Minggu, 04 November 2012

HUBUNGAN POLITIK DAN PENDIDIKAN

      Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik disetiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Keduanya sering dilihat sebagai bagian-bagian yang terpisah, yang satu sama lain tidak memiliki hubungan apa-apa. Padahal keduanya bahu-membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat di suatu negara. Lebih dari itu, kedunaya satu sama lain saling menunjang dan saling mengisi. Lembaga-lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik masyarakat di negara tersebut. Begitu juga sebaliknya, lembaga-lembaga dan proses politik di sautu negara membawa dampak besar pada karakteristik pendidikan, dinegara tersebut. Ada hubungan erat dan dinamis antara pendidikan dan politik di setiap negara. Hubungan tersebut adalah realitas empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan peradaban manusia dan menjadi perhatian para ilmuan.
Di dunia Islam,keterkaitan antara pendidikan dan politik terlihat jelas. Sejarah peradaban Islam banyak ditandai oleh kesungguhan para ulama dan umara dalam memperhatikan persoalan pendidikan dalam memperkuat posisi sosial politik kelompok dan pengikutnya. Dalam analisis tentang pendidikan pada masa Islam klasik, Rasyid (1994) menyimpukan bahwa dalam sejarah perkembangan Islam, institusi politik ikut mewarnai corak pendidikan yang dikembangkan. Keterlibatan para penguasa dalam kegiatan pendidikan pada waktu itu, menurut Rasyid, tidak hanya sebatas dukungan moral kepada para peserta didik, melainkan juga dalam bidang administrasi, keungan, dan kurikulum (1994: 3). Dia menulis sebagai berikut. Tidak dapat dipungkiri bahwa lembaga pendidikan merupakan salah satu konstalasi politik. Peranan yang dimainkan oleh masjid-masjid dan madrasah-madrasah dalam mengokohkan kekuasaan politik para penguasa dapat dilihat dalam sejarah. Di lain pihak, ketergantungan pada aluran tangan para penguasa secara ekonomis, membuat lembaga-lembaga tersebut harus sejalan dengan nuansa politik yang berlaku (Rasyid, 1994: 6)
Diantara pendidikan Islam yang menjadi corong pesan-pesan politik, menurut Rasyid (1994: 6), adalah madrasah Nizhamiyah di Baghdad. Dia menyimpulkan dari analisis terhadap kasus madrasah Nizhamiyah sebagai berikut. Kedudukan politik dalam Islam sama pentingnya dalam pendidikan. Tanpa otoritas politik, syariat Islam sulit bahkan mustahil untuk ditegakkan. Kekuasaan adalah sarana untuk mempertahankan syariat Islam. Pendidikan bergerak dalam usaha menyadarkan umat untuk menjalankan syariat. Umat tidak akan mengerti syariat tanpa pendidikan. Bila politik (kekuasaan) berusaha mengayomi dari atas, maka pendidikan melakukan pembenahan lewat arus bawah (Rasyid, 1994: 15)
Pendidikan Islam, secara sederhana dapat diartikan sebagai “proses pembimbingan, pembelajaran dan atau pelatihan terhadap manusia (anak generasi muda) agar nantinya menjadi orang Islam, yang berkehidupan serta mampu melaksanakan peranan dan tugas-tugas hidup sebagai “muslim”, yang jika di Indonesiakan menjadi orang muslim atau orang Islam”.
Kutipan diatas menegaskan bahwa hubungan antara politik dan pendidikan di dalam Islam tampak demikian erat. Perkembangan kegiatan pendidikan-pendidikan banyak dipengaru oleh para penguasa dan para penguasa memberikan dukungan institusi-institusi pendidikan untuk membenarkan dan mempertahankan kekuasaan mereka. Hal ini dapat dipahami, karena tujuan pemerintah Islam, menurut Abdul Gaffar Aziz (1993: 95), adalah “menegakan kebenaran dan keadilan. Tujuan itu tidak mungkin tercapai kecuali dengan melaksanakan syariat. Syariat tidak akan berjalan bila umat tidak memahami ajaran Islam”.Islam merupakan ajar an yang Rabbani, datang dari Allah SWT. Islam bukanlah ajaran produk pikiran manusia dan bukan produk lingkungan atau masa tertentu, melainkan petunjuk yang diberikan kepada manusia sebagai karunia dan rahmat (kasih sayang) dari Allah SWT. Penyebutan ketiga sumber hukum yaitu Alquran, Sunnah dan Ijtihad secara berurutan menunjukkan tingkat kedudukan dan jenjang pengaplikasiannya, yakni apabila ditemukan suatu masalah yang memerlukan pemecahan, maka pertama cari dalam Alqur’an; jika tidak ditemukan dalam Alqur’an maka cari dalam As-sunah dan terakhir jika tidak ada maka dicari dengan ijtihad, baik melalui musyawarah untuk mendapatkan ijma (kesepakatan umum) maupun melalui Qiyas (penganalogian).
Selain karena faktor religius bahwa agama Islam sangat menunjang aktivitas kependidikan, perhatian besar para pemimpin Islam terhadap masalah pendidikan didorong oleh besarnya peran lembaga pendidikan-pendidikan dalam penyampaian misi-misi politik. Pendidikan sering dijadikan media dan wadah untuk menanamkan idiologi negara atau tulang yang menopang kerangka politik. Sjalabi mencatat bahwa Khalifah al-Makmun memolitisasi majelis munazharah di istananya dalam rangka menyebarkan paham mu’tazilah yang merupakan mazhab resmi negara waktu itu. Puncak dari tindakan al-Makmum, menurut Sjalabi, adalah peristiwa inquisisi, yaitu penyelidikan atau interogasi (almihna) terhadap para ulama dan pejabat penting. Kepada mereka ditanyakan apakah Alquran itu kadim atau hadis (dikutip dalam Rasyid, 1994:16). Melalui inquisisi para ulama, pilar penopang lembaga pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan secara tidak langsung dipaksa paham Mu’tazilah, idiologi resmi penguasa.
Pendidikan Islam tidak hanya berjasa menghasilkan para pejuang yang militan dalam memperluas peta politik, tetapi juga para ulama yang berhasil membangun masyarakat yang sadar hukum. Seiring dengan perluasan peta politik dan pertambahan pemeluk Islam, juga terjadi perkembangan lembaga (institusi) pendidikan dalam jumlah maupun varietasnya. Didalam sejarah Islam tercatat bahwa pusat pendidikan Islam yang pertama kali muncul adalah rumah Arqam ib Abi Arqam, yakni ketika nabi masih berada di Makkah (Rasyid, 1994: 24). Selanjutnya pada masa Bani Umayah, lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut sudah lebih variatif dengan lahirnya Kuttab dan dijadikan rumah-rumah pembesar kerajaan sebagai tempat belajar.
Para penguasa Islam, Rasyid (1994:33) menyimpulkan, senantiasa terlibat langsung dalam persoalan pendidikan. Menurutnya ada dua alasan utama mengapa para penguasa Muslim sangat peduli dengan pendidikan. Pertama, karena Islam adalah agama totaliter jam’I, mencakup semua aspek kehidupan seseorang Muslim mulai dari makan dan minum, tata cara berumah tangga, urusan sosial kemasyarakatan, sampai kepada ibadat semuanya diatur oleh syariat. Untuk bagaimana mengetahui bagaimana hidup yang Islami, seorang Muslim mesti terlibat dengan kegiatan pendidikan. Kedua, karena motivasi politik, sebab didalam Islam antara politik dan agama sulit untuk dipisahkan. Para penguasa muslim sering menjadikan sebagai alat untuk menanamkan paham-paham keagamaan. Inilah yang dilakukan Dinasti Buwaih, Fatimiyah, dan Khalifah al-Maknun. Dengan kekuasaan mereka menanamkan idiologi negara dengan tujuan lahirnya kesamaan ide antara penguasa dan masyarakat umum sehingga memudahkan pengaturan masalah-masalah kenegaraan.
Dinegara-negara Barat, kajian hubungan antara pendidikan dan politik dimulai oleh plato dalam bukunya Republic. Walaupun utamanya membahas berbagai persoalan kenegaraan, buku tersebut juga membahas hubungan antara idiologi dan institusi negara dengan tujuan dan metode pendidikan. Berikut ini adalah kesan mendalam Allan Bloom (1987:380) tentang Republic:
For me [Republic is]the book on education, because it really enplains to me what I experience as a man and a teacher, and I have almost always used it to point out what we should not hope for, as a teaching of moderation and resignation.
Plato mendemonstrasikan dalam buku tersebut bahwa dalam budaya Helenik, sekolah adalah salah satu aspek kehidupan yang terkait dengan lembaga-lembaga politik. Ia menjelaskan bahwa setiap budaya mempertahankan kontrol atas pendidikan di tengah kelompok-kelompok elit yang secara terus menerus menguasai kekuasaan politik, ekonomi, agama, dan pendidikan. Plato menggambarkan adanya hubungan dinamis antara aktivitas kependidikan dan aktivitas politik. Keduanya seakan dua sisi dari satu koin, tidak mungkin terpisahkan. Walaupun sangat umum dan singkat, analisis Plato tersebut telah meletakkan fundamental bagi kajian hubungan politik dan pendidikan dikalangan generasi ilmuan generasi berikutnya.
Dalam ungkapan Abernethy dan Coombe (1965: 287), educational and politics are inextricably linked (pendidikan dan politik terkait tanpa bisa dipisahkan). Menurut mereka (1965:289), hubungan timbal balik antara pendidikan dan politik dapat terjadi melalui tiga aspek, yaitu sikap pembentukan sikap kelompok (group attitudes), masalah pengangguran (unemployment), dan peranan politik kaum cendekia (the political role of the intelligentsia). Kesempatan dan prestasi pendidikan pada suatu kelompok masyarakat, menurut mereka, dapat memengaruhi akses kelompok tersebut dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi. Perbedaan signifikan antarberbagai kelomp[ok masyarakat yang disebabkan oleh perbedaan pendidikan dapat dilihat pada distribusi kekuasaan politik dan ekonomi dan kesempatan kerja, khususnya pada sektor pelayanan publik. Dinegara-negara pascakolonial, kelompok masyarakat yang dapat priviles pendidikan lebih mampu melakukan konsolidasi kekuatan, lalu muncul menjadi kelompok penguasa yang menguasai partai-partai politik dan sektor pelayanan publik. Previlese atau diskriminasi pendidikan bisa terjadi karena alasan-alasan budaya atau agama.
Diskriminasi seperti ini sangat nyata dalam kebijakan pendidikan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia. Penulis mencatat beberapa karakteristik kebijakan pemerintah kolonial Belanda: kolonialistik, intelektualistik, heterogen, diskriminatif, dan self-serving, diarahkan semata-mata untuk kepentingan kolonialisme. Kebijakan tersebut berdampak pada kehidupan masyarakat pada waktu itu, yaitu (1) menimbulkan konflik keagamaan antara kelompok Muslim dan kelompok non-Muslim; (2) menciptakan divisi sosial dan kesenjangan budaya antara kelompok minoritas angkatan muda Indonesia yang berasal dari kelas menengah keatas dan kelompok angkatan muda Indonesia yang berasal dari keluarga biasa; (3) menciptakan polarisasi sosial tanpa memedulikan kemampuan kerja mereka; dan (4) menghambat perkembangan kaum pribumi (Sirozi, 1998: 17-29). Pada masa awal kemerdekaan, kaum nasionalis dapat menguasai birokrasi dan sektor-sektor strategis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis pendapat atau kritik dan saran Anda...
Terimakasih