Pendidikan dan
politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik disetiap negara,
baik negara maju maupun negara berkembang. Keduanya sering dilihat sebagai
bagian-bagian yang terpisah, yang satu sama lain tidak memiliki hubungan apa-apa.
Padahal keduanya bahu-membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat
di suatu negara. Lebih dari itu, kedunaya satu sama lain saling menunjang dan
saling mengisi. Lembaga-lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam
membentuk perilaku politik masyarakat di negara tersebut. Begitu juga
sebaliknya, lembaga-lembaga dan proses politik di sautu negara membawa dampak
besar pada karakteristik pendidikan, dinegara tersebut. Ada hubungan erat dan
dinamis antara pendidikan dan politik di setiap negara. Hubungan tersebut
adalah realitas empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan peradaban
manusia dan menjadi perhatian para ilmuan.
Di dunia
Islam,keterkaitan antara pendidikan dan politik terlihat jelas. Sejarah
peradaban Islam banyak ditandai oleh kesungguhan para ulama dan umara dalam
memperhatikan persoalan pendidikan dalam memperkuat posisi sosial politik
kelompok dan pengikutnya. Dalam analisis tentang pendidikan pada masa Islam
klasik, Rasyid (1994) menyimpukan bahwa dalam sejarah perkembangan Islam,
institusi politik ikut mewarnai corak pendidikan yang dikembangkan.
Keterlibatan para penguasa dalam kegiatan pendidikan pada waktu itu, menurut
Rasyid, tidak hanya sebatas dukungan moral kepada para peserta didik, melainkan
juga dalam bidang administrasi, keungan, dan kurikulum (1994: 3). Dia menulis
sebagai berikut. Tidak dapat dipungkiri bahwa lembaga pendidikan merupakan salah
satu konstalasi politik. Peranan yang dimainkan oleh masjid-masjid dan
madrasah-madrasah dalam mengokohkan kekuasaan politik para penguasa dapat
dilihat dalam sejarah. Di lain pihak, ketergantungan pada aluran tangan para
penguasa secara ekonomis, membuat lembaga-lembaga tersebut harus sejalan dengan
nuansa politik yang berlaku (Rasyid, 1994: 6)
Diantara pendidikan Islam yang menjadi corong pesan-pesan politik,
menurut Rasyid (1994: 6), adalah madrasah Nizhamiyah di Baghdad. Dia menyimpulkan dari analisis terhadap kasus madrasah Nizhamiyah sebagai
berikut. Kedudukan politik dalam Islam sama pentingnya dalam pendidikan.
Tanpa otoritas politik, syariat Islam sulit bahkan mustahil untuk ditegakkan.
Kekuasaan adalah sarana untuk mempertahankan syariat Islam. Pendidikan bergerak
dalam usaha menyadarkan umat untuk menjalankan syariat. Umat tidak akan
mengerti syariat tanpa pendidikan. Bila politik (kekuasaan) berusaha mengayomi
dari atas, maka pendidikan melakukan pembenahan lewat arus bawah (Rasyid, 1994:
15)
Pendidikan Islam,
secara sederhana dapat diartikan sebagai “proses pembimbingan, pembelajaran dan
atau pelatihan terhadap manusia (anak generasi muda) agar nantinya menjadi
orang Islam, yang berkehidupan serta mampu melaksanakan peranan dan tugas-tugas
hidup sebagai “muslim”, yang jika di Indonesiakan menjadi orang muslim atau
orang Islam”.
Kutipan diatas menegaskan bahwa
hubungan antara politik dan pendidikan di dalam Islam tampak demikian erat.
Perkembangan kegiatan pendidikan-pendidikan banyak dipengaru oleh para penguasa
dan para penguasa memberikan dukungan institusi-institusi pendidikan untuk
membenarkan dan mempertahankan kekuasaan mereka. Hal ini dapat dipahami, karena
tujuan pemerintah Islam, menurut Abdul Gaffar Aziz (1993: 95), adalah
“menegakan kebenaran dan keadilan. Tujuan itu tidak mungkin tercapai kecuali
dengan melaksanakan syariat. Syariat tidak akan berjalan bila umat tidak memahami
ajaran Islam”.Islam merupakan ajar an yang Rabbani, datang dari
Allah SWT. Islam bukanlah ajaran produk pikiran manusia dan bukan produk
lingkungan atau masa tertentu, melainkan petunjuk yang diberikan kepada manusia
sebagai karunia dan rahmat (kasih sayang) dari Allah SWT. Penyebutan ketiga
sumber hukum yaitu Alquran, Sunnah dan Ijtihad secara berurutan menunjukkan
tingkat kedudukan dan jenjang pengaplikasiannya, yakni apabila ditemukan suatu
masalah yang memerlukan pemecahan, maka pertama cari dalam Alqur’an; jika tidak
ditemukan dalam Alqur’an maka cari dalam As-sunah dan terakhir jika tidak ada maka
dicari dengan ijtihad, baik melalui musyawarah untuk mendapatkan ijma
(kesepakatan umum) maupun melalui Qiyas (penganalogian).
Selain karena faktor religius bahwa
agama Islam sangat menunjang aktivitas kependidikan, perhatian besar para
pemimpin Islam terhadap masalah pendidikan didorong oleh besarnya peran lembaga
pendidikan-pendidikan dalam penyampaian misi-misi politik. Pendidikan sering
dijadikan media dan wadah untuk menanamkan idiologi negara atau tulang yang
menopang kerangka politik. Sjalabi mencatat bahwa Khalifah al-Makmun
memolitisasi majelis munazharah di istananya dalam rangka menyebarkan paham
mu’tazilah yang merupakan mazhab resmi negara waktu itu. Puncak dari tindakan
al-Makmum, menurut Sjalabi, adalah peristiwa inquisisi, yaitu penyelidikan atau
interogasi (almihna) terhadap para ulama dan pejabat penting. Kepada mereka ditanyakan apakah Alquran itu kadim atau hadis (dikutip dalam
Rasyid, 1994:16). Melalui inquisisi para ulama, pilar penopang lembaga
pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan secara tidak langsung dipaksa
paham Mu’tazilah, idiologi resmi penguasa.
Pendidikan Islam tidak hanya berjasa menghasilkan para pejuang yang
militan dalam memperluas peta politik, tetapi juga para ulama yang berhasil
membangun masyarakat yang sadar hukum. Seiring dengan perluasan peta politik
dan pertambahan pemeluk Islam, juga terjadi perkembangan lembaga (institusi)
pendidikan dalam jumlah maupun varietasnya. Didalam sejarah Islam tercatat
bahwa pusat pendidikan Islam yang pertama kali muncul adalah rumah Arqam ib Abi
Arqam, yakni ketika nabi masih berada di Makkah
(Rasyid, 1994: 24). Selanjutnya pada masa Bani Umayah, lembaga-lembaga
pendidikan Islam tersebut sudah lebih variatif dengan lahirnya Kuttab
dan dijadikan rumah-rumah pembesar kerajaan sebagai tempat belajar.
Para penguasa Islam, Rasyid (1994:33) menyimpulkan, senantiasa
terlibat langsung dalam persoalan pendidikan. Menurutnya ada dua alasan utama
mengapa para penguasa Muslim sangat peduli dengan pendidikan. Pertama, karena
Islam adalah agama totaliter jam’I, mencakup semua aspek kehidupan
seseorang Muslim mulai dari makan dan minum, tata cara berumah tangga, urusan
sosial kemasyarakatan, sampai kepada ibadat semuanya diatur oleh syariat. Untuk
bagaimana mengetahui bagaimana hidup yang Islami, seorang Muslim mesti terlibat
dengan kegiatan pendidikan. Kedua, karena motivasi politik, sebab
didalam Islam antara politik dan agama sulit untuk dipisahkan. Para penguasa muslim sering menjadikan sebagai alat untuk menanamkan paham-paham
keagamaan. Inilah yang dilakukan Dinasti Buwaih, Fatimiyah, dan Khalifah
al-Maknun. Dengan kekuasaan mereka menanamkan idiologi negara dengan tujuan
lahirnya kesamaan ide antara penguasa dan masyarakat umum sehingga memudahkan
pengaturan masalah-masalah kenegaraan.
Dinegara-negara Barat, kajian hubungan antara pendidikan dan
politik dimulai oleh plato dalam bukunya Republic. Walaupun utamanya membahas berbagai persoalan kenegaraan, buku
tersebut juga membahas hubungan antara idiologi dan institusi negara dengan
tujuan dan metode pendidikan. Berikut ini adalah kesan mendalam Allan Bloom
(1987:380) tentang Republic:
For me [Republic is]the book on education, because it really
enplains to me what I experience as a man and a teacher, and I have almost
always used it to point out what we should not hope for, as a teaching of
moderation and resignation.
Plato mendemonstrasikan dalam buku tersebut bahwa dalam budaya
Helenik, sekolah adalah salah satu aspek kehidupan yang terkait dengan
lembaga-lembaga politik. Ia menjelaskan bahwa setiap budaya mempertahankan
kontrol atas pendidikan di tengah kelompok-kelompok elit yang secara terus
menerus menguasai kekuasaan politik, ekonomi, agama, dan pendidikan. Plato
menggambarkan adanya hubungan dinamis antara aktivitas kependidikan dan
aktivitas politik. Keduanya seakan dua sisi dari satu koin, tidak mungkin
terpisahkan. Walaupun sangat umum dan singkat, analisis Plato tersebut telah
meletakkan fundamental bagi kajian hubungan politik dan pendidikan dikalangan
generasi ilmuan generasi berikutnya.
Dalam ungkapan Abernethy dan Coombe (1965: 287), educational and
politics are inextricably linked (pendidikan dan politik terkait tanpa bisa
dipisahkan). Menurut mereka (1965:289), hubungan timbal balik antara pendidikan
dan politik dapat terjadi melalui tiga aspek, yaitu sikap pembentukan sikap
kelompok (group attitudes), masalah pengangguran (unemployment),
dan peranan politik kaum cendekia (the political role of the intelligentsia).
Kesempatan dan prestasi pendidikan pada suatu kelompok masyarakat, menurut
mereka, dapat memengaruhi akses kelompok tersebut dalam bidang sosial, politik,
dan ekonomi. Perbedaan signifikan antarberbagai kelomp[ok masyarakat yang
disebabkan oleh perbedaan pendidikan dapat dilihat pada distribusi kekuasaan
politik dan ekonomi dan kesempatan kerja, khususnya pada sektor pelayanan
publik. Dinegara-negara pascakolonial, kelompok masyarakat yang dapat priviles
pendidikan lebih mampu melakukan konsolidasi kekuatan, lalu muncul menjadi
kelompok penguasa yang menguasai partai-partai politik dan sektor pelayanan
publik. Previlese atau diskriminasi pendidikan bisa terjadi karena
alasan-alasan budaya atau agama.
Diskriminasi seperti ini sangat nyata dalam kebijakan pendidikan
pemerintah kolonial Belanda di Indonesia. Penulis mencatat beberapa karakteristik kebijakan pemerintah
kolonial Belanda: kolonialistik, intelektualistik, heterogen, diskriminatif,
dan self-serving, diarahkan semata-mata untuk kepentingan kolonialisme.
Kebijakan tersebut berdampak pada kehidupan masyarakat pada waktu itu, yaitu
(1) menimbulkan konflik keagamaan antara kelompok Muslim dan kelompok
non-Muslim; (2) menciptakan divisi sosial dan kesenjangan budaya antara
kelompok minoritas angkatan muda Indonesia yang berasal dari kelas menengah
keatas dan kelompok angkatan muda Indonesia yang berasal dari keluarga biasa;
(3) menciptakan polarisasi sosial tanpa memedulikan kemampuan kerja mereka; dan
(4) menghambat perkembangan kaum pribumi (Sirozi, 1998: 17-29). Pada masa awal
kemerdekaan, kaum nasionalis dapat menguasai birokrasi dan sektor-sektor
strategis.