Sabtu, 20 April 2013

AMTSA AL-QUR'AN



BAB I
PENDAHULUAN

Salah satu aspek keindahan retorika al-Qur’an adalah amtsal (perumpamaan-perumpamaan)-Nya. Al-Qur’an merupakan kitab suci yang sempurna yang mengandung semua hal dalam kehidupan manusia, baik kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat. Sebuah kata yang indah akan tampak lebih indah jika penggunaan kata tersebut menggunakan permitsalan, karena dengan permitsalan seseorang dapat mudah untuk memahami arti makna kalimat tersebut.
Dalam Al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang menceritakan hal-hal yang samar dan abstrak. Manusia tidak mampu mencernanya jika hanya mengandalkan akalnya saja. Sehingga sering kali ayat-ayat tersebut diperumpamakan dengan hal-hal yang konkret agar manusia mampu memahaminya. Untuk memahami itu semua, maka perlu adanya ilmu yang menjelaskan tentang perumpamaan dalam Al-Qur’an agar manusia mampu mengambil pelajaran dengan perumpamaan-perumpamaan tersebut.
Rasulullah Saw. pun pernah bersabda tentang kedudukan amtsal dalam Al-Qur’an, Rasulullah Saw. bersabda dalam hadits riwayat Abu Hurairah:
إنَّ الْقُرْأَنَ نَزَلَ عَلَى خَمْسَةِ أَوْجُهٍ حَلَالٍ وَ حَرَامٍ وَ مُحْكَمٍ وَ مُتَشَابِهٍ وَ أَمْثَالٍ فَاعْلَمُوْا بِالْحَلَالِ وَاجْتَنِبُوْا الْحَرَامَ وَاتَّبِعُوْا الْمُحْكَمَ وَأَمِنُوْا بِالْمُتَشَابِهِ وَاعْتَبِرُوْا بِالْأَمْثَالِ
Sesungguhnya Al-Qur’an turun dengan menggunakan lima sisi: halal, haram, muhkam, mutasyabih dan amtsal. Kerjakanlah kehalalannya; tinggalkanlah keharamannya; ikutilah muhkamnya; imanilah mutasyabihnya; dan ambillah pelajaran dari amtsalnya.
Oleh karena itu pada kesempatan kali ini saya akan mencoba membahas tentang amtsal al-Qur’an pada makalah ini yang meliputi pengertian, unsur-unsur, macam-macam dan manfaat atau tujuan amtsal al-Qur’an.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Amtsal al-Qur’an
Secara etimologi, kata amtsal (perumpamaan) adalah bentuk jamak dari matsal, mitsl dan matsil adalah sama dengan syabah, syibh, dan syabih,baik lafadz maupun maknanya. Sedangkan pengertian amtsal secara terminologi ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama, yaitu:
1.      Pengertian mitslu menurut ulama’ ahli ilmu adab adalah:
وَالْمِثْلُ فِي الْأَدَبِ قَوْلٌ مُحْكِيٌّ سَائِرٌ يُقْصَدُ بِهِ تَشْبِيْهُ حَالِ الَّذِي حُكِىَ فِيْهِ بِحَالِ الَّذِي قِيْلَ لِأَجْلِهِ.
Mitslu dalam ilmu adab adalah ucapan yang disebutkan untuk menggambarkan ungkapan lain yang dimaksudkan untuk menyamakan atau menyerupakan keadaan sesuatu yang diceritakan dengan keadaan sesuatu yang dituju.

Maksudnya dari hal di atas adalah menyerupakan perkara yang disebutkan dengan asal ceritanya. Maka amtsal menurut definisi ini harus ada asal ceritanya. Contohnya pada ucapan orang arab رُبَّ رَمِيَّةٍ مِنْ غَيْرِ رَامٍ  (banyak panahan dengan tanpa ada orang yang memanah). Maksudnya adalah banyak musibah yang terjadi karena salah langkah. Kesamaannya adalah terjadinya sesuatu dengan tanpa ada kesengajaan.
2.      Pengertian mitslu menurut ulama’ ahli ilmu bayan adalah:
الْمَجَازُ الْمُرَكَّبُ الَّذِي تَكُوْنُ عَلَاقَتُهُ الْمُشَابِهَةُ مَتَى فَشَا إِسْتِعْمَالُهُ
Yaitu majas/kiasan yang majemuk yang mana keterkaitan antara yang disamakan dengan asalnya adalah penyerupaan.

Maka bentuk amtsal menurut definisi ini adalah bentuk isti’aarah tamtsiiliyyah, yakni kiasan yang menyerupakan. Seperti
وَمَا الْمَالُ وَالْأَهْلُوْنَ إِلِّا وَدَائِعُ ◊ وَلَا بُدَّ يَوْمًا أَنْ تُرَدَّ الْوَدَائِعُ
Tiadalah harta dan keluarga melainkan bagaikan titipan; pada suatu hari titipan itu pasti akan dikembalikan.
Dalam syair tersebut, tampak jelas penyair menyerupakan harta dan keluarga dengan benda titipan yang dititipkan oleh seseorang kepada kita, yang sama-sama bisa diambil sewaktu-waktu oleh orang yang menitipkannya.
3.      Sebagian ulama’ ada juga yang menyatakan pengertian mitslu adalah:
إِنَّهُ إِبْرَازُ الْمَعْنَى فِي صُوْرَةٍ حِسِّيَةٍ تَكْسِبُهُ رَوْعَةً وَ جَمَالًا
Mengungkapkan suatu makna yang abstrak dalam bentuk sesuatu yang konkret yang elok dan indah.

Contohnya seperti ungkapan الْعِلْمُ نُوْرٌ  (ilmu itu seperti cahaya). Dalam hal ini adalah menyamakan ilmu yang bersifat abstrak dengan cahaya yang konkret, yang bisa diindera oleh penglihatan. Amtsal menurut definisi ini tidak disyaratkan adanya asal cerita juga tidak harus adanya majaz murakkab.
Melihat dari pengertian-pengertian mitslu di atas, maka amtsal al-Qur’an setidaknya berupa penyamaaan keadaan suatu hal dengan keadaan hal yang lain. Penyerupaan tersebut baik dengan cara isti’arah (menyamakan tanpa menggunakan adat tasybih), tasybih sharih (menyamakan yang jelas dengan adanya adat tasybih), ayat-ayat yang menunjukkan makna yang indah dan singkat, atau ayat-ayat yang digunakan untuk menyamakan dengan hal lain. Karena itulah, kesimpulan akhir dalam mendefinisikan amtsal al-Qur’an adalah:
إبْرَازُ الْمَعْنَى فِي صُوْرَةٍ رَائِعَةٍ مُوْجِزَةٍ لَهَا وَقَعُهَا فِي الْنَّفْسِ سَوَاءٌ كَانَتْ تَشْبِيْهًا أَوْ قَوْلًا مُرْسَلً
Menampakkan pengertian yang abstrak dalam bentuk yang indah dan singkat yang mengena dalam jiwa baik dalam bentuk tasybih maupun majaz mursal (ungkapan bebas). 
Definisi di atas relevan dengan yang terdapat dalam al-Qur’an, karena mencakup semua macam amtsal al-Qur’an.

Perumpamaan yang dihadirkan al-Qur’an adalah mengilustrasikan fenomena alam, karakter manusia, tingkah laku, status, amalan, siksa, pahala idiologi umat manusia selama hidup di dunia. Oleh karena itu al-Qur’an memuat segala macam perumpamaan dari berbagai visi. Semua ini adalah untuk kepentingan umat manusia agar mereka menyadari kalau kebenaran yang hakiki hanyalah datang dari sisi-Nya dan oleh karena itu pengertian amtsal dalam Qur’an di atas yaitu, menonjolkan makna dalam bentuk (perkataan) yang menarik dan dapat di pahami secara akal serta mempunyai pengaruh mendalam terhadap jiwa.
B.     Unsur-unsur Amtsal al-Qur’an
Sebagian ulama mengatakan bahwa amtsal memiliki empat unsur yaitu:
1.      وجه الشبه (Wajhu Syabah/ segi perumpamaan).
2.      اداة التشبيه (Adatu Tasybih/ alat yang dipergunakan untuk tasybih).
3.      مشبه (Musyabbah/ yang diserumpamakan).
4.      مشبه به (Musyabbah bih/ Sesuatu yang dijadikan perumpamaan).
Sebagai contoh, pada firman Allah Swt. sebagai berikut: 
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui (QS. Al-baqarah [2]: 261).
Wajhu Syabah yang terdapat pada ayat ini adalah “pertumbuhan yang berlipat-lipat”. Adatu Tasybihnya adalah kata matsal. Musyabbahnya adalah infaq atau shadaqah di jalan Allah. Sedangkan musyabbah bihnya adalah benih.

C.    Macam-macam amtsal al-Qur’an
1.      الأمثال المصرحة (Al-Amtsal Al-Musharrahah) ialah yang didalamnya dijelaskan dengan lafaz matsal atau sesuatu yang menunjukkan perumpamaan (tasybih). Diantaranya perumpamaan yang Allah berikan terhadap orang-orang munafik. Firman Allah SWT QS. Al-Baqarah [2]: 17 dan 19. 
Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat Melihat. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 17)

Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, Karena (mendengar suara) petir,sebab takut akan mati dan Allah meliputi orang-orang yang kafir. (Q.S. Al-Baqarah [`2]: 19).
Berdasarkan ayat di atas, orang-orang munafik berharap cahaya iman, tetapi setelah mengetahui petunjuk dari Allah, hati mereka dikuasai sikap ragu-ragu dan ketidaktegasan. Mereka berada diantara pilihan tetap dari agama yang diwarisi nenek moyang atau memilih agama yang benar dan penuh petunjuk Tuhan bersama segala konsekuensinya. Akhirnya mereka berhasil dikalahkan oleh setan dan kembali kepada agama taklid yang dibawa nenek moyangnya dan kembali kedalam kegelapan. Cahaya yang sebelumnya menerangi hati mereka kemudian lenyap tidak kembali lagi. Sebab berdasarkan sunnatullah yang berlaku pada hamba-hamba-Nya, orang yang telah melihat dan mengetahui petunjuk (alhuda) dengan jelas, namun tetap tidak mau mengikutinya, maka kepada orang tersebut telah diharamkan untuk mendapatkan pengarahan (taufiq) menuju petunjuk Allah.
Di dalam ayat-ayat tersebut Allah membuat dua perumpamaan (matsal) bagi orang munafik; matsal yang berkenaan dengan api (nari) dalam firman-Nya, “adalah seperti orang yang menyelakan api”, karena di dalam api terdapat unsur cahaya; dan matsal yang berkenaan dengan air (ma’i), “atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit”, karena di dalam air terdapat materi kehidupan dan wahyu yang turun dari langitpun bermaksud untuk memerangi hati dan menghidupkannya. Allah menyebutkan juga kedudukan dan fasilitas orang munafik dalam dua keadaan, di satu sisi mereka bagaikan orang yang menyalakan api untuk penerangan dan kemanfaatan mengingat mereka memperoleh kemanfaatan materi dengan sebab masuk Islam. Namun di sisi lain Islam tidak memberikan pengaruh “nur”-Nya terhadap hati mereka karena Allah menghilangkan cahaya (nur) yang ada di dalam api itu “Allah menghilangkan cahaya (yang menyinari) mereka”, dan membiarkan unsur “membakar” yang ada padanya. Inilah perumpamaan mereka yang berkenaan dengan api.
Mengenai matsal mereka yang berkenaan dengan air (ma’i), Allah menyerupakan mereka dengan keadaan orang yang ditimpa hujan lebat yang disertai gelap gulita, guruh dan kilat, sehingga terkoyaklah kekuatan orang itu dan ia meletakkan jari jemari untuk menyumbat telinga serta memejamkan mata karena takut petir menimpanya. Ini mengingat bahwa Qur’an dengan segala peringatan, perintah, larangan dan khitabnya bagi mereka tidak ubahnya dengan petir yang turun sambar-menyambar.
2.      المثال الكامنة (Al-Amtsal Al-Kaminah), yaitu matsal yang didalamnya tidak disebutkan dengan jelas lafaz tamtsil (permisalan), tetapi ia menunjukkan makna-makna yang indah, menarik, dalam kepadatan redaksinya dan mempunyai pengaruh tersendiri bila dipindahkan kepada yang serupa dengannya. Misalnya firman Allah  dalam QS. al-Ra’d [13]: 35.
Perumpamaan syurga yang dijanjikan kepada orang-orang yang takwa ialah (seperti taman); mengalir sungai-sungai di dalamnya; buahnya tak henti-henti sedang naungannya (demikian pula). Itulah tempat kesudahan bagi orang-orang yang bertakwa, sedang tempat kesudahan bagi orang-orang kafir ialah neraka (QS. al-Ra’d [13]: 35).

Allah memperumpamakan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa seperti taman yang mengalir sungai-sungai didalamnya dan dari segala jurusannya, yang dinikmati dan dimanfaatkan oleh para penghuninya sesuai dengan kehendak mereka. Dalam taman itu terdapat pelbagai macam buah-buahan, makan dan minuman yang lezat-lezat, tidak ada putusnya dan tidak akan habis selama-lamanya. Ayat ini juga menunjukkan, bahwa Allah membukakan pintu surga-Nya lebar-lebar bagi orang-orang yang bertakwa, dan menutupnya rapat-rapat bagi orang-orang kafir. Berdasarkan makna surat di atas, amtsal dalam QS. al-Ra’d [13]: 35 tersebut tidak menyebutkan dengan jelas kata-kata yang menunjukkan perumpamaan tetapi kalimat itu mengandung pengertian mempesona, sebagaimana yang terkandung di dalam ungkapan-ungkapan singkat (ijaz).
3.      الأمثال المرسلة (Al-Amtsal Al-Mursalah), yaitu sejumlah risalah tanpa menjelaskan dengan lafaz perumpamaan (tasybih), yaitu ayat yang dikemukakan di tempat jalannya amtsal. Contohnya seperti firman Allah surat al-Hajj [22]: 73.
“… Sesungguhnya segala yang kamu (orang-orang musyrik) seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah” (Q.S. al-Hajj [22]: 73).
Melalui ayat ini Allah menegaskan bahwa orang-orang musyrik meyakini Tuhan-tuhan palsu yang mereka ciptakan itu dapat memberikan manfaat kepada mereka. Padahal sebenarnya hanya Tuhan-tuhan palsu yang sangat lemah. Sebab meskipun semua Tuhan-tuhan palsu itu bersatu, mereka tidak mampu walaupun hanya menciptakan makhluk yang lemah, yaitu seekor lalat, karena jika seekor lalat mengambil sesuatu dari diri tuhan-tuhan palsu itu, mereka tidak mampu merampas kembali yang diambil lalat tersebut.
Orang-orang musyrik tersebut mengalami penipuan dan kelemahan yang ditanggungkan, selain itu pula mereka masih mengalami penderitaan yang lain, yaitu kesetiaannya harus dibagi-bagi kepada beberapa Tuhan. Mereka tak ubahnya seperti seorang budak yang menjadi milik beberapa Tuan; ia tidak akan tenang jika hanya menunjukkan kesetiaan kepada satu tuan. Kalimat-kalimat al-Qur'an yang disebutkan di atas, tanpa ditegaskan redaksi penyerupaan, tetapi dapat digunakan untuk penyerupaan dan kalimat-kalimat di atas juga tidak menggunakan lafaz tasybih secara jelas, tetapi kalimat-kalimat tersebut berlaku sebagai perumpamaan (tasybih).
D.    Manfaat atau tujuan amtsal al-Qur’an
 Ada beberapa tujuan amtsal dalam al-Qur’an diantaranya:
1.      Memberi pelajaran kepada manusia, sebagaimana diungkapkan dalam Q.S. az-Zumar [39]: 27 dan Q.S. al-An’kabut [29]: 43.
Sesungguhnya Telah kami buatkan bagi manusia dalam Al Quran Ini setiap macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran (Q.S. az-Zumar [39]: 27). 
Dan perumpamaan-perumpamaan Ini kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu (Q.S. al-An’kabut [29]: 43).
2.      Menyerupakan hal yang ghaib dengan yang nyata.
3.      Mengungkap hakikat-hakikat yang jauh dari pikiran dengan ungkapan-ungkapan yang dekat dengan pikiran.
4.      Mengumpulkan makna yang indah dalam suatu ibarat yang pendek ‘padat’.
Amtsal al-Qur’an dapat dekembangkan atau diaflikasikan dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam dengan maksud dan tujuan untuk menarik perhatian peserta didik (siswa). Dengan demikian, seolah-olah perumpamaan itu dibuat untuk menyentuh hati pendengarnya (siswa) sehingga betul-betul terkesan dalam sanubarinya. Amtsal juga bisa mempengaruhi pendengarnya untuk mengambil pesan-pesan kebenaran dalam kisah tersebut. Artinya sebuah kisah memiliki pengaruh psikologis karena dapat menjelaskan makna universal dan menyentuhkannya ke dalam jiwa pendengarnya. Di samping sebagai metode mendidik yang ideal dan merinci suatu pesan global, perumpamaan juga merupakan salah satu sisi bukti kehebatan Al qur’an di tinjau dari segi balaghah (retorika)nya.
BAB III
KESIMPULAN

Seperti yang telah diuraikan di bab sebelumnya, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat tentang perumpamaan atau yang dalam ulumul Qur’an disebut dengan Amsal al-Qur’an. terdapat perbedaan pendapat mengenai hal tersebut mulai dari ulama ahli adab, ahli bayan dan ahli tafsir serta ulama ulumul Qur’an, namun yang menurut penulis lebih cocok dengan pengertian tersebut adalah menurut ulama ulumul Qur’an, yaitu bahwa amsal adalah menonjolkan makna dalam bentuk (perkataan) yang menarik dan padat serta mempunyai pengaruh mandalam terhadap jiwa, baik berupa tasybih ataupun perkataan bebas (lepas, bukan tasybih).
Amsal juga mempunyai rukun-rukun atau unsur-unsur, antara lain Wajhu Syabah/ segi perumpamaan, Adaatu Tasybih/ alat yang dipergunakan untuk tasybih, Mussyabbah/ yang diserumpamakan, dan Musyabbah Bih/ sesuatu yang dijadikan perumpamaannya. Adapun macam-macam amsal terdiri dari tiga bagian yaitu, amsal musarrahah, amsal kaaminah, dan amsal mursalah yang masing-masing mempunyai perbedaan diri sendiri.
Al-Qur’an diturunkan untuk direnungi dan difikirkan secara mendalam serta diamalkan dalam pendidikan agama Islam dan tentunya dapat diamalkan dalam kehidupan keseharian umat Islam. Didalam al-Qur’an, konteks amtsal ada beberapa macam yaitu: pujian,kecaman, penghormatan, penghinaan, perintah, larangan dsb.
Catatan: Rujukan Ada Pada penulis.



Minggu, 31 Maret 2013

MANFAAT KOMUNIKASI PENDIDIKAN DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

PENDAHULUAN
Teknologi pembelajaran telah berkembang, sebagai teori dan praktik dimana proses, sumber, dan sistem belajar pada manusia baik perseorangan maupun dalam suatu ikatan organisasi dapat dirancang, dikembangkan, dimanfaatkan, dikelola, dan dievaluasi. Dan melalui penerapan teknologi pembelajaran dengan mendayagunakan sumber-sumber belajar untuk tujuan pembelajaran. Salah satu bentuk sumber belajar yang potensial adalah yang dikembangkan berdasarkan teori komunikasi dan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai bentuk dan jenis teknologi komunikasi.
Artinya, media komunikasi massa mempunyai potensi besar untuk digunakan dan dimanfaatkan sebagai sumber belajar dan pembelajaran. Pada hakikatnya teknologi pembelajaran adalah suatu disiplin yang berkepentingan dengan pemecahan masalah belajar dengan berlandaskan pada serangkaian prinsip dan menggunakan berbagai macam pendekatan atau teori komunikasi dan teknologi komunikasi. Setiap teknologi dibangun atas dasar suatu teori tertentu. Demikian pula pada teknologi pembelajaran, dibangun atas dasar prinsip-prinsip yang ditarik dari teori komunikasi terutama hasil-hasil penelitian dalam pemanfaatan media, khususnya media komunikasi. Dan dalam makalah kami akan membahas tentang.Teknologi Komunikasi dalam pembelajaran pendidikan agama Islam (PAI). 
A.      Pengertian Teknologi Komunikasi (TEKKOM) dalam Pembelajaran PAI
Pengertian teknologi komunikasi pendidikan (pembelajran)  dapat dijelaskan melalui dua pendekatan yang pertama adalah dari sudut komunikasi yang berarti eknologi komunikasi yang dipakai dalam bidang pendidikan. Pendekatan yang kedua dari sudut pendidikan yaitu yang mengartikannya sebagai teknologi pendidikan yang memanpaatkan media komunikasi.
Sedangkan pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran.
Pembelajaran dalam kamus besar bahasa Indonesia mengandung arti proses, cara menjadikan orang atau makhluk hidup belajar. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam adalah suatu upaya membuat peserta didik dapat belajar, butuh belajar, terdorong belajar, mau belajar dan tertarik untuk terus menerus mempelajari agama Islam, baik untuk kepentingan mengetahui bagaimana cara beragama yang benar maupun mempelajari Islam sebagai pengetahuan.
Pembelajaran pada hakekatnya adalah proses komunikasi yang berkaitan dalam usaha mencapai tujuan pembelajaran (kompetensi) yang ditetapkan. Media sebagai alat, metode berfikir yang digunakan dalam rangka mengefektifkan komunikasi dan interaksi antara guru dan siswa dalam proses pembelajaran agar dapat membantu mempercepat merangsang pikiran, perasaan, dan kemauan siswa sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar pada dirinya. Penggunaan teknologi komunikasi ini secara kreatif akan memungkinkan siswa untuk belajar lebih baik dan meningkatkan performan mereka sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Media pembelajaran Pendidikan Agama Islam menurut Martin dan Briggs mencakup segala sumber kebutuhan dalam berkomunikasi dengan peserta didik. Media dapat berupa perangkat keras (hardware) seperti komputer, televisi, proyektor, orang, alat dan bahan cetak lainnya. Selain itu perangkat lunak (software) juga dapat digunakan pada perangkat keras tersebut.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa teknologi komunikasi dalam pembelajaran pendidikan agama Islam (PAI) adalah teknologi pendidikan yang memanfaatkan media komunikasi dalam pembelajaran PAI.
NB. Data Rujukan Ada Pada Penulis.

Minggu, 17 Maret 2013

PERKEMBANGAN POLITIK PENDIDIKAN DI INDONESIA



 Di Indonesia, kepedulian terhadap hubungan pendidikan dan politik sudah mulai berkembang dalam wacana publik, walaupun belum menjadi satu bidang kajian akademik. Publikasi yang menggunakan tema pendidikan dan politik belum tampak ke permukaan. Kalau pun ada, fokus bahasannya belum begitu menyentuh aspek-aspek subtantif hubungan politik dan pendidikan. Namun, masih diseputar aspek-aspek ideologis politik kependidikan. Namun demikian, keyakinan akan adanya hubungan yang erat antara pendidikan dan politik tampaknya sudah mulai tumbuh.
“Politics inseparable from education”. Demikianlah judul berita yang dimuat pada harian The Jakarta Post edisi 16 Maret 2001, halaman 1. Paragraph pertama pada berita tersebut adalah sebagai berikut : “politics is inseparable from education, unless the country plans to generate ‘illiterate politicians’ who could not be expected to lead the republic out of the current crises” (politik tidak terpisahkan dari pendidikan kecuali jika negeri ini ingin memiliki generasi yang buta politik, yang tidak bisa diharapkan mengeluarkan negeri ini dari krisis). Kalimat tersebut dikutip dari Muchtar Buchori, salah seorang pembicara dalam seminar tentang Education and the Nation’s crisis. Paragraph tersebut juga mengutip penegasan Buchori; “you cannot escap politics or separate it from education” (anda tidak dapat lari dari politik atau memisahkan dari politik). Empat hari kemudian, 20 Maret 2001, The Jakarta Post kembali memuat rangkuman hasil seminar tersebut dengan judul politics, education inseparable.
Buchori menambahkan dalam presentasinya bahwa “politics is the way to manage the board environment, and not merely a strunggle for power. Therefoe it is the duty of schools to help students differentiate between good politics and bad politics” (politik adalah cara untuk mengelola lingkungan yang luas, bukan hanya perebutan kekuasaan. Maka, adalah tugas sekolah untuk membantu para pelajar untuk dapat membedakan antara politik baik dan politik tidak baik) berbicara dalam konteks Indonesia, Buchori percaya bahwa “poor education is one source of the country’s crisis” (pendidikan tidak bermutu adalah salah satu sumber krisis di negeri ini).  Dia menjelaskan lebih jauh bahwa “the crisis now facing the nation (Indonesia) stems from an accumulation of inappropriate or wrong political dicisions generated in the past” (krisis yang saat ini melanda bangsa Indonesia bersumber dari akumulasi keputusan-keputusan politik yang tidak tepat yang terjadi pada masa lalu). Dia menambahkan; “Pada masa lalu kita mempunyai generasi pemimpin politik yang membawa bangsa ini kepada kemerdekaan. Akan tetapi, akhirnya kita melihat suatu generasi yang membuat keputusan-keputusan politik yang menyesatkan.”
Ketika ditanya apakah politik harus memasuki wilayah pendidikan atau sebaliknya, Buchori mengatakan bahwa para mahasiswa harus belajar tentang tanggung jawab warga negara (civic responsibility). Dia menegaskan “Inilah yang saya maksud dengan tidak keterpisahan antara politik dan pendidikan”. Para mahasiswa, lanjutnya, tidak boleh acuh tak acuh terhadap segala sesuatu yang berlansung diluar lingkungan perguruan tinggi. Buchori manambahkan “pemisahan antara politik dan pendidikan diberlakukan pada masa 30 tahun kekuasaan Soeharto yang otoriter”. Pada masa tersebut, tandasnya, politik digambarkan sebagai sesuatu yang kotor dan gambaran tersebut masih berkembang saat ini”. Ia menyimpulkan “kita tidak akan pernah bisa lari dari politik. Politik adalah realitas kehidupan. Mari berpolitik secara bijak. Persoalannya adalah bagaimana menangani para politisi yang buta politik”. Sejalan dengan Buchori, Direktur Eksekutif Asia Foundation, Remage, yang menjadi salah seorang pembicara dalam seminar tersebut mengatakan “putting politics in the classroom was common” (memasukan hal politik ke dalam kelas adalah hal biasa). Ia menambahkan bahwa sistem pendidikan yang memandang politik sebagai sesuatu yang kotor membuat banyak orang tidak mau menjadi politisi. Jika hal ini terus berlanjut, kata Remage, Indonesia akan dipimpin oleh para pengamat politik.
Dari beberapa pemikiran yang berkembang dalam seminar tersebut dapat ditarik beberapa pemahaman. Pertama,  adanya kesadaran tentang hubungan erat antara pendidikan dan politik. Kedua, adanya kesadaran akan peran penting pendidikan dalam menentukan corak dan arah kehidupan politik. Ketiga, adanya kesadaran akan pentingya pemahaman tentang hubungan antara pendidikan dan politik. Keempat, diperlukan pemahaman yang lebih luas tentang politik. Kelima, pentingya pendidikan kewargaan (civic education). Ungkapan-ungkapan Muchtar Buchori khususnya menggambarkan suatu keyakinan terhadap hubungan erat antara pendidikan dan politik. Ia juga yakin bahwa hubungan tersebut tidak mungkin diputus begitu saja karena membawa pengaruh subtantif terhadap keduanya. Dalam proses pendidikan, Buchori tampaknya sangat yakin bahwa, pendidikan dan politik perlu diintegrasikan untuk dapat melahirkan para pemimpin politik yang berkualitas.
Walaupun hanya mempresentasikan opini segelintir sarjana di negeri ini, wacana hubungan antara politik dan pendidikan dan pokok-pokok pikiran yang berkembang dalam seminar tersebut mengindikasikan adanya kecenderungan positif dalam melihat hubungan antara politik dan pendidikan pada umumnya dan politik pendidikan khususnya. Namun demikian, harus diakui bahwa hingga saat ini kajian politik pendidikan masih merupakan barang langka di negeri ini. Kajian politik pendidikan masih jarang terdengar di pusat-pusat studi kependidikan di negeri ini, seperti Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dan pusat-pusat studi pendidikan lainnya, seperti di fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) yang ada di beberapa perguruan tinggi umum dan fakultas Tarbiyah yang ada pada Universitas Islam Negeri Jakarta (UINJ), Institut Agama Islam Negeri (IAIN), dan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI), baik negeri maupun swasta yang tersebar di seluruh Indonesia. Disiplin ilmu politik dan ilmu pendidikan masih cenderung dilihat sebagai dua bidang kajian yang tidak memiliki hubungan apa-apa. Sejauh ini penulis bisa mencatat bahwa mata kuliah politik pendidikan hanya terdapat pada kurikulum program studi Pendidikan  di program Pasca Sarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta dan program serupa di IAIN Raden Fatah di Palembang. Di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, program studi pendidikan demokrasi sedamg dipersiapkan.
Namun demikian, tidak dapat dikatakan bahwa kesadaran akan keterkaitan antara pendidikan dan politik tidak ada sama sekali. Beberapa seminar dan konggres kependidikan nasional maupun internasional yang pernah penulis hadiri dibeberapa kota besar di negeri ini memperlihatkan perhatian yang besar dari para peserta dan pembicara terhadap hubungan antara pendidikan dan politik. Diskusi tentang berbagai isu fundamental tentang pendidikan sering kali mengungkapkan aspek-aspek dan hambatan-hambatan yang bersifat politik dalam perkembangan sistem pendidikan di negeri ini. Misalnya, kecilnya alokasi dana untuk pendidikan dan rendahnya mutu pendidikan di negeri ini sering kali diyakini sebagai implikasi dari rendahnya komitmen politik (political will) pemerintah.
Pada Konferensi Nasional Manajemen Pendidikan yang diselenggarakan atas kerjasama Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dengan Himpunan Sarjana Administrasi Pendidikan Indonesia (HISAPIN) di Jakarta tanggal 8 sampai dengan 10 agustus 2002 muncul beberapa topik yang secara subtantif cukup relevan dengan kajian politik pendidikan. Topik–topik tersebut, antara lain, Akuntabilitas LPTK sebagai Penghasil Guru di Indonesia oleh Professor Dr Sutjipto; Kebijakan Pemerintah tentang Partisipasi Masyarakat dalam Manajemen Pendidikan di Era Otonomu Daerah oleh Dr. dr. Fazli Djalal; Tanggung Jawab LSM dalam Meningkatkan Mutu Manajeman Pendidikan di Era Otonomi Daerah oleh Ir. Eri Sudewo; Pengawasan Pendidikan di Era Otonomi Daerah oleh Profesor Dr. Mulyani A.Nurhadi, M.Ed; Masalah dan Kebijakan Penelitian Islam  di Era Otonomi Daerah oleh Professor Dr. Azyumardi Azra,M.A.; Strategi Pemerintah Daerah dalam Memacu Kualitas Sekolah melalui Manajemen Pendidikan (satu contoh Kasus Pemberdayaan Masyarakat di Kabupaten Kebumen) oleh Dra. Rustriningsih, M.Si.; Dampak Otonomi Daerah terhadap Manajemen Pendidikan di Provinsi Sulawesi Tengah oleh Professor Dr. Djamaludin Kantao, M.Pd.; Partisipasi Masyarakat, Potret tahun Kedua di Era Otonomi Daerah oleh Dr. Basuki Wibowo.; Kesiapan Masyarakat dalam Mendukung Implementasi School Based Management oleh Profesor Santoso S. Hamidjoyo; dan Implikasi Manajemen Pendidikan nasional dalam Konteks Otonomi Daerah oleh Profesor Dr. Winarno Surakhmad, M.Ed.
Beberapa buku yang membahas aspek-aspek politik pendidikan juga mulai bermunculan dari para penulis dalam negeri. Misalnya, ada buku Tinjauan Politik Mengenai Sitem Pendidikan Nasional: Beberapa Kritik dan Sugesti yang ditulis oleh Kartini Kartono (1997) yang diterbitkan oleh PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Selain itu, telah bermunculan buku-buku tentang pendidikan kewargaan yang secara langsung maupun tidak langsung juga membahas isu-isu diseputar politik pendidikan. Salah satu yang terbaru adalah buku Civic Education (Pendidikan Kewarganegaraan): Demokrasi Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani yang ditulis oleh Dede Rosyada (2000) dan terbitkan Oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Beberapa informasi diatas kiranya sudah cukup untuk membuktikan bahwa pemahaman tentang hubungan antara politik dan pendidikan sudah cukup berkembang. Tentu saja masih diperlukan upaya-upaya strategis dan sistematis agar pemahaman tersebut dapat terus berkembang dan menumbuhkan curiosity tentang hubungan politik dan pendidikan, baik dikalangan ilmuwan pendidikan maupun dikalangan ilmuwan politik. Pada saatnya nanti kajian politik pendidikan diharapkan terus diminati dan berkembang di pusat-pusat studi kependidikan di negeri ini sehingga wacana kependidikan di tanah air tidak hanya terbatas pada isu-isu metode dan materi pembelajaran, tetapi juga menyentuh konteks sosio-politis dari isu-isu tersebut.
Dalam dua decade terakhir, memasuki abad ke 21 dan pembelajaran otonomi daerah, lingkungan pendidikan di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan penting. Perubahan tersebut ditandai oleh paling tidak tiga kecenderungan utama. Pertama, terjadinya perubahan peranan pemerintah pusat dan daerah dalam kebijakan pendidikan. Proses kebijakan pendidikan yang sebelumnya didominasi oleh pemerintah pusat, saat ini sudah mulai didistribusikan ke aderah. Kedua, semakin terfragmentasinya pendidikan, baik secara politik maupun dalam bentuk program. Ketiga, muncul kembalinya kepentingan-kepentingan non kependidikan, terutama dari dunia bisnis, dalam wilayah pendidikan. Berbeda dengan 1970-an ketika politik pendidikan adalah wilayah kepentingan kelompok kepentingan pendidikan berbasis luas (broad-based education interest groups), seperti departemen pendidikan, kepala sekolah administrator dan guru, mulai tahun 1980-an dunia pendidikan didominasi oleh tokoh-tokoh bisnis dan pegawai publik yang terpilih.
Dalam tiga kecerendungan tersebut, yang cukup unik dalam politik pendidikan di Indonesia hingga saat ini bahwa kurang berartinya peranan kelompok kepentingan pendidikan (education interest groups) dalam formula kebijakan-kebijakan pendidikan. Jika dibandingkan dengan bidang-bidang lainnya perkembangan interest group dalam bidang pendidikan sangat lamban. Saat ini, berbagai perkembangan dan gejala tersebut perlu dikaji dalam rangka memahami kompleksitas dan dinamika hubungan antara pendidikan dan politik, baik dalam konteks global maupun dalam konteks lokal, khususnya dalam konteks pemberlakuan otonomi daerah.
Hingga saat ini dapat dikatakan, meskipun ada kecenderungan yang kuat pada sebagian masyarakat untuk memandang bahwa pendidikan dan politik terpisah dan tidak berkaitan, realitas membuktikan bahwa disemua masyarakat keduanya berhubungan erat dan terkait. Proses dan lembaga–lembaga pendidikan mempunyai banyak dimensi dan aspek politik. Lembaga-lembaga tersebut menjalankan fungsi-fungsi yang memiliki konsekuwensi penting dalam sistem politik dan terhadap perilaku politik dalam bentuk yang berbeda-beda.

Sabtu, 09 Maret 2013

SEJARAH PIAGAM MADINAH



Piagam Madinah lahir dari kondisi yang ada sebelum Rasulullah hijrah. Dimana di Yatsrib pada saat itu dicekam oleh konflik berkepanjangan antar suku. Dua suku terbesar, ‘Auz dan Khazraj terlibat perseteruan yang berdarah-darah.
Suku yang lebih kecil memperkeruh keadaan dengan terbelah menjadi pendukung kedua suku besar yang berkonflik. Sementara kondisi permusuhan dan perpecahan sedemikian kuat, bangsa Yahudi sebagai pendatang terus menghembuskan suasana permusuhan. Mereka memang mengatur untuk mendapat keuntungan materil dari konflik yang terus dihangatkan itu.
Penduduk Yatsrib kemudian meminta Rasulullah untuk menciptakan perdamaian dan ketentraman. Dimulai dari kesadaran masyarakat Yatsrib untuk keluar dari suasana mencekam konflik yang tiada berujung, semakin rumit dan melelahkan.
Kesadaran ini pula yang menjadi pondasi lahirnya ruh kedamaian dalam piagam Madinah. Sebuah konsep yang sempurna dan kesiapan merealisasikan dari masyarakatnya. Islam sejatinya telah siap dengan konsep yang pertengahan dan mendamaikan bila difahami secara benar dan menyeluruh.
Sementara itu psikologis masyarakat Yatsrib yang berada diujung kekecewaan memang selalu dipastikan akan memunculkan harapan. Bagaikan di ujung musim gugur yang mendatangkan musim semi. Anis Matta menyebutkan itu semua sebagai pertanda sejarah akan lewat di sini.
Rasulullah kemudian didatangkan ke Yatsrib dan mempresentasikan konsep sempurna untuk menciptakan dunia sebagai tempat yang lebih baik. Sementara itu masyarakat sudah berada tingkat kebutuhan akan solusi yang memuncak. Kohesi itupun terbentuk melahirkan tata kehidupan baru yang egaliter, terbuka, produktif dan kokoh untuk menghadapi tantangan zamannya.