Sabtu, 19 Maret 2011

IDIOLOGI DAN POLITIK PENDIDIKAN DIINDONESIA

PENDAHULUAN
Pendidikan sebagai upaya humanisasi seringkali terbentur dengan system pendidikan nasional yang diatur oleh Negara. Negara dengan kekuatan idiologi maupun militer, memaksakan setiap perundang-undangan dan system yang para pengelola kekuasaan. Para praktisi pendidikan banyak yang tidak sadar bahwa ia telah terlibat dalam pergumulan politik dan idiologi melalui arena pendiidkan. Sistem pendidikan nasional dalam kenyataan tidak bisa dilepaskan dari kepentingan-kepentingan politik.
Politik pendidikan nasional bangsa Indonesia telah berlangsung sejak kemerdekaan diproklamasikan. Sejak itu pula regidisasi birokrasi pendidikan nasional, pada dasarnya merupakan pengalaman baru bagi bangsa Indonesia. Sebelumnya, pendidikan menjadi uruasan pribadi masing-masing warga. Pengalaman baru tersebut cikal bakal bagi hegemoni birokrasi dibidang pendidiakan. Setiap periode perkembangan pendidikan adalah faktor politik dan kekuasaan politik karena pada hakikatnya pendidikan adalah cerminan aspirasi, kepentingan dan tatanan kekuasaan kekuatan-kekuatan politik yang sedang berkuasa. Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia telah mengalami beberapa periode ditandai oleh adanya infiltralisasi politk terhadap sisitem penyelenggaraan pendidikan dan implikasi sistem pendidikan terhadap dinamika politik.
PEMBAHASAN
A. Idiologi Pendidikan Di Indonesia
Idiologi merupakan ide-ide yang teratur yang teratur menangani macam-macam masalah politik, ekonomi dan social, asas haluan,pandangan hidup dunia. Ideologi adalah konsep yang tersistem yang di jadikan asas pendapat yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup, implikasi penggunaan istilah ideologi dalam pendidikan adalah keharusan adanya konsep cita-cita dan nilai-nilai yang secara eksplisit di rumuskan, di percayai dan di perjuangkan. Istilah ideology paling sering di hubungkan dengan dua pemikir besar yaitu: Karl Marx dan Karl Mannheim. Bagi Marx, ideologi-ideologi politik pun tak pelak lagi sebagian besar merupakan pembenaran bagi materi yang ada atau organisasi masyarakat. sementara konsep Mannhein tentang sebuah ideologi total (sebagai lawan dari konsepnya tentang sebuah ideologi tertentu) pada intinya sama dengan Marx, dan dalam bukunya ideology dan utopia (ideology dan khayal) ia minta perhatian terhadap kenyataan bahwa ideologi paling bisa di pahami dalam proses kesejarahan yang terbuka.
Secara fungsional, ideologi diartikan sebagai pemikiran yang digunakan untuk kebaikan bersama (common good). Dalam hal ini ideologi bisa muncul karena kekecewaan pada saat ini dan mempunyai niatan untuk memperbaiki di zaman akan datang. Proses antara sekarang dengan zaman akan datang (tengah-tengahnya) itulah letak pemikiran ideologi yang digunakan sebagai dasar kerangka bangunan berfikir untuk meraih hal yang dianggapnya baik pada zaman yang akan datang. Dalam dunia pergerakan, Tan Malaka saat berjuang memperjuangkan kaum buruh- juga tergetarkan hatinya saat melihat kaum buruh yang pada zaman kolonial selalu diperas tenaganya namun tidak ada ibalan yang sepadan yang diberikan oleh pemerintah kolonial.
Sedangkan ideologi struktural, diartikan sebagai alat pembenar bagi kebijakan dan tindakan kaum penguasa. Mungkin pada zaman orde baru kita masih teringat dengan namanya penataran P4. itu adalah alat yang digunakan pembenar bagi tidakan-tindakan negara kepada masyarakatnya. Seolah-olah perbuatan pemerintah itu semua benar dan wajib di ikuti. Sehingga yang tidak cocok dengan kebijakan serta tidak mau melaksanakannya akan di anggap pembangkang.
Bukan hanya dalam dunia ke-negaraan saja ideologi ini diterapkan, dalam dunia agama-pun ideologi seperti ini diterapkan. Seperti pembentukan wadah-wadah organisasi keturunan Nabi yang disebut Habib atau organisasi Islam puritan lainnya. Seoalah-olah apa yang di kehendakinya itu selalu benar karena sudah berlandaskan dengan teks-teks Al-Qur’an.
Mereka ingin memaksakan ajaranya kepada semua umat dan menyatukan ajaran yang akan berpusat pada dunia Arab, tanpa melihat faktor sosiologi dan geografi masyarakat sekitar. Coba bayangkan masyarakat Indonesia akan disamakan dengan masyarakat Arab, tentu tidak akan cocok karena sangat berbeda.
Arab menjadi dominan karena para Nabi kebetulan di lahirkan di ranah Arab, coba bayangkan, seumpama Islam diturunkan di Indonesia pasti pakaian yang digunakan kebanyakan orang adalah Kemben bagi yang putri dan yang putra pakainya seperti dipakai oleh para pejabat kerajaan dulu. Itu disebakan suasana di Indonesia di pengaruhi oleh iklim tropis sedangkan di Arab sangat wajar jika menggunakan jubah karena suasanannya sangat panas jadi sangat wajar.
Dalam dua atau tiga dekade terakhir ini ideologi-ideologi klasik seperti kapitalisme, sosialisme, dan nasionalisme mulai kehilangan momentumnya, di susul dan diganti dengan dengan ideologi kontemporer seperti: feminisme, pluralisme, dan postmodernisme. Khusus di bidang pendidikan juga di ramaikan dengan ideologi-ideologi baru yang menawarkan doktrin-doktrin pendidikan sebagai terapi atas krisis yang melanda dunia pendidikan. Di satu sisi hadirnya ideologi-ideologi tersebut memperkaya khasanah pemikiran pendidikan, tetapi di sisi lain dapat membingungkan para perencana dan praktisi pendidikan.
Berdasarkan Wiliam Oneil ada dua aliran ideologi besar yang cukup berpengaruh dengan varian masing-masing yaitu:
1. Ideologi konservatif
Di satu sisi aliran ini memandang bahwa konsep yang selama ini di gunakan masih tetap actual dan relevan sehingga tidak perlu perubahan. Secara teologis aliran ini merujuk pada teologi jabariyah atau determinisme, bahwa masyarakat pada dasarnya tidak dapat mempengaruhi perubahan sosial, semuanya tuhan yang menentukan.
Mereka yang miskin, buta huruf dan menderita merupakan kodrat ilahi dan kesalahan mereka sendiri karena tidak bisa merubah dirinya sendiri. Orang miskin harus bersabar dan belajar menunggu nasib sampai giliran mereka datang, karena pada akhirnya semua oang akan menacapai kebebasan dan kebahagian. Sehingga dalam kaum konservatif selalu menjunjung tinggi harmoni serta menghindari konflik. Dan ideologi pendidikan konservatif juga mempunyai tiga tradisi pokok, yaitu fundamentalisme pendidikan, intlektualisme pendidikan dan konservasme pendidikan.
Fundamentalisme pendidikan pada dasarnya anti pada intelektualisme, atau bisa dikatakan sebuah gerakan yang tidak mementingkan dasar-dasar filosofis atau menggunakan filsafati namun sedikit dan cenderung menerima diri tanpa melakukan aksi kritik pada sistem yang sudah mapan. Dalam pendidikan dewasa ini, fundamentalis religius barang kali paling terlihat gagasan pendidikan tertentu dalam kelompok-kelompok Kristen yang berpusat pada alkitab, misalnya kelompok amish, yang menanpilkan kepatuhan yang ketat terhadap sabda tuhan yang di tulis dalam alkitab. Dan juga gerakan ini seperti gerakan puritan yang melakukan pembenaran terhadap teks-teks yang di wahyukan pada tuhannya. Sedangkan manusia hanya menjadi saksi bisu, padahal bisa saja orang yang mengartikan Al-Qur’an itu adalah orang yang mempunyai kepentingan untuk dirinya sendiri, seperti kampanye dalam politik pragtis.
Sedangkan Intelektualisme pendidikan dilandaskan dari konservatisme politik yang melegitimasi pemikiran filosofis atau relegius otoritarian. Idelogi ini ingin merubah praktek-praktek politik dan pendidikan demi menyesuaikan secara lebih sempurna dengan cita-cita intelektual atau rohaniah yang sudah mapan dan tidak bervariasi, dalam pendidikan kontemporer konservatisme filosofis mengungkapkan diri terutama sebagai intelektualisme pendidikan di mana ada dua variasi mendasar yang pada intinya bersifat secular dan dapat di amati dalam pemikiran beberapa orang teoritisi pendidikan kontemporer.
Dan Konservatisme pendidikan berbeda dengan kedua ideologi diatas karena cenderung mendudukung ketaatan terhadap lembaga-lembaga dan proses-proses budaya yang sudah teruji oleh waktu. Konservatisme menaruh hormat terhadapa hukum dan tatanan sebagai landasan perubahan sosial yang kontruktif.
2. Ideologi liberalisme
Ideologi-ideologi pendidikan liberal seperti yang konservatif terdiri dari tiga tradisi yaitu liberalism, liberasionisme dan anarkisme pendidikan. Ideologi-ideologi tersebut terntang dari ungkapan yang paling liberal yakni liberalism pendidikan (liberalisme metodis) hingga ke posisi yang paling radikal (anarkisme utopis).
Akar dari pandangan liberalisme ini adalah pandangan yang menekankan pengembangan kemampuan, melindungi dan menjunjung tinggi hak kebebasan individu. Konsep pendidikannya bertolak dari paradigm barat tentang rasionalisme dan individualisme, yang sejarah pengembangannya tak dapat di pisahkan dari perkembangan kapitalisme di barat. Segi positif rasonalisme, individualisme dan kebebasan yang berkembang di baratmendorong tumbuhnya kreatifitas, semanangat inovatif, optimalisasi kualitas individu yang sanggup bersaing dan bertanggung jawab dalam iklim kapitalisme. Itulah sebabnya pendidikan lebih di arahkan untuk mengejar kualitas (akademis maupun profesional) walaupun dengan resiko biaya tinggi.
Dalam pendidikan ini berkeyakinan bahwa dalam masyarakat terjadi banyak masalah termasuk urusan masalah pendidikan. Namun mereka beranggapan masalah pendidikan tidak akan ada sangkut paut dengan persoalan politik dan ekonomi masarakat. Tetapi pendidikanlah yang bisa menyesuaikan dengan perubahan arah politik dan perkembangan dunia perekonomian.
Cara menyesuaikannya melalui reformasi diri secara ”kosmetik”. Dengan cara melengkapai sarana-prasarana seperti perlengkapan alat tulis, ruang kelas maupun perpustakaan. Pengadaan itu semua bertujuan untuk menyeimbangkan rasio antara murid dengan guru. Tetapi kenyataannya walaupun lembaga pendidikan mempunyai sarana dan prasarana yang komplik belum tentu menghasilkan manusia yang cerdas yang bisa membangun bangsa tetapi hanya melaihrkan nilai-nilai angka yang tinggi terhadap para siswanya dan bisa dipastikan hanya akan menjadi buruh kapitalis.
Walaupun konsep ideologi konservatif dan liberal berbeda dalam menafsirkan pendidikan, namun sesungguhnya mepunyai tujuan yang sama yaitu memandang bahwa dunia pendidikan itu harus bersifat apolitik. Pendidikan tidak boleh terbawa arus politik yang berkembang namun sebagai sarana untuk menstabilkan nilai dan norma masayarakat.
Ideologi liberal ini memang lahir dari cita-cita individualisme barat, bangsa barat menggambarkan manusia ideal itu adalah rasionalis liberal. Pada dasarnya manusia mempunyai potensi tingkatan yang sama dalam intelektual, baik dalam tatanan alam maupun tatanan sosial yang dapat ditangkap dengan akal. Kelemahan ideologi liberalisme terletak pada pengaruh faham positivistik yang sangat kuat, karena adanya pemisahan antar fakta dengan nilai menuju pemahaman obyektif.
Bagi seorang liberal, tujuan jangka panjang pendidikan adalah untuk melestarikan dan memperbaiki tatanan sosialyang ada dengan cara mengajar setiap siswa bagaiman caranya menghadapi persoalan-persoalan dalam kehidupannya secara efektif, liberalisme pendidikan ini berbeda-beda dalam hal intensitasnya dari yang relatif lunak, yakni liberlisme metodis yang di ajukan oleh teoritisi oleh Maria Montessory ke liberalisme direktif (liberalism yang bersifat mengarahkan) yang barangkali paling sarat dengan muatan filosofi John Deweyhingga ke liberalism yang non direktif atau liberalisme laissez faire (liberalism tanpa pengarahan) yang merupakan sudut pandang A,S. Neil atau Carl Rogers.
Liberasionisme adalah sebuah sudut pandang yang menganggap bahwa kita musti segera melakukan perombakan berlingkup besar terhadap tatanan yang ada sekarang, sebagai cara untuk memajukan kebebasan-kebebasan individu dan mempromosikan perujudan potensi-potensi diri semaksimal mungkin.bagi seorang pendidik liberasionis, sekolah haruslah bersifat obyektif namun tidak sentral, sekolah memiliki fungsi ideologis, ia ada bukan hanya untuk mengajarkan kepada siswa bagaimanakah caranya berfikir efektif dan juga untuk membantu siswa mengenai kebijaksanaan tertinggi yang ada di dalam pemecahan-pemecahan masalah secara intelek yang paing meyakinkan yang tesdia sehubungan dengan problem manusia yang terpenting.
Kapitalisme sebagai idiologi dominan saat ini punya pengruh yang besar dalam setiap denyut nadi kehidupan manusia. Dominasi kapitalisme tidak hanya dalam wilayah ekonomi, tapi telah merambah kewilayah yang lain, termasuk didalamnya dunia pendidikan. Dalam wilayah pendidikan, dampak yang paling nyata dari kapitalisme adalah pada salah satu produk yang dihasilkannya, yaitu culture of positifisme (Giroux, 1983). Pengaruh kapitalisme dan budaya positivism terhadap pendidikan sangat jelas, ilmu yang didiseminasikan kepada peserta didik adalah ilmu yang mengorientasikan mereka untuk beradaftasi dengan dunia masyarakat industry, dengan mengorbankan aspek article subjectivity yaitu kemampuan untuk melihat dunia secara keritis.
Dalam persfektif kritis, urusan pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap the dominat ideology kearah transformasi social. Tugas utama pemndidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap system dan struktur terhadap ketidak adilan, serta melakukan dekonstruksi serta advokasi terhadap system social yang lebih adil. Pendidikan tidak mungkin dan tidak bias bersikap netral, bersikap objektif maupun berjarak dengan masyarakat. Visi pendidikan adalah melakukan keritik terhadap system dominan sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk menciptakan system social baru dan lebih adail. Pendidikan harus mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis untuk transformasi social. Dengan kata lain tugas utama pendidikan adalah memanusiakan kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena system dan struktur yang tidak adil. Freire (1970) kesadaran kritis melihat aspek system dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktur menghindari blaming the victinis’ dan lebih menganalisis untuk secara kritis menyadari struktur dan system social, politik, ekonomi dan budaya dan akibatnya pada pada kesadaran masyarakat. Paradigma kritis dalam pendidikan, melatih murid untuk mampu mengidentifikasi ‘ketidakadilan’ dalam system dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis bagaimana system dan struktur itu bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya. Tugas pendidikan dalam paradigm kritis adalah menciptakan ruang dan kesempatan agar peserta pendidikan terlibat dalam suatu proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik.
B. Politik Pendidikan Di Indonesia
Menurut Mohammad Daud Ali dalam bukunya Pendidikan Agama Islam (2000) disebutkan: Politik itu berasal dari Bahasa Latin Politicus atau Bahasa Yunani proloticus yang artinya adalah sesuatu yang berhubungan dengan warga Negara atau dengan warga kota. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian Politik adalah:
1. Pengetahuan tentang ketatanegaraan atau kenegaraaan, yaitu mengenai sisitem pemerintah, dasar-dasar pemerintahan dsb.
2. Segala urusan dan tindakan, kebijaksanaan, siasat dan sebagainya, tentang pemerintahan ataupun terhadap Negara lain.
3. Kebijakan cara bertindak didalam menghadapi suatu masalah tertentu
Secara singkat dapat dikatakan, politik adalah suatu cara atau metode mempengaruhi orang atau pihak lain untuk mencapai tujuan kelompok. Politik adalah ilmu kenegaraan atau tata Negara sebagai kata kolektif yang menunjukkan pemikiran yang bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan. Kata politik merupakan istilah yang sudah tidak asing lagi bagi sebagain besar anggota masyarakat. Semua anggota masyarakat dalam semua tingkatannya termasuk mereka yang tergolong sebagai lapisan atas maupun lapisan paling bawah sekali pun sebenarnya telah mengenal istilah politik, diantara mereka meraka mereka beranggapan bahwa politik adalah usaha menggerakkan anggota masyarakat untuk tujuan kebaikan: politik merupakan upaya mencari pengaruh; atau politik adalah sebagai memperjuangkan kepentingan Dll. Diantara para ahli ilmu politik terdapat pengertian terhadap istilah politic ini. Pertama, politik adalah usaha-usaha yang ditempuh warga Negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua, politik adalah segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan Negara dan pemerintahan. Ketiga, politik merupakan suatu kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Keempat, politik merupakan kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima, politk adalah konflik dalam rangka mencari dan mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting.
Politik Indonesia tahun 1990-an merupakan rejuvensi Aliran yang mana agama harus dilihat dari dua dimensi. Pertama, Agama sebagai sebuah keyakinan yang dianut oleh sekelompok orang baik secara individual maupun kelompok. Kedua, agama sebagai sebuah fenomena sosial. Seringkali orang tidak dapat membedakan kedua fenomena tersebut, bahkan tidak jarang mencampuradukkan satu sama lain. Agama sebuah keyakinan, akidah, kemudian diredusir sebagai sebuah gejala sosial. Basis pembentukan organisasi sosial dan politik pada masa pasca-kemerdekaan adalah orientasi dan perilaku keagamaan. Hal itu seperti yang digambarkan oleh Clifford Geertz dari hasil penelitiannya di Mojokerto, Jawa Timur, awal tahun 1950-an yang kemudian dikenal sebagai model Santri, Abangan dan Priyayi. Orang-orang abangan memilki orientasi politik ekonomi yang berbeda dengan orang-orang santri. Orang-orang abangan cendrung memilih untuk berpuihak kepada partai politik yang tradisional, sekuler dan nasionalistik. Smentara, orang-orang santri cendrung memilih untuk berpihak kepada partai-partai Islam. Partai-partai politik pada masa pasca-kemerdekaan memilki basis masa yang dimobilisasi lewat pembentukkan organisasi-organisasi pendukung yang meliputi semua sector: umur, profesi atau lapangan pekerjaan. Partai Nahdlatul Ulama (NU) memiliki organisasi seperti Pemuda Anshor, Muslimat NU, Fathayat, PMII, IPPNU, Pertanu, Lesbumi Dll. Terakhir tentu saja kita tidak dapat membicarakan Masyumi tanpa organisasi pendukungnnya, seperti: GPII, HMI, PII, Gasbiindo Dll.
Budaya politik Indonesia yang dapat dijadikan titik tolak untuk sebuah budaya yang dominan, yaitu kelompok etnis jawa. Etnis ini sangat mewarnai sikap, perilaku dan orientasi politik kalangan elit politik Indonesia. Bagi masyarakat jawa, kekuasaan itu pada dasarnya besrsifat konkret, besarannya constant, sumbernya homogeny dan tidak terkait dengan persoalan legitimasi. Karena kekuasann itu berasal dari sumber yang satu, maka sifatnya constant. Dan selim sumber kekuasaan itu tetap memberikan kekuasaan, maka kekuasaan seorang penguasa akan tetap legitimate dan tidak perlu dipersoalkan. Salah satu budaya politik yang menonjol diindonesia adalah kecendrungan pembentukkan pola-pola hubungan patronage, baik dikalangan penguasa maupun masyarakat, yang didasarkan atas patronage. Kecendrungan patronage ini dapat ditemukan secara meluas, baik dalam lingkungan birokrasi maupun dalam kalangan masyarakat. Presiden bisa menjadi patron bagi beberapa menteri. Menteri-menteri tersebut kemudian memfungsikan dirinya sebagai brooker atau middleman terhadap sejumlah menteri yang lain. Dan mentri-mentri inilah yang kemudian menjadi client yang sesungguhnya. Kemudian, para menteri itu juga menjadi middleman atau brooker dan membentuk client sendiri dengan para direktur Jendral, Sekretaris Jendral. Inspektorat Jendral dan demikian seterusnya, sampai ketingkat birokrasi dengan eselon yang lebih rendah.
Secara historis, memang perjalanan sistem pendidikan di Indonesia sudah cukup panjang. Sejak memasuki periode sejarahnya, masyarakat Nusantara telah mengenal sistem pendidikan keagamaan. Setelah kehadiran kaum kolonial, khususnya Belanda, pondok pesantren ikut dilibatkna dalam kancah politik. Dalam pandangan pemerintah kolonial Belanda, pondok pesantren merupakan “sarang pemberontakan”. Atas penilaian ini pula maka, sekitar tahun 1926, pondok pesantren sudah tidak lagi termuat dalam statistik pemerintah Hindia Belanda. Upaya untuk menutup peluang pengembangan institusi dan syitem pendidikan Islam di Nusantara, tampaknya terkait dengan kebijakan politik kolonial. Hal ini terbukti dari dikeluarkannya Undang-undang Sekolah Liar (Wilden Scholen Ordinantie), masing-masing tahun 1925 dan 1930. Institusi pendidikan yang memenuhi ketentuan undang-undang tersebut memperoleh subsidi dari pemerintah dan dianggap legal. Sedang yang tidak memenuhi ketentuan dimaksud dinilai sebagai sekolah liar, harus Dibubarkan
Untuk mengantisipasi kebijakan politik pendidikan pemerintah Hindia Belanda ini, maka sejumlah oraganisasi sosial keagamaan mulai “mengadopsi” sistem pendidkan Barat. Organisasi sosial keagamaan yang didirikan oleh golongan pedagang keturunan Arab bernama Jamiatul Khairiyyah, memelopori berdirinya sistem pendidikan Islam yang modern, yakni madrasah. Kemudian langkah ini diikuti oleh organisasi Islam lainnya seperti Muhammadiyah, Persis, Perserikatan Ulama, Al-Washliyah, Nahdlatul Ulama Dll. Sementara itu, diluar pengawasan pemerintah, sistem pendidikan pondok terus berlanjut. Eksistensi pondok pesantren terus dipertahankan sebagai pendidikan masyarakat, terutama dipedesaan. Hal ini antara lain disebabkan pendiri pondok pesantren umumnya adalah sosok pemimpin kharismatis yang disebut kiyai. Sketsa penyelengaraan pendidikan dinegara ini dapat dibagi menjadi enam periode perkembangan.
Periode pertama adalah periode awal atau periode prasejarah yang yang berlangsung hingga pertengahan tahun 1800-an. Pada periode ini penyelenggaran pendidikan ditanah air mengarah pada sosialisasi nilai-nilai agama dan pengembangan keterampilan hidup. Penyelenggaran pendidikan pada periode ini mengarah pada sosialisasi nilai-nilai agama dan pengembangan keterampilan hidup. Penyelenggaran pendidikan pada periode ini dikelola dan dikontrol oleh tokoh-tokoh agama. Mereka memilki otoritas penuh untuk meentukan apa yang harus dipelajari, siapa yang berhak mengajarkan, bagaimana dan dimana pembelajaran dilakukan dan siapa yang berhak dan tidak berhak atas program pendidikan tertentu. Kegiatan pendidikan menjadi bagian integral dari kegiatan keagamaan. Nilai-nilai agama menjadi acuan dasar penyelengaraan pendidikan dan kegiatan kependidikan menjadi sarana utama untuk memahami, mengamalkan dan menyebarluaskan nilai-nilai agama.
Periode kedua adalah periode kolonial Belanda yang berlangsung dari tahun 1800-an hingga tahun 1945. Pada periode ini penyelenggaran pendidikan ditanah air diwarnai oleh proses mederenisasi dan pergumulan antara aktivitas pendidikan kaum pribumi. Disatu pihak, pemerintah kolonial berusaha menempuh segala cara untuk memastikan bahwa berbagai kegiatan pendidikan tidak bertentangan dengan kepentingan kolonialisme. Kegiatan pendidikan diarahkan pada upaya mendeminasi nilai-nilai moderenisasi dan sekulerisasi dikalangan pribumi dan mencetak para pekerja yang dapat dieksploitasi untuk mendukung misi sosial, politik dan ekonomi pemerintah kolonial. Dipihak lain, para aktivis gerakan kemerdekaan, baik dari kalangan agama maupun dari kalangan sekuler, berusaha sekuat tenaga mendesain dan mengembangkan kegiatan pendidikan yang dapat membuka mata hati dan pikiran kaum pribumi terhadap berbagai bentuk penindasan dan diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial terhadap mereka sehingga memilki kesadaran dan keberanian untuk bangkit melawan penjajah dan menjadi bangsa yang merdeka serta berdaulat.
Periode ketiga adalah periode pendudukan Jepang yang berlangsung dari tahun 1942 hingga tahun 1945. Pada periode ini gerakan kemerdekaan sudah menyebar kesuluruh pelosok negeri dan telah menjadi kekuatan politik yang cukup kuat kehidupan masyarakat, termasuk bidang pendidikan. Berbagai kegiatan pendidikan pada periode ini diarahkan pada upaya mendiseminasi nilai-nilai dan semangat nasionalisme serta mengobarkan semangat kemerdekaan keseluruh lapisan masyarakat. Salah satu aspek penting perkembangan dunia pendidikan pada periode ini adalah dimulainya penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam lingkungan pendidikan formal. Kuatnya nilai-nilai Nasionalisme dalam berbagai aspek penyelengaraan pendidikan berhasil melahirkan aktivis-aktivis kemerdekaan dari kalangan pribumi dan membantu gerakan-gerakan sosial politik menjadi lebih terbuka. Pemerintah kolonial saat itu tidak berkeberatan dengan deklarasi Bahasa Indonesia. Pertama, kemerdekaan berbahasa Indonesia tidak mengancam stabilitas politik colonial saat itu. Dalam konteks kebangsaan Indonesia sekarang ini, kebebasan warga Negara untuk membina bahasa daerah tidak mengancam stabilitas bangsa. Pembinaan bahasa daerah mencakup anatara lain pemilihan bahasa daerah sebagai muatan lokal dalam kurukulum sekolah, pemakaian bahasa daerah sebagai medium pers. Kemerdekaan berbahasa, juga berarti kemerdekaan untuk mempelajari bahasa asing. Kedua, para pelopor pergerakan nasional kita sangat arif sewaktu menyepakati bahasa Indonesia/ melayu sebagai bahasa persatuan. Bahasalah yang paling fleksibel untuk berperan menyatukan suku, kelompok, etnik, dan berbagai aliran di Nusantara ini.
Periode keempat adalah periode Orde Lama yang berlangsung dari 1945 hingga tahun 1966. Pada periode ini kegiatan pendidikan ditanah air lebih mengarah pada pemantapan nilai-nilai nasionalisme, identitas bangsa dan pembangunan fondasi idiologis kehidupan berbangsa dan bernegara. Tujuan utama pendidikan pada periode ini adalah nation and character building dan kendali utama penyelenggaraan pendidikan nasional dipegang oleh tokoh-tokoh nasionalis. Mereka menguasai berbagai posisi penting diinstitusi pemerintah dan secara aktif dan sistematis menjadikan pendidikan sebagai bagian integral dari proses sosialisasi idiologi Negara dan penataan corak kehidupan berbangsa dan bernegara.
Periode kelima adalah periode orde baru yang berlangsung dari tahun 1967 hingga tahun 1998. Pada periode ini pendidikan menjadi instrument pelaksanaan program pembangunan diberbagai bidang, khusunya bidang pedagogi, kurikulum, organisasi dan evaluasi pendidikan diarahkan pada akselerasi pelaksanaan pembangunan. Karena sekularisasi menjadi salah satu strategi pembangunan nasional pada waktu itu, maka kegiatan pendidikan pada era ini banyak diwarnai oleh kebijakan-kebijakan yang mengarah pada sekularisasi pendidikan. Karena fokus utama pembangunan nasional pada era Orde Baru adalah pada bidang ekonomi, maka pelaksanaan kegiatan kependidikan pada era ini difungsikan sebagai instrument pembangunan ekonomi nasional. Strategi, fokus dan pendekatan pendidikan tersebut dijalankan dengan paradigma sentralisasi. Pada periode ini Mendiknas adalah penguasa tunggal dalam sistem pendidikan nasional. Pendidikan pada era ini ditandai oleh birokrasi yang ketat dan berbelit-belit serta penyeragaman sehingga menghasilkan “superficial”.
Periode keenam adalah periode reformasi yang dimulai pada tahun 1998, seiring dengan tumbagnnya pemerintahan Orde Baru. Pada periode ini semangat desentralisasi, demokratisasi dan globalisasi yang dibawa oleh gerakan reformasi menjalar kesemua sektor pembangunan, termasuk sektor pendidikan sehingga menjadi menu utama penataan sistem pendidikan nasional.
Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik disetiap Negara, baik Negara maju maupun Negara berkembang. Keduanya sering dilihat sebagai bagian-bagian yang terpisah, yang satu sama lain tidak memilki hubungan apa-apa. Padahal, keduanya bahu membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat disuatu Negara. Lebih dari itu, keduanya satu sama lain saling menunjang dan saling mengisi. Lembaga-lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politk masyarakat dinegara tersebut. Begitu juga sebaliknya, lembaga-lembaga dan proses politik disuatu Negara membawa dampak besar pada karakteristik pendidikan dinegara tersebut. Ada hubungan erat dan dinamis antara pendidikan dan politik disetiap Negara. Hubungan tersebut adalah realitas empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan peradaban manusia dan menjadi perhatian para ilmuan.
Proses politik mencakup banyak segi, salah satu diantaranya adalah proses perumusan dan pelaksanaan keputusan politik. Setiap kegiatan politik selalu berkaitan dengan bagaimana proses perumusan dan pelaksanaan keputusan politik. Kata lain dari keputusan politik adalah kebijakan politik sebagai wujud dari tindakan politik. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Nevil Johnson dan United Nations yang mengartikan kebijakan politik sebagai perwujudan dari tindakan politik.
Bila dalam konteks Negara, kegiatan politik didalamnya berkaitan dengan proses pembuatan atau perumusan serta implementasi keputusan politik yang bersifat publik. Keputusa politik suatu Negara merupakan suatu kebijakan publik dari Negara adalah peraturan pemerintah, keputusan menteri, keputusan presiden, undang-undang dll. Dalam proses pembuatan kebijakan publik, proses-proses politik sangat kental mewarnainya. Mulai dari permunculan issu, kemudian berkembang menjadi debat publik melalui media massa serta forum-forum terbatas, lalu ditangkap aspirasinya oleh partai politik untuk diartikulasikan dan dibahas dalam lembaga legislative, sehingga menjadi kebijakan publik. Bahkan terkadang, proses tersebut bila berlangsung lebih singkat. Misalnya diawali dari munculnya issu-issu, kemudian berkembang menjadi debat publik, lalu ditangkap aspirasinya oleh pemerintah yang dituangkan dalam sebuah peraturan pemerintah. Kesemua hal itu menandakan bahwa kebijakan-kebijakan publik terlahir melalui proses-proses politik antara beragam kepentingan yang tidak bias dipertemukan. Biasanya konflik-konflik tersebut akan reda dengan sendirinya manakala berbagai kepentingan yang ada telah terjadi titik temu.
Pada dasarnya Politik pendidikan Nasional merupakan suatu pendekatan, metode atau strategi untuk mempengaruhi pihak-pihak yang berkait langsung dan tidak langsung dengan pengambilan kebijakan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan Nasional. Dengan demikian dalam politik pendidikan nasional terdapat dua ranah yang besar; masing-masing adalah tujuan pendidikan nasional itu sendiri serta pendekatan, metode atau setrategi apa yang harus dimplementasi untuk mencapainya. Tujuan pendidikan nasional Indonesia adalah mengembangkan kecerdasan, kepribadian dan kemandirian anak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 UU Sisdiknas sbb: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis pendapat atau kritik dan saran Anda...
Terimakasih