Selasa, 14 Agustus 2012

MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK SOSIAL


         Ada  pernyataan yang mengungkapkan bahwa “manusia baru dapat dikatakan sebagi manusia yang sebenarnya, bila ia ada dalam masyarakat”. Telah menjadi penghayatan kita bersama bahwa bayi sejak lahir sampai usia tertentu merupakan individu yang tidak berdaya. Tanpa bantuan orang disekitarnya ia tidak dapat berbuat apa-apa. Segala kebutuhan hidup bayi sangat bergantung kepada pihak lain. Terutama kepada orang tuanya, lebih khusus lagi kepada ibunya. Bagi si bayi keluarga merupakan segi tiga abadi (ayah, ibu, anak) menjadi kelompok sosial pertama dan terutama yang dikenalnya.
            Pada perjalanan hidup selanjutnya dari masa balita, anak sekolah, remaja, sampai dewasa, keluarga tetap menjadi “kelompok pertama” (primery group) tempat meletakkan dasar kepribadian. Dalam keluarga, terjadi proses sosialisasi yaitu proses pengintegrasian individu kedalam kelompok sebagai anggota kelompok yang memberikan landasan sebagai makhluk sosial. Didalam keluarga itu terjadi proses pendidikan dalam arti proses “pendewasaan” dari individu yang tidak berdaya kepada calon pribadi yang mengenal pengetahuan dasar, norma sosial, nilai-nilai, dan etika pergaulan. Oleh karena itu, keluarga ini juga merupakan “Lembaga Perpustakaan” bagi individu yang membantunya kedalam suasana yang makin mandiri. Keluarga sebagai kelompok inti  dalam masyarakat, sangat besar maknanya bagi tiap individu untuk menjadi makhluk sosial yang integrative sadar sosial (Sumaatmadja, 2000: 31).
Adanya dimensi kesosialan pada diri manusia tampak lebih jelas pada dorongan untuk bergaul. Dengan adanya dorongan untuk bergaul, setiap orang ingin bertemu dengan sesamanya. Immanuel Kant seorang filosof tersohor bangsa Jerman manyatakan: Manusia hanya menjadi manusia jika berada di antara manusia. Orang hanya dapat mengembangkan individualitasnya di dalam pergaulan sosial. Seseorang dapat mengembangkan kegemarannya, sikapnya, cita-citanya didalam interaksi dengan sesamanya. Seseorang berkesempatan untuk belajar dari orang lain, mengidentifikasi sifat-sifat yang dikagumi dari orang lain untuk dimilikinya, serta menolak sifat-sifat yang tidak dicocokinya.
Dalam masyarakat terdapat berbagai jenis kelompok, baik berdasarkan mata pencaharian, letak geografis, warna kulit atau asal keturunan, dan lain-lain. Namun perbedaan-perbedaan tersebut bukan penghalang untuk mengenal orang dari kelompok sosial lain. Perbedaan sosial bukanlah sesuatu yang penting dalam agama Islam. Manusia harus bersikap adil. Allah hanya melihat derajat manusia dari ketakwaannya. Sebagai makhluk sosial, manusia harus berinteraksi dengan berbagai pihak.
Interaksi sosial akan menjadi lebih harmonis jika manusia saling mengenal karakteristik pihak lain. Dengan pemahaman ini manusia dapat  meramalkan bagaimana orang lain berfikir, merasakan dan berperilaku. Kemampuan untuk memahami karakteristik sosial ini dikenal dengan kognisi sosial, yang mencakup cara berfikir sesorang tentang diri sendiri dan orang lain. Hanya di dalam berinteraksi dengan sesamanya, dalam saling menerima dan memberi, seseorang memberi dan menghayati kemanusiaannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis pendapat atau kritik dan saran Anda...
Terimakasih