain, dari pandangan Islam tentang kesatuan alam raya. Sejak dari bagian yang terkecil sampai dengan wujud yang paling agung merupakan satu kesatuan: benda tak bernyawa, tumbuhan yang layu maupun yang segar, binatang melata,manusia, bahkan malaikat-malaikat kesemuanya berada dalam kesatuan. Semuanya diatur dan mengarah ke satu tujuan, yakni kepada hakekat tauhid. Alam dengan segala isinya, bergerak atas dasar satu sistem yang ditetapkan oleh-Nya. Dalam kesatuannya, seluruh makhluk harus bekerja sama. Dari sinilah perdamaian memperoleh pijakan sehingga menjadi suatu keharusan.
Perdamaian dunia adalah dambaan Islam. Ini bermula dari kedamaian jiwa setiap pribadi yang kemudian meningkat kepada kedamaian dalam keluarga kecil, masyarakat, dan bangsa hingga keseluruh bangsa di dunia. Bahkan hal itu diharapkan terus meningkat sampai terwujudnya kedamaian dengan seluruh makhluk yang berpuncak dengan kedamaian di negeri yang kekal atas anugrah yang maha esa (Allah SWT). Itulah yang selalu dimohonkan oleh Nabi SAW dan diajarkan kepada umatnya setiap selesai shalat:
“Ya Allah engkaulah yang maha damai, dari mu bersumber kedamaian, kepada-Mu kembali kedamaian. Tuhan kami! Hidupkanlah kami dengan penuh kedamaian dan masukkanlah kami (kelak) di surga-Mu, negri yang penuh kedaimain. Engkau pemelihara kami, pemilik keagungan dan kemurahan” (Muhammad  Quraish Shihab, 1996).
Maka dari hal tersebut agama Islam menegaskan bahwa hidup bersama mutlak perlu bagi manusia dalam mempertahankan hidupnya, baik secara sendiri-sendiri, secara berkelompok maupun secara berbangsa. Sehingga antar komunitas yang berbeda untuk saling mengenal (ta’aruf), berkompetisi (istibaq), sehingga memperoleh karakter yang berpredikat shaleh mu’min, dan pada akhirnya mengantarkan umat Islam kepada kehidupan yang baik (hayatun thayyibah) jauh dari perilaku kekerasan.
     Dalam Islam, pendidikan merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap umat Islam, karena melalui pendidikan umat Islam mampu memahami syariat Islam dengan baik dan benar. Hal ini tidak terlepas dari tujuan hidup umat Islam itu sendiri, yaitu untuk mewujudkan kehidupan yang selamat, damai, harmonis dan bahagia, sejahtera di dunia maupun di akhirat kelak. Dengan demikian, kesadaran akan tujuan hidup umat Islam akan menjadi pendukung yang positif dalam mewujudkan cita-citanya menuju keridhaan Allah. Maka dengan adanya pendukung yang positif tersebutlah seorang muslim akan mampu mengaflikasikannya melalui sarana pendidikan Islam yang dapat mengantarkannya kepada keselamatan di dunia maupun di akhirat kelak.
Pendidikan Islam, secara sederhana dapat diartikan sebagai “proses pembimbingan, pembelajaran dan atau pelatihan terhadap manusia (anak generasi muda) agar nantinya menjadi orang Islam, yang berkehidupan dan berkepribadian, serta mampu melaksanakan peranan dan tugas-tugas hidup sebagai “muslim”, yang jika diindonesiakan menjadi orang muslim atau orang Islam” (Muhaimin, dkk 1996). Dari pemaparan di atas bahwa manusia memiliki potensi (fitrah). Fitrah merupakan citra asli manusia, yang berpotensi baik atau buruk dimana aktualisasinya tergantung pada pilihannya.
Agama Islam, melalui pendidikan dan pembinaan agar tidak melakukan perilaku yang dapat merugikan pihak lain sudah banyak dilakukan, sebab dalam Al-Qur’an telah dijelaskan tentang perintah untuk berbuat amar ma’ruf nahi munkar. Selain itu, dalam agama Islam juga diberikan pengarahan bahwa sebagai umat Islam mereka harus mempunyai akhlaqul karimah. Dari sini mempunyai arti bahwa dalam agama Islam melalui pendidikan yang terinternalisasikan dalam materi dan metode begitu memperhatikan umatnya dalam menjalani kehidupan yang seharusnya. Maka dalam prakteknya agar Islam menyampaikan pengetahuan tersebut melalui Pendidikan Agama Islam (PAI). Dengan adanya Pendidikan Agama Islam ini diharapkan dapat mengakomodir dalam rangka menginternalisasi pengetahuan tentang pesan-pesan yang termuat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis.
                                                                                 
Nasri Kurnialloh
(Alumni Kependidikan Islam 2008)