Selasa, 19 Februari 2013

BANTUAN OPERASIONAL SEKOLAH (Sebuah Analisis dan Refleksi))


Tanpa di sadari yang namanya pendidikan itu memang mahal , jika melihat konteks bahwa pendidikan itu wajib bagi setiap orang semasa hidupnya, tidak hanya dibatasi senbilan tahun saja. Karena itu ,pihak terkait berusaha untuk menyalurkan dana pendidikan sedemikian rupa agar dengan tepat sasaran.
Subsidi pendidikan dialokasikan seharusnya tidak diperuntukan pada siswa sekolah terbatas saja, melainkan juga harus untuk kesejahteraan guru( atau bahkan orang tua / wali siswa ) . kita bias lihat guru pun bisa saja tidak mampu mencukupi kebutuhan primer sehari- harinya.
Subsidi pendidikan seharusnya diberikan kepada guru, kenapa kepada guru ? karena dengan ekonomis guru terbantukan , untuk tidak dikatakan terpenuhi maka setidaknya- tidaknya akan tumbuh semangat yang menyala untuk memotivasi siswa agar terus maju dan giat belajar dan bekerja. Selain kepada guru subsidi yang diberikan pemerintah itu kepada siswa yang berprestasi tanpa memandang tingkat status ekonominya yang layak diberikan award.
Pemerintah secara formal atau non formal , minimal sekali- kali meninjau,mengontrol, memonotoring kebijakan yang telah dilontarkannya itu jarak dekat agar peserta didik mampu belajar dengan bermotivasi untuk menjadi lebih baik.
Sehingga subsidi itu bisa diketahui apakah subsidi itu sudah di gunakan dengan semestinya atau tidak dalm sekolah yang memberikan dana subsidi itu dengan baik.
            Disekolah – sekolah dengan adanya kenaikan BOS atau dana BOS masyarakat sadar bahwa pemerintah telah memebrikan perhatian yang lebih baik yang seharusnya diberikan tanpa memandang bagaiman kemapuan ekonomi anak dalam pendidikan yang layak ia dapatkan.
Mendiknas juga wajib mensosialisasikan dan melaksanakan kebijakan BOS tahun 2009 ini memberikan sanksi terhadap pihak yang melakukan pelanggaran dan memenuhi kekeurangan biaya operasional dari APBD apabila BOS departeman pendidikan Nasional (DEPDIKNAS) yang belum mencukupi. Itu merupakan suatu kelemahan dalam memberikan subsidi yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah.
 Dalam subsidi ini dapat disimpulkan bahwa yang pantas mendapatkan subsidi adalah guru, siswa, wali siswa yang mana masyarakat lebih memahami bagaimana keperihatianan nya pemerintah yang memberikan bantuan yang baik. Dalam subsidi ini menggunakan TEORY ADVOKASI  yangmana ada nilai-nilai kebersamaan  dalam bersifat umum untuk pendidikan yang lebih utama. Dan pendekatannya menggunakan SOCIAL DEMAND APPROACH yanngmana memiliki tujuan untuk memberikan kebebasan terhadap hak nya dalam mencapai pendidikan.

Sabtu, 16 Februari 2013

24 JAM MINIATUR MASA DEPAN

            Bila kita terlalu penasaran pengen bayangin masa dpean, enggak usah repot-repot, tengoklah waktu 24 jam kita. Apa kita sudah maksimal manfaatinnya?.

Manfaatin maksimal buka berarti kita harus kaku dan tgang menyerahkan habis-habisan masa sekarang untuk masa depan. Tidak. Tak usahlah serius itu. Santai dan enjoy saja, yang paling tepat adalah variatif. Waktu hiburan ya hiburan, waktu belajar serius.
Jangan sangka saat just enjoy itu tidak manfaat, itu manfaat bangat. Sama manfaatnya dengan belajar juga. Seorang cucu Imam Khomaini, Pemimpin Revoluisi Iran almarhum, mengenang kakeknya yang dikenal sangat tegas dan disiplin itu. “kalau aku kelihatan tetap sibuk belajar padahal hari itu hari libur, Imam suka mengingatkan,kalau waktu libur kau jangan belajar, itu tak akan manfaat, waktu libur seharusnya kau bersenang-senang!”
Bayangkan, itu nasihat dari seorang kakek yang hidupnya penuh perjuangan dan amat serius. Selama belajar dikenal amat tekun mendalami ilmu agama, dan setelah jadi ulama besar berjuang keras melawan Shah Pahlevi penguasa waktu itu yang amat kejam dan lalim-didukung pula oleh Amerika. Tapi beliau tetap amat menghormati saat-saat just enjoy.

Minggu, 30 Desember 2012

Amtsal al-Qur’an Dalam Dinamika Perspektif

           Secara etimologi, kata amtsal (perumpamaan) adalah bentuk jamak dari matsal, mitsl dan matsil adalah sama dengan syabah, syibh, dan syabih,baik lafadz maupun maknanya. Sedangkan pengertian amtsal secara terminologi ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama, yaitu:
1.      Pengertian mitslu menurut ulama’ ahli ilmu adab adalah:
وَالْمِثْلُ فِي الْأَدَبِ قَوْلٌ مُحْكِيٌّ سَائِرٌ يُقْصَدُ بِهِ تَشْبِيْهُ حَالِ الَّذِي حُكِىَ فِيْهِ بِحَالِ الَّذِي قِيْلَ لِأَجْلِهِ.
Mitslu dalam ilmu adab adalah ucapan yang disebutkan untuk menggambarkan ungkapan lain yang dimaksudkan untuk menyamakan atau menyerupakan keadaan sesuatu yang diceritakan dengan keadaan sesuatu yang dituju.

Maksudnya dari hal di atas adalah menyerupakan perkara yang disebutkan dengan asal ceritanya. Maka amtsal menurut definisi ini harus ada asal ceritanya. Contohnya pada ucapan orang arab رُبَّ رَمِيَّةٍ مِنْ غَيْرِ رَامٍ  (banyak panahan dengan tanpa ada orang yang memanah). Maksudnya adalah banyak musibah yang terjadi karena salah langkah. Kesamaannya adalah terjadinya sesuatu dengan tanpa ada kesengajaan.
2.      Pengertian mitslu menurut ulama’ ahli ilmu bayan adalah:
الْمَجَازُ الْمُرَكَّبُ الَّذِي تَكُوْنُ عَلَاقَتُهُ الْمُشَابِهَةُ مَتَى فَشَا إِسْتِعْمَالُهُ
Yaitu majas/kiasan yang majemuk yang mana keterkaitan antara yang disamakan dengan asalnya adalah penyerupaan.

Maka bentuk amtsal menurut definisi ini adalah bentuk isti’aarah tamtsiiliyyah, yakni kiasan yang menyerupakan. Seperti
وَمَا الْمَالُ وَالْأَهْلُوْنَ إِلِّا وَدَائِعُ ◊ وَلَا بُدَّ يَوْمًا أَنْ تُرَدَّ الْوَدَائِعُ
Tiadalah harta dan keluarga melainkan bagaikan titipan; pada suatu hari titipan itu pasti akan dikembalikan.
Dalam syair tersebut, tampak jelas penyair menyerupakan harta dan keluarga dengan benda titipan yang dititipkan oleh seseorang kepada kita, yang sama-sama bisa diambil sewaktu-waktu oleh orang yang menitipkannya.
3.      Sebagian ulama’ ada juga yang menyatakan pengertian mitslu adalah:
إِنَّهُ إِبْرَازُ الْمَعْنَى فِي صُوْرَةٍ حِسِّيَةٍ تَكْسِبُهُ رَوْعَةً وَ جَمَالًا
Mengungkapkan suatu makna yang abstrak dalam bentuk sesuatu yang konkret yang elok dan indah.

Contohnya seperti ungkapan الْعِلْمُ نُوْرٌ  (ilmu itu seperti cahaya). Dalam hal ini adalah menyamakan ilmu yang bersifat abstrak dengan cahaya yang konkret, yang bisa diindera oleh penglihatan. Amtsal menurut definisi ini tidak disyaratkan adanya asal cerita juga tidak harus adanya majaz murakkab.
Melihat dari pengertian-pengertian mitslu di atas, maka amtsal al-Qur’an setidaknya berupa penyamaaan keadaan suatu hal dengan keadaan hal yang lain. Penyerupaan tersebut baik dengan cara isti’arah (menyamakan tanpa menggunakan adat tasybih), tasybih sharih (menyamakan yang jelas dengan adanya adat tasybih), ayat-ayat yang menunjukkan makna yang indah dan singkat, atau ayat-ayat yang digunakan untuk menyamakan dengan hal lain. Karena itulah, kesimpulan akhir dalam mendefinisikan amtsal al-Qur’an adalah:
إبْرَازُ الْمَعْنَى فِي صُوْرَةٍ رَائِعَةٍ مُوْجِزَةٍ لَهَا وَقَعُهَا فِي الْنَّفْسِ سَوَاءٌ كَانَتْ تَشْبِيْهًا أَوْ قَوْلًا مُرْسَلً
Menampakkan pengertian yang abstrak dalam bentuk yang indah dan singkat yang mengena dalam jiwa baik dalam bentuk tasybih maupun majaz mursal (ungkapan bebas). Definisi inilah yang relevan dengan yang terdapat dalam al-Qur’an, karena mencakup semua macam amtsal al-Qur’an.

Dari beberapa pengertian di atas amtsal dalam Qur’an yaitu, menonjolkan makna dalam bentuk (perkataan) yang menarik dan dapat di pahami secara akal serta mempunyai pengaruh mendalam terhadap jiwa.

Sabtu, 08 Desember 2012

Titik Temu Antara Pemikiran dan Peradaban Islam dan Barat Merajut Pendidikan Islam Rahmatan Lil Alamin



Sebagaimana kita maklumi bersama, Barat dan Islam merupakan dua peradaban besar dan penting yang eksis di muka bumi saat ini, dengan memiliki karakter dan ciri khas tersendiri. Dalam perspektif sejarah, dua peradaban ini telah melakukan interaksi yang panjang dalam situasi pahit dan manis selama sekian abad. Hubungan keduanya banyak diwarnai oleh proses saling belajar, saling memberi, dan saling menerima, di samping itu antara keduanya juga pernah terjadi ketidak harmonisan, konflik, dan benturan.
Dalam konteks tersebut di atas, untuk menata masa depan dunia yang damai, adil dan makmur, maka sudah seyogianya jika Barat dan Islam belajar dari sejarah masa lalu yang panjang, mengevaluasi kondisi maupun konflik masa lalu, sehingga kita bersama mampu mengambil hikmah yang positif dalam rangka membangun masa depan untuk kemanusiaan yang lebih gemilang. Untuk itu dituntut adanya sikap saling menerima dan menghargai perbedaan masing-masing.
Barat yang kini mendominasi kepemimpinan dunia, sudah selayaknya memberikan keteladanan yang tinggi bagi peradaban-peradaban lain, dalam misi bersama mewujudkan kehidupan umat manusia yang damai, adil dan makmur. Sebaliknya, dunia Islam juga harus mampu dan mau belajar dari berbagai aspek positif peradaban Barat, tanpa meninggalkan nilai-nilai asasi dalam Islam. Malahan jika Barat secara jujur mengakui sumbangan besar dunia. Islam terhadap peradaban Barat di masa lalu, niscaya sikap saling pengertian dan saling menghargai antar-peradaban akan lebih mudah dibangun (Muhammad M. Basyuni: 2010).
Untuk mengatasi konflik tersebut, perlu adanya saling pengertian dan sikap toleransi yang harus diinternalisasikan pada masing-masing pihak. Dialog budaya antara Islam dan Barat menjadi peredam bagi benturan antarbudaya. Jika hal itu terabaikan, masa depan dunia bisa dipastikan akan semakin suram dan hanya akan mempercepat masa “kiamat”. Perdamaian harus menjadi harga mati yang tidak boleh ditawar lagi.
Dalam kitab suci Al Quran yang menjadi pedoman hidup umat Islam di seluruh dunia, Allah SWT menegaskan, sekiranya Allah menghendaki seluruh manusia bisa dijadikan satu umat saja, tetapi Allah ingin menguji manusia dengan segala pemberianNya, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan (QS Al-Maidah [5]: 48). Allah menjadikan umat manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling mengenal satu sama lain (QS Al Hujurat [49]: 12)
Di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di dunia ini, perlunya mengimplementasikan kembali bahwa kemajemukan merupakan kenyataan yang tidak dapat ditolak. Saling menghormati perbedaan baik itu diranah bangsa, agama, suku, ras, dan budaya adalah langkah kongkrit yang patut dijadikan sebuah pandangan hidup, cita-cita, dan sebagai dasar pijak dalam mengarungi bahtera kehidupan di dunia.
Manivestasi pendidikan agama Islam yang dinamis, salah satunya berpijak pada penyebaran kasih sayang. Berawal dari kasih sayang, umat Islam diharapkan lebih erat dalam merajut hubungan interaksi dan berdialog antar sesama manusia tanpa memandang perbedaan bangsa, ras, suku dan agama. Pendidikan Agama Islam sudah menjadi semestinya untuk mampu mengerakan dan digerakan oleh pemeluknya. Lebih dari itu pendidikan agama Islam, perlu memberi ruang dialog dengan tradisi dan budaya, serta mampu merespon tantangan lokal dan global. Demi menjaga bergairahnya pendidikan agama Islam ditengah-tengah umat manusia, maka pemaknaan dan penafsiran teks-teks suci keagamaan menjadi sesuatu yang mesti terus berlangsung dan tidak boleh mandeg. Terlebih, adanya fenomena klaim kebenaran yang selalu muncul dalam wilayah heterogenitas, semestinya terus terbungkus dalam satu kerangka yang sama yaitu menegakan kedamaian, kenyamanan dan keharmonisan antar sesama mahluk. Bukan pula memperuncing perbedaan. Langkah ini sangat urgen digalakan oleh semua pihak, agar tidak menimbulkan saling curiga dan mencurigai.

Minggu, 18 November 2012

Pendidikan dan Sikap Kelompok



Dalam banyak kasus, hubungan kekuasaan antar berbagai kelompok masyarakat banyak dipengaruhi oleh kesempatan belajar dan intensitas respons mereka terhadap pendidikan Barat. Ketika Indonesia baru merdeka, partai-partai politik dan lembaga-lembaga kenegaraan banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh sekuler berpendidikan Barat yang tergabung dalam organisasi-organisasi nasionalis, seperti Boedi Oetomo dan Partai Nasionalis Indonesia (PNI).
Kelompok masyarakat yang merasa tertekan dan menjadi korban imperialisme budaya cendrung menginginkan sistem pendidikan terpisah, dalam rangka melindungi identitas kelompok mereka. Inilah yang terjadi pada sistem pendidikan Islam tradisional di Indonesia, khususnya pesantren. Di bawah tekanan kelompok-kelompok bahasa dan agama minoritas, beberapa pemerintah memenuhi tuntutan mereka, sementara yang lainnya memaksakan penyeragaman sistem pendidikan, dengan harapan dapat mengeliminasi bahaya laten perpecahan sosial. Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memberi peluang keberbagai kelompok etnis dan keagamaan untuk mengembangkan pendidikan tersendiri sehingga lahirlah sekolah Arab, Sekolah Cina, Sekolah Kristen, Sekolah Islam, Sekolah Budha, dan Sekolah Hindu.
Bertahan atau tidaknya sistem pendidikan tunggal dalam masyarakat pluralis umumnya tergantung pada dua hal, yakni sistem tersebut memberi kesempatan yang sama (equality of opportunity) pada semua kelompok masyarakat, dan generasi muda mengalami bahwa belajar bersama dapat mencairkan perbedaan-perbedaan sosial mereka (Abernethy dan Coombe, 1965: 290). Di negara-negara berkembang, banyak pemimpin yang berasal dari sekolah yang sama. Meskipun mereka berbeda dalam hal asal daerah, agama, dan suku. Akbar Tanjung yang berasal dari Sibolga, misalnya, ternyata berasal dari SMP yang sama dengan Megawati yang dibesarkan di Jakarta, yaitu SMP Cikini.
Hal ini tidak mungkin terjadi jika tidak ada equality of opportunity dalam sistem pendidikan nasional. Kesempatan yang sama telah memungkinkan anak-anak negeri yang memiliki latar belakang sosial budaya berbeda-beda untuk belajar bersama dan mencairkan perbedaan-perbedaan sosial dan ekonomi di antara mereka.