Sabtu, 06 Juli 2013

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN (Studi Analisis Kebijakan Desentrasi Pendidikan)


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Undang-undang (UU) Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS), dinyatakan bahwa ada tiga tantangan besar dalam bidang pendidikan di Indonesia, yaitu pertama,  mempertahankan hasil-hasil pembangunan pendidikan yang telah dicapai; kedua, mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten dan mampu bersaing dalam pasar kerja global; dan ketiga, sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah sistem pendidikan nasional dituntut untuk melakukan perubahan dan penyesuaian sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis, memperhatikan keberagaman, memperhatikan kebutuhan daerah dan peserta didik, serta mendorong peningkatan partisipasi masyarakat.
Dalam upaya implementasi dan memaksimalisasi penyelenggaraan otonomi daerah sistem pendidikan tersebut, sekarang dikembangkanlah konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), yang berupaya meningkatkan peran sekolah dan masyarakat sekitar (stakeholder) dalam pengelolaan pendidikan, sehingga penyelenggaraan pendidikan menjadi lebih baik dan mutu lulusan semakin bisa ditingkatkan. MBS memberikan kebebasan dan kekuasaan yang besar pada sekolah, disertai seperangkat tanggung jawab.
Pengalihan kewenangan pengambilan keputusan ke level sekolah tersebut, maka sekolah diharapkan lebih mandiri dan mampu menentukan arah pengembangan yang sesuai dengan kondisi dan tuntutan lingkungan masyarakatnya. Atau dengan kata lain, sekolah harus mampu mengembangkan program yang relevan dengan kebutuhan masyarakat.
B.     Rumusan Masalah
1.    Bagaimana konsep implemantasi kebijakan pendidikan di Indonesia?
2.    Apa fungsi implemantasi kebijakan pendidikan di Indonesia?
3.    Bagaimana analisis arah implemantasi kebijakan pendidikan di Indonesia?




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Konsep Implemantasi Kebijakan Pendidikan
  1. Pengertian Implementasi dan Kebijakan Pendidikan
Implementasi adalah: pelaksanaaan, penerapan. Menurut Joko Wododo, implementasi merupakan suatu proses yang melibatkan sejumlah sumber yang termasuk manusia, dana, dan kemampuan organisasional yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta (individu atau kelompok). Proses tersebut dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pembuat kebijakan.
Kebijakan (policy) secara etimologi (asal kata) diturunkan dari bahasa Yunani, yaitu “Polis” yang artinya kota (city). Dalam hal ini, kebijakan berkenaan dengan gagasan pengaturan organisasi dan merupakan pola formal yang sama-sama diterima pemerintah/lembaga sehingga dengan hal itu mereka berusaha mengejar tujuannya. Abidin, menjelaskan kebijakan adalah keputusan pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat. Ali Imron dalam bukunya Analisis Kebijakan Pendidikan menjelaskan bahwa kebijakan pendidikan adalah salah satu kebijakan Negara.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat penulis analisis bahwa implementasi kebijakan adalah aturan tertulis yang merupakan keputusan formal organisasi, yang bersifat mengikat, yang mengatur prilaku dengan tujuan untuk menciptakan tata nilai baru dalam masyarakat. Kebijakan akan menjadi rujukan utama para anggota organisasi atau anggota masyarakat dalam berprilaku dan Kebijakan pada umumnya bersifat problem solving dan proaktif. Berbeda dengan Hukum (Law) dan Peraturan (Regulation), kebijakan lebih adaptif dan interpratatif, meskipun kebijakan juga mengatur “apa yang boleh, dan apa yang tidak boleh”. Kebijakan juga diharapkan dapat bersifat umum tetapi tanpa menghilangkan ciri lokal yang spesifik. Kebijakan harus memberi peluang diinterpretasikan sesuai kondisi spesifik yang ada.
2.      Ciri-ciri Kebijakan Pendidikan
Guna meningkatkan Kebijakan pendidikan memiliki karakteristik yang khusus, yakni:
a.       Memiliki tujuan pendidikan.
Kebijakan pendidikan harus memiliki tujuan tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk memberikan kontribusi pada pendidikan.
b.      Memenuhi aspek legal-formal.
Kebijakan pendidikan tentunya akan diberlakukan, maka perlu adanya pemenuhan atas pra-syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan itu diakui dan secara sah berlaku untuk sebuah wilayah. Maka, kebijakan pendidikan harus memenuhi syarat konstitusional sesuai dengan hierarki konstitusi yang berlaku di sebuah wilayah hingga ia dapat dinyatakan sah dan resmi berlaku di wilayah tersebut. Sehingga, dapat dimunculkan suatu kebijakan pendidikan yang legitimat.
c.       Memiliki konsep operasional
Kebijakan pendidikan harus mempunyai manfaat operasional agar dapat diimplementasikan dan ini adalah sebuah keharusan untuk memperjelas pencapaian tujuan pendidikan yang ingin dicapai.
d.      Dibuat oleh yang berwenang
Kebijakan pendidikan itu harus dibuat oleh para ahli di bidangnya. Para administrator pendidikan, pengelola lembaga pendidikan dan para politisi yang berkaitan langsung dengan pendidikan adalah unsur minimal pembuat kebijakan pendidikan.
e.       Dapat dievaluasi
Kebijakan pendidikan itu pun tentunya tak luput dari keadaan yang sesungguhnya untuk ditindak lanjuti. Jika baik, maka dipertahankan atau dikembangkan, sedangkan jika mengandung kesalahan, maka harus bisa diperbaiki.
f.       Memiliki sistematika
Kebijakan pendidikan tentunya merupakan sebuah sistem juga, oleh karenanya harus memiliki sistematika yang jelas menyangkut seluruh aspek yang ingin diatur olehnya. Hal ini harus diperhatikan dengan cermat agar pemberlakuannya kelak tidak menimbulkan kecacatan hukum secara internal. Kemudian, secara eksternal pun kebijakan pendidikan harus bersepadu dengan kebijakan lainnya; kebijakan politik; kebijakan moneter; bahkan kebijakan pendidikan di atasnya atau disamping dan dibawahnya, serta daya saing produk yang berbasis sumber daya lokal.
B.     Fungsi Implementasi Kebijakan Pendidikan
Fungsi implementasi kebijakan pendidikan, sebagai berikut: pertama: pedoman untuk bertindak; kedua, pembatas prilaku; dan ketiga: bantuan bagi pengambil keputusan.
Berdasarkan penegasan di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi kebijakan dibuat untuk menjadi pedoman dalam bertindak, mengarahkan kegiatan dalam organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, kebijakan merupakan garis umum untuk bertindak bagi pengambilan keputusan pada semua jenjang organisasi.
C.    Arah Kebijakan Pendidikan di Indonesia (Studi Analisi Terhadap UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003).
Kebijakan pendidikan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, diarahkan untuk mencapai hal-hal sebagai berikut:
      1.      Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti;
     2.      Meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga kependidikan;
    3.      Melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik, penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta diversifikasi jenis pendidikan secara professional;
    4.      Memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung oleh sarana dan prasarana memadai;
     5.      Melakukan pembaharuan dan pemantapan sistem pendidikan nasional berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan dan manajemen;
  6.      Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun pemerintah untuk memantapkan sistem pendidikan yang efektif dan efisien dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
    7.      Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai dengan hak  dukungan dan lindungan sesuai dengan potensinya;
    8.      Meningkatkan penguasaan, pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk teknologi bangsa sendiri dalam dunia usaha, terutama usaha kecil, menengah, dan koperasi
D.    Analisis Implementasi Kebijakan Pendidikan di Era Otonomi Daerah
Perkataan otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri, dan nomos yang berarti hukum atau aturan. Dalam konteks etimologis ini, beberapa penulis memberikan pengertian tentang otonomi. Otonomi diartikan sebagai zelfwetgeving atau “pengundangan sendiri”. “perundangan sendiri” menurut perkembangan sejarahnya di Indonesia, istilah otonomi selain mengandung arti “perundangan”, juga mengandung pengertian “pemerintahan” (bestuur). “mengatur atau memerintah sendiri”. Otonomi daerah adalah kebebasan untuk memelihara dan memajukan kepentingan khusus daerah, dengan keuangan sendiri, menentukan hukum sendiri, dan pemerintahan sendiri.
Dari beberapa konsep dan batasan di atas, otonomi daerah jelas menunjuk pada kemandirian daerah, dimana daerah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri tanpa atau mengupayakan seminimal mungkin adanya campur tangan atau intervensi pihak lain atau pemerintah pusat dan pemerintah di atasnya. Dengan adanya otonomi tersebut, daerah bebas untuk berimprovisasi, mengekspresikan dan mengapresiasikan kemampuan dan potensi yang dimiliki, mempunyai kebebasan berpikir dan bertindak, sehingga bisa berkarya sesuai dengan kebebasan yang dimilikinya.
Menurut kebijakan pemerintah yang tertuang dalam UU No. 22 Tahun 1999 mengenai Otonomi Daerah dan sejalan dengan itu UU No. 25 tahun 1999 mengenai Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan konsekuensi dari keinginan era reformasi untuk menghidupkan kehidupan demokrasi. Maka Di era otonomi daerah kebijakan strategis yang diambil Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah adalah : (1) Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (School Based Management) yang memberi kewenangan pada sekolah untuk merencanakan sendiri upaya peningkatan mutu secara keseluruhan; (2) Pendidikan yang berbasis pada partisipasi komunitas (community based education) agar terjadi interaksi yang positif antara sekolah dengan masyarakat, sekolah sebagai community learning centre; dan (3) Dengan menggunakan paradigma belajar atau learning paradigma yang akan menjadikan pelajar-pelajar atau learner menjadi manusia yang diberdayakan. (4) Pemerintah juga mencanangkan pendidikan berpendekatan Broad Base Education System (BBE) yang memberi pembekalan kepada pelajar untuk siap bekerja membangun keluarga sejahtera.
Dengan pendekatan itu setiap siswa diharapkan akan mendapatkan pembekalan life skills yang berisi pemahaman yang luas dan mendalam tentang lingkungan dan kemampuannya agar akrab dan saling memberi manfaat. Lingkungan sekitarnya dapat memperoleh masukan baru dari insan yang mencintainya, dan lingkungannya dapat memberikan topangan hidup yang mengantarkan manusia yang mencintainya menikmati kesejahteraan dunia akhirat.
Pada awal tahun 2001 digulirkan program MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Program ini diyakini akan memberdayakan masyarakat pemerhati pendidikan (stakeholders) dalam memberikan perhatian dan kepeduliannya terhadap dunia pendidikan, khususnya sekolah. Dalam menerapkan konsep MBS, mensyaratkan sekolah membentuk Komite Sekolah yang keanggotaannya bukan hanya orangtua siswa yang belajar di sekolah tersebut, namun mengikutsertakan pula guru, siswa, tokoh masyarakat dan pemerintahan di sekitar sekolah, dan bahkan pengusaha.
Sebetulnya, sejak program MBS ini digulirkan, peran komite sekolah mulai tampak, terutama dalam menghimpun sumber-sumber pendanaan pendidikan, baik sebagai dukungan terhadap penyediaan sarana dan prasarana pendidikan maupun untuk peningkatan kualitas pendidikan. Tentu saja, termasuk pula untuk peningkatan kualitas kesejahteraan guru di sekolah itu. Namun, peran komite di tingkatan pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs) yang sudah mulai bagus ini terhapus kembali oleh program berikutnya, yaitu Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Program ini sesungguhnya sangat baik, sebagai salah satu bentuk tanggungjawab pemerintah pada pendidikan, sehingga dapat membantu kepedulian masyarakat dalam membantu pembiayaan pendidikan. Namun, wacana yang dikembangkan adalah “Sekolah Gratis” sehingga mengubur kepedulian masyarakat terhadap pendidikan yang sudah mulai terbangun dalam MBS. Dari hal di atas, pada beberapa sekolah yang pemahaman anggota komite sekolah atau para pendidik masih kurang, menganggap seperti halnya BP3, maka penetapan akuntabilitas pendidikan melalui peran stakeholders pendidikan semakin menurun. Maka, tidak heran jika banyak sekolah yang rusak, lapuk, bahkan ambruk dibiarkan oleh komite sekolah, sambil berharap datang sang penyelamat, yaitu pemerintah.
Dalam hal pengelolaan mikro pendidikanpun masih terdapat beberapa masalah. Pengelolaan pendidikan pada satuan pendidikan tertentu (sekolah) menjadi kewenangan kepala sekolah. Demikian pula, penyelenggaraan pendidikan di kelas memang seluruhnya harus menjadi kewenangan guru. Berdasarkan kewenangan profesionalnya, guru bertugas merencanakan, melaksanakan, dan mengukur hasil pembelajaran.
Pada tingkat SD/MI di kabupaten/kota, ujian akhir masih menjadi kewenangan dinas pendidikan kabupaten/kota, dengan dalih “ikut-ikutan” pemerintah pusat mengendalikan mutu pendidikan di daerah. Padahal, ditinjau dari hakikat pengajaran dan sejalan dengan desentralisasi pendidikan, evaluasi merupakan bagian dari tugas pengajaran seorang guru, sehingga kewenangan itu jangan “direbut” oleh birokrasi pendidikan. Kenyataan itu menunjukkan bahwa impelementasi MBS pada tataran mikro yang masih setengah hati diserahkan.
Sehubungan dengan evaluasi kebijakan pendidikan Era Otonomi masih belum terformat secara jelas maka di lapangan masih timbul bermacam-macam metode dan cara dalam melaksanakan program peningkatan mutu pendidikan. Sampai saat ini hasil dari kebijakan tersebut belum tampak, namun berbagai improvisasi di daerah telah menunjukkan warna yang lebih baik. Misalnya, beberapa langkah program yang telah dijalankan di beberapa daerah, berkaitan dengan kebijakan pendidikan dalam rangka peningkatan mutu berbasis sekolah dan peningkatan mutu pendidikan berbasis masyarakat diimplementasikan sebagai berikut :
      1.      Telah berlakunya UAS dan UAN sebagai pengganti EBTA /EBTANAS
      2.      Telah dibentuknya Komite Sekolah sebagai pengganti BP3.
      3.      Telah diterapkan muatan lokal dan pelajaran ketrampilan di sekolah SLTP  
      4.      Dihapuskannya sistem Rayonisasi dalam penerimaan murid baru
      5.      Pemberian insentif kepada guru-guru negeri  
      6.      Bantuan dana operasional sekolah, serta bantuan peralatan praktik sekolah
    7.  Bantuan peningkatan SDM sebagai contoh pemberian beasiswa pada guru untuk mengikuti program Pascasarjana.
Implementasi kebijakan otonomi pendidikan dalam konteks otonomi daerah sebagai berikut, diantaranya: 
      1.      Secara general otonomi pendidikan menuju pada upaya meningkatkan mutu pendidikan sebagai jawaban atas “kekeliruan” kita selama lebih dari 20 tahun bergelut dengan persoalan-persoalan kuantitas.
      2.      Pada sisi otonomi daerah, otonomi pendidikan mengarah pada menipisnya kewenangan pemerintah pusat dan membengkaknya kewenangan daerah otonom, atas bidang pemerintahan berlabel pendidikan yang harus disertai dengan tumbuhnya pemberdayaan dan partisipasi masyarakat.
    3.      Terdapat potensi tarik menarik antara otonomi pendidikan dalam konteks otonomi daerah dalam menempatkan kepentingan ekonomik dan finansial sebagai kekuatan tarik menarik antara pemerintahan daerah otonom dan institusi pendidikan.
     4.      Kejelasan tempat bagi institusi-institusi pendidikan perlu diformulasikan agar otonomi pendidikan dapat berjalan pada relnya.
    5.      Pada tingkat persekolahan, otonomi pendidikan berjalan atas dasar desentralisasi dan prinsip School Based Management pada tingkat pedidikan dasar dan menengah; penataan kelembagaan pada level dan tempat yang menjadi faktor kunci keberhasilan otonomi pendidikan.
    6.      Sudah selayaknya jika otonomi pendidikan harus bergandengan dengan kebijakan akuntabiliti terutama yang berkaitan dengan mekanisme pendanaan atau pembiayaan pendidikan.  
     7.      Pada level pendidikan tinggi, kebijakan otonomi masih tetap berada dalam kerangka otonomi keilmuan.
    8.      Dalam konteks otonomi daerah, kebijakan otonomi pendidikan tinggi dapat ditempatkan bukan pada kepentingan daerah semata-semata melainkan pada kenyataan bahwa pendidikan tinggi adalah aset nasional.
    9.      Secara makro, apapun yang terkandung di dalamnya, otonomi pendidikan tinggi haruslah menonjolkan keunggulan-keunggulannya.
Menurut Fransisca Kemmerer dalam Ali Muhdi, ada empat bentuk desentralisasi pendidikan, yakni:
      1.      Dekonsentrasi, yakni pengalihan kewenangan ke pengaturan tingkat yang lebih rendah dalam jajaran   birokrasi pusat.
     2.      Pendelegasian, yaitu pengalihan kewenangan ke badan quasi pemerintah atau badan yang dikelola secara   public.
       3.      Devolusi, yakni pengalihan ke unit pemerintahan daerah
       4.      Swastanisasi, berupa pendelegasian kewenangan ke badan usaha swasta atau perorangan.
Menguatnya aspirasi otonomi dan desentralisasi khususnya di bidang pendidikan, tidak terlepas dari kenyataan adanya kelemahan konseptual dan penyelenggaraan pendidikan nasional, khususnya selama orde baru, bahwa di antara masalah dan kelemahan yang sering diangkat dalam konteks ini adalah:
1.       Implementasi Kebijakan pendidikan nasional yang sangat terpusat dan serba seragam, cendrung mengabaikan keragaman realita masyarakat Indonesia di berbagai daerah.
2.      Implementasi kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional lebih berorientasi kepada pencapaian target kurikulum, pada gilirannya mengabaikan proses pembelajaran yang efektif dan mampu menjangkau seluruh ranah dan potensi anak didik. Proses pembelajaran khususnya Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) lebih mengutamakan aspek kognitif dan cenderung mengabaikan ranah afektif dan psikomotorik.

BAB III
KESIMPULAN

Kebijakan dibuat untuk menjadi pedoman dalam bertindak, mengarahkan kegiatan dalam organisasi pendidikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Di era otonomi daerah kebijakan strategis yang diambil Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah adalah : (1) Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (School Based Management), (2) Pendidikan yang berbasis pada partisipasi komunitas (community based education), (3) Dengan menggunakan paradigma belajar atau learning paradigma, (4) Pemerintah juga mencanangkan pendidikan berpendekatan Broad Base Education System (BBE)
Proses implementasi kebijakan hanya dapat dimulai apabila tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang semula bersifat umum telah dirinci, program-program aksi telah dirancang dan sejumlah dana/biaya telah dialokasikan untuk mewujudkan tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran tersebut.
Evaluasi kebijakan pendidikan Era Otonomi masih belum terformat secara jelas maka di lapangan masih timbul bermacam-macam metode dan cara dalam melaksanakan program peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu aturan-aturan dan pedoman-pedoman yang sudah dirumuskan perlu ditinjau kembali sehingga menyebabkan peninjauan ulang terhadap pembuatan kebijakan pada segi implementasinya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi Daerah, Jakarta: Media Sarana Press, 1987.
Ali Imron,  Kebijakan Pendidikan Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
Aris Pongtuluran, Kebijakan Organisasi dan Pengambilan Keputusan Manajerial, Jakarta: LPMP, 1995.
H.A.R. Tilaar,             Kebijakan Pendidikan: Pengantar untuk memahami kebijakan pendidikan dan kebijakan pendidikan sebagai kebijakan public, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
J.Wayong,  Asas dan Tujuan Pemerintahan Daerah, Jakarta: Penerbit Djambatan, 1979.
Joko Widodo, Analisis Kebijakan Publik Konsep dan Aolikasi Analisis Proses Kebijakan Publik, Malang: Bayumedia Publishing, 2007.
Riant Nugroho, Otonomi Daerah, Desentralisasi Tanpa Revolusi, Jakarta: PT Elex Media Computindo, 2000.
Said Zainal Abidin, Kebijakan Publik, Jakarta: Suara Bebas, 2006.
Syafaruddin, Efektivitas Kebijakan Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2008.
Tim Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
 











Sabtu, 01 Juni 2013

SERTIFIKASI GURU DALAM UPAYA PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN
Menurut peraturan Mentri Pendidikan Nasional No.18 tahun 2007 tentang sertifikasi bagi guru dalam jabatan Sartifikasi adalah proses pemberian sertifikasi pendidik untuk guru. Sartifikasi bagi guru prajabatan dilakukan melalui pendidikan profesi di LPTK yang terakreditasi dan ditetapkan pemeritah dan di akhiri oleh uji kompetensi. Sertifikasi dalam jabatan di lakukan sesuai peraturan Mentri Pendidikan Nasional No.18 tahun 2007, yakni dilakukan dalam bentuk fortofolio. Tujuan sartifikasi guru yaitu untuk menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran. Meningkatkan profesionalisme guru, meningkatkan proses dan hasil pendidikan. Mempercepat terwujudnya tujuan pendidikan Nasional.
Guru memiliki peran yang amat penting bagi proses pendidikan. Demikian penting sampai John Goodlad, Ketua Asosiasi Kepala Sekolah di Amerika Serikat suatu saat berujar, "Manakala guru sudah masuk ke ruang kelas dan menutup pintu kelas itu, dialah yang akan menentukan apakah proses belajar hari itu berjalan dengan baik atau tidak, dapat mencapai tujuan atau tidak." Lebih-lebih di sekolah dasar, guru memiliki peran yang amat penting dalam proses pendidikan bagi para siswa di usia yang amat menentukan bagi pendewasaan mereka. Meski banyak pihak mengakui peran penting guru dalam proses pendidikan, guru kita hingga saat ini belum sepenuhnya mendapatkan perhatian yang layak dilihat dari sisi kesejahteraan dan peningkatan profesionalisme.
Banyak program pendidikan baru yang inovatif diberlakukan oleh pemerintah dalam waktu paling tidak lima tahun terakhir ini, seperti broad based education, life skills, manajemen pendidikan berbasis sekolah, contextual teaching-learning (CTL), evaluasi belajar model portofolio, dan yang terakhir Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
Semua itu kurang atau bahkan tidak mengikutsertakan guru sebagai variabel penting dalam pelaksanaan program-program itu, padahal semua program baru itu bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini. Lantas, bagaimana peran guru kita dalam pembaharuan dan inovasipendidikanitu?Inilahpersoalannya.
Dengan banyaknya program baru itu, semestinya para guru kita didorong untuk memiliki profesionalisme yang lebih tinggi. Hal itu juga diikuti kesejahteraan yang lebih memadai. Kenyataan tidaklah seperti itu. Banyaknya program baru itu justru menambah beban kerja guru. Mengapa beban? Karena guru belum atau tidak mengerti secara sempurna terhadap berbagai inovasi pendidikan itu. Akibatnya, mereka berada dalam ketidakmenentuan profesi ketika harus melakukan program-program inovatif di tempat kerja masing-masing.

BAB II
PEMBAHASAN
1. Mekanisme Pelaksanaan Sertifikasi
Pembentukan Panitia
Pada Dinas Pendidikan Provinsi : Panitia Sertifikasi Tingkat Provinsi
Pada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota : Panitia Sertifikasi Tingkat Kabupaten/Kota
Struktur Kepanitian
· Tingkat Provinsi
- Pengarah : Kepala Dinas Pendidikan Provinsi
- Ketua : Kasubdin Bidang Ketenagaan atau yang menangani guru
- Sekretaris : Unsur dari eselon IV pada dinas Pendidikan
- Anggota : Staf dari Dinas Pendidikan Provinsi minimal tiga orang atau disesuaikan dengan beban kerja.
Ruang Lingkup Tugas Panitia sebagai berikut :
a. Panitia Sertifikasi Tingkat Provinsi
· Mengikuti sosialisasi sertifikasi di pusat
· Melakukan sosialisasi sertifikasi dikabupaten atau kota
· Mengumpulkan rekap data peserta sertifikasi dari kabupaten atau kota
· Mengirimkan rekap data peserta sertifikasi ke Direktorat Profefsi Pendidik Dirjen PMPTK.
· Mempasilitasi pelaksanaan diklat pendidikan profesi bagi guru yang tidak lulus penilaian portofolio
· Melakukan koordinasi dengan Dinas Pendidikan Kabupaten atau Kota
b. Panitia Sertifikasi Tingkat Kabupaten/Kota
· Mengikuti sosialisasi sertifikasi di Pusat dan atau di Provinsi
· Menentukan urutan prioritas peserta sertifikasi sesuai dengan kuota Kabupaten atau Kota
· Membuat SK penetapan peserta sertifikasi
· Melakukan sosialisasi pelaksanaan sertifikasi kepada guru
· Menyerahkan kepada peserta sertifikasi berkas-berkas sebagai berikut :
- Formulir pendaftaran
- Nomor peserta / nomor kuota
- Panduan pengisian instrument portofolio
- Instrument portofolio
- Instrument penilaian atasan
· Mengumpulkan dari guru peserta sertifikasi berkas :
- Formulir pendaftaran
- Instrumen portofolio yang sudah di isi
- Bukti fisik yang mendukung instrument fortofolio
· Mengecek kelengkapan data/berkas peserta
· Mengirim berkas ke LPTK penyelenggara sertifikasi yang ditunjuk Pemerintah
· Mengumpulkan kelengkapan berkas portofolio bagi guru yang belum lulus atau belum lengkap portofolionya
· Mempasilitasi pelaksanaan diklat pendidikan profesi bagi guru yang tidak lulus penilaian portofolionya.
· Mempasilitasi pelaksanaan diklat pendidikan profesi bagi guru yang tidak lulus penilaian portofolio
c. Sosialisasi
· Kegiatan sosialisasi dilakukan secara terpadu oleh TIM Ditjen Dikti dan Ditjen PMPTK
· Sosialisasi kepada Dinas Pendidikan Provinsi dan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota di daerahnya masing-masing.
1. Prinsip Sertifikasi
1. Dilaksanakan secara Objektif, Transparan, dan Akuntabel
2. Berujung pada peningkatan mutu pendidikan nasional melalui peningkatan mutu guru dan kesejahteraan guru.
3. Dilaksanakan sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan.
4. Dilaksanakan secara terencana dan sistematis.
5. Menghargai pengalaman kerja guru
6. Jumlah peserta sertifikasi guru ditetapkan oleh pemerintah
2. Peserta dan Pelaksanaan Sertifikasi Guru Dalam Jabatan
1. Perhitungan Kuota Provinsi
2. Perhitungan Kuota Kabupaten atau Kota
3. Perhitungan Kuota menurut Satuan Pendidikan.
a. Penetapan Peserta
· Peraturan Mentri Pendidikan dan Nasional Nomor 18 Tahun 2007 : sertifikasi guru dalam jabatan dapat diikuti oleh guru dalam jabatan yang telah memiliki kualifikasiakademik sarjana (SI) atau diploma empat (D-IV)
· Guru non PNS yang dapat disertifikasiadalah guru Non PNS yang bersytatus sebagai guru tetap pada suatu pendidikan tempat yang bersangkutan bertugas.
· Penentuan guru calon peserta sertifikasi dalam jabatan mengggunakan system renking bukan berdasarkan seleksi melalui tes.
b. Prioritas Calon Peserta
1. Pengalaman Mengajar
2. Usia
3. Pangkat / Golongan
4. Beban Jam Mengajar
5. Tugas Tambahan
6. Prestasi
c. Proses Penentuan Calon Peserta Oleh Panitia Tingkat Kabupaten/Kota
· Menyususn daftar guru yang ada dikabupaten/kota dengan cara :
· Daftar urut guru dibuat perjenis satuan pendidikan (TK, SD, SLB, SMP, SMA, SMK). Daftar guru PNS dan guru Non PNS dipisahkan untuk masing-masing Kabupaten/Kota.
· Daftar Guru yang ada di Kabupaten/ Kota dibuat dengan urutan prioritas masa kerja sebagai guru, usia, golongan/pangkat, beban mengajar, jabatan/tugas tambahan, dan prestasi kerja.
A. SERTIFIKASI BAGI GURU YANG MENGAJAR TIDAK SESUAI DENGAN BIDANGNYA (MISMATCH)
· Sertifikasi bagi guru yang mengajar tidak sesuai dengan bidang keahliannya dengan memilih proses sertifikasi berbasis pada izazah SI/D4 yang dimiliki, atau memilih proses sertifikasi berbasis bidang studi yang diajarkan.
· Jalur sertifikasi mana yang akan dipilih oleh guru, sepenuhnya diserahkan guru yang bersangkutan dengan segala konsekwensinya.
a. Pemberian Nomor Registrasi Guru
· Nomor registrasi guru bagi nyang sudah lulus registrasi sertifikasi akan diberikan oleh Ditjen PMPTK.
· Pemberian nomor ini menggunakan system koding, mencerminkan bidang study, tahun sertifikat, Rayon LPTK, dan Kabupaten/Kota asal peserta.
b. Pengendalian Program
· Untuk menjamin rekrutmen terhadap guru yang berhak mengikuti sertifikasi dan pelaksanaan sertifikasi itu sendiri.
· Sebagai tolak ukur keberhasilan program penerapan calon pesereta sertifikasi guru yang meliputi : cakupan pengendalian, dan pemantauan program.

B. PORTOFOLIO
1. Penilaian Portofolio
a. Kualifikasi Akademik

Ijazah Relevansi Skor
SI/D4 Satuan bidang study
Satuan rumpun bidang study
Tidak serumpun bidang studi 3
2
1
S2 Satuan bidang study
Satuan rumpun bidang study
Tidak serumpun bidang studi 3
2
1
S3 Satuan bidang study
Satuan rumpun bidang study
Tidak serumpun bidang studi 3
2
1

b. Pendidikan dan Pelatihan

Lama Diklat Tingkat Relevansi
Indikator Skor Indikator Skor Indikator Skor
+ 528 Jam
+348-528 Jam
+ 176-328 Jam
+ 96-176 Jam
≤ 96 Jam 5
4
3
2
1 Internasional
Regional
Nasional
Provinsi
Kabupaten 5
4
3
2
1 Satu bidang sutudi/relevan
Satu rumpun/Kr relevan
Tidak serumpun/Td relevan 3
2
1
c. Pengalaman Mengajar
d. Perencanaan Pembelajaran
e. Pelaksanaan Pembelajaran
f. Penilaiain dari atasan dan bawahan
g. Prestasi Akademik
h. Karya Pengembangan Profesi
i. Keikutsertaan dalam Forum Ilmiah
j. Pengalaman Organisasi dalam Bidang Kependidikan dan Sosial
k. Penghargaan yang Relevan dengan Bidang Pendidikan.
2. Tes Kinerja Portofolio
1. Kemampuan Merencanakan Pembelajaran
2. Kemampuan Melaksanakan Pembelajaran
Kerangka Portofolio
· Halaman pengesahan (Kepala Sekolah)
· Kata Pengantar : Bebas, tapi lazim (dikembangkan sendiri oleh guru)
· Daftar Isi : Sesuai dengan isi portofolio(Didasarkan pada dokumen fortofolio)
· Pendahuluan : Pengalaman, usaha, hambatan (Kemukakan Hal-Hal yang bernada Positif)
· Dokumen Portofolio : Bukti-bukti karya guru (Diklasifikasikan sesuai dengan tema/topik)
· Penutup : Kesan dan Saran (Arahkan pada pentingnya portofolio)
Klasifikasi Dokumen Portofolio
Dokumen I : Ijazah Terakhir Guru
Dokumen II : Pendidikan dan Pelatihan
Dokumen III : Pengalaman Mengajar
Dokumen IV : Perencanaan Pembelajaran (10 Buah RPP)
Dokumen V : Pelaksanaan Pembelajaran
Dokumen VI : Penilaian Atasan (Kepala Sekolah dan Pengawas)
Dokumen VII : Prestasi Akademik
Dokumen VIII : Karya Pengembangan Profesi
Dokumen IX : Keikutsertaan dalam forum Ilmiah
Dokumen X : Pengalaman Organisasi Bidang Kependidikan dan Sosial
Dokumen XI : Penghargaan yang Terkait Bidang Pendidikan
3. Penyusunan Portofolio
· Dokumen portofolio dibendel (dijilid) dengan urutan
1. Sampul
2. Daftar isi
3. Instrumen Portofolio yang telah diisi, yang meliputi :
a. Identitas dan Pengesahan
b. Komponen Portofolio
4. Dokumen atau bukti-bukti fisik (setiap dokumen pada pojok kanan atas diberi kode yang sesuai pada penomoran pada komponen portofolio)
· Setiap bukti fisik hanya boleh digunakan untuk satu komponen portofolio
· Dokumen portofolio yang diserahkan dibuat rangkap dua
· Setiap pergantian dokumen komponen portofolio diberi kertas berwarna sebagai pembatas.
Menurut peraturan Mendiknas No. 18 Tahun 2005 tentang Sertifikasi bagi guru dalam jabatan adalah :
- Portofolio guru adalah komponen dokumen yang menggambarkan pengalaman yang berkarya/prestasi dalam menjalankan tugas profesi sebagai guru dalam interval waktu tertentu
- Penilaian Portofolio merupakan proses pengakuan atas pengalaman profesional guru dalam penilaian kumpulan dokumen.
Komponen Portofolio (Sesuai Permendiknas No. 18 Tahun 2007)
· Kulifikasi Akademik
· Pendidikan dan Pelatihan
· Pengalaman Mengajar
· Perencanaan dan Pelaksanan Pembelajaran
· Penilaian dari Atasan dan Pengawas
· Prestasi Akademik
· Karya Pengembangan Profesi
· Keikutsertaan Dalam Forum Ilmiah
· Pengalaman Organisasi di Bidang Kependidikan dan Sosial
· Penghargaan yang Relevan dengan Bidang Pendidikan
4. Jaminan Mutu Pendidikan
Pertama dan sekaligus yang utama, sertifikasi merupakan sarana atau instrument untuk mencapai suatu tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Perlu ada kesadaran dan pemahaman dari semua fihak bahwa sertifikasi adalah sarana untuk menuju mutu. Sertifikasi bukan tujuan itu sendiri. Kesadaran dan pemahaman ini akan melahirkan aktivitas yang benar, bawa apapun yang dilakukan adalah untuk mencapai mutu.
Kedua, konsisten dan ketegaran pemerintah sebagai suatu kebijakan yang bersentuhan dengan berbagai kelompok masyarakat.
Ketiga, tegas dan tegakkan hukum. Begitu ada gejala penyimpangan, pemerintah harus segera mengambil tindakan tegas. Seperti mencabut hak melaksanakan sertifikasi dari lembaga yang dimaksud, atau menetapkan seseorang tidak boleh menjadi penguji sertifikasi, dan lain sebagainya.
Keempat, laksanakan UU secara konsekuen.
Kelima, pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyediakan anggaran yang memadai, baik untuk pelaksanaan sertifikasi maupun untuk pemberian tunjangan profesi.
5. Pembinaan dan Pemberdayaan Pasca Sertifikasi
Pembinaan guru harus secara berkesinambungan, karena prinsip mendasar adalah guru harus merupakan a learning person, belajar sepanjang hayat masih dikandung badan. Sebagai guru professional dan telah menyandang sertifikat pendidik, guru berkewajiban untuk terus mempertahankan prosionalitasnya sebagai guru. Pembinaan profesi guru secara terus menerus (continuous professional development) menggunakan wadah guru yang sudah ada, yaitu kelompok kerja guru (KKG) untuk tingkat SD dan musyawarah guru mata pelajaran (MGMP) umtuk tingkat sekolah menengah. Aktifitas guru di KKG/MGMP tidak saja untuk menyelesaikan persoalan pengajaran yang dialami guru dan berbagai pengalaman mengajar untuk guru, tetapi dengan setrategi mengembangkan kontak akademik dan melakukan refleksi diri.
Desain jejaring kerja (networking) peningkatan profesionalitas guru berkelanjutan melibatkan instansi pusat, Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK), Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) dan Dinas Pendidikan Propinsi/Kabupaten/Kota serta Perguruan Tinggi setempat.
P4TK yang berbasis mata pelajaran membentuk Tim Pengembangan Materi Pembelajaran, bekerjasama dengan Perguruan Tinggi bertugas :
· Menelaah dan mengembangkan materi untuk kegiatan KKG dan MGMP
· Mengembangkan model-model pembelajaran
· Mengembangkan modul untuk pelatihan instruktur dan guru inti
· Memberikan pembekalan kepada instruktur pada LPMP
· Mendesain pola dan mekanisme kerja instruktur dan guru inti dalam kegiatan KKG dan MGMP
LPMP bersama dengan Dinas Pendidikan Propinsi melakukan seleksi guru untuk menjaedi Instruktur Mata Pelajaran Tingkat Propinsi per mata pelajaran dengan tugas :
· Menjadi nara sumber dan fasilitator pada kegiatan KKG dan MGMP
· Menjamin keterlaksanaan kegiatan KKG dan MGMP
Dinas Pendidikan Kabupaten /Kota melakukan seleksi Instruktur Mata Pelajaran Tingkat Kab/Kota dan membentuk Guru inti per mata pelajaran dengan tugas :
· Motivator bagi guru untuk aktif dalam KKG dan MGMP
· Menjadi fasilitator pada kegiatan KKG dan MGMP
· Mengembangkan inovasi pembelajaran
· Menjadi narasumber pada kegiatan KKG dan MGMP
KKG dan MGMP sebagai wadah pengembangan profesi guru melakukan kegiatan yang bermanfaat bagi profesi guru yang telah memperoleh sertifikat. Hal ini dapat dilakukan dengan adanya pemberian tugas yang sesuai dengan kompetensi guru maupun adanya dorongan dari fihak manajemen sekolah yang mampu menumbuhkan motivasi kerja bagi guru. Meningkatnya kompetensi guru yang didukung adanya motivasi kerja yang tinggi akan dapat meningkatkan kinerja guru. Meningkatnya kinerja guru akan meningkatkan kualitas pembelajaran, yang pada akhirnya akan meningkatkan mutu pendidikan secara keseluruhan, karena ujung tombak dari kegiatan pendidikan adalah pada kegiatan pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan oleh guru.

BAB III
KESIMPULAN
Upaya sungguh-sunguh perlu dilaksanakan untuk mewujudkan guru yang professional : sejahtera dan memiliki kompetensi sehingga dapat meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Hal ini merupakan syarat mutlak untuk menciptakan system dan praktik pendidikan yang bermutu. Undang-undang Guru dan Dosen sebagai suatu kebijakan untuk mewujudkan guru professional. UU Guru dan Dosen yang menetapkan kualifikasi dan sertifikasi akan menentukan mutu dankompetensi guru. Namun demikian, pelaksanaan sertifikasi akan menghadapi berbagai kendala. Disamping persoalan biaya, berbagai tantangan dan tuntutan ini, akan menentukan apakah sertifikasi akan berhasil meningkatkan mutu kompetensi guru. Selain hal tersebut, pembinaan dan pemberdayaan guru pasca sertifikasi juga akan menentukan apakah kegiatan sertifikasi akan meningkatkan mutu pendidikan atau tidak. Pembinaan dan pemberdayaan yang kurang tepat tidak menutup kemungkinan akan menyebabkan kegiatan sertifikasi sekedar kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan guru sebagai tujuan sementara, tujuan akhir dari kegiatan sertifikasi untuk meningkatkan mutu pendidikan menjadi kurang mendapat perhatian dari peserta sertifikasi.

DAFTAR PUSTAKA
Muslich Masnur, Sertifikasi Guru Munuju Profesionalisme Pendidik, Jakarta : Bumi Aksara, 2007
Yuliana Lia, Arikunto Suharsimi, Manajemen Pendidikan, Yogyakarta :Aditya Media, 2008
Departemen Pendidikan Nasional (2006) Undang-undang Republik Indonesia, No. 14 tahun 2005 tentang Undang-Undang Guru dan Dosen, Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional (2006)
Direktoral Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Pedoman Penyelenggaraan Program Sertifikasi Guru Dalam Jabatan Melalui Jalur Pendidikan. Jakarta
Direktoral Jendral Pendidikan Tinggi. 2007. Panduan Penyusunan Perangkat Portofolio Sertifikasi Guru Dalam Jabatan. Jakarta : Direktoral Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional
Direktorat Ketenagaan. 2006. Panduan Sertifikasi Guru bagi LPTK Tahun 2006. Jakarta : Direktorat Ketenagaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional
Direktoral Jendral Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan. 2007. Tanya Jawab Tentang Sertifikasi Guru. Jakarta : Direktoral Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional
www.diknas.go.id